"Baiklah, Bu. Kalau itu keputusan Ibu. Sebentar ya, Banyu mau keluar dulu cari makan."
"Nggak perlu! Syahdu yang akan menyiapkan sarapan kita. Ini tugas pertama buat dia sebagai pembantu di rumah ini!""Syahdu belum bisa, Bu. Harus di ajarin dulu. Dan tidak sekarang. Belajarnya mulai besok saja. Sudah, kita DO makanan saja.""Syahdu, kamu lapar, kan?!" tanya Ibu dengan nada membentak."Iya, perutku keroncongan," jawab Syahdu sambil memegangi perutnya."Pergi ke dapur! Bikin mie instan dan telur ceplok sekalian buat kita semua!" perintah Ibu."Biasanya yang bikinin Mbok Nah. Syahdu nggak bisa.""Nggak ada Mbok Nah disini! Mulai sekarang kamu yang akan jadi Mbok Nah di sini!" bentak Ibu."Mas Banyu, Syahdu mau pulang. Syahdu mau Mbok Nah. Syahdu laper.""Tuh, urus ibu tirimu itu, Banyu!" perintah Ibu."Baik kalau kalian tidak mau, biar Banyu yang ngajari Syahdu. Ayo, Syahdu, Mas Banyu ajarin cara bikin mie dan ceplok telor." Syahdu akhirnya membuntutiku menuju dapur, lamat-lamat masih kudengar percakapan mereka tentangku."Tapi, Bu, kenapa Mas Banyu yang harus ngurus? Aku sebagai istrinya nggak rela, Bu.""Dia yang keukeuh perempuan itu tinggal di sini kan, Rum. Biarin saja. Masak kamu cemburu sama perempuan sinting begitu. Nggak mungkin Banyu nafsu dengan perempuan model begitu. Nggak usah kuatir.""Tapi, Bu, Ayah saja sampe bisa punya anak dengan perempuan itu ... " gerutu Arumi dengan mimik cemberut."Banyu tidak seperti ayahnya. Aku yakin, Rum," ucap Ibu yang bikin hatiku getir.Di dapur"Taruh Dinda, biar main sendiri di sini," perintahku pada Syahdu lalu kuletakkan beberapa piring dan sendok di lantai dapur buat mainan Dinda.Setelah Dinda anteng main piring dan sendok, aku mulai mengajari Syahdu sambil sesekali kulirik wajahnya yang polos tanpa dosa dan beban."Ambil wajan yang di gantung itu, Syahdu, lalu isi air dari galon ini ya.""Wajan itu yang mana?""Ya Allah Ya Rabb, Sabar Banyu, ini ujian. Anggap saja kamu sedang ngajari anak TK," kuelus dada dan kutarik nafas dalam-dalam, Wajan saja tidak tahu, bagaimana Syahdu akan jadi pembantu di rumah ini."Wajan itu yang seperti ini, Syahdu. Ini namanya Wajan. Sepertinya kita butuh kenalan dulu dengan perabot dapur sebelum masak." Lalu satu persatu kusebutkan nama-nama perabot sambil kutunjukkan pada Syahdu.Syahdu terlihat antusias menyimak, mengangguk angguk sepertinya bisa paham. Sambil mengajari, sambil praktek tak terasa jadilah mie instan dan telor ceplok."Yeaaaah, Syahdu bisa masak mie dan telor!" teriak Syahdu kegirangan. Lalu dengan lahapnya makan sambil menyuapi Dinda pakai telor ceplok di lantai yang membuatku terharu melihatnya.Sedangkan Ibu, Arumi dan aku duduk di meja makan menikmati sarapan mie instan."Syahdu, duduk di atas di kursi sini makannya!" ajakku."Tidak ... tidak! Tidak ada tempat di sini buat dia.Tempatnya di bawah!" teriak Ibu yang membuatku geram.Selesai menyuapi Dinda, Syahdu beranjak dari duduknya."Eh ... Mo kemana kamu, Syahdu?!" tanya Ibu."Mau nyantai di kamar. Syahdu capek.""Enak aja mo santai-santai, terus siapa yang mau nyuci piring, nyapu sama ngepel?""Dia!" jawab Syahdu enteng sambil telunjuknya diarahkan pada Arumi."Eh, kurang ajar kamu, ya, nyuruh-nyuruh!""Syahdu sudah masak. Capek. Kamu belum ngapa-ngapain," jawabnya polos tanpa beban."Mas Banyu, ajarin Ibu tirimu itu sopan santun!""Syahdu, yuk kita nyuci piring dulu."Dan begitulah, dengan sabar kuajarin satu persatu pekerjaan rumah. Dari mencuci