Setelah dua minggu pasca pemulihan Ibu, aku memutuskan untuk segera ke kota. Bu Inah terus-terusan menelepon, menanyakan kapan aku akan ke sana.
Aku naik kereta menuju ke ibu kota Jakarta. Melambaikan tangan ke arah Ibu dan Andy. Mereka mengantarku sampai ke stasiun. Senyum paksa terpatri di bibir ini. Jujur, aku berat meninggalkan Ibu sendirian. Namun, aku harus menyelidiki kasus kematian Kak Nayla juga membayar utang operasi.Dengan matanya yang berkaca-kaca, Ibu menatap putri bungsunya ini yang perlahan menjauh dibawa kereta."Cepatlah kembali, Nil. Hati-hati!" Berulang kali Ibu mengatakan hal itu tadi. Sedari di rumah sampai aku menjauh dibawa oleh kereta.Andy merangkul Ibu, lalu mereka pergi dari stasiun.Aku menarik napas dalam-dalam, lalu meniup poni hingga tersibak. "Semangat, Nilfan! Demi Ibu, demi Kak Nayla!" ucapku menguatkan diri agar tidak mewek.Ini pertama kalinya aku keluar kota. Sedari kecil, aku selalu di samping Ibu, bermanja-manja dengannya. Namun, sekarang aku harus bekerja menjadi ART.Apakah aku bisa? Nilfan yang selalu malas bekerja di rumahnya, apakah dia akan mampu bekerja sebagai ART? Nilfan yang selalu semaunya, apakah dia bisa diperintah ini itu.Aku mengembuskan napas kasar, membayangkan serumit apa nanti pekerjaan yang harus ditempuh.****Selang beberapa jam, akhirnya aku menginjakan kaki di ibu kota Jakarta. Bu Inah menjemputku di stasiun. Sebelumnya aku sudah memberitahu bahwa akan tiba di Jakarta hari ini.Dengan menaiki mobil milik majikannya, kami mulai meluncur ke kediaman di mana tempat Bu Inah bekerja.Awalnya aku pikir kami akan naik ojek atau angkot, tetapi ternyata Bu Inah membawa mobil dari rumah majikannya yang dikendarai oleh pria seumuran dirinya. Mobil tersebut sangat nyaman diduduki."Bagaimana perjalanan kamu dari kampung ke kota, Nil? Aman?" tanya Bu Inah basa-basi."Hmm." Aku hanya mengangguk meresponnya."Oh iya, kenalin, Nil, yang itu namanya Pak Aji, sopirnya Tuan Besar." Bu Inah memperkenalkan pria paruh baya yang bernama Pak Aji tersebut.Aku mengangguk sopan, sedangkan pria itu menoleh sekilas ke belakang tersenyum kepadaku."Kamu pasti akan betah bekerja di sana. Tuan dan Nyonya, orangnya sangat baik." Bu Inah memuji majikannya."Di saat pamit untuk menjemputmu di stasiun tadi, Tuan Besar langsung meminta Pak Aji untuk mengantarkan Bibi ke stasiun menjemputmu," lanjutnya."Terima kasih."Hanya kata itu yang mampu kukeluarkan. Aku tidak tahu harus bicara apa. Hanya ingin segera sampai ke rumah itu dan secepatnya mengetahui di balik kematian Kak Nayla. Aku sangat yakin, salah satu penghuni orang di rumah itu terlibat dengan hilangnya nyawa Kak Nayla!****Aku memandang rumah megah bernuansa putih dengan pilar-pilar tinggi di bagian depan bangunannya. Memindai bangunan berlantai dua tersebut dengan tajam, karena tempat inilah, Kak Nayla kehilangan nyawanya.Seorang kakak yang mencari uang demi ingin mewujudkan impian adiknya menjadi polwan, tetapi ia malah tiada di tempat kerjanya. Sekarang, tidak akan ada lagi yang terwujud. Baik keinginan Kak Nayla atau impianku. Semua lenyap dibawa oleh kepergian Kak Nayla."Ayo, Nilfan, kita masuk!" Bu Inah menepuk lengan ini, menyadarkanku dari lamunan.Aku mengambil tas di dalam mobil, tetapi Pak Aji mendahului. "Biar saya saja yang bawa tasnya, Neng," ucapnya seraya tersenyum."Enggak perlu, saya bisa sendiri!"Aku mengambil tasku kembali. Dia pun memberikan dengan terpaksa.Aku dan Bu Inah mulai melangkah masuk ke rumah megah tersebut. Sesampainya di teras, kami berbelok ke samping. Tidak melewati pintu utama. Kata Bu Inah, kami akan masuk lewat pintu belakang alias dapur.Selama memutari rumah besar ini, mataku dimanjakan oleh bunga-bunga yang ada di taman samping rumah. Begitu sangat cantik dan tertata rapi.Setelah melewati