“Pipimu masih sakit, Vid?” Adelia membuka pembicaraan setelah mobil yang mereka kendarai melaju beberapa meter dari rumahnya.
“Lebam sih, sakit kalo kepegang aja,” jawab David singkat, matanya fokus ke depan.
“Maaf ya, aku sudah terlanjur kasih tahu Rangga, aku nggak nyangka kalo dia dan keluarganya langsung dateng buat batalin pertunangan.”
“Iya, jadi aku yang nanggung kebohonganmu kan?” ujar David kesal.
“Sayang, aku minta maaf. Aku nggak tahu harus pakai cara apa,” Adelia menatap wajah David yang mengemudi di sebelahnya. Jemarinya menggapai pipi kiri David yang jelas sekali lebam. Pria itu masih fokus pada kemudi mobilnya.
“Kamu berubah, Del. Kamu di luar ekspektasiku. Kebohonganmu ini benar-benar nggak kuduga,” tutur David datar. Emosinya terasa amat berbeda saat semalam pamit pulang dan saat datang menjemput beberapa menit lalu. “Apa lagi yang aku belum tahu, Del?” David meilirik sekilas kekasihnya yang amat diliputi rasa bersalah.
Adelia menarik napas panjang, pandangannya beralih pada jalan yang mereka tempuh. Dia sendiri tak mengerti mengapa ia bisa berbuat sejauh ini. Membuat keluarganya malu di hadapan keluarga Rangga, merendahkan dirinya sendiri dan membuat David menjadi kambing hitam atas kebohongannya.
“Mama tahu soal ini.” Adelia menatap David nanar.
“Ya, itu sudah kuduga. Cuma Mamamu yang tahu?”
“Ya, Papa dan Kak Bagas nggak tahu. Makanya mereka berdua mengasarimu,” jawab Adelia lugas, matanya sekilas bertemu dengan David. Lalu keduanya menatap jalanan lagi. Usahanya memohon hingga menyusun rencana kotor bersama mamanya tampak tak begitu berarti karena David mampu membacanya.
“Kok bisa Mamamu menyetujui kebohongan besarmu ini?”
“Panjang, Vid, ceritanya. Sebenarnya Mama nggak sreg sama Rangga. Perjodohan itu pun awalnya cuma candaan, tapi mamanya Rangga menganggapnya serius,” terang Adelia.
“Terus, apa yang kamu dan Mamamu katakan pada orang tuaku?”
“Ibumu curiga, Vid? Beliau nggak tahu kan kalo aku sempat bertunangan?” tanya Adelia. Ia merubah posisi duduknya, David kini benar-benar berada di hadapannya.
“Bukan soal itu, Ibu memang nggak tahu kalo kita putus dan kamu menerima pinangan orang lain. Tapi wajar kan seorang Ibu curiga tiba-tiba pacar anaknya minta dinikahin? Ditambah lagi aku nggak bisa dihubungi tadi malam,” terang David.
Adelia terkesiap, ia teringat peristiwa semalam. Bagaimana kakaknya begitu emosi mendengar pengakuan kehamilannya. Begitu marahnya papa mengetahui kenyataan putrinya dihamili orang lain padahal ia sebentar lagi menikah. Juga tamparan penuh emosi papanya di pipi David yang menyisakan lebam. Pasti perasaan orang tua David tak menentu, banyak spekulasi liar di kepala mereka.
“Lalu apa kata Ibu?”
“Ibu curiga aku menghamilimu, atau kamu hamil dengan orang lain dan minta pertanggung jawabanku. Karena ini begitu tiba-tiba, Del.”
“Astagfirullaaah...” Adelia mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Belum cukup rupanya ia harus merasa hina di hadapan keluarganya dan keluarga Rangga. Kini di keluarga David, ia harus merelakan dirinya terhina. Setelah semua hal yang ia lewati semalam, rupanya masih ada hal besar yang harus ia dan David lewati.
“Hmm ... yah, kita harus meyakinkan orang tuaku, terutama Ibu. Memangnya apa sih yang kamu bilang ke Ibu biar Ibu setuju?”
“Ooh, soal itu, aku bilang Mama sedang sakit keras dan ingin segera melihat anak-anaknya menikah. Di antara aku dan Kak Bagas, aku yang memungkinkan bisa lebih dulu.”
