Share

13. Pekerjaan baru Syahdu

"Baiklah, Bu. Kalau itu keputusan Ibu. Sebentar ya, Banyu mau keluar dulu cari makan."

"Nggak perlu! Syahdu yang akan menyiapkan sarapan kita. Ini tugas pertama buat dia sebagai pembantu di rumah ini!"

"Syahdu belum bisa, Bu. Harus di ajarin dulu. Dan tidak sekarang. Belajarnya mulai besok saja. Sudah, kita DO makanan saja."

"Syahdu, kamu lapar, kan?!" tanya Ibu dengan nada membentak.

"Iya, perutku keroncongan," jawab Syahdu sambil memegangi perutnya.

"Pergi ke dapur! Bikin mie instan dan telur ceplok sekalian buat kita semua!" perintah Ibu.

"Biasanya yang bikinin Mbok Nah. Syahdu nggak bisa."

"Nggak ada Mbok Nah disini! Mulai sekarang kamu yang akan jadi Mbok Nah di sini!" bentak Ibu.

"Mas Banyu, Syahdu mau pulang. Syahdu mau Mbok Nah. Syahdu laper."

"Tuh, urus ibu tirimu itu, Banyu!" perintah Ibu.

"Baik kalau kalian tidak mau, biar Banyu yang ngajari Syahdu. Ayo, Syahdu, Mas Banyu ajarin cara bikin mie dan ceplok telor." Syahdu akhirnya membuntutiku menuju dapur, lamat-lamat masih kudengar percakapan mereka tentangku.

"Tapi, Bu, kenapa Mas Banyu yang harus ngurus? Aku sebagai istrinya nggak rela, Bu."

"Dia yang keukeuh perempuan itu tinggal di sini kan, Rum. Biarin saja. Masak kamu cemburu sama perempuan sinting begitu. Nggak mungkin Banyu nafsu dengan perempuan model begitu. Nggak usah kuatir."

"Tapi, Bu, Ayah saja sampe bisa punya anak dengan perempuan itu ... " gerutu Arumi dengan mimik cemberut.

"Banyu tidak seperti ayahnya. Aku yakin, Rum," ucap Ibu yang bikin hatiku getir.

Di dapur

"Taruh Dinda, biar main sendiri di sini," perintahku pada Syahdu lalu kuletakkan beberapa piring dan sendok di lantai dapur buat mainan Dinda.

Setelah Dinda anteng main piring dan sendok, aku mulai mengajari Syahdu sambil sesekali kulirik wajahnya yang polos tanpa dosa dan beban.

"Ambil wajan yang di gantung itu, Syahdu, lalu isi air dari galon ini ya."

"Wajan itu yang mana?"

"Ya Allah Ya Rabb, Sabar Banyu, ini ujian. Anggap saja kamu sedang ngajari anak TK," kuelus dada dan kutarik nafas dalam-dalam, Wajan saja tidak tahu, bagaimana Syahdu akan jadi pembantu di rumah ini.

"Wajan itu yang seperti ini, Syahdu. Ini namanya Wajan. Sepertinya kita butuh kenalan dulu dengan perabot dapur sebelum masak." Lalu satu persatu kusebutkan nama-nama perabot sambil kutunjukkan pada Syahdu.

Syahdu terlihat antusias menyimak, mengangguk angguk sepertinya bisa paham. Sambil mengajari, sambil praktek tak terasa jadilah mie instan dan telor ceplok.

"Yeaaaah, Syahdu bisa masak mie dan telor!" teriak Syahdu kegirangan. Lalu dengan lahapnya makan sambil menyuapi Dinda pakai telor ceplok di lantai yang membuatku terharu melihatnya.

Sedangkan Ibu, Arumi dan aku duduk di meja makan menikmati sarapan mie instan.

"Syahdu, duduk di atas di kursi sini makannya!" ajakku.

"Tidak ... tidak! Tidak ada tempat di sini buat dia.Tempatnya di bawah!" teriak Ibu yang membuatku geram.

Selesai menyuapi Dinda, Syahdu beranjak dari duduknya.

"Eh ... Mo kemana kamu, Syahdu?!" tanya Ibu.

"Mau nyantai di kamar. Syahdu capek."