taman bunga itu, aku melihat kolam renang yang sangat besar. Aku bergidik ngeri melihat luas kolam tersebut, bagaimana jika ada orang tenggelam di sana?'Halaman rumah ini benar-benar sangat luas. Pantas saja mereka membutuhkan tambahan ART,' batinku mengagumi kemegahan rumah tersebut."Nah, tugas kamu di setiap paginya ialah, rawat tanaman Nyonya sama ngepel lantai. Setelah itu, baru kamu bantu-bantu Bibi di dapur. Paham, Nil?"Sesampainya di dapur, Bu Inah memberitahukan apa tugasku."Ba-baik, Bi." Aku mengangguk skeptis. Berat sekali tugasnya untuk aku yang pemalas ini."Ya sudah, sana kamu istirahat dulu. Pasti kamu capek, 'kan, sehabis perjalanan jauh?" tanya Bu Inah, "lagi pula, jam segini semua orang rumah pada keluar. Sebentar magrib, baru kamu mulai bantu Bibi masak di dapur.""Emm, kamarku di mana, Bi?" tanyaku sungkan."Oh iya, Bibi lupa, kamu kamarnya bekas kamar kakakmu dulu. Kebetulan, semua barang-barangnya belum ada yang dibuang. Siapa tau saja ada yang mau kamu ambil atau pakai."Bu Inah segera mengantarkanku ke kamar bekas peninggalan Kak Nayla.Kami melewati ruang keluarga yang begitu luas dengan sofa-sofa besar berwarna gold. Di sudut bawah tangga sana, terdapat beberapa botol minuman alkohol terpajang rapi. Lengkap dengan kursi tinggi serta meja panjangnya.Kami ke arah samping rumah, kembali melewati kolam renang yang besar tadi. Lantas, sedikit menyusuri koridor. Dari arah jam tiga, terdapat dua pintu berwarna cokelat."Nah, ini kamar kamu, Nil. Dan itu kamar Bibi." Bu Inah menunjuk satu persatu kamar. "Sudah, sana istirahat dulu!" lanjutnya, lalu pergi dari hadapan.Bu Inah lumayan ramah orangnya. Aku sedikit menyukainya.Aku masuk ke ruangan yang besarnya sekitar 5×5 meter itu. Hm, sedikit lebih luas dibanding dengan kamarku di kampung.Aku membuka sweater kuning yang sedari tadi membungkus tubuh, menyisakan tanktop di tubuh ini.Ternyata, hawa di desa dan kota sangat berbeda jauh. Di desa, aku sangat nyaman memakai sweater ini. Bisa melindungiku dari dingin yang menerpa, tetapi di kota? Aku sangat kegerahan memakai sweater."Masih pukul tiga, aku akan tidur sebentar."Setelah melihat jam di ponsel, aku merebahkan tubuh di ranjang berwarna biru muda itu. Warna kesukaan Kak Nayla.Sontak saja, wangi tubuh Kak Nayla menguar ke udara. Wangi tubuhnya menempel pada ranjang yang kutiduri ini. Aku merasa Kak Nayla berada di dekat sini, mendekapku dalam kehangatannya. Perlahan, kantuk mulai menyerang.****Aku menggeliat, merenggangkan otot-otot tubuh. Rasanya tubuh begitu segar setelah bangun tidur. Aku mengucek mata sembari menyalakan ponsel, melihat jam berapa sekarang."Hah! Jam sembilan malam!" pekikku dengan mata melotot.Sontak aku menyambar sweater, memakainya kembali. Lantas, bergegas keluar kamar. Menuju ke dapur. Bu Inah pasti akan sangat marah sekali denganku. Memang, selama beberapa hari ini aku kurang tidur, karena terus-terusan kepikiran oleh kematian Kak Nayla. Ini untuk pertama kalinya aku tertidur nyenyak.Sesampainya di ruang keluarga, terlihat lampunya dipadamkan, begitu pun juga dengan ruang dapur sana. Rumah juga terlihat sangat sepi."Apa Bu Inah dan orang-orang di rumah ini sudah tidur?" gumamku bertanya-tanya.Hendak kembali ke kamar, tetapi perut berbunyi, meminta untuk diisi. Aku memberanikan diri ke dapur.Sesampainya di dapur, dalam keremangan, aku melihat seseorang sedang membuka pintu kulkas. Mengambil beberapa makanan di dalamnya.'Pencuri!' pikirku."Pencuri ... pencuri ... pencuri ...!" Aku berteriak keras.Sontak orang itu terkejut dan berlari ke arahku. Aku menyambutnya dengan bogem mentah di wajah."Aoww!" Dia mengaduh sembari membungkuk.Aku mencengkeram lengannya, ingin melayangkan pukulan lagi.Tiba-tiba lampu dinyalakan oleh seseorang. Mataku melotot melihat si pemuda yang