“Hah? Gila! Kamu yakin, Del? Menggunakan Mamamu untuk kebohongan?” nada suara David jadi meninggi. Adelia diam, ia sadar sekali ia berbohong maka akan lahir kebohongan lainnya.
“Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan, Vid. Mama pun setuju, dia nggak keberatan kujadikan alibi. Mama tuh ... udah sreg banget sama kamu,” Adelia menunduk, ia kesal. Pria di hadapannya itu seperti tak mengerti dengan jelas apa yang ia rasakan. Padahal dia adalah alasan mengapa ia sampai rela melakukan kebodohan besar seperti ini. Adelia berusaha mengontrol emosinya.
“Kamu sudah gila, Del. Besar banget kah cintamu buatku?” David menatap perempuan di sampingnya. Suaranya tadi begitu lirih, ia tak yakin Adelia mendengarnya dengan sempurna.
“Hah? Apa, Vid?”
“Ah, nggak. Kita mampir pom bensin dulu ya?” Adelia mengangguk, sebenarnya ia mendengar apa yang dikatakan David. Ia hanya ingin memvalidasinya. Andai David tahu, kini Adelia sudah tergila-gila padanya.
Mobil yang mereka kendarai memasuki area SPBU di perbatasan kota. Memposisikan diri pada jalur pertalite antrian paling belakang. Tak banyak, hanya tiga mobil menunggu untuk diisi tanki bahan bakarnya. David mengecilkan volume pemutar musik dari head unitnya. Suasana dalam mobil menjadi lebih sunyi. Mereka berdua dapat mendengar helaan napas masing-masing.
“Mau?” David menyodorkan permen penyegar napas dalam kotak kecil berwarna biru. Adelia menengadahkan tangannya. Tiga butir permen bergulir ke telapak tangannya. “Kamu cantik,” ujar David singkat.
“Hah?” Adelia tak melihat David tengah memperhatikannya.
“Cantik.”
“Siapa?”
“Kamu,” jawab David singkat sambil memasukkan kotak permen ke dalam saku hoodienya.
Adelia terdiam, wajahnya memerah. Ia masukkan satu persatu tiga butir permen ke dalam mulutnya. Dari ekor mata ia dapat melihat David masih memperhatikannya. Ya Tuhan, mengapa ia tak sanggup untuk membalas pandangan mata David? Ingin sekali ia bereaksi dengan alami dan santai. Tapi ia justru menahan senyum dan membenahi hijabnya meski baik-baik saja.
“Apa sih, Vid? Ngeliatnya gitu amat, nanti aku takut loh,”
“Kamu malu, Del? Kan udah sering aku bilang kamu cantik? Biasanya juga nyubit atau mukul.” David tersenyum melihat tingkah perempuan cantik di sampingnya ini.
“Ya ... boleh kan aku malu? Nggak tahu juga ini kenapa,” jawab Adelia setengah menggerutu. Entah mengapa ia menjadi salah tingkah.
“Ya boleh, aku cuma heran aja biasanya nggak pernah begini,” ujar David. Ia masih tidak percaya perempuan cantik ini sebentar lagi akan menjadi istrinya. Meski jalan yang mereka tempuh sudah pasti tidak baik dan tidak mudah.
***
Mobil David berhenti di depan rumah dengan halaman luas berpagar tanaman. Rumah sederhana dengan gaya bangunan lama dengan banyak bukaan sirkulasi udara. Pohon mangga besar di sisi kanan rumah dan rumput hijau yang terpangkas rapi membuat rumah ini begitu teduh. David turun dari mobilnya diikuti Adelia. Dari dalam rumah muncul gadis remaja berambut panjang menyambut mereka berdua.
“Assalamualaikum....”
“Wa’alaikumussalam....” Laras menghambur ke arah kakaknya sembari memberi senyum pada Adelia. Ia kemudian menyalami dan mencium tangan David. Lalu menyalami dan memeluk Adelia.
“Bapak Ibu kemana, Ras?” tanya David sambil menurunkan dua buah kantung plastik buah tangan untuk orang tuanya.
“Bapak masih di ladang, Mas. Kalo Ibu ada di dalam,” jawab Laras dalam dekapan Adelia.
“Duh, kalian ini berapa lama sih nggak ketemu? Nempel melulu,” gerutu David. Laras dan Adelia menatap satu sama lain dan tertawa. Ada kebahagiaan tersendiri terpancar dari mereka berdua. Laras bertemu kakak perempuan dan Adelia bertemu adik, dua orang yang sama-sama tak mereka punyai. “Nih, bawa ke dalam. Ada juga buatmu.” David menyodorkan buah tangan pada Laras.