"Enak aja mo santai-santai, terus siapa yang mau nyuci piring, nyapu sama ngepel?"

"Dia!" jawab Syahdu enteng sambil telunjuknya diarahkan pada Arumi.

"Eh, kurang ajar kamu, ya, nyuruh-nyuruh!"

"Syahdu sudah masak. Capek. Kamu belum ngapa-ngapain," jawabnya polos tanpa beban.

"Mas Banyu, ajarin Ibu tirimu itu sopan santun!"

"Syahdu, yuk kita nyuci piring dulu."

Dan begitulah, dengan sabar kuajarin satu persatu pekerjaan rumah. Dari mencuci piring, menyapu, mengepel. Walaupun telingaku sampe panas dengar rengekan dan keluhannya tapi semuanya dia lakukan seolah dia seperti sedang bermain membuatku menahan tawa tapi juga kasihan tapi kadang jengkel juga.

Gimana nggak jengkel, lagi asyik mencuci piring tiba-tiba spon yang berbusa sudah melayang ke mukaku. Dia tepuk-tepuk di mukaku.

"Apa-apaan kamu, Syahdu?"

"Biar wajahnya Mas Banyu kinclong kayak piring." Kalau nggak inget dia cacat, sudah kuremas-remas itu wajahnya.

"Nih, piring yang sudah bersih taruh di rak piring sana."

"Syahdu capek, Mas. Kenapa yang ngerjain semua Syahdu? Tangan dan kaki Syahdu pegal semua. Syahdu mo ke kamar. Mau tidur." keluhnya sambil terisak.

"Sabar ya, Syahdu. Sedikit lagi selesai." Setelah kubujuk-bujuk akhirnya dia mau melanjutkan pekerjaannya walaupun dengan wajah manyun dan mata masih sembab.

"Nih, disapu yang bersih." Dengan menatapku cemberut, dia meraih sapu dari tanganku, menyapu asal-asalan membuatku iba sebenarnya.

Tapi raut wajahnya berubah ceria ketika acara mengepel lantai.

"Awas, Mas Banyu, meluncuuur!" Dengan kecepatan tinggi dia dorong gagang pel membuatku kaget saja.

"Hati-hati Syahdu, licin! Ngepelnya nggak usah pakai meluncur-meluncur begitu."

"Asyik tau, Mas. Ayo balapan, Mas. Mas Banyu disitu, aku di sini. Siap? Meluncuuuuur." Dan aku pun akhirnya tergoda ikut main luncuran, menikmati permainan Syahdu dengan tawa renyah dan hati bahagia, tak terasa pekerjaan selesai.

Ah, kadang-kadang memang harus bersikap kekanakan seperti Syahdu untuk menghadapi kenyataan hidup biar terasa ringan dan menyenangkan.

Keesokan pagi harinya, demi Syahdu aku rela bangun jam 4.

Pelan-pelan kutinggalkan kamar supaya Arumi tidak ikut bangun. Aku menuju kamar Syahdu, membuka pintu kamarnya. Memang tadi malam aku sudah berpesan pada Syahdu untuk tidak mengunci pintu kamar.

Melihatnya terbaring dengan baju tidur tipis yang sedikit tersingkap dan gundukan di dadanya yang terlihat begitu menantang membuat detak jantungku berdenyut cepat.

"Tidak, Banyu. Jangan lakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya. Dia bukan hakmu," batinku terus berperang, untunglah batin kananku akhirnya menang, kututup tubuh Syahdu dengan selimut lalu kubangunkan pelan.

"Seandainya perempuan ini adalah istri keduaku ... Apa memang sebaiknya kunikahi saja Syahdu supaya aku tidak terbelenggu dengan pikiran kotor dan dosa," bisik hatiku.

Pikiran macam apa ini, Banyu. Makam Ayahmu juga masih basah. Ini tak pantas, Banyu. Tak pantas!

"Syahdu, bangun, kamu harus melakukan tugasmu kalau nggak pengin dimarahi dan diusir Ibu."

"Syahdu masih ngantuk! Mas Banyu saja yang mengerjakan," sanggah Syahdu sambil menggeliat manja yang sekali lagi menguji imanku.

