“Pak, Bu, aku pamit ya. Terima kasih sudah menyambutku, terutama untuk restunya,” pamit Adelia pada Bu Maryam dan Pak Ahmad. Kedua orang tua David itu tampak menyunggingkan senyum.
“Bilang ke orang tuamu, Insya Allah hari minggu kami ke rumah untuk silaturahmi dan membicarakan rencana pernikahan kalian,” ujar Pak Ahmad saat Adelia menyalami dan mencium tangannya. Ia lalu mengusap lembut kepala Adelia.
“Jaga Mamamu ya, Nak. Jangan biarkan dia mikir yang enggak-enggak. Penyakit itu banyak yang datang dari pikiran.” Bu Maryam memeluk perempuan cantik berhijab di hadapannya erat sekali. Seolah menandakan bahwa ia mulai diterima menjadi bagian dari keluarga ini.
“Baik, Bu,” jawab Adelia singkat. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Adelia tersenyum lebar menatap wajah teduh Bu Maryam. Perempuan tua ini jauh lebih hangat dan bersahaja dari mamanya sendiri. Bersama suaminya mereka berdua punya tatapan dan senyum yang meneduhkan.
David berdiri di depan pintu mobilnya menunggu Adelia selesai menjalani prosesi pamitan yang begitu hangat dan romantis. Ia sendiri takjub melihat kehangatan yang bapak dan ibunya berikan pada Adelia. Ia bahkan merasa tak pernah diperlakukan sedemikian manis oleh kedua orang tuanya. Cukup lama ia memperhatikan tiap ekspresi dari tiga orang terdekatnya itu. Sungguh suatu hal yang amat menyejukkan mata.
David membunyikan klakson dan melambaikan tangan pada orang tuanya, juga Laras. Adelia melambaikan tangan sambil terus menyunggingkan senyum manisnya. Perlahan mobil yang mereka kendarai meninggalkan rumah sejuk dengan banyak kehangatan di dalamnya. Ada begitu banyak kesan manis tertinggal dalam benak pasangan ini.
“Alhamdulillah....”
“Iya, alhamdulillah Bapak dan Ibu welcome banget ke kamu, Del,” sahut David sambil menutup kaca mobil lewat konsol central lock.
“Aku kok ngerasa kaya udah jadi anggota keluargamu ya, Vid?” Adelia tersenyum sambil menatap kekasih di sebelahnya.
“Aku juga surprise, Del. Sama aku dan Laras Ibu nggak sebegitunya deh,” aku David membalas senyum Adelia sekilas lalu fokus lagi pada kemudinya. Adelia tertawa kecil, memperlihatkan gigi-giginya yang putih.
“Semoga jadi awal yang baik ya, Sayang. Aku seneng deh.”
“Iya, Ibu mesra banget sama kamu. Aku lumayan lama loh nunggu kamu pamitan tadi,” protes David.
“Ya gimana Ibu nggak lepas-lepasin aku....”
Beberapa detik mereka berdua terdiam. Mereka melewati jalan sebuah pasar yang padat sehingga David harus berkonsentrasi penuh. Di balik senyum manisnya, Adelia masih menyimpan rapat kata-kata dari Bu Maryam. Tentang syarat yang beliau ajukan dan mau tak mau ia sepakati. Meski Bu Maryam begitu hangat padanya, namun kecurigaan pada Adelia tetap pada posisinya.
“Ngobrol apa aja tadi sama Ibu? Hmm?” David kembali membuka dialog setelah jalanan padat di pasar itu dilewati.
“Banyak lah,”
“Ngomongin aku juga?” Adelia tersenyum.
“Kamu kenapa sih, Vid? Takut Ibu bilangin aibmu ya?” ledek Adelia. Ia pandang lekat-lekat wajah kekasihnya yang mulai memerah.