Laras meraih dua buah kantung plastik dari kakaknya, lalu mendahului mereka masuk ke dalam rumah. David dan Adelia saling berpandangan, keduanya tersenyum. David merangkul pundak kekasihnya itu dan membimbingnya masuk.
“Eh, sudah sampai ini calon pengantin.”
“Ibu, sehat?” David menyalami dan memeluk ibunya.
“Alhamdulillah Ibu sehat, Nak.” Bu Maryam melepaskan pelukan David dan memandang Adelia dengan senyuman penuh arti.
“Kalau sama kamu sudah puas Ibu. Ibu mau meluk yang cantik ini,” gurau Bu Maryam lalu menghampiri Adelia.
Adelia mencium tangan perempuan tua dengan tengkuluk di kepalanya itu. Bu Maryam tersenyum dan membelai wajah calon istri anaknya itu. Dipeluknya Adelia erat, seperti menyambut kedatangan seorang anak yang pulang dari rantau. Adelia tersipu, ia merasa dikagumi dan dirindukan pada saat yang sama. Untuk sementara ia tak memikirkan kecurigaan Bu Maryam padanya.
“Bu, anaknya yang mana sih? Yang ini apa yang itu?” protes David melihat kemesraan Ibunya dengan Adelia.
“Kamu cemburu? Sebentar lagi Adelia juga jadi anak Ibu. Ya kan, Del?” Bu Maryam melepaskan pelukannya.
“Tahu nih, David,” ledek Adelia masih dalam rangkulan calon ibu mertuanya itu. David berlalu dari hadapan dua perempuan paling ia cintai, membiarkan mereka berdua saling memahami dan mendekatkan diri. Waktu yang singkat ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Bu Maryam masih merangkul Adelia yang tampak nyaman berdekatan dengannya. Perempuan tua itu tak tahu harus mulai dari mana untuk membicarakan hal semalam. Mengharapkan kedatangan suaminya sama halnya dengan hanya mengulur waktu saja. Lelaki yang sudah empat puluh tahun bersamanya itu selalu menyerahkan hal seperti ini padanya. Selain tak pandai menyusun kata-kata, Pak Ahmad selalu mempercayai istrinya.
“Ibu, terima kasih sudah mau ngerti kondisi kami. Terima kasih sudah ngijinin David menikahiku. Maaf kalau mendadak, kami nggak punya pilihan lain,” ujar Adelia membuka pembicaraan. Bu Maryam tersenyum, Allah membukakan jalan untuknya. Adelia lah yang memulai.
“Kalo Ibu sih, terserah anaknya saja. Kan kalian yang mau menjalani hidup rumah tangga,” jawab Bu Maryam diplomatis.
“Minta bimbingannya ya, Bu. Aku pasti butuh nasihat, saran dan arahan Ibu untuk jadi istri yang baik buat David.” Adelia menatap wajah Bu Maryam yang tampak begitu teduh.
“Pasti, Nak. Itu sudah tugas kami para orang tua. Oh iya, Ibu boleh minta sesuatu?”
“Apa itu, Bu?”
“Eum ... begini, maaf sebelumnya. Ibu tak ingin berprasangka buruk, tapi bolehkah Ibu mengajukan satu syarat?” Bu Maryam melepaskan tangannya dari tubuh Adelia.
“Syarat? Maksudnya, Bu?”
“Begini, kalau jarak tanggal pernikahan kalian dengan tanggal kamu melahirkan anak pertama kurang dari sembilan bulan, maka Ibu minta kalian harus mempertimbangkan lagi pernikahan kalian.” Adelia terdiam. Batinnya tersentak, harga dirinya jatuh remuk berkeping-keping. Perlakuan Bu Maryam yang begitu hangat sama sekali tak mencerminkan isi hatinya. Perempuan tua sederhana ini sungguh merupakan lakon handal, lebih handal dari sandiwara Adelia dan ibunya.
“Ibu....”
