Ilana Mutia, gadis cantik tunangan sang direktur muda Dirgantara Group, Agni Kumbara Dirgantara. Gadis periang yang selalu tersenyum, satu-satunya orang yang mampu membawa Agni bangkit dari keterpurukan karena kehilangan orang tua. Orang yang mendampingi sang kekasih untuk bersabar menghadapi kelakuan sang adik yang juga depresi berat.
“Hm, aku mau bertanya sesuatu, tetapi kamu nggak perlu jawab kalau memang menurut kamu pertanyaan aku terlalu sensitif,” ujar Ilana membuka pembicaraan, memecah keheningan yang terjadi diantara dirinya dan gadis belia yang terbaring diatas ranjang rumah sakit.
“Sure,” sahut Jingga mempersilahkan.
“Kamu ke Jakarta karena kabur dari rumah?” Jingga menganggung menanggapi pertanyaan Ilana.
“Kamu pasti punya alasan tentang hal itu. Kalau boleh tahu....” Ilana terhenti tatkala melihat wajah murung Jingga saat mendengar pertanyaannya. “Kamu nggak perlu jawab, kok!” sergah Ilana cepat, tak lagi melanjutkan pertanyaannya.
Terbersit rasa bersalah dalam hati tunangan seorang Agni Kumbara, tatkala gadis itu melihat wajah Jingga yang tertunduk sedih. Ia penasaran, namun memilih untuk tidak memaksakan peruntungannya lebih jauh.
“Bukan aku nggak mau cerita, Kak. Aku cuma nggak tahu bisa cerita atau nggak, aku takut kakak malah menjauh dari aku saat kakak tahu bagaimana keadaan aku yang sebenarnya, sama seperti semua orang yang menghindari aku, terutama mereka yang mengatasnamakan diri sebagai sahabat,” ujar Jingga memberanikan diri mengutarakan isi hatinya.
“Kenapa? Kamu nggak terlihat seperti wanita nakal...”
“Of course i’m not!” sergah Jingga cepat tanpa jeda, menyela kalimat Ilana. “Aku bersumpah aku adalah wanita baik-baik, Kak. Tetapi, apa yang terjadi padaku membuat semua orang di sekitarku menjauh, bahkan mereka nggak lagi mau menyapaku.”
“Terus, apa alasan yang akan membuatku sampai aku menjauh? Tidak akan ada asap bila tidak ada api, selalu ada alasan dari sebuah tindakan, bukan?” selidik Ilana yang masih penasaran akan sosok wanita yang ia tolong sebelumnya.
“Kak Ilana bisa menganggapku seperti apa yang Kak Ilana mau, seburuk apapun itu, serendah apapun apa yang Kakak pikirkan. Kakak punya hak untuk curiga pada orang sepertiku. Sekalipun Kakak menilaiku mungkin adalah wanita yang tidak baik, aku tidak akan menyalahkan Kakak. Tetapi, aku jamin aku bukan wanita panggilan atau sejenisnya.”
Ilana semakin bingung mendengar pernyataan Jingga yang tidak jelas juntrungannya, apalagi remaja tanggung di hadapannya semakin meruduk.
“Maaf kalau kamu merasa tersinggung pada pertanyaanku barusan, aku nggak bermaksud untuk menyakiti perasaan kamu. Mungkin lain kali kamu bisa cerita, kamu nggak harus memaksakan diri untuk memberitahukan apapun tentang dirimu. Aku paham, kok. Kita baru bertemu dan belum saling kenal satu sama lain,” kekasih dari Agni memilih untuk mengalah, ketimbang memperkeruh suasana dengan menanyakan hal yang bersifat pribadi. “Tapi, kalau kamu bilang kamu lari dari rumah, terus kamu tinggal dimana sekarang?”
“Itu... sebenarnya aku baru sampai di Jakarta, mau nyari Masku yang kuliah disini. Tapi, handphone-ku dijambret orang, aku nggak tahu lagi harus bagaimana karena semua dataku ada di sana. Lagi pula benda itu juga sudah tidak banyak berguna, makanya aku agak stress dan...,” kalimat remaja bersurai ikal tersebut menggantung, membuat Ilana semakin penasaran.
“Dan?” Koor Ilana mengulang kata dimana Jingga menghentikan kalimatnya.
“Dan aku nggak yakin kalau Masku akan menerima kedatanganku yang tiba-tiba ini atau bisa saja dia malah bersikap sama seperti yang lainnya,” jawab Jingga yang semakin mengundang tanya bagi seorang Ilana.
“Kenapa dia nggak mau menerima kamu? Toh kamu adiknya.”
“Pasti Ayah juga sudah menghubungi Masku dan menceritakan semuanya.”
