Bunga Ilalang
Part 4_ Masa laluKusruput teh hangat yang baru saja disuguhkan Mbok Nah sambil mencomot pisang goreng, menemani Mbok Nah yang mulai memotong-motong sayuran di meja berhadapan denganku."Rahasia apa ya, Mbok?" Aku mengulang pertanyaanku dengan dada berdebar."Saya percaya dengan Mas ... ""Banyu, Mbok.""Iya, ... Mas Banyu. Kalau saat ini saya begitu percaya Mas Banyu dan sampai menyuruh sampeyan masuk ke rumah ini, itu karena saya kemarin melihat Mbak Syahdu memeluk Mas Banyu. Sebelumnya Mbak Syahdu tidak pernah tiba-tiba memeluk orang yang tidak dikenal. Meskipun orang menganggapnya gila, tapi sebenarnya dia tidak gila. Jadi saya yakin Mbak Syahdu kenal Mas Banyu, kalian pasti dekat. Dan saya punya harapan Mas Banyu bisa menolong Mbak Syahdu," tutur Mbok Nah dengan mata berkaca-kaca."Iya, Mbok. Saya sebenarnya putra dari Pak Guntur. Cucu Mbah Sinem. Pasti Mbok Nah kenal kan dengan embah saya?""O ... Iya. Tentu saja Mbok Nah kenal. Jadi Mas Banyu ini putra Pak Guntur? Kalau putra Pak Guntur tentunya tidak akan mau menolong Mbak Syahdu." Wajah Mbok Nah yang tadi penuh harapan berubah muram lagi."Saya akan menolong Syahdu, Mbok. Apalagi kalau jelas-jelas Ayah saya bersalah. Saya berjanji akan membebaskan Syahdu dari Ayah walaupun harus dengan melawan Ayah.""Makasih banyak Mas Banyu.""Tolong ceritakan rahasia Ayah ke saya ya, Mbok. Saya janji tidak akan melibatkan Mbok Nah dan saya juga jamin Mbok Nah aman.""Sebentar Mbok masukin sayurannya dulu ya," Mbok Nah beranjak dari kursi, menuang sayuran ke panci yang sudah terisi air mendidih lalu kembali duduk sambil membawa sepapan tempe untuk di potong-potong."Waktu masih muda, ayah Mas Banyu dan bapak Mbak Syahdu itu bersahabat. Sangat dekat malah. Waktu itu Simbok sudah ikut kakeknya Mbak Syahdu jadi tahu sekali kedekatan mereka. Tapi setelah lulus SMA, persahabatan mereka retak karena sama-sama mencintai satu perempuan yaitu Ibu Mbak Syahdu. Ayahnya Mas Banyu diam-diam memendam amarah dan dendam apalagi setelah tahu bahwa wanita yang mereka cintai akhirnya memilih bapaknya Mbak Syahdu." Cerita Mbok Nah membuatku tersentak, tidak menyangka ada perempuan lain di masa lalu Ayah."Lalu, Mbok?""2 hari menjelang pernikahan mereka, rumah Bapak Mbak Syahdu geger, tergoncang, karena tiba-tiba pihak mempelai wanita membatalkan pernikahan mereka.""Kenapa, Mbok?""Sebentar ya, Mas. Simbok mau bikin orek tempe dulu. Mas Banyu lanjutin ngeteh dulu dan pisangnya dihabisin, Mas." Mbok Nah kembali beranjak meninggalkanku dengan rasa penasaran."Yah, Mbok Nah. Bikin penasaran saja." Baru saja menggigit pisang goreng, terdengar suara tangis anak mendekat yang membuatku berdebar-debar.Tak berapa lama terlihat Syahdu yang masih memakai baju tidur menggendong putrinya yang menangis. Matanya membulat terkejut menatapku. Dadaku semakin berdebar tak karuan. Entahlah, kenapa setiap menatap mata Syahdu, aku tak bisa mengendalikan gejolak terlarang ini. Dihati kecil berharap aku tak punya Arumi."Mas Banyu!" teriaknya dengan mata berbinar lalu mendekatiku dan seperti kemarin langsung menghambur ke dadaku meski menggendong Dinda, putri kami.Aku pun tak pernah bisa menolak pelukannya walaupun aku tahu ini tidak