Share

Story David

Anjani bangkit, bantalnya basah oleh air mata. Kedua matanya masih terus mengalirkan cairan bening yang teriring dengan isak tertahan. Ia duduk bersila di atas tempat tidur dengan sprei merah muda favoritnya. Rambut yang belum lama tadi ia rapikan, sudah tidak beraturan lagi. Sebagian yang menjuntai ke wajah juga basah. Ia tampak begitu berantakan.

Gadis itu tak kunjung memahami mengapa hatinya begitu hancur. Padahal tak banyak yang pantas ia tangisi dari dua hari bersama David. Menurutnya tak ada hal istimewa selain momentum di atas motor semalam. Tapi setiap kali ia berpikir untuk tak peduli, air matanya justru semakin deras. Isaknya semakin menderu, seperti ada energi yang terus memaksanya untuk meratapi David. Sama seperti kemarin sampai akhirnya ia paksakan untuk mendatangi David di kostnya.

“Jani, kamu nggak kuliah? Udah bangun kan?” seru Ibu setelah mengetuk pintu kamar beberapa kali.

Anjani menarik napas panjang. Berusaha menetralkan suasana hatinya yang kacau. Ia seka air matanya di pipi. Ia tak ingin Ibunya tahu hal ini.

“Iya, Bu. Sebentar lagi Jani keluar,” seru Anjani parau. Emosinya masih begitu tampak dari suaranya yang bergetar.

“Ya udah, Ibu berangkat ya? Rumah kosong loh....”

“Iya, Bu.”

Setelah Bapak meninggal setahun lalu, Ibu bekerja di sebuah toko penyedia bahan kue. Anak tertuanya sudah berkeluarga, seringkali membantu dengan membelikan bahan pangan. Ia juga yang akhirnya membiayai kuliah Anjani. Namun tentu hal itu tidak cukup, harus ada penghasilan lain untuk mencukupi kebutuhan Ibu dan Anjani.

Tak lama terdengar suara pagar rumah ditutup dan dipasang grendelnya. Pukul delapan tiga puluh, sudah dua jam lebih Anjani menangisi David. Sesuatu yang jauh dari dalam hati ia tak menginginkan. Anjani berdiri di depan cermin, perlahan ia kenakan kacamata minusnya. Ia sungguh berantakan, kelopak matanya sudah memerah. Ia rapikan rambut dan mengikatnya ke belakang.

Gawainya bergetar, notifikasi pesan masuk. Ia lalu teringat hampir sepanjang malam ia mencoba menghubungi David. Tak pernah tersambung, sampai pagi-pagi ia datang dan memutuskan hubungan. Anjani meraih gawainya di atas meja belajar. Dua ibu jarinya bergerak lincah di atas keyboard virtual pada penyelia pesan.

“Kak ... sudah di sekolah? Nanti kita makan siang bareng ya? Bisa kan?” Anjani berhenti sejenak sebelum menekan tombol kirim. Ia berpikir, apakah pantas ia seperti ini. Ia bahkan tak tahu apa yang akan dibicarakan dengan David. Anjani menghapus draft pesannya. Namun saat ini ia sangat ingin bertemu dengan lelaki itu. Ia lalu melemparkan gawainya ke atas tempat tidur, lalu berjalan keluar dari kamarnya.

Anjani memukul kepalanya sendiri beberapa kali. Ia merasa bodoh dan hampir merendahkan dirinya sendiri. Putus cinta sudah beberapa kali ia alami, dan ia tak pernah merasa sebodoh dan senaif ini. Gadis itu terpekur di dapur rumahnya, tepat di depan lemari pendingin. Tangan kirinya menggenggam gelas kaca, tangan kanannya menggenggam handel pintu lemari pendingin. Beberapa detik ia tak bergerak, lalu ia kembali menuju kamar.

Anjani meraih gawai di atas tempat tidur yang semenit lalu ia lemparkan. Ia buka kunci pola gawainya. Diketiknya pesan untuk David sama persis seperti yang ia hapus tadi. Ia berhenti lagi, tatapan matanya kosong. Ada banyak keraguan di benaknya. Ia meneguk gelas yang ia genggam di tangan kiri. Ia baru ingat ia belum menuangkan air di dalamnya, ia tak bisa meneguk apa pun. Anjani menghela panjang napasnya.

Pesan singkat itupun terkirim. Anjani terus menatap layar gawainya menunggu balasan dari David, tak seperti orang yang baru saja disakiti hatinya. Tapi balasan yang ia tunggu-tunggu tak kunjung tiba. David terakhir online satu jam lalu, mungkin sedang mengajar di kelas. Anjani menggaruk-garuk kepalanya, ia seperti mencerna dulu apa yang akan dilakukan. Layar gawainya terus standby dari ia mengirim pesan tadi.