"Bangun dulu, cuci muka, biar ngantuknya hilang." Dengan masih menguap Syahdu mau menurutiku.

"Mumpung Dinda masih tidur, kamu selesaikan pekerjaan rumah ya, seperti kemarin. Masih ingat kan, Syahdu? Mulai sekarang kamu bangunnya jam segini. Nanti aku beliin jam weker biar kamu bisa bangun tepat waktu," ucapku panjang lebar tapi Syahdu malah menangis.

"Syahdu pengin pulang, Mas. Syahdu nggak betah di sini. Semua orang di sini jahat sama Syahdu." Tiba-tiba dia sudah menjatuhkan kepalanya di bahuku sambil memelukku erat.

Dan gundukan kenyal ini ... yang menempel di dadaku seperti setrum yang menggetarkan aliran darah di sekujur tubuhku membuatku benar-benar tersiksa.

"Syahdu, kamu sabar ya. Kalau di depan Ibu dan Mbak Arumi jangan peluk-peluk Mas Banyu ya. Sudah lepas peluknya. Nanti ada Mbak Arumi, kamu di marahi. Ayo sekarang kita mulai kerja."

"Mas Banyu punyaku bukan punya perempuan galak itu." Tangisnya semakin tergugu menyayat hati.

"Iya, Mas Banyu punya Syahdu. Sudah diem ya. Kita ke dapur."

Kami pun beranjak ke dapur. Setelah kuajari memasak nasi, aku melihat stok kulkas, lalu mulai browsing resep masakan. Dengan sebisanya kuajarin Syahdu mewujudkan resep itu.

Jujur saja ini pun pertama kalinya aku terjun ke dapur untuk memasak. Hanya demi perempuan ini aku rela melakukannya.

"Syahdu, kita akan masak capcay dan goreng ayam buat sarapan. Kamu potong-potong dulu sayurannya, ya."

"Gimana, Mas? Syahdu nggak bisa. Nanti kalau tangan Syahdu kepotong gimana?

"Bisa, dicoba dulu. Lihat Mas Banyu, seperti ini." Aku mulai memotong-motong sayuran asal.

"Kita main masak-masakan ya, Mas. Aku dulu suka main masak-masakan sama teman-teman."

"Nah, iya. Sekarang main masak-masakannya sama Mas Banyu. Seneng, kan?" hiburku.

"Iya, Syahdu seneng," jawabnya dengan mata berbinar yang membuatku sedikit lega.

Dengan berpeluh keringat, akhirnya selesai dan tersaji sudah masakan Syahdu. Dari aromanya sih menggugah selera entah rasanya.

"Ini masakan apa? Rasanya aneh begini!" cerca Ibu dan Arumi setelah menyendok masakan kami.

"Harap maklum lah, Bu. Ini pertama kalinya Syahdu masak. Butuh jam terbang kan. Nanti sedikit demi sedikit juga rasanya lezat. Tunggu aja."

"Kenapa Mas Banyu membela perempuan jal ... maksudku perempuan itu terus!"

"Kalau bukan aku siapa yang membela dia, Rum. Nggak adil kan 2 lawan 1?"

"Sudah, sudah, mulai besok Syahdu nggak usah masak. Ngerjain pekerjaan yang lain saja. Biar Ibu dan Arumi yang masak. Ibu jadi berasa mual, nggak nafsu makan. Kalau tiap hari begini, bisa-bisa badan Ibu kurus dan jadi sakit. Arumi juga jadi susah hamil karena kurang gizi."

Alhamdulillah, hilang satu beban hidupku ngajari Syahdu masak.

***

40 hari sudah Ayah meninggalkan kami semua. Syahdu pun sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan rumah yang wajib dia kerjakan. Dan malam ini semua sanak saudara berkumpul untuk mendoakan Ayah.

"Banyu, perempuan yang bawa anak itu siapa?" tanya salah satu sepupuku, Rangga, yang matanya tak berkedip menatap Syahdu.

"Dia pembantu baru di sini, Ngga," sahut Ibu sebelum kujawab.

"Sayang, Tante, cantik-cantik begitu di jadiin pembantu. Kupinjem ya, Tant, buat model di agencyku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status