Share

Teman baru

POV Cahaya

"Bocah ini, bikin kaget aja!" sungut Nek Wiyah yang ternyata memegang pundakku.

"Nenek tuh yang buat kaget." 

"Iya, maaf. Tadi nenek mau manggil Haya. Takut Haya kaget makanya megang pundaknya dulu, eh malah tambah kaget hehe." 

"Nek, kamar ini kok dikunci sih? Haya mau lihat, kali aja dalamnya lebih bagus."

"Nenek juga nggak tau. Coba minta sama Ayahmu kuncinya."

"Males ah, turun ke bawah lagi." 

"Ya sudah kalau males. Tuh, susun baju Haya sendiri." Nek Wiyah malah melenggang pergi meninggalkan aku dengan sebuah koper besar yang berisi semua bajuku.

"Nek, bantuin."

"Males." Aku kalah telak. Nek Wiyah membalikkan kata-kataku. 

Yaaa, mau gimana lagi. Penasaran, tapi lebih gedean malesnya. Nanti saja nunggu Ayah naik, baru minta kunci kamar ini. Aku mau beresin bajuku dulu. Susah payah kuseret koper itu masuk ke dalam kamarku. 

Kususun dulu semua bajuku di atas tempat tidur. Kupisah antara baju rumah, baju sekolah, baju main juga baju buat pergi ke acara resmi. Sudah beres, nggak banyak juga. Tinggal masukin ke dalam lemari. 

"Heeiii!" Terkejut sekali aku, saat membuka pintu lemari pakaianku, melihat ada seorang anak perempuan sedang sembunyi di dalam lemari.

"Kamu siapa?"

"Sssttt, aku sedang sembunyi." Dia berbisik.

"Sembunyi? Dari siapa?" Aku celingukan melihat kesana kemari.

"Sudah, kamu diam aja. Jangan berisik." Dia meletakkan jari telunjuknya ke depan bibirnya. Dingin, seketika langsung menjalari tubuhku.

"Ketemu! Ternyata kamu sembunyi di situ." Aku menoleh mendengar suara itu. 

Belum lagi hilang rasa terkejut melihat ada anak perempuan di dalam lemariku. Kini muncul lagi seorang anak laki-laki dari dalam kamar mandi. 

"Yaaa, kamu sih berisik. Jadi ketauan kan!" Anak perempuan itu keluar dari dalam lemari, dengan muka cemberut dia duduk di pinggir tempat tidurku.

Tanpa mereka bilang, aku tau kalau mereka itu bukan manusia, alias hantu. Bagaimana aku bisa tau. Ya lihat dari wajah mereka yang pucat, kayak nggak punya darah. 

"Kamu yang nggak bilang-bilang kalau lagi maen petak umpet. Mana di lemari aku lagi." Aku juga nggak mau kalah, enak aja main salah-salahin orang sembarangan. 

"Eh, kamu kok bisa lihat kita? Kamu nggak takut?" tanya anak laki-laki yang dari kamar mandi tadi, dia berjalan ke arah anak perempuan itu dan duduk di sebelahnya. 

"Aku indigo," jawabku. Kubiarkan saja mereka, aku mulai memasukkan baju-baju yang sudah disusun ke dalam lemari.

"Indigo?" tanya mereka serentak. 

"Pantas kamu nggak takut lihat kami. Berarti kamu udah sering lihat hantu dong?" tanya anak perempuan itu.

"Nggak juga. Nggak semua hantu bisa menampakkan wujudnya di hadapan manusia." Kututup kembali pintu lemariku setelah usai memasukkan semua bajuku ke dalam.

"Pinggir pinggir! Kalian duduk di sofa sana. Aku mau rebahan, capek tau dari perjalanan jauh." 

"Kelihatan, anak manja." Si anak laki-laki itu malah mengejekku dengan bibirnya yang mencebik. Aku cuek aja. 

Meski dengan wajah ditekuk, mereka bergeser juga. Pindah tempat duduk jadi di sofa. 

"Namaku Cahaya. Kalian siapa." Aku memperkenalkan diri, setelah duduk di atas ranjangku dengan memeluk boneka hello kitty.

"Aku Dara." Si anak perempuan itu menjawab tapi anak laki-laki itu masih jutek aja mukanya. 

"Kamu?" 

"Dia Riko." Dara yang menjawab pertanyaanku untuk anak laki-laki itu.

"Kalian kok bisa ada di sini?" 

"Dulu, ini rumah kami." 

"Jadi kalian saudara?" 

