Share

5

Langkah pelan Jingga memasuki sebuah pintu bangunan megah milik keluarga Dirgantara, iris gelapnya membelalak lebar tatkala melihat megahnya bangunan yang ia datangi. Gadis delapan belas tahun itu paham bila orang yang menolongnya berasal dari kalangan atas, tetapi ia tidak menyangka bila Agni dan Ilana lebih dari sekedar kalangan atas biasa.

“Untuk sementara kamu bisa tinggal disini, selama yang kamu inginkan!” ujar Agni

“Kak, Mas. Kita nggak salah rumah, kan?” tanya Jingga lugu. Pasalnya keluarga Jingga memang keluarga berada, tetapi rumah yang sekarang ia masuki jelas depuluh kali lebih mewah dari yang Ayahnya miliki.

Ilana dan Agni tersenyum mendengar kepolosan Jingga.

“Nggak salah, kok. Rumah ini memang milik Agni dan Angkasa,” masih dengan tersenyum Ilana menjawab pertanyaan sang tamu yang mereka undang.

“Angkasa?” gadis berusia delapan belas tahun tersebut kembali bertanya lantaran dirinya masih asing dengan nama yang Ilana sebutkan. “Angkasa itu siapa, Kak?”

“Oh iya, aku lupa kalau kamu sama Angkasa belum pernah ketemu, bukan belum ketemu, sih. Tapi, pas Angkasa dateng ke rumah sakit, kamu masih nggak sadarkan diri. Jadi dia tahu kamu, cuma kau nggak tahu dia.” jelas Ilana panjang lebar.

Agni hanya memandang lembut sang calon istri yang mulai berbicara panjang, pria berparas tampan itu menyukai bagaimana sang pujaan hati ketika mode cerewetnya keluar. Karena, selama ini Ilana hanya berbicara pada dirinya dan Angkasa, membuat sang gadis tidak bisa mengeluarkan naluri rumpinya.

“Dari semua yang kamu katakan, tidak satupun yang menjadi jawaban atas pertanyaan Jingga, Sayang.”

Ilana nyengir lebar pada sang calon suami tercinta. “Angkasa itu adiknya Mas Agni, usianya hanya berpaut dua tahun dari kamu.” jawabnya setelah kembali menatap Jingga.

“Angkasa biasanya jam segini masih di kampus, lebih tepatnya dia memang jarang dirumah. Kalaupun pulang biasanya sudah larut malam, jadi selama di rumah kamu hanya akan berdua Ilana, Bu Fatma dan Pak Agus, lalu beberapa ART lain. Nanti Bu Fatma atau Ilana yang akan memperkenalkan mereka satu-persatu ke kamu.”

“Maaf sebelumnya, Mas. Tapi, setelah lihat semua ini, lebih baik aku nggak perlu tinggal disini. Hm... aku akan cari kost murah saja buat tempat tinggal,” kata Jingga sungkan.

Gadis manis bersurai ikal gelap kecoklatan tersebut memilih untuk mundur sebelum ia melibatkan orang-orang baik yang telah menolongnya dalam masalah hidupnya. Sekalipun Jakarta adalah kota besar, bukan jaminan bila Jingga tidak akan berjumpa dengan orang yang mengenalnya.

“Apa masalahnya? Toh, rumah ini punya banyak kamar kosong yang bisa kamu pakai,” ujar sang pemilik rumah.

Jingga tersenyum formal, pada Agni. “Aku nggak sanggup bayar kost di rumah semewah ini,” jawabnya realistis.

“Aku nggak minta kamu untuk bayar kost. Lagi pula dengan adanya kamu di rumahku, Ilana jadi punya teman ngobrol. Kamu tahu kalau aku selalu sibuk dan jarang berada di rumah.”

Gadis ikal tersebut hanya tersenyum, meski senyumannya tak sampai di mata.

“Kurasa Kak Ilana bukan seorang wanita kuper yang kerjaannya hanya berada di dalam rumah, lalu jangan terlalu baik dan percaya pada orang tak dikenal, Mas. Apa lagi sampai memberikan fasilitas mewah seperti menginap tanpa sewa, orang terdekat saja bisa berkhianat, bagaimana dengan orang yang baru dikenal?”

Jawaban diplomatis Jingga mengarah pada dua sisi, satu sisi memperingatkan Agni untuk tidak terlalu mudah mempercayai orang. Sedangkan di sisi lain, gadis itu memperingatkan dirinya sendiri untuk tidak mempercayai orang lain.

‘Kepercayaan anak ini jelas rusak karena satu alasan, membuatnya tidak bisa mempercayai orang lain. Tetapi, apa?’ batin Agni bertanya-tanya akan sosok gadis yang lebih muda dari adik semata wayangnya. Manik jelaga Agni bersitatap dengan sang calon istri, Ilana hanya menggeleng masih belum memahami permasalahan yang sebenarnya.