benar. Seperti ada sebuah ikatan meski kami tak pernah berkomunikasi. Hanya sekali raga kami menyatu, tapi ikatan batin sudah mengikat kami erat.Kuusap pucuk rambut Syahdu lalu gantian pucuk rambut Dinda. Aku kemudian meraih tubuh Dinda dari gendongan Syahdu. Melihat anak ini, entahlah, naluri kebapakanku tiba-tiba muncul.Anehnya, Dinda tak berontak seperti halnya anak kecil yang digendong orang asing. Apa mungkin Dinda bisa merasakan kalau aku ini ayahnya. Dia sepertinya nyaman di gendonganku bahkan menyandarkan kepalanya di bahuku."Dinda, kenapa nangis?" Dalam gendonganku, kuciumi wajahnya dengan haru, seperti mimpi, aku menggendong darah dagingku. Anakku ..."Dinda nakal, penginnya nenen terus nggak mau lepas. Ibu kan laper pengin makan," jawab Syahdu polos dengan wajah cemberut."Mbok, Syahdu pengin makan. Masak apa?""Iya, Mbak Syahdu. Bentar ya, Mbok siapin. Baru saja matang ini. Sekalian sarapan bareng Mas Banyu.""Iya, Mbok. Syahdu mau. Syahdu mau," jawab Syahdu terlihat girang."Mending Mbak Syahdu mandi dulu sambil nunggu Mbok Nah nyiapin makan. Malu sama Mas Banyu. Mumpung Neng Dinda ada yang ngajak.""Iya, Mbok," Dengan muka tersipu Syahdu berlalu dari hadapanku.Aku duduk di kursi meja makan sambil memangku Dinda dan mengajaknya bersendau gurau, sedangkan Mbok Nah sibuk menyiapkan makanan di meja makan."Mbok, lanjutan ceritanya tadi bagaimana?""Tadi nyampai apa, Mas Banyu?""Kenapa mempelai wanita membatalkan pernikahan?""Mempelai wanita tiba-tiba seperti orang stress. Depresi, Mas. Berteriak-teriak 'Aku kotor! Aku nggak pantas untukmu!' Dan setelah diusut bapaknya Mbak Syahdu ternyata kesucian Ibunya Mbak Syahdu sudah direnggut paksa oleh ayahnya Mas Banyu. Setelah melakukan itu, Pak Guntur melarikan diri pergi merantau. Kata bapaknya Mbak Syahdu memang ayahnya Mas Banyu sempat mengancam 'Kamu akan menikahi barang bekas!' Tapi tidak di gubris bapaknya Mbak Syahdu. Ternyata ancaman Pak Guntur tidak main-main. Tapi nasi sudah menjadi bubur." Aku tersentak, aliran darahku seperti berhenti."Tidak! Tidak mungkin! Syahdu tidak mungkin saudaraku. Mana mungkin ayah menikahi putrinya sendiri!" Aku mencoba menenangkan pertentangan di batinku."Jadi ... Syahdu ... anak Ayah, Mbok?" dengan terbata kuberanikan bertanya.Tapi sebelum Mbok Nah menjawab, Syahdu tiba-tiba sudah ada di depanku dengan wajah yang terlihat segar dan wangi, memamerkan senyum manisnya. Kecantikannya tidak memudar sedikit pun meski sudah punya anak."Syahdu sudah mandi. Sekarang boleh makan, kan? Laper ..." ucapnya sambil memengang perutnya."Iya, Mbak Syahdu. Boleh makan sekarang. Sini, Mas Banyu, biar Dinda Mbok mandiin dulu. Mas Banyu sarapan sama Mbak Syahdu dulu. Seadanya ya, Mas." tutur Mbok Nah sambil meraih Dinda dari pangkuanku."Makasih banyak, Mbok." jawabku tertegun menatap Syahdu yang mengambil nasi dan sayur.Dengan berbagai pikiran yang berkecamuk, selera makanku jadi hilang. Bagaimana kalau Syahdu ternyata saudara sebapak denganku. Lamunanku dikejutkan oleh sebuah piring yang disodorkan Syahdu padaku lalu dia mengisinya dengan nasi, sayur bening bayam, wortel dan jagung, orek tempe serta perkedel kentang."Mas Banyu, makan," ucapnya sambil menatapku dengan tatapan polos