"Nggak sih. Orang tua Riko adalah pemilik pertama rumah ini. Lalu rumah ini dibeli sama Papaku." 

"Oh, gitu. Jadi kenapa kalian bisa bareng ada di rumah ini? Usia kamu berapa saat meninggal? Dimana orang tua kalian sekarang?"

"Banyak tanya?" sinis Riko. Dia kelihatan kesal saja sama aku, mungkin karena aku tadi menyuruhnya bergeser. Ah peduli amat. Ini kamar aku, aku yang berkuasa.

"Aku meninggal di usia lima belas tahun. Riko usia tiga belas tahun." Dara langsung menjelaskan tentang Riko tanpa kutanya.

"Kita sebaya ternyata."

"Kalau aku masih hidup, aku sudah berusia delapan belas loh. Kalau Riko masih hidup, usianya sekitar dua puluh tahun." 

"Pantes songong, udah tua rupanya." 

"Apa!" Riko melotot mendengar kata-kataku. Ku cuekin, kayak bebek wek wek.

"Terus, kenapa kalian jadi arwah penasaran?" tanyaku. Penasaran juga, tapi aku bukan arwah kayak Dara dan Riko loh.

Dara berjalan mendekatiku, telapak tangannya mengarah padaku.

"Kamu mau apa? Jangan macam-macam!" Aku mundur, agak kutarik tubuhku ke belakang.

Agak ngeri juga. Selama ini aku memang sering lihat mereka, tapi tidak pernah berinteraksi secara langsung selain sama Bunda. Kata Bunda, kalau lihat mereka, harus pura-pura nggak lihat. Biar mereka tidak selalu muncul di hadapanku. 

Tapi melihat Dara pertama kali tadi, kupikir nggak ada salahnya berinteraksi sama dia. Tampangnya juga nggak menyeramkan. Termasuk manis.

"Tapi kamu pengen tau. Udah diem aja. Nggak usah takut, aku nggak ngapa-ngapain kamu." 

"Huuu, penakut ternyata," ejek Riko. 

"Heh! Aku tuh bukan penakut, nggak terbiasa aja kalau bersentuhan dengan hantu seperti kalian," sengitku. Sebel lama-lama lihat si Riko ini. 

"Hei, kami bukan hantu!" Riko tak terima.

"Lalu apa? Setan?" 

"Sudah-sudah, kok kalian malah berantem sih?! Riko, mungkin Cahaya bisa bantu kita. Jadi kamu jangan nyolot terus dong!"  Dara melerai kami.

"Hah, bener itu." Aku merasa di atas angin karena Dara membelaku.

"Kamu lagi, bisa agak kalem nggak sih jadi cewek." Lah, aku juga kena semprot. Apes benar aku, dimarahin sama hantu.

"Sekarang aku tanya. Kamu mau tau nggak, gimana kami mati? Karena kami sangat butuh bantuan kamu." 

Kulihat mimik wajah Dara benar-benar serius. Dia duduk di sebelahku dengan raut muka sedih.

"Kupikir-pikir dulu deh."

"Pliss, Ca. Bantu kami." Tatapannya sangat mengiba, aku jadi reflek menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Aku takut, ketahuan Ayah. Akhirnya Ayah akan menutup mata batinku lagi. Aku cukup nyaman dengan kelebihanku ini, meski Ayah tidak suka. Selama ini, kalau lihat tampang yang menyeramkan, aku pura-pura nggak lihat aja. Biar dia nggak mengikuti aku. Jarang juga sih, katanya tergantung energi juga. Kalau energi mereka bertentangan dengan kita, mereka nggak akan bisa berinteraksi dengan kita. Artinya, kalau kita berani, mereka yang takut. Begitu juga sebaliknya.

"Ca!" Dara menggoyang tanganku, dengan tangannya yang dingin.

"Memangnya apa yang bisa kubantu?" 

"Asik, beneran kamu mau bantu kita?" 

Aku hanya mengedikkan bahu. Masih bingung dengan keputusanku.

"Aku akan kasih lihat kamu, kejadian yang membuat aku sampai meninggal."

"Bagaimana caranya?"

"Kamu hanya perlu diam aja, santai, jangan tegang. Kamu pejamkan matamu perlahan." 

Aku mengikuti arahan Dara. Sebelum mataku benar-benar terpejam, aku sempat melihat Dara mengarahkan telapak tangannya ke wajahku. Kurasakan telapak tangan Dara yang dingin mulai menyentuh dahiku.

"Disini kamu rupanya." Sontak kubuka mataku.

★★★KARTIKA DEKA★★★

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status