“Aib apa yang Ibu ceritain? Ngaku!” David mulai merasa tak nyaman sekaligus malu. Perasaan David tak enak sejak masih di rumah. Terlihat sekali dari tatapan Adelia tadi dan juga saat ini. Tatapan khas bully mode.
“Hape kamu bunyi tuh,” Adelia memonyongkan bibirnya ke arah gawai milik David di konsol tengah mobilnya. David meraih gawainya dengan tangan kiri. Panggilan dari Anjani. Astaga, apa yang harus David lakukan? Mengangkatnya atau membiarkannya? Lalu apa yang terjadi apabila Anjani terus menelponnya? “Kok nggak diangkat? Dari siapa sih?”
“Nggak usah diangkat deh, lagi nyetir ini,” kilah David.
“Nanti penting loh, dari siapa? Mau aku angkatin?”
“Eh, nggak usah. Ini cuma mahasiswa magang di sekolah. Aku pembimbingnya, lagian udah aku bilang kok aku lagi cuti,” terang David coba meyakinkan kekasihnya.
“Ya nggak ada salahnya dong angkat aja, bilang gitu masih nyetir. Kalo ada perlu suruh aja chat atau telepon lagi nanti.” Adelia setengah memaksa. David terdiam, yang ia pikirkan hanyalah riwayat pesan dan panggilan Anjani di gawainya. Akan runyam jadinya kalau Adelia sampai mengakses gawainya.
“Yaudah nanti kalo dia telpon lagi aku angkat deh, udah mati tuh telponnya,” bela David. Ia lalu meletakkan kembali gawainya di tempat semula. Adelia mengangguk, ia meraih gawai David dan coba mengaksesnya.
“Pinjem ya?”
“Pinjem tuh bilang dulu baru ngambil,” protes David. Adelia hanya menimpali dengan juluran lidah.
“Eh, kunci polanya masih sama....” Adelia tampak sumringah mendapati kunci pola gawai David buatannya dulu masih terus digunakan.
“Oh iya, buatanmu ya itu dulu,” sahut David seperlunya. Lelaki itu tersenyum di tengah kekhawatiran kalau-kalau Adelia menemukan sesuatu yang mencurigakan di gawainya.
“Ooh, namanya Anjani, kaya pernah dengar?” Adelia sibuk mengutak-atik gawai David. Jantung David berdegup kencang. Ia tak dapat memastikan apakah pesannya dengan Anjani mengandung kata-kata mesra atau tidak. “Anjani cantik ya, Vid?”
“Hah? Apa?”
“Ini dari foto profilnya si Anjani ini cantik juga,” ujar Adelia santai. David tercekat, ia tak tahu apa yang harus ia katakan. Benar dugaannya, Adelia pasti memeriksa riwayat pesannya. Sampai ia tahu foto Anjani. Untungnya ia tak sadar bahwa Anjani adalah tetangganya sendiri. “Hoki banget kamu dapat mahasiswa bimbingan cantik begini,” ledek Adelia.
“Apaan sih, Del. Mahasiswa bimbinganku bukan cuma dia kali, ada juga yang cowok.” Adelia hanya tertawa kecil melihat ekspresi David yang langsung berubah. Ia memang hanya menggoda. Tapi bagi David godaannya itu seperti mata pisau terhunus yang siap untuk menyerang. Dalam kondisi seperti saat ini tentu ia tak mampu mengelak jika memang Adelia mampu menyudutkannya soal hubungannya dengan Anjani.
“Wuih, ngajak makan siang lagi,”
“Adelia....”
“Eh, sebentar. Dia telepon lagi nih. Aku angkat ya? Halo....”
David tak bisa lagi berkilah. Ada apa sebenarnya dengan Anjani, mengapa ia menelepon saat seperti ini? Gadis itu sungguh berbeda, kebanyakan akan pergi bahkan memusuhi orang yang telah menyakitinya. Tapi ia justru bersikap seolah ia tak masalah diputuskan sepihak. Apa mungkin ia belum menemukan alasan yang masuk di akal mengapa David memutuskan hubungan?