“Sebenarnya setiap kalimat yang kamu keluarkan itu mengundang rasa penasaranku, tetapi aku menahan diri untuk nggak memberondongmu dengan rentetan pertanyaan yang mungkin akan membuat kamu makin depresi.”
“Maaf,” hanya satu kata pendek yang menjadi sahutan Jingga.
“Maaf itu hanya sebuah kalimat yang tidak menyelesaikan segala masalah. Maaf bisa diterima, tetapi tetap harus memikirkan solusi.”
“Aku nggak tau solusi apa yang bisa aku lakukan, Kak. Aku sendiri saja sudah nggak punya tempat buat bersandar. Mungkin aku memang sudah gila, sampai membuat semua orang marah dan menjauh,” lanjutnya berbisik pada diri sendiri. “Ada baiknya Kak Ilana juga nggak perlu untuk mengetahui masalahku, terlibat masalah orang lain itu nggak enak rasanya.” lanjutnya sambil tersenyum miris.
“Jangan terlalu keras pada diri sendiri! Kamu nggak akan ngobrol secara normal seperti ini denganku kalau kamu gila. Lagi pula kamu nggak bisa menilai seperti apa reaksiku sebelum kamu cerita tentang masalah kamu, tapi untuk sekarang ini aku rasa lebih baik kamu fokus ke pemulihan kesehatan fisik dulu.”
“Untuk biaya rumah sakit, aku janji aku akan ganti semuanya, Kak. Aku akan cari kerja di Jakarta.”
“Masalah uang nggak perlu dipikirin, kamu bisa ganti ke aku kapanpun kamu bisa, yang penting kamu sembuh. Nanti aku akan bantu kamu cari kerja yang sesuai dengan kemampuan dan pendidikan kamu,” Ilana menjawab dengan tenang dan memilih kata sebaik mungkin agar Jingga tidak tersinggung, terutama masalah uang. “Ngomong-ngomong masalah part-time, artinya kamu ke jakarta sama sekali nggak pegang uang?”
Jingga menggeleng pelan. “Aku berusaha untuk nggak ambil uang dari ATM, karena bisa dilacak dan Ayah pasti mencoba melakukan hal itu. Jadi, aku hanya menggunakan sisa uang yang ada.”
“Hm... rupanya kamu bukan dari keluarga biasa, karena kalau kamu dari kalangan menengah kebawah, orang tuamu nggak akan memikirkan cara untuk mencari kamu sampai ke nomor mesin yang kamu gunakan. Prosedur itu terlalu merepotkan, apa lagi tanpa pelicin.” Ilana dengan mudah menarik kesimpulan.
“Apa semudah itu terlihat hanya dari sebuah pernyataan?”
“Akan konyol rasanya bila aku mempercayai kalau kamu hanya gadis dari kalangan biasa. Pihak mana yang mau repot-repot mencari orang sampai ke hal yang sedetil itu kecuali kamu berasal dari keluarga yang lumayan berada.”
“Kesimpulan Kakak membuatku takjub, sepertinya kakak juga bukan wanita sembarangan sampai bisa dengan mudah mengetahui celah dalam kalimatku,” puji gadis bersurai ikal, namun pujiannya terasa hambar karena nada yang datar.
“Yah, aku butuh waktu lama untuk bisa seperti ini. Segalanya harus dipelajari, kan?!” Jawab Ilana sambil asik mengupas apel. “Dimakan apelnya! Aku ngupas apel bukan untuk jadi pajangan doang lho! Kamu harus makan makanan yang bergizi.”
“Kenapa Kakak baik banget sama orang yang nggak dikenal? Kakak nggak takut kalau ternyata aku penipu dan membawa masalah dalam hidup Kakak juga calon suami Kak Ilana?”
“Kalau bilang nggak ada kekhawatiran sampai disana, pasti bohong, ya. Cuma aku ngerasa seandainya aku yang ada di posisi kamu, lalu nggak ada satupun orang yang peduli, bagaimana rasanya? Sudah pasti sakit banget, dong.”
Jingga tersenyum miris mendengar jawaban wanita cantik dihadapannya. Bulir kristal bening menetes perlahan menuruni pipi pucatnya, mengisyaratkan luka mendalam yang belum diungkapkan.
“Seandainya...” hanya sebuah kata menggantung yang tidak pernah diselesaikan oleh Jingga.
