Share

Teman baru

Author: KARTIKA DEKA
last update Last Updated: 2022-06-10 15:52:42

POV Cahaya

"Bocah ini, bikin kaget aja!" sungut Nek Wiyah yang ternyata memegang pundakku.

"Nenek tuh yang buat kaget." 

"Iya, maaf. Tadi nenek mau manggil Haya. Takut Haya kaget makanya megang pundaknya dulu, eh malah tambah kaget hehe." 

"Nek, kamar ini kok dikunci sih? Haya mau lihat, kali aja dalamnya lebih bagus."

"Nenek juga nggak tau. Coba minta sama Ayahmu kuncinya."

"Males ah, turun ke bawah lagi." 

"Ya sudah kalau males. Tuh, susun baju Haya sendiri." Nek Wiyah malah melenggang pergi meninggalkan aku dengan sebuah koper besar yang berisi semua bajuku.

"Nek, bantuin."

"Males." Aku kalah telak. Nek Wiyah membalikkan kata-kataku. 

Yaaa, mau gimana lagi. Penasaran, tapi lebih gedean malesnya. Nanti saja nunggu Ayah naik, baru minta kunci kamar ini. Aku mau beresin bajuku dulu. Susah payah kuseret koper itu masuk ke dalam kamarku. 

Kususun dulu semua bajuku di atas tempat tidur. Kupisah antara baju rumah, baju sekolah, baju main juga baju buat pergi ke acara resmi. Sudah beres, nggak banyak juga. Tinggal masukin ke dalam lemari. 

"Heeiii!" Terkejut sekali aku, saat membuka pintu lemari pakaianku, melihat ada seorang anak perempuan sedang sembunyi di dalam lemari.

"Kamu siapa?"

"Sssttt, aku sedang sembunyi." Dia berbisik.

"Sembunyi? Dari siapa?" Aku celingukan melihat kesana kemari.

"Sudah, kamu diam aja. Jangan berisik." Dia meletakkan jari telunjuknya ke depan bibirnya. Dingin, seketika langsung menjalari tubuhku.

"Ketemu! Ternyata kamu sembunyi di situ." Aku menoleh mendengar suara itu. 

Belum lagi hilang rasa terkejut melihat ada anak perempuan di dalam lemariku. Kini muncul lagi seorang anak laki-laki dari dalam kamar mandi. 

"Yaaa, kamu sih berisik. Jadi ketauan kan!" Anak perempuan itu keluar dari dalam lemari, dengan muka cemberut dia duduk di pinggir tempat tidurku.

Tanpa mereka bilang, aku tau kalau mereka itu bukan manusia, alias hantu. Bagaimana aku bisa tau. Ya lihat dari wajah mereka yang pucat, kayak nggak punya darah. 

"Kamu yang nggak bilang-bilang kalau lagi maen petak umpet. Mana di lemari aku lagi." Aku juga nggak mau kalah, enak aja main salah-salahin orang sembarangan. 

"Eh, kamu kok bisa lihat kita? Kamu nggak takut?" tanya anak laki-laki yang dari kamar mandi tadi, dia berjalan ke arah anak perempuan itu dan duduk di sebelahnya. 

"Aku indigo," jawabku. Kubiarkan saja mereka, aku mulai memasukkan baju-baju yang sudah disusun ke dalam lemari.

"Indigo?" tanya mereka serentak. 

"Pantas kamu nggak takut lihat kami. Berarti kamu udah sering lihat hantu dong?" tanya anak perempuan itu.

"Nggak juga. Nggak semua hantu bisa menampakkan wujudnya di hadapan manusia." Kututup kembali pintu lemariku setelah usai memasukkan semua bajuku ke dalam.

"Pinggir pinggir! Kalian duduk di sofa sana. Aku mau rebahan, capek tau dari perjalanan jauh." 

"Kelihatan, anak manja." Si anak laki-laki itu malah mengejekku dengan bibirnya yang mencebik. Aku cuek aja. 

Meski dengan wajah ditekuk, mereka bergeser juga. Pindah tempat duduk jadi di sofa. 

"Namaku Cahaya. Kalian siapa." Aku memperkenalkan diri, setelah duduk di atas ranjangku dengan memeluk boneka hello kitty.

