Langkah pelan Jingga memasuki sebuah pintu bangunan megah milik keluarga Dirgantara, iris gelapnya membelalak lebar tatkala melihat megahnya bangunan yang ia datangi. Gadis delapan belas tahun itu paham bila orang yang menolongnya berasal dari kalangan atas, tetapi ia tidak menyangka bila Agni dan Ilana lebih dari sekedar kalangan atas biasa.
“Untuk sementara kamu bisa tinggal disini, selama yang kamu inginkan!” ujar Agni“Kak, Mas. Kita nggak salah rumah, kan?” tanya Jingga lugu. Pasalnya keluarga Jingga memang keluarga berada, tetapi rumah yang sekarang ia masuki jelas depuluh kali lebih mewah dari yang Ayahnya miliki.Ilana dan Agni tersenyum mendengar kepolosan Jingga.“Nggak salah, kok. Rumah ini memang milik Agni dan Angkasa,” masih dengan tersenyum Ilana menjawab pertanyaan sang tamu yang mereka undang.“Angkasa?” gadis berusia delapan belas tahun tersebut kembali bertanya lantaran dirinya masih asing dengan nama yang Ilana sebutkan. “Angkasa itu siapa, Kak?”“Oh iya, aku lupa kalau kamu sama Angkasa belum pernah ketemu, bukan belum ketemu, sih. Tapi, pas Angkasa dateng ke rumah sakit, kamu masih nggak sadarkan diri. Jadi dia tahu kamu, cuma kau nggak tahu dia.” jelas Ilana panjang lebar.Agni hanya memandang lembut sang calon istri yang mulai berbicara panjang, pria berparas tampan itu menyukai bagaimana sang pujaan hati ketika mode cerewetnya keluar. Karena, selama ini Ilana hanya berbicara pada dirinya dan Angkasa, membuat sang gadis tidak bisa mengeluarkan naluri rumpinya.“Dari semua yang kamu katakan, tidak satupun yang menjadi jawaban atas pertanyaan Jingga, Sayang.”Ilana nyengir lebar pada sang calon suami tercinta. “Angkasa itu adiknya Mas Agni, usianya hanya berpaut dua tahun dari kamu.” jawabnya setelah kembali menatap Jingga.“Angkasa biasanya jam segini masih di kampus, lebih tepatnya dia memang jarang dirumah. Kalaupun pulang biasanya sudah larut malam, jadi selama di rumah kamu hanya akan berdua Ilana, Bu Fatma dan Pak Agus, lalu beberapa ART lain. Nanti Bu Fatma atau Ilana yang akan memperkenalkan mereka satu-persatu ke kamu.”“Maaf sebelumnya, Mas. Tapi, setelah lihat semua ini, lebih baik aku nggak perlu tinggal disini. Hm... aku akan cari kost murah saja buat tempat tinggal,” kata Jingga sungkan.Gadis manis bersurai ikal gelap kecoklatan tersebut memilih untuk mundur sebelum ia melibatkan orang-orang baik yang telah menolongnya dalam masalah hidupnya. Sekalipun Jakarta adalah kota besar, bukan jaminan bila Jingga tidak akan berjumpa dengan orang yang mengenalnya.“Apa masalahnya? Toh, rumah ini punya banyak kamar kosong yang bisa kamu pakai,” ujar sang pemilik rumah.Jingga tersenyum formal, pada Agni. “Aku nggak sanggup bayar kost di rumah semewah ini,” jawabnya realistis.“Aku nggak minta kamu untuk bayar kost. Lagi pula dengan adanya kamu di rumahku, Ilana jadi punya teman ngobrol. Kamu tahu kalau aku selalu sibuk dan jarang berada di rumah.”Gadis ikal tersebut hanya tersenyum, meski senyumannya tak sampai di mata.