“Halo, eum ... Kak Davidnya ada?” sayup-sayup terdengar oleh David suara Anjani dari seberang saluran telepon.
“Halo, Mbak Anjani ... Kak Davidnya lagi nyetir, bisa telepon lagi nanti? Atau kalo memang penting boleh chat aja?” jawab Adelia ramah.
“Oh,oke, Mbak. Maaf mengganggu, nanti saya telepon lagi aja. Terima kasih.”
“Terima kasih, Mbak Anjani.”
Telepon terputus, hampir bersamaan dengan hela napas lega David. Ia bersyukur Adelia begitu ramah mengangkat telepon dari Anjani. Anjani juga hanya berbicara singkat. Percakapan mereka bahkan tak lebih dari satu menit. Adelia masih menggenggam gawai David namun tak lagi mengaksesnya. Tak ada hal menarik di sana setelah ia mengangkat telepon dari mahasiswi magang bimbingan David tadi.
“Nah, beres kan? Jadi dia nggak nelponin terus,” timpal Adelia mantap.
“Iya iya. Oh iya, mau beli apa buat oleh-oleh nih?” tanya David sekaligus mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin Anjani terus menjadi topik pembicaraan. Selain tak nyaman, ia jadi merasa terancam. Ia menjadi lebih sering melirik ke arah Adelia. Mencoba memastikan calon istrinya itu masih dalam mood yang baik.
David menjadi lega saat Adelia mengembalikan gawai dan meletakkan di tempat semula. Perempuan berhijab itu lebih memilih kembali ke gawainya sendiri dan menyambungkannya ke music player. Lalu ia tampak asyik menikmati musik favoritnya. Menyanyikan lagu-lagu cinta dengan bahasa tubuh yang dipaksakan, namun mampu membuat mereka tertawa. Suasana yang telah lama David nantikan. Bersama Adelia sejenak melupakan pekerjaan, rencana pernikahan yang menguras pikiran, dan tentu saja melupakan Anjani.
Mobil LCGC David meluncur melintasi batas kota. Ini sudah hampir senja. Matahari bahkan sudah tak menampakkan wujudnya lagi. Sinar jingga itu sudah tidak memendar, terlihat dari spion tengah. Awan-awan kelabu bergulung kecil berderet membentang di sepanjang cakrawala. Adelia memandang wajah lelaki pujaannya yang tengah menyanyikan sebuah lagu cinta. Dari sisi sebelah kiri David, Adelia tersenyum bahagia. Sambil berharap kebersamaan ini akan terus hadir sampai beribu-ribu senja kemudian.
Pukul sembilan belas tiga puluh David meninggalkan rumah Adelia. Ia hanya mampir sebentar untuk sholat magrib dan berbincang beberapa hal hasil pertemuan dengan orang tuanya kepada orang tua Adelia. Lalu menolak dengan halus ajakan untuk makan malam bersama, dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini juga. Berjarak kurang lebih seratus meter, ia melewati rumah Anjani. Rumah yang tiga belas jam lalu ia singgahi, hanya sebentar namun menghasilkan air mata. Seseorang tengah duduk di kursi teras rumah Anjani. Tertunduk memeluk lutut dengan rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya. David memperhatikan sekilas, ia mengangkat kaki dari pedal gas mobilnya. "Siapa dia? Apa mungkin Anjani?" batin David. Ia lalu menghentikan mobilnya di depan rumah tetangga sebelah Anjani. 'Kamu di teras rumah, Jani?' pesan terkirim. Sesekali David menoleh ke belakang memperhatikan perempuan tadi. Tidak ada pergerakan. Pesannya tadi pun belum dibaca. Ah,