barusan kupukul."Kamu?""Lo!"Mataku melotot melihat wajah si pemuda. Kepalan yang tadinya hendak kudaratkan di wajahnya, terhenti di udara. Pemuda itu menatapku dengan nyalang serta rahang yang mengeras. Hidung mancungnya itu, kembali meleleh cairan kental kemerahan. "Ada apa ini?" Suara seorang wanita dari arah belakangku, mengalihkan keterpakuan di antara kami berdua. Sontak aku melepaskan cengkeraman dari lengan si pemuda. Menjauh darinya, sedangkan dia masih menatapku penuh amarah. Dia, pemuda yang sudah menabrak Ibu beberapa minggu yang lalu. "Di mana pencurinya?" Lagi, wanita itu bersuara. Bertanya kepadaku. Aku menghadapnya, terlihat seorang wanita seumuran ibuku berdiri di hadapan dengan mengenakan piama berwarna ungu. Di samping wanita itu, berdiri seorang pria yang sedikit memiliki uban di pelipis. Mereka berdua memandangku dengan alis bertaut. Di belakang mereka sana, Bi Inah tergopoh datang kemari. "Astaga ... Zhafran! Kamu nggak apa-apa, Nak?" Wanita itu memegang dagu si pemuda yang kupukul ta
Pikiranku seketika melayang ke beberapa minggu yang lalu, tepatnya setelah sehari dikebumikannya Kak Naila. Aku teringat dengan Zhafran yang datang ke kampung waktu itu. Ada urusan apa ia sampai datang ke kampungku? "Nilfan, sudah selesai belum?" tanya Bi Inah membuyarkan lamunanku. Segera aku memberikan sayurannya. "Ini, Bi.""Lanjutkan, Nil. Masak sayurannya sana!" ucap Bi Inah tanpa menoleh. Dia tetap fokus membuat ayam goreng. "Bi, emm ...." Ragu-ragu aku berucap. "Apa?" Bi Inah menoleh, mengahadapku. "Kak Naila ... punya pacar enggak, Bi?" tanyaku mencoba memancing, kira-kira Kak Naila ada hubungan dengan Zhafran atau tidak. Seketika raut wajah Bi Inah berubah. Tadinya wajah itu terlihat santai, tetapi sekarang berubah tegang. Mataku menatapnya tajam, menyelisik wajah Bi Inah. Melihatku yang menatapnya tajam, wanita itu langsung melirik kiri-kanan, seperti orang yang sedang berusaha mencari sebu
Zhafran mengempaskan tanganku ketika sudah berada di dalam kamar. Dia beralih untuk menutup pintunya. Pandanganku mengedar ke sekiling. Kamar bernuansa hitam putih yang luasnya sekitar 10×10 ini, penuh dengan dekorasi rock and roll di setiap pojok dan sudut dindingnya.Terlihat di atas nakas sana, foto pria berandalan itu terpajang. Ternyata ini kamar Zhafran. Kenapa dia mengajakku ke kamarnya? Pikiran buruk langsung melintas, memenuhi kepalaku. Setelah menutup pintu, Zhafran mendekatiku dengan raut datar. Tidak ada ekspresi di wajah tampan itu. Eh, tunggu, apa aku barusan bilang dia tampan? Cih! Aku menelan saliva dengan susah payah, menatap pemuda itu dengan waspada. Lantas, pandangan melirik kiri-kanan, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk senjata. Aku bukan Kak Naila yang selalu menyelesaikan masalah dengan cara yang lembut. Akan kuberi pria itu pelajaran, jika sampai berani kurang ajar! Zhafran terus mend
Tangan kanan yang menjadi pegangan terlepas. Membuat kedua kakiku juga tergelincir. Aku terjatuh."Kyaaak!"Sempat kulihat Zhafran berlari ke arahku dengan ekspresi tegang, sesaat sebelum aku menutup mata. Tidak berani melihat akan seperti apa tubuhku nanti terhantam oleh tanah. Pasti akan sangat menyakitkan dengan tulang-tulangku yang akan patah.Puluhan detik berlalu, belum juga kurasakan tubuhku menghantam tanah atau kesakitan. Aku masih sama, menutup mata dengan tubuh menegang. Belum berani untuk membuka mata. "Naila ...."Suara lembut seseorang menyapa telingaku. Perlahan, aku membuka mata. Menampilkan pria berwajah oval, alis tebal, hidung mancung, serta berahang tegas. Mata cokelatnya dinaungi oleh bulu mata yang tebal. Untuk sesaat, aku merasa nyaman berlama-lama memandang mata teduhnya. Mata itu juga memandangku penuh binar, entah kenapa? Aku beralih memandang ke atas, tempat di mana aku terja