piring, menyapu, mengepel. Walaupun telingaku sampe panas dengar rengekan dan keluhannya tapi semuanya dia lakukan seolah dia seperti sedang bermain membuatku menahan tawa tapi juga kasihan tapi kadang jengkel juga.Gimana nggak jengkel, lagi asyik mencuci piring tiba-tiba spon yang berbusa sudah melayang ke mukaku. Dia tepuk-tepuk di mukaku."Apa-apaan kamu, Syahdu?""Biar wajahnya Mas Banyu kinclong kayak piring." Kalau nggak inget dia cacat, sudah kuremas-remas itu wajahnya."Nih, piring yang sudah bersih taruh di rak piring sana.""Syahdu capek, Mas. Kenapa yang ngerjain semua Syahdu? Tangan dan kaki Syahdu pegal semua. Syahdu mo ke kamar. Mau tidur." keluhnya sambil terisak."Sabar ya, Syahdu. Sedikit lagi selesai." Setelah kubujuk-bujuk akhirnya dia mau melanjutkan pekerjaannya walaupun dengan wajah manyun dan mata masih sembab."Nih, disapu yang bersih." Dengan menatapku cemberut, dia meraih sapu dari tanganku, menyapu asal-asalan membuatku iba sebenarnya.Tapi raut wajahnya berubah ceria ketika acara mengepel lantai."Awas, Mas Banyu, meluncuuur!" Dengan kecepatan tinggi dia dorong gagang pel membuatku kaget saja."Hati-hati Syahdu, licin! Ngepelnya nggak usah pakai meluncur-meluncur begitu.""Asyik tau, Mas. Ayo balapan, Mas. Mas Banyu disitu, aku di sini. Siap? Meluncuuuuur." Dan aku pun akhirnya tergoda ikut main luncuran, menikmati permainan Syahdu dengan tawa renyah dan hati bahagia, tak terasa pekerjaan selesai.Ah, kadang-kadang memang harus bersikap kekanakan seperti Syahdu untuk menghadapi kenyataan hidup biar terasa ringan dan menyenangkan.Keesokan pagi harinya, demi Syahdu aku rela bangun jam 4.Pelan-pelan kutinggalkan kamar supaya Arumi tidak ikut bangun. Aku menuju kamar Syahdu, membuka pintu kamarnya. Memang tadi malam aku sudah berpesan pada Syahdu untuk tidak mengunci pintu kamar.Melihatnya terbaring dengan baju tidur tipis yang sedikit tersingkap dan gundukan di dadanya yang terlihat begitu menantang membuat detak jantungku berdenyut cepat."Tidak, Banyu. Jangan lakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya. Dia bukan hakmu," batinku terus berperang, untunglah batin kananku akhirnya menang, kututup tubuh Syahdu dengan selimut lalu kubangunkan pelan."Seandainya perempuan ini adalah istri keduaku ... Apa memang sebaiknya kunikahi saja Syahdu supaya aku tidak terbelenggu dengan pikiran kotor dan dosa," bisik hatiku.Pikiran macam apa ini, Banyu. Makam Ayahmu juga masih basah. Ini tak pantas, Banyu. Tak pantas!"Syahdu, bangun, kamu harus melakukan tugasmu kalau nggak pengin dimarahi dan diusir Ibu.""Syahdu masih ngantuk! Mas Banyu saja yang mengerjakan," sanggah Syahdu sambil menggeliat manja yang sekali lagi menguji imanku."Bangun dulu, cuci muka, biar ngantuknya hilang." Dengan masih menguap Syahdu mau menurutiku."Mumpung Dinda masih tidur, kamu selesaikan pekerjaan rumah ya, seperti kemarin. Masih ingat kan, Syahdu? Mulai sekarang kamu bangunnya jam segini. Nanti aku beliin jam weker biar kamu bisa bangun tepat waktu," ucapku panjang lebar tapi Syahdu malah menangis."Syahdu pengin pulang, Mas. Syahdu nggak betah di sini. Semua orang di sini jahat sama Syahdu." Tiba-tiba dia sudah menjatuhkan kepalanya di bahuku sambil memelukku erat.Dan gundukan kenyal ini ... yang menempel di dadaku seperti setrum yang menggetarkan aliran darah di sekujur tubuhku membuatku benar-benar tersiksa."Syahdu, kamu sabar ya. Kalau di depan Ibu dan Mbak Arumi jangan peluk-peluk Mas Banyu