“Kurasa Kak Ilana bukan seorang wanita kuper yang kerjaannya hanya berada di dalam rumah, lalu jangan terlalu baik dan percaya pada orang tak dikenal, Mas. Apa lagi sampai memberikan fasilitas mewah seperti menginap tanpa sewa, orang terdekat saja bisa berkhianat, bagaimana dengan orang yang baru dikenal?”Jawaban diplomatis Jingga mengarah pada dua sisi, satu sisi memperingatkan Agni untuk tidak terlalu mudah mempercayai orang. Sedangkan di sisi lain, gadis itu memperingatkan dirinya sendiri untuk tidak mempercayai orang lain.‘Kepercayaan anak ini jelas rusak karena satu alasan, membuatnya tidak bisa mempercayai orang lain. Tetapi, apa?’ batin Agni bertanya-tanya akan sosok gadis yang lebih muda dari adik semata wayangnya. Manik jelaga Agni bersitatap dengan sang calon istri, Ilana hanya menggeleng masih belum memahami permasalahan yang sebenarnya.Agni yang terbiasa menilai seseorang dari gaya bahasa tubuh dan tatapan, ia bisa dengan mudah mengetahui maksud seseorang. Saat ini dalam pandangan pria dua puluh delapan tahun tersebut, ia melihat adanya penolakan dan ketidakpercayaan dari Jingga.“Dia benar-benar harus dibawa ke psikolog,” bisik Agni di telinga sang tunangan, berusaha berbicara dengan nada serendah mungkin agar tidak didengar oleh orang yang sedang dibicarakan.“Aku psikolog, Mas!” tandas Ilana pelan.“Oh iya, benar juga,” sahut sulung Dirgantara dengan wajah datar seperti tanpa dosa. “Ini sebenarnya dia minta kita untuk nggak sembarangan percaya atau dia meyakinkan diri sendiri untuk nggak percaya orang?” lanjut Agni masih dengan menyembunyikan bibir di surai Ilana.“Nggak paham, Mas. Aku belum tahu seberapa parahnya keadaan dia, mungkin setelah beberapa minggu aku baru bisa memberikan jawaban pasti ke kamu.”“Aku agak khawatir kalau harus ngelepas dia begitu aja seperti yang dia mau, takut kalau dia bunuh diri,” Ilana mengangguki pernyataan Agni mengenai pemikirannya.Pasangan tersebut bersikap seolah-olah mereka tengah bermesraan, menyembunyikan pembicaraan yang mereka lakukan.“Buat sementara, lebih baik kamu disini sampai pulih. Setelah Dokter Lexy dan aku menyatakan kamu benar-benar sudah pulih, kamu bisa pergi kemanapun yang kamu suka. Aku tidak akan melarangnya, dengan catatan kamu seratus persen sudah pulih.”“I was...”“No, you’re not!” belum selesai Jingga menyahut, Ilana lebih dahulu menyelanya. “Selama aku dan Dokter Lexy mengatakan kamu masih dalam pengawasan, artinya kamu belum seratus persen sembuh!” tegas tunangan Agni Kumbara Dirgantara tak mau dibantah.“Kalian membayar semua tagihan rumah sakit, kemudian menyediakan tempat tinggal untukku, lalu kalian masih juga memikirkan keadaan psikisku. Dan yang paling penting, kenapa kalian bisa dengan mudah mempercayaiku, sedangkan kalian tahu kalau sikapku mengatakan kebalikan dari yang kalian lakukan untukku?” Jingga menatap tak percaya pada kedua orang yang telah menolongnya. Bagaimanapun juga, kepercayaan gadis itu terhadap orang lain sudah lenyap karena masa lalunya.“Kamu mungkin nggak percaya pada kami saat ini, tetapi kami sedang berusaha membangun kepercayaan kamu pada kami. Mungkin, kepercayaan kamu sudah hancur hingga tidak bisa memberikan hal tersebut pada orang apa lagi pada orang lain terutama orang baru, hanya saja kami masih punya nurani untuk tidak melepasmu begitu saja tanpa tujuan di kota yang masih baru buat kamu,” jawab Ilana panjang.