Share

Bab 5: Dia, Pemuda yang Sama

Mataku melotot melihat wajah si pemuda. Kepalan yang tadinya hendak kudaratkan di wajahnya, terhenti di udara. Pemuda itu menatapku dengan nyalang serta rahang yang mengeras. Hidung mancungnya itu, kembali meleleh cairan kental kemerahan.

"Ada apa ini?"

Suara seorang wanita dari arah belakangku, mengalihkan keterpakuan di antara kami berdua. Sontak aku melepaskan cengkeraman dari lengan si pemuda. Menjauh darinya, sedangkan dia masih menatapku penuh amarah.

Dia, pemuda yang sudah menabrak Ibu beberapa minggu yang lalu.

"Di mana pencurinya?" Lagi, wanita itu bersuara. Bertanya kepadaku.

Aku menghadapnya, terlihat seorang wanita seumuran ibuku berdiri di hadapan dengan mengenakan piama berwarna ungu. Di samping wanita itu, berdiri seorang pria yang sedikit memiliki uban di pelipis.

Mereka berdua memandangku dengan alis bertaut. Di belakang mereka sana, Bi Inah tergopoh datang kemari.

"Astaga ... Zhafran! Kamu nggak apa-apa, Nak?" Wanita itu memegang dagu si pemuda yang kupukul tadi. Wajahnya menampilkan raut khawatir.

"Kamu kenapa mukul anak saya?" tanyanya kepadaku dengan suara sedikit memekik.

Anak? Astaga! Ternyata aku bekerja di rumahnya seorang pemuda yang telah menabrak Ibu. Lebih lucunya lagi ialah, ibu pemuda itu yang membayar biaya operasi Ibu. Padahal putranya sendiri yang menyebabkan kecelakaan tersebut.

Bagaimana bisa pemuda itu bisa bebas dari penjara secepat ini? Ah, aku lupa, mereka orang yang berada. Pasti sangat gampang untuk menyogok para petugas polisi di desa untuk membebaskannya.

Untung saja Ibu sudah baik-baik saja. Jika tidak, pasti akan kubuat pemuda itu membusuk di penjara, bagaimanapun caranya!

"Nil, kamu kenapa mukulin Den Zhafran?" Bi Inah menepuk pundak ini, membuatku tersadar dari lamunan.

Aku menatap pemuda yang bernama Zhafran tersebut. Dia terlihat sedang menyeka darah yang keluar dari hidungnya, tetapi mata elang si pemuda selalu menatapku tajam. Seakan-akan belati yang hendak dilemparkannya kepadaku.

"Saya pikir pencuri," ucapku menatap kedua orang tua si pemuda.

"Jadi, kamu adiknya Nayla?" Sang ibu bertanya, sedangkan sang suami di sampingnya terlihat mengulum senyum.

Aku mengangguk.

"Beda jauh sekali dengan Nayla yang lemah lembut." Ibu sang pemuda berujar dengan sinis.

"Ayo, Nilfan, minta maaf sama Den Zhafran!" perintah Bi Inah.

Aku kembali menatap pemuda itu, begitu pun sebaliknya. Pandang mata kami saling beradu beberapa saat.

"Maaf," ucapku datar seraya membuang muka. Tidak sudi untuk meminta maaf kepada orang yang sudah menabrak Ibu.

"Enggak usah minta maaf kalau terpaksa!" dengkusnya berlalu pergi.

Aku menatap punggungnya yang mulai menjauh. Pemuda itu masih sama saja penampilannya seperti berandalan. Celana jeans yang robek-robek, telinga, bibir bawah, dan alis yang diantingin, serta memakai kalung rantai. Raut wajahnya juga sangat dingin, seperti mayat hidup.

Kedua majikan pun berlalu dari hadapan, menuju ke lantai atas.

"Maafin Nilfan nggak bantuin Bibi di dapur tadi. Nilfan enggak nyangka akan tidur selama itu," ucapku.

"Ya, nggak apa-apa, mungkin kamu kecapean. Tapi, jangan diulangi lagi," tandas Bi Inah.

"Baik, Bi." Aku mengangguk.

"Kamu lapar, enggak?" tanya Bi Inah.

Aku mengangguk cepat. Rasanya perutku sudah menempel dengan punggung.

"Ya, sudah, sana. Makanannya ada di dalam lemari." Bi Inah menunjuk lemari pendingin. "Bibi tinggal dulu, yah. Ngantuk," lanjutnya, lalu pergi dari dapur.