Satu jam baru saja terlewati. Sejak Anjani keluar dari mobil David dan berusaha melawan hawa dingin di parkiran hotel atas bukit. Tak banyak kata terucap dari kedua mulut insan yang saling mencinta tapi tak bisa bersatu ini. Menikmati junk food dan memanjakan mata dengan pendar lampu-lampu kota sudah cukup membuat hati anjani jauh lebih baik. sejenak ia lupakan dua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. David tak ada maksud apa pun selain memperbaiki suasana hati Anjani. Ia merasa bertanggung jawab atas yang terjadi pada gadis itu meski berisiko memberikan harapan semu. David berencana perlahan-lahan melepaskan diri dari Anjani sembari mempersiapkan pernikahannya dengan Adelia. Sungguh sebuah kenyataan yang berbanding terbalik dengan kondisinya beberapa hari lalu. Kini dua ada dua gadis yang menyerahkan hatinya untuk David. “Pulang yuk? Udah jam sembilan,” ajak David. Anjani menatap lekat-lekat lelaki di sampingnya. Lelaki itu bangkit dan merapikan s
“Lu kemana aja, Bro?”“Lah, ada Lu, Bro? Sejak kapan? Kok gue nggak liat Lu masuk?” David bangkit dari bean bag-nya.“Eee ... anak Pak Ahmad ngelawak. Lu yang dari tadi cengar-cengir depan hape. Sampe nggak nyadar gue masuk. Udah pipis segala gue di kamar mandi Lu. Kemana aja sih? Gue tiga kali kemari nggak ada orang melulu,” protes Andra.“Dih, hari gini ada teknologi namanya hape. Telpon lah! Kalo nggak ada pulsa bisa WA. Nggak ada kuota? Mampir aja bentar di warkop nebeng WIFI, susah amat idup Lu!” balas David.“Lah jomblo kaya Lu biasanya kalo nggak di kost-an ya di kerjaan kan?” seru Andra. Ia lalu mencari stop kontak tanpa penghuni untuk mengisi ulang baterai gawainya. David tak mempedulikan sahabatnya itu. Andra memang sudah biasa menganggap kostnya ini seperti kamar sendiri. Bahkan dulu saat belum dapat kost, ia tinggal bersama David selama beberapa minggu.
David menyisir rambutnya perlahan setelah mengaplikasikan gel rambut sebesar ibu jari. Sudah pukul enam empat puluh menit. Biasanya ia sudah dalam perjalanan menuju sekolah. Gara-gara Andra memaksa akhirnya hampir sepanjang malam David menceritakan dengan rinci mengapa ia bisa kembali pada Adelia dan segera akan menikah. Hal itu juga lah yang membuatnya sedikit terlambat bangun. Pemilik rambut ikal berkulit coklat itu masih terlelap karena baru tidur dini hari. Dia lulusan desain grafis yang memilih untuk menjadi pekerja lepas dari pada terikat seperti David. Di jaman serba digital ini kemampuannya banyak dibutuhkan. Ia terbiasa mengerjakan suatu projek sampai melupakan tidur namun ia akan tidur seharian bila projeknya telah selesai. Dari luar Andra tampak begitu tak teratur. Namun sesunguhnya ia adalah lelaki paling terjadwal yang dikenal David. “Bro ... bangun bentar!” David menyentuh ujung jari kaki Andra dengan kakinya yang sudah bersepatu. Andra menggeliat mereg
David mengemudikan mobilnya memasuki sebuah kompleks perkantoran berlantai empat. Seorang secutiry mengehentikan mobilnya dan menghampiri di sisi kanan mobil. Pria bertubuh tegap itu tampak membawa sebuah tongkat panjang dengan cermin cembung besar di bawahnya. David membuka kaca mobilnya. Pria itu memberikan hormat dan mengucapkan salam. David tak mendengar dengan jelas apa yang pria itu katakan. Tapi David paham bahwa ini adalah pemeriksaan sesuai prosedur komplek perkantoran ini.Security itu kemudian mengelilingi mobil David, memeriksa bagian bawah mobil menggunakan cermin cembung bertangkai itu. Setelah selesai, ia mempersilahkan David untuk masuk ke area parkir melalui lobi gedung. Adelia berkantor di lantai 3. Bekerja full time sebagai Customer Service Relationship di sebuah perusahaan asuransi membuat calon istrinya itu banyak beraktivitas di luar kantor. Bertemu dengan pihak-pihak terkait dari berbagai kalangan. Inilah yang sering dimanfaatkan sepas