“Tapi, bagaimana bila aku tetap tidak bisa mempercayai kalian? Meskipun rasa tidak dipercayai tidak akan lebih menyakitkan dari pada dikhianati, namun tetap saja hal itu bukan sesuatu enak untuk dirasakan.”“Tidak penting bagi kami mau kamu nantinya percaya atau tidak, yang kami khawatirkan saat ini hanya kesehatan kamu!” tegas Agni tidak ingin dibantah.Jingga sedikit memahami maksud kalimat tajam pria yang telah menolongnya, sebab gadis yang belum lama lulus sekolah menengah atas tersebut berhenti membantah kata-kata sang tuan rumah.“Hanya sementara kamu disini, jika nantinya kamu nggak kerasan maka kami akan membantu kamu mencari tempat tinggal. Tentunya setelah kamu dianggap sehat betul,” kata Ilana mengalihkan suasana kaku yang terjadi.“Maaf, Kak. Aku hanya belum bisa mempercayai orang lain...,”“Mas Agni, Mbak Lana! Buat apa kalian mempertahankan gadis nggak tahu terima kasih seperti dia!” sergah sebuah suara bariton diikuti beberapa ketukan langkah yang mendekat.Angkasa datang bersama ketiga sahabatnya, Irfan, Sukma dan Karina. Jingga hanya terdiam menatap sosok pria yang belum dikenalnya. Tak ada antusiasme untuk berdebat, ia hanya diam seribu bahasa, enggan menanggapi.“Angkasa! Jaga mulutmu!” tegur Agni cepat mana kala melihat sang adik memasuki pintu rumah diikuti ketiga temannya yang lain. “Dia adalah tamu di rumah ini!” jelas sang Kakak.“Dia memang tamu, Mas. Sayangnya tamu nggak tahu diri! Sudah biaya rumah sakit dibayarin, makan enak, sampai diberikan tempat tinggal gratis, tapi mulutnya macam orang nggak berpendidikan, nggak tahu terima kasih!”“Kamu boleh saja nggak mempercayai Jingga, tapi aku dan Mbakmu percaya sama dia!” tegas sulung Dirgantara. Agni memang biasa memberikan panggilan yang menyatakan keluarga pada Ilana untuk Angkasa, karena Agni ingin bila calon istrinya dihormati seperti keluarga sendiri. Begitu berartinya Ilana bagi seorang Agni karena hanya wanita itu yang bisa ia sebut sebagai keluarga, orang yang menginginkan Agni sebagai Agni, bukan sebagai pewaris Dirgantara Group. “Jelas nggak percayalah, Mas. Dia sendiri saja nggak percaya kok sama kita, buat apa Mas Agni repot-repot ngebangun kepercayaan dia? Cuma buang-buang
Dari ruang kamar yang di datangi oleh Ilana dan Jingga, keduanya tak lagi mendengar perdebatan diantara kakak-beradik Dirgantara. Namun, Jingga masih bingung bagaimana harus mengambil sikap. “Maaf, ya. Bukan maksud aku melarang kamu untuk mengutarakan pendapat, hanya saja ketika Mas Agni dan Angkasa bertengkar, lebih baik jangan dipotong.”“Kenapa, Kak? Nggak baik yang namanya saudara bertengkar karena orang lain.”“Yang sedang Agni lakukan adalah mendidik adiknya, satu saat Angkasa akan paham alasan mengapa Agni melakukan semua itu.”“Mas Agni memiliki alasan untuk bertengkar dengan adiknya? Aku nggak paham maksudnya, Kak?!” tanya Jingga masih bingung.“Anak laki-laki berbeda dengan perempuan, Jingga. Mereka akan belajar dari sebuah pertengkaran, perselisihan dan perdebatan. Pengalaman memberikan makna tersendiri yang bisa membuat mereka memahami keadaan,” jelas Ilana lembut. “Pengalaman tidak serta merta membuat seseorang berubah menjadi dewasa, Kak. Kenyataannya hidup tidak semuda
