Share

4

Ilana Mutia, gadis cantik tunangan sang direktur muda Dirgantara Group, Agni Kumbara Dirgantara. Gadis periang yang selalu tersenyum, satu-satunya orang yang mampu membawa Agni bangkit dari keterpurukan karena kehilangan orang tua. Orang yang mendampingi sang kekasih untuk bersabar menghadapi kelakuan sang adik yang juga depresi berat.

“Hm, aku mau bertanya sesuatu, tetapi kamu nggak perlu jawab kalau memang menurut kamu pertanyaan aku terlalu sensitif,” ujar Ilana membuka pembicaraan, memecah keheningan yang terjadi diantara dirinya dan gadis belia yang terbaring diatas ranjang rumah sakit. 

“Sure,” sahut Jingga mempersilahkan.

“Kamu ke Jakarta karena kabur dari rumah?” Jingga menganggung menanggapi pertanyaan Ilana.

“Kamu pasti punya alasan tentang hal itu. Kalau boleh tahu....” Ilana terhenti tatkala melihat wajah murung Jingga saat mendengar pertanyaannya. “Kamu nggak perlu jawab, kok!” sergah Ilana cepat, tak lagi melanjutkan pertanyaannya. 

Terbersit rasa bersalah dalam hati tunangan seorang Agni Kumbara, tatkala gadis itu melihat wajah Jingga yang tertunduk sedih. Ia penasaran, namun memilih untuk tidak memaksakan peruntungannya lebih jauh. 

“Bukan aku nggak mau cerita, Kak. Aku cuma nggak tahu bisa cerita atau nggak, aku takut kakak malah menjauh dari aku saat kakak tahu bagaimana keadaan aku yang sebenarnya, sama seperti semua orang yang menghindari aku, terutama mereka yang mengatasnamakan diri sebagai sahabat,” ujar Jingga memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. 

“Kenapa? Kamu nggak terlihat seperti wanita nakal...”

“Of course i’m not!” sergah Jingga cepat tanpa jeda, menyela kalimat Ilana. “Aku bersumpah aku adalah wanita baik-baik, Kak. Tetapi, apa yang terjadi padaku membuat semua orang di sekitarku menjauh, bahkan mereka nggak lagi mau menyapaku.” 

“Terus, apa alasan yang akan membuatku sampai aku menjauh?  Tidak akan ada asap bila tidak ada api, selalu ada alasan dari sebuah tindakan, bukan?” selidik Ilana yang masih penasaran akan sosok wanita yang ia tolong sebelumnya.

“Kak Ilana bisa menganggapku seperti apa yang Kak Ilana mau, seburuk apapun itu, serendah apapun apa yang Kakak pikirkan. Kakak punya hak untuk curiga pada orang sepertiku. Sekalipun Kakak menilaiku mungkin adalah wanita yang tidak baik, aku tidak akan menyalahkan Kakak. Tetapi, aku jamin aku bukan wanita panggilan atau sejenisnya.” 

Ilana semakin bingung mendengar pernyataan Jingga yang tidak jelas juntrungannya, apalagi remaja tanggung di hadapannya semakin meruduk. 

“Maaf kalau kamu merasa tersinggung pada pertanyaanku barusan, aku nggak bermaksud untuk menyakiti perasaan kamu. Mungkin lain kali kamu bisa cerita, kamu nggak harus memaksakan diri untuk memberitahukan apapun tentang dirimu. Aku paham, kok. Kita baru bertemu dan belum saling kenal satu sama lain,” kekasih dari Agni memilih untuk mengalah, ketimbang memperkeruh suasana dengan menanyakan hal yang bersifat pribadi. “Tapi, kalau kamu bilang kamu lari dari rumah, terus kamu tinggal dimana sekarang?”

“Itu... sebenarnya aku baru sampai di Jakarta, mau nyari Masku yang kuliah disini. Tapi, handphone-ku dijambret orang, aku nggak tahu lagi harus bagaimana karena semua dataku ada di sana. Lagi pula benda itu juga sudah tidak banyak berguna, makanya aku agak stress dan...,” kalimat remaja bersurai ikal tersebut menggantung, membuat Ilana semakin penasaran. 

“Dan?” Koor Ilana mengulang kata dimana Jingga menghentikan kalimatnya.

“Dan aku nggak yakin kalau Masku akan menerima kedatanganku yang tiba-tiba ini atau bisa saja dia malah bersikap sama seperti yang lainnya,” jawab Jingga yang semakin mengundang tanya bagi seorang Ilana. 