Pukul tujuh belas lima menit, David sudah menunggu Adelia di parkiran gedung perkantoran yang tadi siang ia datangi. Para pekerja satu persatu sudah mulai meninggalkan kantor. Beberapa menghampiri pasangannya yang menunggu di parkiran sama seperti David. Ada yang tengah hamil, ada yang dijemput oleh suami dan anak-anaknya. Sebuah pemandangan yang membangkitkan harapan David akan kejadian masa depan yang mungkin akan dilaluinya bersama Adelia. Dari lobi gedung tampak Adelia keluar sambil membawa tas jinjing dan beberapa berkas dalam map berwarna biru. Ia tampak melambaikan tangan pada rekan kerjanya, lalu melangkah dengan ringan ke arah mobil David. Wajahnya masih segar seperti tadi siang. David menduga sebelum pulang ia merias ulang lagi riasannya. Sama seperti rekan guru David pada umumnya. “Udah lama ya?” ujar Adelia begitu membuka pintu. “Ah, enggak ... paling sepuluh menit,” jawab David sembari mengenakan sabuk pengaman. “Ini langung ke rumah atau kemana
Pukul dua puluh lewat empat puluh menit David pamit pulang. Pak Ruslan mengingatkan lagi tentang permintaannya menjadikan temu keluarga sekaligus proses lamaran. Bu Ratri dan Adelia mengantarkannya sampai ke teras. Calon ibu mertua David itu mengusap-usap bahu David seolah memberikan dukungan atas sikap dingin suaminya. Sekaligus menguatkan David agar tetap bersedia mendampingi putrinya.Lambaian tangan dan senyuman dua ibu dan anak itu mengakhiri makan malam tak nyaman David bersama calon mertuanya. Bau kerumitan kehidupan rumah tangga dalam hal hubungan dengan keluarga istri sudah tercium sejak dini. Seandainya dulu ia tidak menyerahkan sepenuhnya hal ini pada Adelia, mungkin ceritanya tak akan seperti ini. Mereka berdua seolah melompati sebuah proses untuk melewati proses lain yang lebih berat sebelum mencapai tujuan yang sama.David membelokkan mobilnya ke sebuah minimarket yang sering bersebelahan dengan kompetitornya. Minimarket franchise bermaskot lebah ini menj
[“Assalamualaikum, Bu. Sehat ya, Bu?”] sapa David setelah Laras memberikan sambungan telepon pada Ibunya. [“Wa’alaikumussalam ... Alhamdulillah sehat, Vid.”] [“Begini, Bu ... untuk sabtu ini aku dan Adelia minta ijin gimana kalo langsung lamaran aja, jadi cukup sekali aja Bapak dan Ibu ke sana. Terus kita datang lagi waktu akad,”] David mencoba merangkai kata sesopan mungkin agar Ibunya tak tersinggung. [“Kenapa, Vid? Apa yang terjadi sama Mamanya Adelia?”] suara Bu Maryam terdengar panik. [“Aku nggak tahu persis, Bu. Tapi ini permintaan orang tua Adelia, mungkin takut terjadi apa-apa. Infonya kondisi Mamanya beberapa hari ini kurang stabil.”] David dengan berat hati berbohong pada Ibunya. [“Ooh, kalo kami di sini nurut aja, Vid. Sebenarnya nggak ada istilah temu keluarga di keluarga kita dari dulu. Cuma kemarin kan kalian ke rumah bilangnya mau temu keluarga dulu, ya Bapak Ibu nurut aja. Ibu pikir itu adat keluarganya Adelia,”] terang Bu Mary