"Aku Dara." Si anak perempuan itu menjawab tapi anak laki-laki itu masih jutek aja mukanya. 

"Kamu?" 

"Dia Riko." Dara yang menjawab pertanyaanku untuk anak laki-laki itu.

"Kalian kok bisa ada di sini?" 

"Dulu, ini rumah kami." 

"Jadi kalian saudara?" 

"Nggak sih. Orang tua Riko adalah pemilik pertama rumah ini. Lalu rumah ini dibeli sama Papaku." 

"Oh, gitu. Jadi kenapa kalian bisa bareng ada di rumah ini? Usia kamu berapa saat meninggal? Dimana orang tua kalian sekarang?"

"Banyak tanya?" sinis Riko. Dia kelihatan kesal saja sama aku, mungkin karena aku tadi menyuruhnya bergeser. Ah peduli amat. Ini kamar aku, aku yang berkuasa.

"Aku meninggal di usia lima belas tahun. Riko usia tiga belas tahun." Dara langsung menjelaskan tentang Riko tanpa kutanya.

"Kita sebaya ternyata."

"Kalau aku masih hidup, aku sudah berusia delapan belas loh. Kalau Riko masih hidup, usianya sekitar dua puluh tahun." 

"Pantes songong, udah tua rupanya." 

"Apa!" Riko melotot mendengar kata-kataku. Ku cuekin, kayak bebek wek wek.

"Terus, kenapa kalian jadi arwah penasaran?" tanyaku. Penasaran juga, tapi aku bukan arwah kayak Dara dan Riko loh.

Dara berjalan mendekatiku, telapak tangannya mengarah padaku.

"Kamu mau apa? Jangan macam-macam!" Aku mundur, agak kutarik tubuhku ke belakang.

Agak ngeri juga. Selama ini aku memang sering lihat mereka, tapi tidak pernah berinteraksi secara langsung selain sama Bunda. Kata Bunda, kalau lihat mereka, harus pura-pura nggak lihat. Biar mereka tidak selalu muncul di hadapanku. 

Tapi melihat Dara pertama kali tadi, kupikir nggak ada salahnya berinteraksi sama dia. Tampangnya juga nggak menyeramkan. Termasuk manis.

"Tapi kamu pengen tau. Udah diem aja. Nggak usah takut, aku nggak ngapa-ngapain kamu." 

"Huuu, penakut ternyata," ejek Riko. 

"Heh! Aku tuh bukan penakut, nggak terbiasa aja kalau bersentuhan dengan hantu seperti kalian," sengitku. Sebel lama-lama lihat si Riko ini. 

"Hei, kami bukan hantu!" Riko tak terima.

"Lalu apa? Setan?" 

"Sudah-sudah, kok kalian malah berantem sih?! Riko, mungkin Cahaya bisa bantu kita. Jadi kamu jangan nyolot terus dong!"  Dara melerai kami.

"Hah, bener itu." Aku merasa di atas angin karena Dara membelaku.

"Kamu lagi, bisa agak kalem nggak sih jadi cewek." Lah, aku juga kena semprot. Apes benar aku, dimarahin sama hantu.

"Sekarang aku tanya. Kamu mau tau nggak, gimana kami mati? Karena kami sangat butuh bantuan kamu." 

Kulihat mimik wajah Dara benar-benar serius. Dia duduk di sebelahku dengan raut muka sedih.

"Kupikir-pikir dulu deh."

"Pliss, Ca. Bantu kami." Tatapannya sangat mengiba, aku jadi reflek menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Aku takut, ketahuan Ayah. Akhirnya Ayah akan menutup mata batinku lagi. Aku cukup nyaman dengan kelebihanku ini, meski Ayah tidak suka. Selama ini, kalau lihat tampang yang menyeramkan, aku pura-pura nggak lihat aja. Biar dia nggak mengikuti aku. Jarang juga sih, katanya tergantung energi juga. Kalau energi mereka bertentangan dengan kita, mereka nggak akan bisa berinteraksi dengan kita. Artinya, kalau kita berani, mereka yang takut. Begitu juga sebaliknya.

"Ca!" Dara menggoyang tanganku, dengan tangannya yang dingin.

"Memangnya apa yang bisa kubantu?" 

"Asik, beneran kamu mau bantu kita?" 