Langkah pelan Jingga memasuki sebuah pintu bangunan megah milik keluarga Dirgantara, iris gelapnya membelalak lebar tatkala melihat megahnya bangunan yang ia datangi. Gadis delapan belas tahun itu paham bila orang yang menolongnya berasal dari kalangan atas, tetapi ia tidak menyangka bila Agni dan Ilana lebih dari sekedar kalangan atas biasa.“Untuk sementara kamu bisa tinggal disini, selama yang kamu inginkan!” ujar Agni “Kak, Mas. Kita nggak salah rumah, kan?” tanya Jingga lugu. Pasalnya keluarga Jingga memang keluarga berada, tetapi rumah yang sekarang ia masuki jelas depuluh kali lebih mewah dari yang Ayahnya miliki.Ilana dan Agni tersenyum mendengar kepolosan Jingga. “Nggak salah, kok. Rumah ini memang milik Agni dan Angkasa,” masih dengan tersenyum Ilana menjawab pertanyaan sang tamu yang mereka undang.“Angkasa?” gadis berusia delapan belas tahun tersebut kembali bertanya lantaran dirinya masih asing dengan nama yang Ilana sebutkan. “Angkasa itu siapa, Kak?”“Oh iya, aku lupa
“Angkasa! Jaga mulutmu!” tegur Agni cepat mana kala melihat sang adik memasuki pintu rumah diikuti ketiga temannya yang lain. “Dia adalah tamu di rumah ini!” jelas sang Kakak.“Dia memang tamu, Mas. Sayangnya tamu nggak tahu diri! Sudah biaya rumah sakit dibayarin, makan enak, sampai diberikan tempat tinggal gratis, tapi mulutnya macam orang nggak berpendidikan, nggak tahu terima kasih!”“Kamu boleh saja nggak mempercayai Jingga, tapi aku dan Mbakmu percaya sama dia!” tegas sulung Dirgantara. Agni memang biasa memberikan panggilan yang menyatakan keluarga pada Ilana untuk Angkasa, karena Agni ingin bila calon istrinya dihormati seperti keluarga sendiri. Begitu berartinya Ilana bagi seorang Agni karena hanya wanita itu yang bisa ia sebut sebagai keluarga, orang yang menginginkan Agni sebagai Agni, bukan sebagai pewaris Dirgantara Group. “Jelas nggak percayalah, Mas. Dia sendiri saja nggak percaya kok sama kita, buat apa Mas Agni repot-repot ngebangun kepercayaan dia? Cuma buang-buang
Dari ruang kamar yang di datangi oleh Ilana dan Jingga, keduanya tak lagi mendengar perdebatan diantara kakak-beradik Dirgantara. Namun, Jingga masih bingung bagaimana harus mengambil sikap. “Maaf, ya. Bukan maksud aku melarang kamu untuk mengutarakan pendapat, hanya saja ketika Mas Agni dan Angkasa bertengkar, lebih baik jangan dipotong.”“Kenapa, Kak? Nggak baik yang namanya saudara bertengkar karena orang lain.”“Yang sedang Agni lakukan adalah mendidik adiknya, satu saat Angkasa akan paham alasan mengapa Agni melakukan semua itu.”“Mas Agni memiliki alasan untuk bertengkar dengan adiknya? Aku nggak paham maksudnya, Kak?!” tanya Jingga masih bingung.“Anak laki-laki berbeda dengan perempuan, Jingga. Mereka akan belajar dari sebuah pertengkaran, perselisihan dan perdebatan. Pengalaman memberikan makna tersendiri yang bisa membuat mereka memahami keadaan,” jelas Ilana lembut. “Pengalaman tidak serta merta membuat seseorang berubah menjadi dewasa, Kak. Kenyataannya hidup tidak semuda
Pandangan mata Jingga menatap sendu rintik hujan turun di luar sana. Jemari lentiknya dengan cekatan memotong beberapa sayuran untuk dijadikan menu makanan pagi ini. Bukan tak ada pelayan ataupun asisten rumah tangga yang bisa menyediakan makanan untuknya, Jingga hanya enggan merepotkan lebih dari yang telah ia dapatkan.‘Kenapa malah orang lain yang mempercayaiku tanpa syarat, bahkan sampai rela membawaku kerumah mereka dan memikirkan kesehatan psikologisku?! Harusnya, orang terdekatku yang memberikan kepercayaan, bukan malah orang tak dikenal,’ batin Jingga mengeluh dalam lamunan. “Oh ternyata cocok jadi asisten rumah tangga, toh! Aku kira seperti apa orang yang dipercaya Mas Agni?!” seru suara sinis mengejutkan Jingga yang tengah memotong sayuran.“Damn it!” hardik Jingga pada udara kosong seraya menghisap jarinya yang tergores. “Are you yelling at me?”“Kalau mau makan, kamu bisa duduk! Aku nggak punya waktu untuk melayanimu berdebat,” sahut gadis yang lebih muda dua tahun dari K