tapi begitu teduh penuh cinta.Kami menikmati sarapan dengan sama-sama terdiam. Sesekali mata kami bertemu tapi kemudian Syahdu menunduk tersipu. Dan dadaku dari tadi sudah bertalu-talu seperti genderang perang. Sama sekali aku tak mengerti diriku, kenapa aku bisa tergila-gila dengan sosok Syahdu yang jelas-jelas punya kekurangan. Bahkan sosok Arumi pun tak bisa menggesernya.Setelah selesai sarapan, dan Dinda pun juga sudah mandi dan disuapin Mbok Nah, terbersit sebuah ide."Mbok, boleh nggak kalau saya bawa Syahdu dan Dinda jalan-jalan?""Wah, tentu saja boleh, Mas. Sejak Simbok tinggal di sini, Syahdu tidak pernah diajak Pak Guntur jalan-jalan. Paling Simbok ajak ke pasar.""Tapi Ayah nggak mungkin datang hari ini kan, Mbok?""Nggak, Mas. Dia kalau pulang ke Bekasi tiga harian baru balik ke sini.""Dan nggak pernah nelepon Syahdu kalau pas di Bekasi, Mbok?""Nggak pernah, Mas. Pak Guntur sudah percaya sama Simbok.""Berarti aman ya, Mbok. Syahdu, kamu ganti baju dulu. Mau nggak jalan-jalan?" tanyaku."Yeah ... jalan-jalan! ... Mau, Mas. Dinda, kita mau jalan-jalan!" pekik Syahdu kegirangan dengan tingkah persis seperti anak kecil yang membuatku terharu melihat sebuah kenyataan bahwa sebenarnya kebahagiaannya sangatlah sederhana.Disaat Syahdu dengan membawa Dinda ke kamar untuk mengganti baju, aku kembali mengorek Mbok Nah."Mbok Nah, ayo dilanjutin. Jadi Syahdu anak Ayah, Mbok?" tanyaku berdebar-debar."Setelah pernikahan dibatalkan, bapaknya Mbak Syahdu tidak patah arang. Dia terus mendekati ibunya Mbak Syahdu. Bahkan bersedia menerima apapun kondisi ibunya Mbak Syahdu termasuk kemungkinan hamil.""Dua bulan berlalu, Alhamdulillah ibunya Mbak Syahdu tidak hamil, kesehatan jiwanya berangsur membaik dan akhirnya bersedia menikah dengan bapaknya Mbak Syahdu." Plong ... lega rasanya mendengar penjelasan Mbok Nah, Alhamdulillah aku tidak bersaudara dengan Syahdu."Lalu, Mbok?""2 tahun setelah pernikahan mereka, lahirlah Mbak Syahdu. Tapi malang, Ibunya Mbak Syahdu harus meninggal pas melahirkan karena pendarahan hebat. Mbak Syahdu pun sempat kekurangan oksigen tapi Alhamdulillah selamat. Bapaknya Mbak Syahdu akhirnya merawat putrinya seorang diri. Masa kecil Mbak Syahdu memang sudah terlihat beda dari anak lain. Dia terlambat bisa jalan dan mengucapkan kata. Ketika menginjak remaja, badannya saja yang sudah terlihat orang dewasa tapi pikiran dan sikapnya masih kayak anak kecil."Memangnya Syahdu tidak sekolah, Mbok?""Sekolah, Mas. Tapi dari SD juga sudah kesulitan dalam membaca dan menulis. Waktu kelas 1 SMP, dia sering berontak di kelas. Berteriak-teriak. Pusing katanya. Nggak n
"Atas permintaan Pak Guntur, pernikahan itu harus dilakukan diam-diam. Sekedar ijab qobul saja di rumah. Pernikahan mereka hanya pernikahan siri mengingat status Pak Guntur yang sudah beristri. Dan Pak Guntur juga meminta identitasnya disembunyikan. Setelah Ijab, Mbak Syahdu langsung dibawa ke sini. Masih ingat bagaimana Mbak Syahdu menangis histeris harus berpisah dengan bapaknya. Tapi Pak Fajar tidak bisa berbuat apa-apa karena setelah menikah, Pak Guntur memang lebih berhak atas Mbak Syahdu.Sepeninggal Mbak Syahdu, Pak Fajar jadi sakit-sakitan, Mas. Selain karena kehilangan Mbak Syahdu, Pak Fajar juga tertekan dengan perlakuan Pak Guntur yang terus-nenerus menuntut haknya atas perkebunan dan pabrik mete. Tapi Pak Fajar tetap berusaha mempertahankan miliknya itu. Sampai suatu hari, Pak Guntur datang sendiri tanpa Mbak Syahdu ke rumah Pak Fajar, menengok Pak Fajar yang sedang sakit. Di kamar, Simbok sempat mendengar mereka bersitegang. Sepertinya Pak Guntur memaksa Pak Fajar untu