Aku hanya mengedikkan bahu. Masih bingung dengan keputusanku.

"Aku akan kasih lihat kamu, kejadian yang membuat aku sampai meninggal."

"Bagaimana caranya?"

"Kamu hanya perlu diam aja, santai, jangan tegang. Kamu pejamkan matamu perlahan." 

Aku mengikuti arahan Dara. Sebelum mataku benar-benar terpejam, aku sempat melihat Dara mengarahkan telapak tangannya ke wajahku. Kurasakan telapak tangan Dara yang dingin mulai menyentuh dahiku.

"Disini kamu rupanya." Sontak kubuka mataku.

★★★KARTIKA DEKA★★★

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Tamat

    [Aku ikut] balas Rindi.[Cilla mana nih? Jangan ngintip aja] komen Meti. Aku mulai memikirkan permintaan Ayah. Kayaknya nggak salah juga sih, masuk pesantren. Tapi, aku mau request di pesantren mana aku mau belajar. [Aku bilang ayahku dulu ya. Nanti aku kasih tau kalian semua] Setelah mengirim komentar, aku tinggalkan hapeku di atas tempat tidur, lalu gegas turun ke kamar Ayah. Tok tok tokKu ketuk pintu kamar Ayah sambil memanggil Ayah. "Yah." "Ya." Mendengar Ayah menyahut. Aku membuka pintu kamar Ayah perlahan. Aku melihat Ayah sedang berdiri di dekat jendela. Entah apa yang dilihatnya di luar sana. "Yah, Ayah marah sama Cahaya?" tanyaku hati-hati. Ada rasa bersalah sih, udah buat Ayah jadi sedih. "Nggak," jawab Ayah. "Yah. Haya mau masuk pesantren." Ayah langsung melihat wajahku ketika kubilang kalau aku mau masuk pesantren. Mungkin nggak percaya juga sih. Soalnya, tadi kan aku jelas menolak dengan sangat tegas."Kamu beneran mau?" tanya Ayah untuk benar-benar memastikan.

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Dipindahkan ke pesantren

    Ayah mengajakku pulang bersamanya setelah jenazah Pak Rahman dimakamkan. Apa sebaiknya aku ceritakan sama Ayah aja ya, tentang penglihatanku? Tapi … nanti Ayah pasti akan menutup mata batinku. Yang kulihat adalah sebuah kasus kejahatan. Mana mungkin hanya aku and the genk yang mengungkap. Mana ada yang percaya sama aku. Apalagi pelakunya juga sudah mati. "Kok melamun? Lagi mikirin apa?" tegur Ayah. Sebaiknya aku cerita aja lah sama Ayah. Tak tenang juga kalau terus dihantui begini. "Yah." "Hmm." Ayah tetap fokus pada jalanan. "Em …." Duh, beratnya lidah ini mau bicara. "Apa sih? Bikin penasaran," tanya Ayah. "Tapi Ayah janji, jangan marah sama Haya." Dahi Ayah mengkerut mendengar yang kukatakan. "Kenapa harus marah? Kamu bikin salah di sekolah?" "Nggak," jawabku seraya menggeleng."Terus?" "Yah, dulu ada kejadian di sekolah Haya–" "Kejadian apa?" "Jangan potong dulu dong." Kesel, Ayah belum apa-apa udah motong kata-kataku."Ok ok," kata Ayah sambil membentuk garis pada bi

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Penglihatan

    Wina tak menjawab. Namun terpaksa menurut juga. Dia hanya anak orang susah. Dia tak mau orang tuanya bertambah susah karena masalah ini. Sebenarnya Wina anak yang berani, sebab itu dia berani melaporkan anak Pak Rahman yang sudah membully Yanto. Yanto salah satu murid yang berprestasi, sehingga selalu saja bisa mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Anak Pak Rahman sangat membenci Yanto, karena guru-guru di sekolah, selalu memuji dan menjadikan Yanto contoh teladan buat murid lainnya. Namun situasinya sekarang, dia sedang terpojok. Mau tak mau dia harus menuruti anak Pak Rahman. Wina terus saja menangis, sambil membereskan ruangan kelas yang berantakan. Aku mengikuti anak Pak Rahman, mau diapakan jenazah anak Pak Rudi? Kulihat mereka menggotong anak Pak Rudi keluar gerbang sekolah, setelah sebelumnya, temannya yang berkulit hitam mengawasi sekitar. Kebetulan jalanan di depan sekolah sangat lengang. Tak ada satupun kendaraan yang lewat. Di seberang sekolah masih lahan kosong. Sem