Hanya tinggal aku sekarang di dapur. Aku membuka pintu lemari, melihat ada banyak sekali jenis lauk yang ada di dalamnya. Aku menelan ludah berkali-kali, melihat paha ayam goreng. Makanan kesukaanku. Sangat jarang di desa untuk menyantap makanan se-enak itu.

"Apakah saya bisa memakan ayam itu?" gumamku bertanya pada kulkas, lalu celingukan. Takut tidak diperbolehkan. "Sudahlah, pasti bisa. Lagi pula, nggak ada tanda dilarang di sini." Aku langsung mengambilnya, memakan paha ayam itu dengan lahap. Sangat nikmat.

****

Pukul 07.30, aku sudah selesai menyiram dan merapikan seluruh bunga-bunga yang ada di taman. Sekarang, tugasku mengepel seluruh lantai.

"Huft, menyebalkan!" Aku mengeluh seraya mengepel lantai. Gagang pel, aku maju mundurkan dengan malas.

Terdengar siulan dari arah tangga, mendekat ke arahku. Pemuda berandalan yang bernama Zhafran itu berjalan sembari memakai headset dan mengetik-ngetik layar ponsel.

Dia fokus menunduk, memperhatikan layar ponselnya. Terlihat dia akan melewati lantai yang basah, bahkan ada sedikit genangan air di sana, sebab aku asal mengpelnya tadi.

"Awas, lantainya basah!" cegahku. Namun, Zhafran tidak mendengarkan. Kupingnya disumpal oleh headset.

"Aow!" Kaki kanan Zhafran langsung terpeleset. Bokongnya mendarat keras di lantai. Ponsel yang ia pegang juga terhantam oleh keramik.

Aku mematung di tempat seraya memeluk gagang pel. Tidak ada niat membantu atau apa pun. Hanya memandang dia dalam diam. Salahnya sendiri tidak mendengar perkataanku.

Selesai mengaduh, Zhafran meliriku tajam. Tangannya terkepal erat. Dari baju kaus tipis yang ia kenakan, terlihat dadanya naik turun.

"Sialan! Lo bisa ngepel nggak, sih?" geramnya dengan rahang mengeras.

Dia bangun seraya melepaskan headset-nya. Menghampiriku dengan amarah, tetapi baru dua langkah, pemuda itu kembali terpeleset. Dia kembali terduduk di lantai.

"Pfft, hahahaha!" Aku tertawa lepas melihat dia yang berulang kali jatuh.

Zhafran berusaha lagi berdiri dengan marah. "Tertawalah sepuasnya, nanti nasib lo akan sama seperti kakak lo itu!" ujarnya dingin.

Sontak aku menghentikan tawa. Dengan alis mengernyit, aku mencerna ucapan Zhafran. Apa maksud ucapan pemuda itu?

Di saat hendak menanyakan apa maksud ucapannya, tetapi Zhafran terlebih dahulu pergi dari hadapan, sesaat sebelum menendang ember yang berisi air pel.

Kurang ajar!

Aku segera melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda, tetapi pikiran tidak henti-henti bertanya apa maksud ucapan Zhafran tadi.

Nasib yang akan sama seperti Kak Nayla? Apa sebenarnya yang terjadi pada Kak Nayla? Kenapa Kak Nayla tidak pernah cerita tentang masalah besar dalam hidupnya selama ia bekerja di kota? Padahal kami seringkali melakukan panggilan telepon. Baik, voice call ataupun video call.

****

"Bi, Kak Nayla dekat dengan siapa saja selama di kota?"

Selesai mengepel, aku membantu Bi Inah memotong sayuran di dapur. Aku melemparkan pertanyaan kepadanya.

"Ah, Nayla, mah, semuanya juga dekat. Kamu pasti tau sendiri, kan, kakakmu itu baik, santun, supel, dan selalu lemah lembut kepada siapa saja. Jadi, dia gampang dan dekat sama semua orang di sini. Bahkan, dia juga dekat sama tetangga komplek dan juga abang penjual sayuran." Bi Inah menjawab seraya terlihat memaksakan senyum.

"Jadi rindu Nayla, biasanya dia suka sekali membuatkan teh jahe buat Bibi," lanjutnya terdengar sedih.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu meniup poni hingga tersibak. Aku juga merindukan Kak Nayla.

"Maksud saya Bi, Kak Nayla paling dekat dan sering terlihat sama siapa saja beberapa bulan sebelum ia kecelakaan?" tanyaku lagi.

Bi Inah terlihat menerawang, mungkin mencoba mengingat-ingat.

"Siapa, Bi?" Aku mendesak tidak sabaran. Siapa tahu saja, orang itu bisa menjadi jembatan untuk aku menyelidiki kasus Kak Nayla.

"Den Zhafran."

"Zhafran?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status