“Kenapa dia nggak mau menerima kamu? Toh kamu adiknya.”

“Pasti Ayah juga sudah menghubungi Masku dan menceritakan semuanya.”

“Sebenarnya setiap kalimat yang kamu keluarkan itu mengundang rasa penasaranku, tetapi aku menahan diri untuk nggak memberondongmu dengan rentetan pertanyaan yang mungkin akan membuat kamu makin depresi.”

“Maaf,” hanya satu kata pendek yang menjadi sahutan Jingga. 

“Maaf itu hanya sebuah kalimat yang tidak menyelesaikan segala masalah. Maaf bisa diterima, tetapi tetap harus memikirkan solusi.”

“Aku nggak tau solusi apa yang bisa aku lakukan, Kak. Aku sendiri saja sudah nggak punya tempat buat bersandar. Mungkin aku memang sudah gila, sampai membuat semua orang marah dan menjauh,” lanjutnya berbisik pada diri sendiri. “Ada baiknya Kak Ilana juga nggak perlu untuk mengetahui masalahku, terlibat masalah orang lain itu nggak enak rasanya.” lanjutnya sambil tersenyum miris.

“Jangan terlalu keras pada diri sendiri! Kamu nggak akan ngobrol secara normal seperti ini denganku kalau kamu gila. Lagi pula kamu nggak bisa menilai seperti apa reaksiku sebelum kamu cerita tentang masalah kamu, tapi untuk sekarang ini aku rasa lebih baik kamu fokus ke pemulihan kesehatan fisik dulu.”

“Untuk biaya rumah sakit, aku janji aku akan ganti semuanya, Kak. Aku akan cari kerja di Jakarta.”

“Masalah uang nggak perlu dipikirin, kamu bisa ganti ke aku kapanpun kamu bisa, yang penting kamu sembuh. Nanti aku akan bantu kamu cari kerja yang sesuai dengan kemampuan dan pendidikan kamu,” Ilana menjawab dengan tenang dan memilih kata sebaik mungkin agar Jingga tidak tersinggung, terutama masalah uang. “Ngomong-ngomong masalah part-time, artinya kamu ke jakarta sama sekali nggak pegang uang?”

Jingga menggeleng pelan. “Aku berusaha untuk nggak ambil uang dari ATM, karena bisa dilacak dan Ayah pasti mencoba melakukan hal itu. Jadi, aku hanya menggunakan sisa uang yang ada.”

“Hm... rupanya kamu bukan dari keluarga biasa, karena kalau kamu dari kalangan menengah kebawah, orang tuamu nggak akan memikirkan cara untuk mencari kamu sampai ke nomor mesin yang kamu gunakan. Prosedur itu terlalu merepotkan, apa lagi tanpa pelicin.” Ilana dengan mudah menarik kesimpulan.

“Apa semudah itu terlihat hanya dari sebuah pernyataan?”

“Akan konyol rasanya bila aku mempercayai kalau kamu hanya gadis dari kalangan biasa. Pihak mana yang mau repot-repot mencari orang sampai ke hal yang sedetil itu kecuali kamu berasal dari keluarga yang lumayan berada.”

“Kesimpulan Kakak membuatku takjub, sepertinya kakak juga bukan wanita sembarangan sampai bisa dengan mudah mengetahui celah dalam kalimatku,” puji gadis bersurai ikal, namun pujiannya terasa hambar karena nada yang datar.

“Yah, aku butuh waktu lama untuk bisa seperti ini. Segalanya harus dipelajari, kan?!” Jawab Ilana sambil asik mengupas apel. “Dimakan apelnya! Aku ngupas apel bukan untuk jadi pajangan doang lho! Kamu harus makan makanan yang bergizi.”

“Kenapa Kakak baik banget sama orang yang nggak dikenal? Kakak nggak takut kalau ternyata aku penipu dan membawa masalah dalam hidup Kakak juga calon suami Kak Ilana?”

“Kalau bilang nggak ada kekhawatiran sampai disana, pasti bohong, ya. Cuma aku ngerasa seandainya aku yang ada di posisi kamu, lalu nggak ada satupun orang yang peduli, bagaimana rasanya? Sudah pasti sakit banget, dong.”

Jingga tersenyum miris mendengar jawaban wanita cantik dihadapannya. Bulir kristal bening menetes perlahan menuruni pipi pucatnya, mengisyaratkan luka mendalam yang belum diungkapkan. 

“Seandainya...” hanya sebuah kata menggantung yang tidak pernah diselesaikan oleh Jingga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status