Anjani bangkit, bantalnya basah oleh air mata. Kedua matanya masih terus mengalirkan cairan bening yang teriring dengan isak tertahan. Ia duduk bersila di atas tempat tidur dengan sprei merah muda favoritnya. Rambut yang belum lama tadi ia rapikan, sudah tidak beraturan lagi. Sebagian yang menjuntai ke wajah juga basah. Ia tampak begitu berantakan. Gadis itu tak kunjung memahami mengapa hatinya begitu hancur. Padahal tak banyak yang pantas ia tangisi dari dua hari bersama David. Menurutnya tak ada hal istimewa selain momentum di atas motor semalam. Tapi setiap kali ia berpikir untuk tak peduli, air matanya justru semakin deras. Isaknya semakin menderu, seperti ada energi yang terus memaksanya untuk meratapi David. Sama seperti kemarin sampai akhirnya ia paksakan untuk mendatangi David di kostnya. “Jani, kamu nggak kuliah? Udah bangun kan?” seru Ibu setelah mengetuk pintu kamar beberapa kali. Anjani menarik napas panjang. Berusaha menetralkan suasana hatinya y
“Pak, Bu, aku pamit ya. Terima kasih sudah menyambutku, terutama untuk restunya,” pamit Adelia pada Bu Maryam dan Pak Ahmad. Kedua orang tua David itu tampak menyunggingkan senyum. “Bilang ke orang tuamu, Insya Allah hari minggu kami ke rumah untuk silaturahmi dan membicarakan rencana pernikahan kalian,” ujar Pak Ahmad saat Adelia menyalami dan mencium tangannya. Ia lalu mengusap lembut kepala Adelia. “Jaga Mamamu ya, Nak. Jangan biarkan dia mikir yang enggak-enggak. Penyakit itu banyak yang datang dari pikiran.” Bu Maryam memeluk perempuan cantik berhijab di hadapannya erat sekali. Seolah menandakan bahwa ia mulai diterima menjadi bagian dari keluarga ini. “Baik, Bu,” jawab Adelia singkat. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Adelia tersenyum lebar menatap wajah teduh Bu Maryam. Perempuan tua ini jauh lebih hangat dan bersahaja dari mamanya sendiri. Bersama suaminya mereka berdua punya tatapan dan senyum yang meneduhkan. David berdiri di depan pintu
Pukul sembilan belas tiga puluh David meninggalkan rumah Adelia. Ia hanya mampir sebentar untuk sholat magrib dan berbincang beberapa hal hasil pertemuan dengan orang tuanya kepada orang tua Adelia. Lalu menolak dengan halus ajakan untuk makan malam bersama, dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini juga. Berjarak kurang lebih seratus meter, ia melewati rumah Anjani. Rumah yang tiga belas jam lalu ia singgahi, hanya sebentar namun menghasilkan air mata. Seseorang tengah duduk di kursi teras rumah Anjani. Tertunduk memeluk lutut dengan rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya. David memperhatikan sekilas, ia mengangkat kaki dari pedal gas mobilnya. "Siapa dia? Apa mungkin Anjani?" batin David. Ia lalu menghentikan mobilnya di depan rumah tetangga sebelah Anjani. 'Kamu di teras rumah, Jani?' pesan terkirim. Sesekali David menoleh ke belakang memperhatikan perempuan tadi. Tidak ada pergerakan. Pesannya tadi pun belum dibaca. Ah,
Satu jam baru saja terlewati. Sejak Anjani keluar dari mobil David dan berusaha melawan hawa dingin di parkiran hotel atas bukit. Tak banyak kata terucap dari kedua mulut insan yang saling mencinta tapi tak bisa bersatu ini. Menikmati junk food dan memanjakan mata dengan pendar lampu-lampu kota sudah cukup membuat hati anjani jauh lebih baik. sejenak ia lupakan dua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. David tak ada maksud apa pun selain memperbaiki suasana hati Anjani. Ia merasa bertanggung jawab atas yang terjadi pada gadis itu meski berisiko memberikan harapan semu. David berencana perlahan-lahan melepaskan diri dari Anjani sembari mempersiapkan pernikahannya dengan Adelia. Sungguh sebuah kenyataan yang berbanding terbalik dengan kondisinya beberapa hari lalu. Kini dua ada dua gadis yang menyerahkan hatinya untuk David. “Pulang yuk? Udah jam sembilan,” ajak David. Anjani menatap lekat-lekat lelaki di sampingnya. Lelaki itu bangkit dan merapikan s
“Lu kemana aja, Bro?”“Lah, ada Lu, Bro? Sejak kapan? Kok gue nggak liat Lu masuk?” David bangkit dari bean bag-nya.“Eee ... anak Pak Ahmad ngelawak. Lu yang dari tadi cengar-cengir depan hape. Sampe nggak nyadar gue masuk. Udah pipis segala gue di kamar mandi Lu. Kemana aja sih? Gue tiga kali kemari nggak ada orang melulu,” protes Andra.“Dih, hari gini ada teknologi namanya hape. Telpon lah! Kalo nggak ada pulsa bisa WA. Nggak ada kuota? Mampir aja bentar di warkop nebeng WIFI, susah amat idup Lu!” balas David.“Lah jomblo kaya Lu biasanya kalo nggak di kost-an ya di kerjaan kan?” seru Andra. Ia lalu mencari stop kontak tanpa penghuni untuk mengisi ulang baterai gawainya. David tak mempedulikan sahabatnya itu. Andra memang sudah biasa menganggap kostnya ini seperti kamar sendiri. Bahkan dulu saat belum dapat kost, ia tinggal bersama David selama beberapa minggu.