Pandangan mata Jingga menatap sendu rintik hujan turun di luar sana. Jemari lentiknya dengan cekatan memotong beberapa sayuran untuk dijadikan menu makanan pagi ini. Bukan tak ada pelayan ataupun asisten rumah tangga yang bisa menyediakan makanan untuknya, Jingga hanya enggan merepotkan lebih dari yang telah ia dapatkan.‘Kenapa malah orang lain yang mempercayaiku tanpa syarat, bahkan sampai rela membawaku kerumah mereka dan memikirkan kesehatan psikologisku?! Harusnya, orang terdekatku yang memberikan kepercayaan, bukan malah orang tak dikenal,’ batin Jingga mengeluh dalam lamunan. “Oh ternyata cocok jadi asisten rumah tangga, toh! Aku kira seperti apa orang yang dipercaya Mas Agni?!” seru suara sinis mengejutkan Jingga yang tengah memotong sayuran.“Damn it!” hardik Jingga pada udara kosong seraya menghisap jarinya yang tergores. “Are you yelling at me?”“Kalau mau makan, kamu bisa duduk! Aku nggak punya waktu untuk melayanimu berdebat,” sahut gadis yang lebih muda dua tahun dari K
Sebulan berlalu sejak Jingga memasuki kediaman Dirgantara, sudah selama itu pula ia memiliki profesi sebagai juru masak di rumah tersebut. “Kamu yakin mau kerja, Jingga?” tanya Agni membuka pembicaraan saat makan malam berlangsung. “Memangnya jadi koki di rumah ini kurang buat kamu?” lanjutnya seraya menyuap makanan.“Jadi koki di rumah ini berbeda dengan bekerja di luar, Mas. Aku ingin pengalaman, bukan zona nyaman. Karena aku nggak mungkin untuk berpangku tangan terus,” sahut Jingga yakin. “Aku nggak terlalu masalah dengan kamu stay di rumah ini, kalau memang kamu perlu gaji aku juga bisa memberikan gaji yang sesuai pekerjaan kamu disini. Bu Fatma juga pasti senang.”“Biar sajalah, Mas. Hitung-hitung sekalian Jingga bergaul di luar, nggak ngeram di rumah. Kalau bisa malah aku maunya dia kuliah,” seloroh Ilana. Angkasa yang mendengar pembicaraan ketiganya hanya memutar mata, jengkel. Bisa-bisanya sang Kakak dan calon Kakak Iparnya lebih memperhatikan keadaan orang lain, tetapi tid
Di kediaman keluarga Baskoro, sosok wanita anggun berparas ayu yang berusia 47 tahun tengah mengeluarkan berkarung-karung mantra dan sumpah serapah yang ditujukan untuk sang suami. “Ayah! Ibu sudah nggak tahu lagi harus cari anak kita kemana, kalau Ayah nggak nemuin dia juga, lebih baik kamu nggak usah pulang kerumah!” ancam sosok keibuan dengan suara tinggi nyaring membentak sang suami yang berwajah kusut karena masih juga belum menemukan sang putri bungsu.“Sabar, Bu. Ayah ini sudah cari kesana kemari, juga sudah minta bantuan beberapa orang, Damar juga sudah Ayah hubungi mana tahu Jingga menyusul dia ke jakarta. Tapi, semua masih nihil. Aku juga sudah lapor polisi dan belum ada kabar lebih lanjut,” jawab Pak Dimas menjabarkan semua yang sudah dia lakukan pada sang istri yang masih tegangan tinggi.“Ini semua gara-gara harga dirimu yang terlalu kamu junjung tinggi itu, Mas! Jingga itu anakmu sendiri, kamu malah bisa-bisanya nggak percaya sama dia?!” cerca Ibu Mia. “Demi Tuhan, Mas!