Turun dari kereta mini, Syahdu masih merengek-rengek menagih janjiku untuk mengajaknya bermain yang tidak-tidak. Membuat jantungku berdebar tak karuan dan aliran darahku berdesir cepat. Kenapa rengekan perempuan nggak normal sanggup menggugah syahwatku. "Ayo, Mas. Katanya tadi mau ngajak main kayak dulu," rengek Syahdu dan aku pun hanya bisa menelan ludah sambil berkali-kali beristighfar, menguatkan diri.Bingung, bagaimana harus menjelaskan padanya tapi aku harus berusaha menjelaskan dengan bahasa anak-anak dalam perjalanan kami ke danau."Nggak boleh, Syahdu. Permainan itu hanya boleh dilakukan kalau sudah menikah.""Menikah? Menikah itu bagaimana?""Menikah itu seperti Syahdu dan Pak Guntur," jawabku singkat."Nggak mau! Syahdu nggak mau menikah! Gara-gara menikah, Syahdu sering dipukul, ditampar, ditendang. Sakit tau, Mas,"celoteh Syahdu sambil sibuk mempraktekkan ucapannya, tangannya menampar pipinya sendiri, kaki menendang tanah dengan wajah memendam amarah."Syahdu punya salah
"Kemana kamu, Syahdu?" Ditengah kekalutanku tiba-tiba petugas keamanan mengabariku."Mas, ada gadis yang yang menggendong anak kecil sedang berteriak-teriak memanggil Mas Banyu.""Iya, Pak. Itu Syahdu. Dimana, Pak?""Di tempat pemberhentian kereta di dekat pintu masuk."Buru-buru aku dengan diantar petugas keamanan menuju tempat yang di maksud. Terlihat Syahdu duduk di dekat loket sambil mendekap Dinda dengan wajah kelelahan dan ketakutan. Melihatku, buru-buru dia menghambur ke pelukanku dan menangis sesenggukan."Kenapa kamu tinggalin Mas Banyu? Kan Mas Banyu sudah pesan, jangan kemana-mana!" "Tadi Syahdu kebelet pipis jadi Syahdu nyari kamar mandi. Tapi nggak ketemu jadinya Syahdu ngompol, Mas. Lalu ada kereta berhenti, Syahdu naik aja. Syahdu takut. Syahdu nggak ketemu Mas Banyu," jelasnya kemudian menangis lagi. "Sudah, diam nangisnya. Kan sudah ketemu Mas Banyu sekarang. Ayo pulang, ya. Sampai sudah sore begini. Kamu lapar kan? Kita sampai belum makan siang gara-gara kamu hilan
"Syahdu, kenapa kamu tidur di sini?" tanyaku penuh selidik pada Syahdu yang juga terduduk kebingungan karena nyawanya belum pulih tapi Ayah menarik lengannya lalu berkali-kali menampar pipi Syahdu."Hentikan, Yah! Ini tidak seperti yang Ayah lihat. Ayah telah salah sangka. Ayah lihat kan kami masih berpakaian utuh. Kami tidak melakukan apa-apa, Yah. Aku jamin itu.""Dasar, anak tak tahu diuntung! Jadi dari kemarin kamu seharian tidak di rumah bahkan tidak pulang itu karena kamu di sini, Banyu?! Apa maumu? Kamu menyukai Syahdu? Jawab Banyu!""Ayah yang harus menjawab pertanyaan Banyu! Apa yang sudah Ayah lakukan pada Bapaknya Syahdu?!""Apa maksudmu?" Terlihat wajah Ayah yang tiba-tiba pucat ketakutan."Banyu sangat menyesal, Ayah sudah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta! Sampai harus membunuh bapaknya Syahdu!""Lancang mulutmu, Banyu! Ayah mulai mengangkat tangannya mau menamparku lagi tapi kucekal lengannya."Benar kan, Yah?" "Siapa yang mencekoki kamu dengan fitnah it