***

Pukul sembilan tiga puluh menit, Anjani memasuki halaman sekolah mengendarai sepeda motor maticnya. Satpam sekolah segera tersenyum dan menganggukkan kepalanya saat Anjani membunyikan klakson. Bila ada guru atau staff lain bertanya, ia bisa saja beralasan mengurus sesuatu di kampus. Alasan sakti yang amat jamak digunakan mahasiswa magang lainnya. Seratus persen berhasil tanpa resiko.

Anjani memarkirkan sepeda motor dan bergegas menuju ruang guru. Suasana sekolah ini tampak sepi karena kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Terdengar sayup-sayup suara guru tengah menjelaskan materi pelajaran dari ruang-ruang kelas yang tertutup. Beberapa siswa mengenakan jas laboratorium tampak membawa beberapa benda menuju laboratorium kimia. Mereka menyapa Anjani yang datang dari arah berlawanan.

Ruang guru begitu sepi. Tak ada satu pun aktivitas di dalamnya. Anjani meletakkan tasnya di meja, ada juga beberapa tas milik teman sesama mahasiswa magang di sana. Pandangannya mencari jejak David di meja kerjanya. Bersih, tak ada tanda-tanda penghuninya sudah datang. Ia buka gawainya, tak ada balasan pesan dari David. Bahkan pesannya tadi belum juga dibaca.

“Kak, nggak masuk kah hari ini?” Anjani mengirim pesan berikutnya. Hatinya menjadi tak tenang. Terakhir kali David tanpa kabar seperti ini, ia kemudian datang membawa keputusan yag menyakitkan. Apa sebaiknya ia telepon saja? Atau cari di kostnya seperti kemarin? Anjani memukul keningnya. Mengapa ia begitu peduli dengan David? Mengapa ia tidak bisa bersikap sewajarnya saja?

Gawainya bergetar, notifikasi pesan masuk. Dari David, pesan yang Anjani tunggu-tunggu. Anjani tersenyum lebar bahkan sebelum membaca isi pesannya. Jantungnya berdegup kencang. Raut wajahnya begitu berseri-seri sungguh berbeda dengan dua jam lalu saat waktu dihabiskannya untuk meratap.

Sorry, Jani. Kakak hari ini ijin nggak masuk kerja, ada urusan di kampung. Ada apa ya?” Anjani lega, pujaan hatinya baik-baik saja dan dari pesannya ia tak sedang menjalani hal yang buruk.

“Oh, kirain kenapa kok nggak ada di sekolah. Mau ngobrol aja sambil makan siang. Ya udah, Kak, maaf ganggu,” Anjani mengakhiri pesannya dengan emoji senyum. David sudah membaca dan tetap online, tapi tak membalas. Mungkin sudah tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasi dari Anjani.

Anjani sendiri tak memahami apa sebenarnya yang terjadi dengan perasaannya. Hatinya seperti dibolak-balik dan selalu berseberangan dengan logika. Beberapa kali ia alami hal tersebut hari ini. Secara logika seharusnya ia tak perlu menangisi David karena tak ada yang istimewa dari hubungan singkat mereka. Secara logika pula ia seharusnya tak perlu menghubungi David, karena tak ada urgensi untuk itu. Bahkan sekedar mengharapkannya lagi pun tak layak. Tapi semua yang dilakukannya berbanding terbalik dengan logika yang ia sadari sendiri.

Anjani masih sendiri di ruang yang cukup luas ini. Ia duduk di salah satu kursi dari deretan pasangan meja dan kursi membujur ke belakang beberapa banjar. Tak ada yang bisa ia lakukan di sini selain memainkan gawainya. Ia lalu membuka beberapa media sosial yang ia miliki. Beberapa unggahan story milik teman-teman dan akun publik yang ia ikuti. Ia membuka story milik David. Tampak video singkat yang diambil dari balik kemudi dengan latar lagu You-nya Ten 2 Five. Video berakhir saat seorang perempuan berhijab bersandar di bahu David.

Anjani terpekur, tatapan matanya kosong. Gawainya terus memainkan semua stories yang ada. Hanya video singkat yang ia lihat, tapi sakitnya di hati melebihi sakit diputuskan tadi pagi. Ia tidak ingin menangis di ruang ini. Sebentar lagi pasti para penghuninya akan tiba. Namun sekuat apa pun ia menahan, air matanya segera meluap.

Gadis itu bangkit, meraih gawai dan tasnya, lalu berjalan cepat menuju parkiran sepeda motor melewati koridor kelas yang cukup panjang. Di tempat itulah dulu David menyatakan cinta padanya. Ia menerima lalu seketika memutuskannya karena David masih menyayangi Adelia.

"Hah? Adelia? Apakah perempuan di story itu Adelia? Ya Tuhan, bahkan pria yang menculik David semalam juga menyebut nama Adelia," batin Anjani.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status