Agni yang terbiasa menilai seseorang dari gaya bahasa tubuh dan tatapan, ia bisa dengan mudah mengetahui maksud seseorang. Saat ini dalam pandangan pria dua puluh delapan tahun tersebut, ia melihat adanya penolakan dan ketidakpercayaan dari Jingga.

“Dia benar-benar harus dibawa ke psikolog,” bisik Agni di telinga sang tunangan, berusaha berbicara dengan nada serendah mungkin agar tidak didengar oleh orang yang sedang dibicarakan.

“Aku psikolog, Mas!” tandas Ilana pelan.

“Oh iya, benar juga,” sahut sulung Dirgantara dengan wajah datar seperti tanpa dosa. “Ini sebenarnya dia minta kita untuk nggak sembarangan percaya atau dia meyakinkan diri sendiri untuk nggak percaya orang?” lanjut Agni masih dengan menyembunyikan bibir di surai Ilana.

“Nggak paham, Mas. Aku belum tahu seberapa parahnya keadaan dia, mungkin setelah beberapa minggu aku baru bisa memberikan jawaban pasti ke kamu.”

“Aku agak khawatir kalau harus ngelepas dia begitu aja seperti yang dia mau, takut kalau dia bunuh diri,” Ilana mengangguki pernyataan Agni mengenai pemikirannya.

Pasangan tersebut bersikap seolah-olah mereka tengah bermesraan, menyembunyikan pembicaraan yang mereka lakukan.

“Buat sementara, lebih baik kamu disini sampai pulih. Setelah Dokter Lexy dan aku menyatakan kamu benar-benar sudah pulih, kamu bisa pergi kemanapun yang kamu suka. Aku tidak akan melarangnya, dengan catatan kamu seratus persen sudah pulih.”

“I was...”

“No, you’re not!” belum selesai Jingga menyahut, Ilana lebih dahulu menyelanya. “Selama aku dan Dokter Lexy mengatakan kamu masih dalam pengawasan, artinya kamu belum seratus persen sembuh!” tegas tunangan Agni Kumbara Dirgantara tak mau dibantah.

“Kalian membayar semua tagihan rumah sakit, kemudian menyediakan tempat tinggal untukku, lalu kalian masih juga memikirkan keadaan psikisku. Dan yang paling penting, kenapa kalian bisa dengan mudah mempercayaiku, sedangkan kalian tahu kalau sikapku mengatakan kebalikan dari yang kalian lakukan untukku?” Jingga menatap tak percaya pada kedua orang yang telah menolongnya. Bagaimanapun juga, kepercayaan gadis itu terhadap orang lain sudah lenyap karena masa lalunya.

“Kamu mungkin nggak percaya pada kami saat ini, tetapi kami sedang berusaha membangun kepercayaan kamu pada kami. Mungkin, kepercayaan kamu sudah hancur hingga tidak bisa memberikan hal tersebut pada orang apa lagi pada orang lain terutama orang baru, hanya saja kami masih punya nurani untuk tidak melepasmu begitu saja tanpa tujuan di kota yang masih baru buat kamu,” jawab Ilana panjang.

“Tapi, bagaimana bila aku tetap tidak bisa mempercayai kalian? Meskipun rasa tidak dipercayai tidak akan lebih menyakitkan dari pada dikhianati, namun tetap saja hal itu bukan sesuatu enak untuk dirasakan.”

“Tidak penting bagi kami mau kamu nantinya percaya atau tidak, yang kami khawatirkan saat ini hanya kesehatan kamu!” tegas Agni tidak ingin dibantah.

Jingga sedikit memahami maksud kalimat tajam pria yang telah menolongnya, sebab gadis yang belum lama lulus sekolah menengah atas tersebut berhenti membantah kata-kata sang tuan rumah.

“Hanya sementara kamu disini, jika nantinya kamu nggak kerasan maka kami akan membantu kamu mencari tempat tinggal. Tentunya setelah kamu dianggap sehat betul,” kata Ilana mengalihkan suasana kaku yang terjadi.

“Maaf, Kak. Aku hanya belum bisa mempercayai orang lain...,”

“Mas Agni, Mbak Lana! Buat apa kalian mempertahankan gadis nggak tahu terima kasih seperti dia!” sergah sebuah suara bariton diikuti beberapa ketukan langkah yang mendekat.

Angkasa datang bersama ketiga sahabatnya, Irfan, Sukma dan Karina. Jingga hanya terdiam menatap sosok pria yang belum dikenalnya. Tak ada antusiasme untuk berdebat, ia hanya diam seribu bahasa, enggan menanggapi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status