Ternyata itulah pertemuan terakhirku dengan Ayah. Di hadapanku dan karenaku Ayah menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit. Kebencianku pada Ayah yang berapi-api seketika luntur. Pada kenyataannya aku tetap merasa kehilangan. Ada rasa sedih yang mendalam, rasa bersalah dan menyesal."Maafkan Banyu, Yah. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Ayah."Dan Ibu yang terlihat begitu shock. Menangis histeris dan berkali-kali pingsan. Bahkan Ibu sama sekali tak menyadari keberadaan Syahdu dan Dinda di antara kami. Syahdu yang begitu terpuruk, menangis tanpa jeda. Bukan karena kepergian Ayah tapi karena kehilangan Mbok Nah, sosok yang sudah dianggap Syahdu seperti seorang ibu. Entah kemana Mbok Nah pergi. Aku sudah tidak punya waktu untuk mencarinya karena harus mengurus Ayah. Dengan terpaksa Syahdu dan Dinda akhirnya kubawa pulang ke rumah tanpa tahu, bagaimana aku akan menjelaskan pada Ibu dan Arumi."Siapa perempuan dan anak ini, Mas?" Cerca Arumi menatap curiga Syahdu yang
"Jangan sekarang ya, Rum. Kita masih dalam suasana berduka. Tapi aku janji nanti akan aku ceritakan semua padamu dan Ibu.""Kami ingin penjelasan sekarang juga, Mas Banyu! Iya kan, Bu?""Iya, Banyu, jelaskan sekarang! Siapa dia?""Dia ... Dia istri Ayah," jawabku yang membuat Arumi dan Ibu tersentak kaget."Apa maksudmu, Banyu? Kamu bercanda, kan?""Tidak, Bu. Dia memang istri simpanan Ayah." Ibu menangis dan berteriak histeris."Tega kamu, Yah. Biadab! Suami tak tahu di untung! Pengkhianat!""Sudah, Bu. Maafkan Ayah. Ayah sudah tidak bersama kita lagi. Setiap manusia pernah melakukan khilaf. Kita maafkan Ayah ya, Bu, supaya Ayah tenang di sana." Kubiarkan Ibu menangis sepuasnya di pelukanku."Kenapa Ayahmu tega membohongi Ibu, mengkhianati Ibu, Banyu? Ibu pikir Ayah suami baik-baik. Tapi ternyata ... Jadi ini alasan Ayah jarang di rumah. Kenapa Ibu tidak menyadarinya sama sekali. Ibu kembali menangis sambil memukul-mukul dadaku meluapkan kemarahannya pada orang yang sudah tidak ada.
"Banyu minta maaf, Bu. Kali ini Banyu terpaksa jadi anak durhaka. Banyu akan mempertahankan Syahdu untuk tetap tinggal di rumah ini. Syahdu akan jadi tanggung jawab Banyu.""Kamu lebih memilih perempuan yang baru saja kamu kenal dan sudah merebut Ayahmu itu, Banyu, daripada Ibu dan istrimu?!""Ibu dan Arumi yang tidak punya hati. Lihat Syahdu, Bu. Dia seorang perempuan cacat yang layak kita kasihani. Tolong mengertilah, buka sedikit saja hati kalian buat dia. Banyu mohon.""Anak tak tau diri kamu, Banyu!""Maafkan Banyu, Bu. Dan aku juga sudah putuskan, Rum. Untuk sementara aku tidak akan kembali ke Jepang. Aku mau berhenti kuliah dulu, Bu, Rum. Atau mungkin untuk selamanya.""Karena perempuan jalang itu juga kan, Mas? Mas Banyu tidak mau meninggalkan dia! Iya, kan?""Jaga ucapanmu, Rum. Dia bukan perempuan jalang. Dia punya nama. Syahdu namanya! Kamu harusnya bisa lihat situasi. Ayah sudah nggak ada. Siapa yang akan membiayai kuliahku di Jepang. Aku juga memikirkan Ibu dan adikku. Ak