Sontak aku mengangkat kepala, alis kembali mengernyit mendengar perkataan Bryan. Dari mana dia tahu misiku yang sebenarnya ke rumah ini? Mataku mendelik, menatap mata teduh Bryan dengan tajam, sedangkan dia tetap menatapku lekat. Berekspresi santai. 'Apakah saya harus jujur atau mengelak?' batinku bertanya-tanya. Aku menghela napas dalam. "Untuk bekerja," jawabku kemudian. "Ok." Bryan hanya menyahut singkat, lalu melanjutkan makan. Aku pikir akan gampang menemukan pelaku yang bertanggung jawab atas kepergian Kak Naila, tetapi ternyata aku salah. Terlalu banyak tanda tanya. Terlalu banyak teka-teki di rumah ini. Keluarga ini juga menurutku sedikit aneh. Bagaimana mungkin seorang petugas kepolisian bisa seatap dengan seorang berandalan. Kakaknya anggota kepolisian, sedangkan si adik seperti berandalan. "Semoga betah bekerja di sini."Selesai makan, Bryan berucap. Melirikku sekejap, lalu pergi dari
Aku ingin sekali melihat keadaan di dalam. Namun, celah pintu ini begitu kecil, aku tidak bisa melihat siapa pun di dalam sana. Hanya bisa mendengar suara mereka berdua. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang menepuk pundak. Karena masih sibuk menguping pembicaraan di dalam, aku hanya menempelkan telunjuk di bibir seraya berkata, "shuut!" Tanpa menoleh untuk melihat siapa yang menepuk pundakku. Orang itu kembali menepuk pundakku, bertambah keras. Aku kesal padanya yang menganggu acara mengupingku. Segera aku berbalik dengan ekspresi kesal. "Apa s---" Aku menggantung kalimat dengan mata membulat, melihat Zhafran yang berada di belakangku. Aku menelan saliva dengan susah payah. Sangat malu karena ketahuan sedang menguping, sedangkan Zhafran seperti biasa, menatapku datar. "Lo ngap---"Belum sempat Zhafran menyelesaikan kalimatnya, gegas aku berjinjit dan membekap mulutnya. Menempelkan kepalanya ke dinding. "Pliss, shuutt, diam." Mata elang Zhafran membulat mendapat serangan ti
Setelah mengucapkan hal tersebut, pria berambut putih itu, pergi begitu saja. Meninggalkan aku dengan berbagai pertanyaan di kepala. Gegas aku mencekal tangan pria tua itu. "Maksud Bapak, apa, yah?" Alisku bertaut. Mata tuanya itu menatapku dalam, seakan-akan mengasihani diri ini. "Di dalam rum---"'Beep!'Suara klakson mobil, membuat perkataan bapak pemulung itu terpotong. Aku berbalik, melihat si penimbul suara. Terlihat tuan dan nyonya rumah besar ini, bersiap-siap keluar rumah setelah pintu gerbang di buka lebar-lebar oleh satpam. Aku hanya menatap diam mobil sedan berwarna putih itu melaju menjauh. "Oh, iya, Pak, ada apa dengan rumah it---"Ketika berbalik, menanyai bapak pemulung tadi. Namun, ia sudah tidak ada. Pergi entah ke mana. "Siapa orang tua tadi? Tahu apa dia tentang orang-orang rumah ini? Kenapa dia menyuruhku berhati-hati?" Pikiranku kembali dipenuhi tanda tanya.
Lewat ekor mata, aku melihat Zhafran terhenti di ambang pintu. Aku tetap melanjutkan salat, tanpa peduli dengan kehadirannya. Ya, rencanaku ialah, ketika Zhafran marah dengan apa yang kulakukan, aku akan berpura-pura salat. Ralat, aku memang belum melaksanakan salat isya malam ini. Berharap ketika melihatku salat, Zhafran tidak jadi menghukumku. "Sial!" Zhafran memukul pintu hingga berdentam. Napasku tertahan di tenggorokan, merasa terkejut dengan suara yang timbul. Namun, tetap berpura-pura fokus dengan gerakan salat-ku. Zhafran belum juga pergi dari ambang pintu, sedangkan gerakan salatku sudah masuk rakaat kedua. Aku sengaja berlama-lama membaca bacaan, agar salatku lebih lama selesainya. Setidaknya, sampai Zhafran lelah berdiri di ambang pintu kamarku dan amarahnya mulai padam. Bi Inah tidak terlihat ikutan datang kemari. Entah dia tidak mau ikut campur dalam masalah ini atau dia takut untuk ikut campur. Ya, sadar, kali ini aku y