Share

CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)
CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)
Penulis: KARTIKA DEKA

Pindah

POV Cahaya

"Cahaya nggak mau pindah!" 

"Cahaya … jangan begitu toh Ndok. Itu mobilnya udah jemput."

"Nggak mau!" 

Aku tetap bertahan, tak mau beranjak dari kamarku. Aku sedih banget, hari ini Ayah mengajak kami semua pindah ke rumah baru. Nek Wid sejak tadi berusaha membujukku. Aku beneran nggak mau pindah hiks.

Di rumah ini, aku bisa ngerasain kehadiran Bunda. Aku bisa merasakan sentuhannya yang selalu membelai rambutku saat aku tidur. Walaupun aku tidak pernah bertemu dengan Bunda semasa dia masih hidup.

"Sayang, ayo dong. Nanti kita terlalu sore sampai di rumah baru." Kali ini Ayah yang mencoba membujukku.

Ayah mencoba mengambil album foto yang ada di pelukanku. Aku mengelak, kupunggungi Ayah dengan wajah cemberut. Album ini berisi foto-foto Bunda, hanya dengan melihat album ini aku bisa mengenali Bunda. 

"Sayang." Ayah meraih kepalaku ke dadanya. Aku tak sanggup untuk tak menangis di dada Ayah. 

"Yah, kenapa sih kita harus pindah." 

"Hmm, kita butuh suasana baru, Sayang." 

Aku tau maksud Ayah mengajak kami pindah jauh dari rumah ini. Gara-gara Ayah sering lihat aku ngobrol sama Bunda. Ayah nggak pernah percaya kalau kubilang aku lagi ngobrol sama Bunda. Sesekali Bunda memang menunjukkan dirinya padaku. Walaupun tidak setiap hari sih, tapi cukup untuk mengobati rasa kangenku. 

Katanya aku ini indigo, bisa melihat mereka yang tak bisa dilihat orang lain. Ayah mengajakku untuk menutup mata batinku sama Ustad Faruk, pemilik pesantren tempat Kek Darma pernah tinggal. Sekarang Kek Darma kembali tinggal bersama kami. Kata Ustad Faruk, kalau aku masih bisa 'melihat' aku akan diruqyah lagi. Aku nggak mau menutup mata batinku, biar tetap bisa ngobrol sama Bunda. Jadi terpaksa aku bohong sama Ayah, kalau aku udah nggak bisa 'melihat' lagi. Bunda dan aku selalu sembunyi-sembunyi kalau ngobrol. Kalian jangan beritahu Ayahku ya.

"Sayang, nanti di tempat baru, kamu akan punya banyak teman baru. Tidak seperti di sini, sepi. Ayah janji, kamu boleh ngajak main temanmu ke rumah kita nanti." 

"Janji." Aku mengacungkan jari kelingkingku ke depan Ayah.

"Iya, janji." Ayah menautkan jari kelingkingnya di jari kelingkingku.

"Oke, Cahaya mau." Ayah langsung tersenyum sumringah, aku menggandeng tangan Ayah keluar dari rumah, Nek Wid sudah lebih dulu masuk ke mobil yang akan mengantar kami ke Bandara.

Aku jadi senang, kalau Ayah bilang boleh bawa teman main ke rumah. Selama ini, aku memang nggak pernah dapat izin dari Ayah kalau mau bawa teman ke rumah. Nggak tau juga apa alasannya.

Sebelum naik ke mobil, aku melihat Bunda mengintip dari jendela kamarku. Kulambaikan tangan padanya, berharap Bunda ikut bersama kami. Bunda hanya tersenyum, membalas lambaian tanganku. Bunda, apa kita nggak akan pernah ketemu lagi?

Kupandangi terus Bunda yang masih mengintip kami, mobil mulai melaju pelan lama-lama semakin kencang. Meninggalkan Bunda dan kenanganku bersamanya. Bunda … Cahaya pasti akan kangen banget sama Bunda.

Oh iya, aku sampai lupa memperkenalkan diriku. Namaku Cahaya Andini, nama Ayahku Roni, nama Bundaku Dewi. Kalian pasti mengenal mereka kan? Usiaku sebenarnya sudah lima belas tahun. Aku sudah kelas sepuluh loh di tahun ajaran ini, tapi … karena wajahku yang imut dan sifatku yang 'katanya' manja, banyak yang menyangka usiaku masih dua belas atau tiga belas tahun hehe.

★★★KARTIKA DEKA★★★

"Ini rumah baru kita, Sayang," kata Ayah ketika kami sudah sampai di rumah baru kami. 

