Sontak aku mengangkat kepala, alis kembali mengernyit mendengar perkataan Bryan.
Dari mana dia tahu misiku yang sebenarnya ke rumah ini?Mataku mendelik, menatap mata teduh Bryan dengan tajam, sedangkan dia tetap menatapku lekat. Berekspresi santai.'Apakah saya harus jujur atau mengelak?' batinku bertanya-tanya.Aku menghela napas dalam. "Untuk bekerja," jawabku kemudian."Ok." Bryan hanya menyahut singkat, lalu melanjutkan makan.Aku pikir akan gampang menemukan pelaku yang bertanggung jawab atas kepergian Kak Naila, tetapi ternyata aku salah. Terlalu banyak tanda tanya. Terlalu banyak teka-teki di rumah ini.Keluarga ini juga menurutku sedikit aneh. Bagaimana mungkin seorang petugas kepolisian bisa seatap dengan seorang berandalan. Kakaknya anggota kepolisian, sedangkan si adik seperti berandalan."Semoga betah bekerja di sini."Selesai makan, Bryan berucap. Melirikku sekejap, lalu pergi dariAku ingin sekali melihat keadaan di dalam. Namun, celah pintu ini begitu kecil, aku tidak bisa melihat siapa pun di dalam sana. Hanya bisa mendengar suara mereka berdua. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang menepuk pundak. Karena masih sibuk menguping pembicaraan di dalam, aku hanya menempelkan telunjuk di bibir seraya berkata, "shuut!" Tanpa menoleh untuk melihat siapa yang menepuk pundakku. Orang itu kembali menepuk pundakku, bertambah keras. Aku kesal padanya yang menganggu acara mengupingku. Segera aku berbalik dengan ekspresi kesal. "Apa s---" Aku menggantung kalimat dengan mata membulat, melihat Zhafran yang berada di belakangku. Aku menelan saliva dengan susah payah. Sangat malu karena ketahuan sedang menguping, sedangkan Zhafran seperti biasa, menatapku datar. "Lo ngap---"Belum sempat Zhafran menyelesaikan kalimatnya, gegas aku berjinjit dan membekap mulutnya. Menempelkan kepalanya ke dinding. "Pliss, shuutt, diam." Mata elang Zhafran membulat mendapat serangan ti
Setelah mengucapkan hal tersebut, pria berambut putih itu, pergi begitu saja. Meninggalkan aku dengan berbagai pertanyaan di kepala. Gegas aku mencekal tangan pria tua itu. "Maksud Bapak, apa, yah?" Alisku bertaut. Mata tuanya itu menatapku dalam, seakan-akan mengasihani diri ini. "Di dalam rum---"'Beep!'Suara klakson mobil, membuat perkataan bapak pemulung itu terpotong. Aku berbalik, melihat si penimbul suara. Terlihat tuan dan nyonya rumah besar ini, bersiap-siap keluar rumah setelah pintu gerbang di buka lebar-lebar oleh satpam. Aku hanya menatap diam mobil sedan berwarna putih itu melaju menjauh. "Oh, iya, Pak, ada apa dengan rumah it---"Ketika berbalik, menanyai bapak pemulung tadi. Namun, ia sudah tidak ada. Pergi entah ke mana. "Siapa orang tua tadi? Tahu apa dia tentang orang-orang rumah ini? Kenapa dia menyuruhku berhati-hati?" Pikiranku kembali dipenuhi tanda tanya.
Lewat ekor mata, aku melihat Zhafran terhenti di ambang pintu. Aku tetap melanjutkan salat, tanpa peduli dengan kehadirannya. Ya, rencanaku ialah, ketika Zhafran marah dengan apa yang kulakukan, aku akan berpura-pura salat. Ralat, aku memang belum melaksanakan salat isya malam ini. Berharap ketika melihatku salat, Zhafran tidak jadi menghukumku. "Sial!" Zhafran memukul pintu hingga berdentam. Napasku tertahan di tenggorokan, merasa terkejut dengan suara yang timbul. Namun, tetap berpura-pura fokus dengan gerakan salat-ku. Zhafran belum juga pergi dari ambang pintu, sedangkan gerakan salatku sudah masuk rakaat kedua. Aku sengaja berlama-lama membaca bacaan, agar salatku lebih lama selesainya. Setidaknya, sampai Zhafran lelah berdiri di ambang pintu kamarku dan amarahnya mulai padam. Bi Inah tidak terlihat ikutan datang kemari. Entah dia tidak mau ikut campur dalam masalah ini atau dia takut untuk ikut campur. Ya, sadar, kali ini aku y