ya. Sudah lepas peluknya. Nanti ada Mbak Arumi, kamu di marahi. Ayo sekarang kita mulai kerja.""Mas Banyu punyaku bukan punya perempuan galak itu." Tangisnya semakin tergugu menyayat hati."Iya, Mas Banyu punya Syahdu. Sudah diem ya. Kita ke dapur."Kami pun beranjak ke dapur. Setelah kuajari memasak nasi, aku melihat stok kulkas, lalu mulai browsing resep masakan. Dengan sebisanya kuajarin Syahdu mewujudkan resep itu.Jujur saja ini pun pertama kalinya aku terjun ke dapur untuk memasak. Hanya demi perempuan ini aku rela melakukannya."Syahdu, kita akan masak capcay dan goreng ayam buat sarapan. Kamu potong-potong dulu sayurannya, ya.""Gimana, Mas? Syahdu nggak bisa. Nanti kalau tangan Syahdu kepotong gimana?"Bisa, dicoba dulu. Lihat Mas Banyu, seperti ini." Aku mulai memotong-motong sayuran asal."Kita main masak-masakan ya, Mas. Aku dulu suka main masak-masakan sama teman-teman.""Nah, iya. Sekarang main masak-masakannya sama Mas Banyu. Seneng, kan?" hiburku."Iya, Syahdu seneng," jawabnya dengan mata berbinar yang membuatku sedikit lega.Dengan berpeluh keringat, akhirnya selesai dan tersaji sudah masakan Syahdu. Dari aromanya sih menggugah selera entah rasanya."Ini masakan apa? Rasanya aneh begini!" cerca Ibu dan Arumi setelah menyendok masakan kami."Harap maklum lah, Bu. Ini pertama kalinya Syahdu masak. Butuh jam terbang kan. Nanti sedikit demi sedikit juga rasanya lezat. Tunggu aja.""Kenapa Mas Banyu membela perempuan jal ... maksudku perempuan itu terus!""Kalau bukan aku siapa yang membela dia, Rum. Nggak adil kan 2 lawan 1?""Sudah, sudah, mulai besok Syahdu nggak usah masak. Ngerjain pekerjaan yang lain saja. Biar Ibu dan Arumi yang masak. Ibu jadi berasa mual, nggak nafsu makan. Kalau tiap hari begini, bisa-bisa badan Ibu kurus dan jadi sakit. Arumi juga jadi susah hamil karena kurang gizi."Alhamdulillah, hilang satu beban hidupku ngajari Syahdu masak.***40 hari sudah Ayah meninggalkan kami semua. Syahdu pun sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan rumah yang wajib dia kerjakan. Dan malam ini semua sanak saudara berkumpul untuk mendoakan Ayah."Banyu, perempuan yang bawa anak itu siapa?" tanya salah satu sepupuku, Rangga, yang matanya tak berkedip menatap Syahdu."Dia pembantu baru di sini, Ngga," sahut Ibu sebelum kujawab."Sayang, Tante, cantik-cantik begitu di jadiin pembantu. Kupinjem ya, Tant, buat model di agencyku.""Sayang, Tante, cantik-cantik begitu di jadiin pembantu. Kupinjem ya, Tant, buat model di agencyku.""Dia itu perempuan begini, Ngga," ucap Ibu sambil memiringkan jari telunjuk di dahinya."Ibu! Apa-apaan, sih!" Sungguh, aku tak rela Syahdu dicemooh Ibu."Sinting maksud Tante?" tanya Rangga yang sepertinya justru semakin penasaran dengan Syahdu."Iya.""Tapi nggak pa pa, Tante, aku cuma butuh wajah dan tubuhnya. Suka dengan wajah innocent nya. Lihatin deh, Tant. Dia dalam pose begitu saja sudah terlihat fotogenic apalagi kalau dipoles dan diarahin dikit.""Rangga ... Rangga ... matamu itu normal nggak sih. Perempuan model begitu kamu bilang fotogenic. Coba kamu lihatinnya dari deket sana. Jangan-jangan matamu siwer," cibir Arumi.Tapi jujur saja, apa yang dikatakan Rangga itu memang benar. Wajah dan tubuh Syahdu itu memang fotogenic."Nggak usah repot-repot, Ngga. Syahdu akan tetap jadi pembantu di sini. Kamu kayak nggak ada perempuan lain aja. Pembantu mau kamu embat juga," ujarku, m