Sebulan berlalu sejak Jingga memasuki kediaman Dirgantara, sudah selama itu pula ia memiliki profesi sebagai juru masak di rumah tersebut. “Kamu yakin mau kerja, Jingga?” tanya Agni membuka pembicaraan saat makan malam berlangsung. “Memangnya jadi koki di rumah ini kurang buat kamu?” lanjutnya seraya menyuap makanan.“Jadi koki di rumah ini berbeda dengan bekerja di luar, Mas. Aku ingin pengalaman, bukan zona nyaman. Karena aku nggak mungkin untuk berpangku tangan terus,” sahut Jingga yakin. “Aku nggak terlalu masalah dengan kamu stay di rumah ini, kalau memang kamu perlu gaji aku juga bisa memberikan gaji yang sesuai pekerjaan kamu disini. Bu Fatma juga pasti senang.”“Biar sajalah, Mas. Hitung-hitung sekalian Jingga bergaul di luar, nggak ngeram di rumah. Kalau bisa malah aku maunya dia kuliah,” seloroh Ilana. Angkasa yang mendengar pembicaraan ketiganya hanya memutar mata, jengkel. Bisa-bisanya sang Kakak dan calon Kakak Iparnya lebih memperhatikan keadaan orang lain, tetapi tid
Di kediaman keluarga Baskoro, sosok wanita anggun berparas ayu yang berusia 47 tahun tengah mengeluarkan berkarung-karung mantra dan sumpah serapah yang ditujukan untuk sang suami. “Ayah! Ibu sudah nggak tahu lagi harus cari anak kita kemana, kalau Ayah nggak nemuin dia juga, lebih baik kamu nggak usah pulang kerumah!” ancam sosok keibuan dengan suara tinggi nyaring membentak sang suami yang berwajah kusut karena masih juga belum menemukan sang putri bungsu.“Sabar, Bu. Ayah ini sudah cari kesana kemari, juga sudah minta bantuan beberapa orang, Damar juga sudah Ayah hubungi mana tahu Jingga menyusul dia ke jakarta. Tapi, semua masih nihil. Aku juga sudah lapor polisi dan belum ada kabar lebih lanjut,” jawab Pak Dimas menjabarkan semua yang sudah dia lakukan pada sang istri yang masih tegangan tinggi.“Ini semua gara-gara harga dirimu yang terlalu kamu junjung tinggi itu, Mas! Jingga itu anakmu sendiri, kamu malah bisa-bisanya nggak percaya sama dia?!” cerca Ibu Mia. “Demi Tuhan, Mas!
“Apa sih istimewanya cewek itu sampai Mas Agni bela-belain buat berdebat sama aku?!” gerutu Angkasa.Sukma dan Irfan hanya bisa saling tatap mendengar gerutuan Angkasa, karena semenjak kedatangan Jingga di rumahnya, Angkasa menjadi lebih pemarah dan sering menggerutu.“Mbak Lana saja yang terlalu baik sama orang, karena pengaruh dia juga Mas Agni jadi seperti itu. Gara-gara cewek itu juga, Mas Agni jadi makin antipati ke aku, bikin jengkel!” sahut Karina memanasi Angkasa. Gadis itu tahu bagaimana caranya membuat masalah menjadi semakin runyam ketimbang sebaliknya.“Karin! Kamu nggak berhak menilai keluarga orang lain! Jangan menuang bahan bakar ke dalam api!” tegas Irfan memperingatkan.“Fan, apa yang aku katakan itu benar, Mbak Lana itu terlalu ngontrol Mas Agni. “Rin, bisa nggak kamu nggak jelek-jelekin Mbak Lana! Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia, jadi jangan seenaknya ngomong!” Tegur Angkasa. “Sorry,” sahut Karina menggigit bibir.Bagaimanapun juga Ilana adalah orang yang sanga
Jingga kembali ke kediaman Dirgantara dengan wajah sembab, saat memasuki pintu utama rumah besar tersebut gadis itu sama sekali tak membalas sapaan orang. Ia hanya berjalan lurus menuju kamarnya.“Non Jingga, kok sudah pulang?” tanya Bu Fatma selaku kepala pelayan di kediaman Dirgantara. Namun tidak mendapat jawaban apa-apa, sangat berbeda dari biasa.“Non!” panggil pelayan lain dengan hasil yang sama. “Bu, itu Non Jingga kenapa?” lanjut sang pelayan pada Bu Fatma.“Sejauh ini dari sudut pandang Ibu, Jingga itu anak yang tahu namanya sopan santun, pasti ada sesuatu yang nggak beres yang membuat dia jadi acuh. Coba kamu ke ruangan Non Lana, bilang sama dia kalau Non Jingga pulang sambil nangis!” perintah Bu Fatma.Sesuai perintah sang atasan, pelayan muda tersebut mendatangi Ilana untuk menyampaikan pesan dari Bu Fatma. Sedang, Jingga sudah berada di kamarnya, mengeluarkan tas dan pakaian dari lemari. “Jingga, kok kamu sudah pulang kerja?! Hari ini katanya kamu pulang jam empat?!” Jin