David menyisir rambutnya perlahan setelah mengaplikasikan gel rambut sebesar ibu jari. Sudah pukul enam empat puluh menit. Biasanya ia sudah dalam perjalanan menuju sekolah. Gara-gara Andra memaksa akhirnya hampir sepanjang malam David menceritakan dengan rinci mengapa ia bisa kembali pada Adelia dan segera akan menikah. Hal itu juga lah yang membuatnya sedikit terlambat bangun. Pemilik rambut ikal berkulit coklat itu masih terlelap karena baru tidur dini hari. Dia lulusan desain grafis yang memilih untuk menjadi pekerja lepas dari pada terikat seperti David. Di jaman serba digital ini kemampuannya banyak dibutuhkan. Ia terbiasa mengerjakan suatu projek sampai melupakan tidur namun ia akan tidur seharian bila projeknya telah selesai. Dari luar Andra tampak begitu tak teratur. Namun sesunguhnya ia adalah lelaki paling terjadwal yang dikenal David. “Bro ... bangun bentar!” David menyentuh ujung jari kaki Andra dengan kakinya yang sudah bersepatu. Andra menggeliat mereg
David mengemudikan mobilnya memasuki sebuah kompleks perkantoran berlantai empat. Seorang secutiry mengehentikan mobilnya dan menghampiri di sisi kanan mobil. Pria bertubuh tegap itu tampak membawa sebuah tongkat panjang dengan cermin cembung besar di bawahnya. David membuka kaca mobilnya. Pria itu memberikan hormat dan mengucapkan salam. David tak mendengar dengan jelas apa yang pria itu katakan. Tapi David paham bahwa ini adalah pemeriksaan sesuai prosedur komplek perkantoran ini.Security itu kemudian mengelilingi mobil David, memeriksa bagian bawah mobil menggunakan cermin cembung bertangkai itu. Setelah selesai, ia mempersilahkan David untuk masuk ke area parkir melalui lobi gedung. Adelia berkantor di lantai 3. Bekerja full time sebagai Customer Service Relationship di sebuah perusahaan asuransi membuat calon istrinya itu banyak beraktivitas di luar kantor. Bertemu dengan pihak-pihak terkait dari berbagai kalangan. Inilah yang sering dimanfaatkan sepas
Pukul tujuh belas lima menit, David sudah menunggu Adelia di parkiran gedung perkantoran yang tadi siang ia datangi. Para pekerja satu persatu sudah mulai meninggalkan kantor. Beberapa menghampiri pasangannya yang menunggu di parkiran sama seperti David. Ada yang tengah hamil, ada yang dijemput oleh suami dan anak-anaknya. Sebuah pemandangan yang membangkitkan harapan David akan kejadian masa depan yang mungkin akan dilaluinya bersama Adelia. Dari lobi gedung tampak Adelia keluar sambil membawa tas jinjing dan beberapa berkas dalam map berwarna biru. Ia tampak melambaikan tangan pada rekan kerjanya, lalu melangkah dengan ringan ke arah mobil David. Wajahnya masih segar seperti tadi siang. David menduga sebelum pulang ia merias ulang lagi riasannya. Sama seperti rekan guru David pada umumnya. “Udah lama ya?” ujar Adelia begitu membuka pintu. “Ah, enggak ... paling sepuluh menit,” jawab David sembari mengenakan sabuk pengaman. “Ini langung ke rumah atau kemana