Pagi buta bergegas aku menuruni tangga, netraku menyapu sekeliling ruangan mencari Syahdu yang biasanya jam segini sedang bersih-bersih di ruang tengah. Tapi pagi ini tak kelihatan batang hidungnya. Kususuri semua ruangan dan halaman tetap tak ada."Masak iya jam segini Syahdu belum bangun, tidak biasanya." Lalu aku menuju kamarnya, ternyata dia masih tertidur, meringkuk dengan tubuh menggigil."Syahdu! Ya Allah tubuhnya panas sekali. Syahdu, kamu sakit?" Sambil kupegang dahinya yang panas, kubangunkan Syahdu pelan. "Dinda! Jangan sakiti Dinda!" Dengan suara parau buru-buru dia mendekap Dinda yang terbaring di sampingnya."Siapa yang mau menyakiti Dinda, Syahdu? Ini Mas Banyu. Kamu mimpi buruk ya?" Dia hanya menggelengkan kepala dengan tatapan seperti ketakutan. "Aku nggak mau kehilangan Dinda, jangan sakiti dia!""Iya, tidak ada yang akan menyakiti Dinda. Apa yang kamu rasakan? Pusing? Kamu kecapekan ya. Hari ini kamu istirahat dulu. Nggak usah ngerjain kerjaan rumah. Sebentar, Mas
POV Syahdu Satu tahun kemudian "Mama, Dinda pengin didongengin.""Sst ... jangan berisik, adik sudah bobok.""Tapi Dinda nggak bisa bobok kalau nggak didongengin.""Sini, mama usap-usap punggung Dinda ya biar bisa bobok."Dinda ... Putriku yang selalu menemani hidupku dalam suka dan duka. Ikut terlunta-lunta bersamaku terbawa kejamnya arus kehidupan. Wajah-wajah biadab itu sedikit pun tak akan pernah kubiarkan beranjak dari ingatanku. Terlintas kembali peristiwa setahun yang lalu...Tubuhku yang sudah lemah lunglai dengan kepala pusing tak karuan tertindih tubuh penjajah harga diriku. Tak ada yang bisa kulakukan saat itu selain menangis histeris."Diem kamu, Syahdu. Semakin kamu nangis kenceng, aku akan semakin kasar padamu!" ancam laki-laki biadab itu yang terus saja melampiaskan hasrat setannya tak peduli rintihan kesakitanku sambil terus menampar mulutku.Tiba-tiba dia menjerit kesakitan. Tubuhnya terkulai di atasku. Seseorang telah memukul kepalanya dengan benda keras. Tampak
"Hus! Kamu diajak rembugan malah bikin tambah ruwet saja. Ya sudah kamu cari orang di rumah sakit ini, mungkin ada orang yang mau nampung mereka. Kalau nggak ada udah buang lagi saja di jalanan. Selama ini nyatanya dia bisa hidup di jalanan, kan. Baik-baik saja.""Saya nggak tega, Dok.""Atau taruh di panti asuhan atau panti jompo saja, Dit.""Tapi, Dok, itu bukan tempat yang tepat buat mereka. Jiwa kemanusiaan saya meronta-ronta ini, Dok. Biar mereka kubawa ya.""Kamu jangan bercanda, Dit.""Kali ini saya nggak bercanda, Dok. Saya serius. Mana tega saya membuang perempuan dengan kekurangan seperti itu dan punya anak kecil lagi.""Kamu masih mahasiswa, mana bisa menghidupi mereka, ngasih makan mereka?""Yang penting saya nggak punya istri kan, Dok. Saya masih bebas. Soal makan gampang. Masih cukup kalau buat bertiga. Kan saya dapat gaji dari Dokter.""Kamu nggak bisa bersenang-senang lagi, dong.""Nggak pa pa daripada saya kepikiran mereka terus, terlunta-lunta di jalanan. Mana bisa s
"Gimana, Nak Adit?""Gimana ya, Pak. Saya sebenarnya belum siap menikah. Terlalu muda bagi saya untuk punya istri. Belum bisa terikat, masih pengin menikmati kebebasan. Atau gimana kalau mereka saya titipin di sini saja, Pak? Saya yang akan menanggung hidup mereka, cuma tinggalnya biar di sini saja, di rumah Pak RT.""Waduh, Nak Adit. Kalau yang mau dititipin itu wujudnya masih anak-anak Bapak dengan senang hati menerima dia. Atau kalaupun gadis itu wujudnya buluk gitu, Bapak juga nggak masalah. Tapi ini wujudnya bikin jantung berdebar-debar. Bisa-bisa nanti terjadi perang dunia ketiga di rumah Bapak.""Ada-ada aja Pak RT. Baru ngadepi perempuan model begini udah klepek-klepek. Di mata Adit, nih perempuan biasa saja. Sudah, nanti saya yang jelasin sama Bu RT, Pak.""Nggak, Nak Adit. Bapak yang takut tergoda, takut khilaf. Sudah yang paling pas, Nak Adit saja yang menikahi perempuan ini.""Berarti mau nggak mau saya harus menikah saat ini juga. Ya sudah, Pak, saya minta tolong bantuin