“Apa sih istimewanya cewek itu sampai Mas Agni bela-belain buat berdebat sama aku?!” gerutu Angkasa.Sukma dan Irfan hanya bisa saling tatap mendengar gerutuan Angkasa, karena semenjak kedatangan Jingga di rumahnya, Angkasa menjadi lebih pemarah dan sering menggerutu.“Mbak Lana saja yang terlalu baik sama orang, karena pengaruh dia juga Mas Agni jadi seperti itu. Gara-gara cewek itu juga, Mas Agni jadi makin antipati ke aku, bikin jengkel!” sahut Karina memanasi Angkasa. Gadis itu tahu bagaimana caranya membuat masalah menjadi semakin runyam ketimbang sebaliknya.“Karin! Kamu nggak berhak menilai keluarga orang lain! Jangan menuang bahan bakar ke dalam api!” tegas Irfan memperingatkan.“Fan, apa yang aku katakan itu benar, Mbak Lana itu terlalu ngontrol Mas Agni. “Rin, bisa nggak kamu nggak jelek-jelekin Mbak Lana! Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia, jadi jangan seenaknya ngomong!” Tegur Angkasa. “Sorry,” sahut Karina menggigit bibir.Bagaimanapun juga Ilana adalah orang yang sanga
Jingga kembali ke kediaman Dirgantara dengan wajah sembab, saat memasuki pintu utama rumah besar tersebut gadis itu sama sekali tak membalas sapaan orang. Ia hanya berjalan lurus menuju kamarnya.“Non Jingga, kok sudah pulang?” tanya Bu Fatma selaku kepala pelayan di kediaman Dirgantara. Namun tidak mendapat jawaban apa-apa, sangat berbeda dari biasa.“Non!” panggil pelayan lain dengan hasil yang sama. “Bu, itu Non Jingga kenapa?” lanjut sang pelayan pada Bu Fatma.“Sejauh ini dari sudut pandang Ibu, Jingga itu anak yang tahu namanya sopan santun, pasti ada sesuatu yang nggak beres yang membuat dia jadi acuh. Coba kamu ke ruangan Non Lana, bilang sama dia kalau Non Jingga pulang sambil nangis!” perintah Bu Fatma.Sesuai perintah sang atasan, pelayan muda tersebut mendatangi Ilana untuk menyampaikan pesan dari Bu Fatma. Sedang, Jingga sudah berada di kamarnya, mengeluarkan tas dan pakaian dari lemari. “Jingga, kok kamu sudah pulang kerja?! Hari ini katanya kamu pulang jam empat?!” Jin
Suara tamparan keras terdengar menggema di seluruh ruang tamu kediaman Dirgantara. Semua mata terpana melihat pemandangan yang baru pertama kali mereka temui yaitu, Agni menampar Angkasa.“Astaga, Mas Agni!” jerit Ilana panik.Irfan, Karina dan Sukma juga terkejut melihat hal itu. Tak ada yang pernah mengira jika Agni akan menampar adik kesayangannya.“Kamu disekolahkan tinggi-tinggi bukan untuk menjadikan kamu sebagai sampah! Demi Tuhan, Angkasa! Mas tidak mendidik kamu untuk memperlakukan orang lain seperti binatang!” hardik Agni marah. “Mas Agni yang sudah nggak waras! Mas nampar aku demi membela wanita seperti dia?! Orang yang nggak jelas asal usulnya, dia bukan wanita baik-baik, Mas. Dia penjaja cinta!”Baru selesai Angkasa mengucapkan penghinaan, bersamaan itu pula Jingga menampar pria tampan berusia dua puluh dua tahun tersebut. Ilana sudah terkejut ketika Agni menampar Angkasa, namun melihat Jingga sendiri yang menampar calon adik iparnya membuat wanita dua puluh lima tahun it