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Ternyata anak Pak Rahman

    "Berani kau!" gertak anak Pak Rahman.Matanya nyalang menatap anak Pak Rudi. Aku lihat, diam-diam anak perempuan yang hampir dilecehkan tadi diam-diam berjalan ke arah pintu. Dia memanfaatkan situasi, disaat anak Pak Rahman dan teman-temannya lengah karena fokus pada anak Pak Rudi.Saat dia sudah dekat ke pintu, cepat dia berlari, sambil menarik tangan anak Pak Rudi. Berdua mereka berlari sambil bergandengan tangan. Anak Pak Rahman dan teman-temannya reflek mengejar mereka. Aku juga ikut berlari mengikuti, ingin tau apa yang terjadi selanjutnya. Anak Pak Rahman, berlari lebih kencang dari teman-temannya. Dia berhasil menggapai tas anak Pak Rudi. Anak Pak Rudi berusaha melepaskan tasnya, tapi terlambat. Anak Pak Rahman cepat mencekal tangannya. Adrenalinku benar-benar terpacu melihat adegan itu. Adegan tarik menarik antara anak Pak Rahman dan teman anak Pak Rudi yang bernama Wina terjadi. Wina berusaha menarik tangan anak Pak Rudi dari anak Pak Rahman.Teman-teman anak Pak Rahman, de

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Peristiwa lalu

    "Aku nggak tau, tapi aku merasa merinding sejak tadi," katanya. Wajah Meti memang tampak takut.Mataku menjadi liar, mencari sosok tak kasat mata di sekitar sini. Saat menatap ke atas balkon rumah Pak Rahman, aku terpaku melihat sosok hantu gosong di sana. Dia juga menatap ke arahku. Cepat aku buang pandanganku. Dag dig dug, jantungku berdetak dengan sangat kencang. Sosok itu tampak sangat menyeramkan. Aku sangat terkejut, tiba-tiba hantu itu sudah ada di hadapanku. Lidahku terasa kelu. Keringat dingin terasa mulai membasahi wajahku. Telapak tanganku hingga berkeringat jadinya. Aku melirik dengan ekor mataku, kulihat Kak Siska tampak mematung di tempatnya. Begitupun dengan teman-temanku. Ingin rasanya memanggil mereka, tapi lidahku terasa kelu. Waktu seakan berhenti berputar, persis seperti di depan ruangan laboratorium waktu itu. Hantu gosong itu semakin mendekat padaku. Ingin rasanya aku lari dari sini, tapi seluruh anggota tubuhku sangat sulit untuk digerakkan. Hantu gosong it

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Melayat

    "Infonya tadi nggak salah kan Rin?" tanya Cilla."Ya nggak lah. Yang ngasih tau tadi, Nisa sepupuku. Rumahnya dekat dengan rumah Pak Rahman," jelas Rindi. "Berarti, kasus selesai dong. Tersangka utama sudah meninggal. Berarti arwah Pak Rudi nggak akan ganggu kamu lagi Ya," kata Andri. Apa yang dibilang Andri ada benarnya juga. Berarti kami nggak perlu repot lagi, untuk membuktikan kalau Pak Rahman adalah penyebab kebakaran yang menghilangkan nyawa Pak Rudi. Juga menjadi dalang dari kematian anak Pak Rudi. Orangnya juga sudah meninggal. Semoga saja arwah Pak Rudi bisa tenang.Tapi aku merasa ada yang janggal. Baru tadi pagi, anak Pak Rahman meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Sekarang, Pak Rahman sendiri yang meninggal karena jatuh dari atas balkon. "Apa … ada kaitannya sama Pak Rudi?" gumamku."Hah, apa Ya?" tanya Meti."Eh, ng–gak." Aku jadi tergagap."Udah deh Ya, jangan ada lagi rahasia antara kita. Aku denger kok, apa yang kamu bilang tadi," kata Raya. Aku mau bilang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status