"Dasar perempuan aneh! Memangnya ada orang lain yang mau menikahi kamu? Tentu saja aku Aditya! Orang yang membawamu tadi. Kenapa? Aku ganteng ya?""Bukan! Kamu bukan om Adit! Om Adit gondrong, ada kumisnya, jelek!""Syahduuuuuu ... Kenapa kamu masih memanggilku Om?! Aku bukan Om mu. Aku ini sebentar lagi jadi suamimu! Panggil aku ... Mas Adit! Inget ... Mas Adit! Sekali lagi kamu panggil Om, aku balikin kamu ke jalanan!"Nak Adit, jadi nggak ini nikahnya? Kok malah berantem. Berantemnya nanti saja di kamar. Hayo sekarang dilanjutin ijabnya. Nak Syahdu, maaf ya tadi tidak ijin Nak Syahdu dulu, Bapak yang nyukur rambut Nak Adit dan nyuruh Nak Adit ngabisin kumisnya juga. Tapi jadi tambah ganteng kan, Nak Syahdu?" Aku mengangguk kemudian menunduk malu karena diketawain seisi ruangan.Kemudian laki-laki itu menjabat tangan Pak RT. Dengan lantang mengulang ijab qobul, "Saya terima nikahnya Syahdu binti Fajar ... " Tangisku meraung teringat Bapak."Bapaaaak, Syahdu kangen." Aku terisak sese
Bunga ilalang Part14_Bulan madu 1Dan malam itu, pertama kalinya aku merasa aman, bisa tidur nyenyak tanpa ketakutan dan gelisah.Kebiasaan bangun jam 4 di rumah Mas Banyu membuatku terbangun juga tepat jam 4 di rumah kontrakan Mas Adit. Ada rasa haru melihat Mas Adit terbaring meringkuk di lantai, tanpa alas, tanpa selimut, tanpa bantal karena semuanya untukku dan Dinda. Laki-laki yang tak kukenal tapi dengan ikhlas mau berbagi hidupnya denganku dan Dinda.Semua yang biasa kulakukan di rumah Mas Banyu pun kulakukan di rumah Mas Adit. Aku mulai membersihkan ruangan yang hanya terdiri satu ruangan jadi cepat selesai, lanjut mencuci bajuku dan Dinda karena waktu di rumah Mas Banyu pun bajuku dan Dinda tidak boleh di masukin ke mesin cuci. Tapi dari situ aku jadi bisa mencuci baju sendiri walaupun pertama asal-asalan tapi lama-lama ngerti. Selesai mencuci, aku sikat sekalian kamar mandi yang sudah dekil. Ternyata suara sikatku membangunkan Mas Adit."Syahdu, ngapain pagi buta sudah beri
Bunga Ilalang Part15_Bulan_madu_2Aku pun buru-buru masuk rumah, sedangkan Mas Adit meneruskan menjemur baju sambil teriak-teriak masih saja mengomeli orang-orang di bawah pohon mangga tadi."Sekarang kalian kenapa diam, nggak godain aku, hah? Dasar laki-laki mata keranjang! Seneng amat nggodain bini orang. Godain tuh sana gadis yang masih bebas!" "Ayo, ah, bubar ... bubar ... bubar!" teriak mereka."Syahdu, aku mau cari sarapan dulu ya, kamu kunci pintunya. Jangan keluar-keluar sebelum aku pulang. Di sini banyak buaya liar!""Buaya, Mas? Syahdu takut! Syahdu mau ikut Mas Adit saja!""Nggak usah, pokoknya diam di dalam, jangan keluar. Nonton TV saja."Setelah Mas Adit pergi, aku pun buru-buru mengunci pintu karena ketakutan. Tak berapa lama Mas Adit sudah datang menenteng plastik."Eh, Dinda udah bangun," sapa Mas Adit sambil menciumi Dinda yang sudah duduk menonton TV."Udah dong, Om. Kan Dinda laper mau makan," ucapku mewakili Dinda."Masih manggil Om juga?! Kamu lupa sekarang aku