Seluruh tubuhku tenggelam. Tanganku meraih-raih, sedangkan kaki menendang-nendang, berusaha mencari pijakan. Aku meneguk dan menghirup air dalam jumlah yang besar. Membuat dada terasa sesak, hidungku pun perih. "Tol-looong ...!" Aku berusaha berteriak. Berharap ada yang datang menyelamatkanku. Perlahan pandangan mulai memburam, lalu aku kehilangan kesadaran. "Bangun!"Samar-samar terdengar suara pria berseru, pipi ini ditepuknya. Ingin membuka mata, tetapi rasanya begitu berat. Aku juga merasa tubuh ini sangat lemas. Terasa juga ada seseorang yang menekan dadaku. Lantas, orang tersebut mengatur kepalaku, mengangkat dagu dan memencet hidungku. Perlahan, aku membuka kelopak mata. Samar-samar terlihat wajah pemuda berandalan itu datang mendekat ke wajahku. Bahkan, bibirnya sudah menyentuh bibirku. Mataku membulat sempurna melihat perlakuannya yang kurang ajar itu. Aku terbatuk mengeluarkan air dari mulut. Dengan marah, aku mend
Mendengarku bertanya, Zhafran sedikit terkejut. Mungkin dia tidak menyadari, jika aku juga menyimak dan mendengar suaranya yang pelan tadi. Dia menatapku sekilas. Aku lihat, pandangannya seperti sedikit mengasihaniku. Namun kenapa? Atau mungkin aku yang salah tanggap? "Hantu. Di kolam renang sana, ada penunggunya." Zhafran menjawab malas. Lantas, pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan penuh tanda tanya. Aku tahu, Zhafran hanya menjawab asal pertanyaanku tadi. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya, tetapi apa? Selepas kepergian Zhafran dari kamar ini, aku berusaha berdiri mengambil pakaian di dalam koper. Sudah beberapa hari aku di kota. Namun, belum memindahkan pakaianku ke lemari. Selain malas, lemarinya juga dikunci. Aku belum melihat barang-barang peninggalan Kak Naila di dalam sana. Aku lupa menanyakan kunci lemari itu pada Bi Inah. "Apa benar yang mendorongku tadi hantu?" gumamku sambil memakai sweater hijau. Aku meng
Aku menatap lekat Bryan, lalu beralih memandang sapu tangan maroon saling bergantian. 'Apa Bryan yang mendorongku semalam?' batinku bertanya-tanya. Aku mundur beberapa langkah, memandang kedua saudara itu saling bergantian dengan mata berembun. Tiba-tiba kepalaku kembali memberat dan pusing. Lantas, kegelapan datang menelanku. ****Perlahan kubuka kelopak mata, mengedarkan pandangan. Sebuah ruangan asing yang bernuansa putih. Aku mengerjap berkali-kali, merasakan kelopak mata begitu panas. Tubuhku begitu lemas, perut juga terasa perih, belum terisi makanan. "Lo udah sadar?" Terdengar suara Zhafran bertanya. Dia baru saja datang sambil membawa kantung kresek putih. Zhafran duduk di samping ranjangku seraya meletakkan kantung. Dia mengeluarkan beberapa buah dari dalam kantung."Lo sukanya buah apa?" Zhafran memperlihatkan buah apel dan jeruk di kedua tangannya. Aku hanya diam, memandangnya lem
To-tol ... looong!"Mata pisau itu sudah berada tepat di depan mataku. Jantung berdegup kencang, napasku tercekat. Aku sangat ketakutan. 'Tolong Nilfan, Ya Allah!' pekikku dalam hati. Mata pisau itu terus maju. Tenagaku begitu lemah, tidak mampu lagi untuk menahannya lebih lama. Tiba-tiba saja, sosok ber-hoodie hitam itu terempas ke kiri. Zhafran datang, dia langsung menendangnya. Aku bernapas lega seraya bangun dari ranjang. Syukurlah. "Siapa lo?!"Sosok ber-hoodie tidak menjawab, dia malah mengacungkan senjata tajam. Aku memperhatikan sosok ber-hoodie yang memakai masker hitam itu. Dia menatap Zhafran waspada seraya mengambil ancang-ancang menyerang. 'Siapa orang itu? Kenapa dia ingin membunuhku?'Sosok ber-hoodie maju, melayangkan pisaunya ke leher Zhafran. Gegas Zhafran menarik kepalanya ke belakang. Sosok ber-hoodie susul melayangkan pisau ke perut Zhafran. Untung saja Zhafran sigap menarik p
"Pokoknya, Papah ingin kamu hukum seberat-beratnya Bima ini, Bry!" Mata Tuan Besar memerah, menatap nyalang ke sosok ber-hoodie semalam. 'Jadi, nama dia Bima. Apa sapu tangan itu miliknya? Apa dia yang sudah mendorongku ke kolam? Kenapa dia mau membunuh saya?' batinku bertanya-tanya seraya menatap tajam pria yang bernama Bima itu.Melihat kami yang barusan datang, membuat ketiga pria beda usia itu serempak mengalihkan pandangan. Bryan memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala. Aku perhatikan, tatapan Bryan begitu intens. Tidak lama kemudian, dia membuang pandangan. "Lo? Masih ada muka lo kemari!"Zhafran yang melihat Bima langsung menyerangnya. Melayangkan pukuluan beruntun ke wajah Bima. "Kenapa lo pengen bunuh Nilfan? Siapa yang udah nyuruh lo?" Zhafran terus memukul Bima, sedangkan Bima hanya pasrah tanpa perlawanan. Bima terjatuh, Zhafran lanjut menendang-nendang perutnya. Membuat Bima mengerang keras seraya