Kami semua turun dari mobil, dengan barang bawaan masing-masing. Eh, aku nggak deng hehe. Aku hanya membawa tas ransel kecilku, juga album foto yang tetap ada dalam dekapanku.

Kami cuma bawa pakaian saja. Sementara perabot sudah ada semua di sini. Ayah membeli rumah ini, lengkap dengan perabotannya. Aku memindai setiap sudut rumah. Celingak celinguk mencari kamarku yang mana. 

"Yah, kamar Cahaya yang mana?" 

"Di atas." Ayah menunjuk ke arah atas.

Setengah berlari aku menaiki anak tangga satu persatu. Tak sabar ingin tau kamarku seperti apa di sini. 

"Cahaya! Jangan lari-lari Ndok!" 

"Iya Nek!" sahutku melihat ke bawah. Ternyata Nek Ipah yang memperingatkanku. Masih sempat kulihat Ayah menggeleng-gelengkan kepala melihat ke arahku.

Sampai di atas, aku berhenti sejenak. Kuperhatikan ada tiga kamar di sini, yang mana kamarku ya? 

"Ah, buka satu-satu aja." Aku bergumam sendiri.

Lebih dulu kubuka, kamar yang paling dekat dengan tangga. Kubuka perlahan, hemm ini pasti bukan kamarku. Soalnya di dalamnya gak ada warna kesukaanku. Juga terkesan klasik, aku tak suka.

Aku langkahkan lagi kaki perlahan, melihat ke kamar sebelahnya. Nah ini dia, ini pasti kamarku. Warnanya pink, ada boneka hello kitty juga di atas tempat tidurnya. Masuk ah, kupindai setiap sudut kamar ini. Lumayan luas, semoga aja aku dapat teman-teman yang asik yang bisa diajak main ke rumah nanti. Ada kamar mandi juga di dalam kamar. Kusibak tirai jendela, kereeen pemandangannya. Ada hutan tak jauh dari rumah ini. Tepatnya, hutan itu seperti pembatas antara rumah ini dengan pemukiman padat penduduk. Hutan itu juga tak terlalu luas. Bukan hutan sih kalau aku bilang, lebih seperti lahan kosong yang belum dibangun hunian baru.

"Hmm, kalau Bunda ada di sini, pasti Bunda seneng. Bunda, Cahaya kangen." Aku berkata pada album foto Bunda. Eits, aku tak gila ya, catet. Begitulah caraku mengekspresikan diri kalau sedang rindu sama Bunda. Suka bicara dengan album yang berisi banyak foto Bunda.

Kuletakkan tas ranselku juga album foto Bunda di atas nakas yang ada di samping tempat tidur. Kurebahkan tubuhku di atas kasur empuk, menggeliatkan tubuhku untuk sekedar membuang rasa penat sebentar. Padahal naik pesawat, tapi tubuhku lumayan capek juga. 

Kenapa sih, kami harus pindah? Mana Ayah sama Kakek menjual semua kebun dan rumah yang lama. Kan, jadi nggak ada alasan minta pulang. Ayah bilang, Ayah mau buka usaha baru di sini, di jantung kota. Kata Ayah sih. Ayah dan Kakek mau buka toko, seperti minimarket gitu. Buka sekaligus di beberapa titik yang padat penduduknya. Ah terserahlah, aku mana tau soal begituan. 

Eh, aku baru ingat. Tadi ada kamar satu lagi yang di ujung. Belum aku lihat isinya. Itu kamar siapa ya? Biasanya Nek Wid, Nek Ipah sama Nek Wiyah tidur di satu kamar. Terkadang salah satu dari mereka, suka menemaniku tidur. Lebih sering Nek Wid sih. Apa kamar Ayah atau Kakak?

Penasaran juga, kulihat ah. Kali aja kamar itu lebih keren dari yang ini. Kalau iya, aku mau kamar yang itu. 

Kuikat asal, rambutku yang tergerai karena aku rebahan tadi. Kulangkahkan kaki keluar dari kamar ini. Sebelum membuka pintu kamar yang satu lagi itu, aku melongok ke bawah. Yang lain masih pada sibuk ternyata. 

Biarin aja lah, kalau butuh bantuanku pasti dipanggil, aku lebih tertarik untuk melihat ke kamar itu. Pelan-pelan aku melangkah ke depan pintu kamar itu. Kucoba membuka handle pintunya. Loh! Kenapa ini?

"Ih, kenapa nggak bisa dibuka sih!" Aku terus berusaha penarik handle pintu kamar itu. Susah sekali.

"HAH!" teriakku terkejut. Ada yang memegang pundakku.

★★★KARTIKA DEKA★★★

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Sukaaaa banget ceritanya... Kasihannnn
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status