Lucio tiba-tiba merasa kedinginan. Ia berusaha membuka matanya. Ia kaget bukan main ketika menyadari ia sedang berada di dalam sebuah kamar mewah seperti kamar hotel.
"Kamu sudah sadar?" Suara itu tiba-tiba membuatnya mendapatkan kesadarannya sepenuhnya. Lucio membuka kedua matanya lalu bangkit dari ranjang. Ia kaget bukan main setelah melihat sosok seorang gadis di tepi ranjang. Jantungnya seketika kembali berdegup sangat kencang untuk kesekian kalinya.
"Aku Maya. Kamu menabrakku sebelum kamu pingsan sehingga aku membawamu kesini."
Mendengar kata Maya, Lucio mengucak kedua matanya agar dapat dengan sempurna memandangi gadis yang menyebut namanya Maya. Yang ia pikir saat ini wanita di hadapannya adalah Maya yang tadi bersamanya di hotel.
"Ahh,,, syukurlah. Bukan Maya yang tadi," gumamnya setelah berhasil menangkap dengan jelas wajah gadis itu lalu kembali merebahkan tubuhnya lagi ke ranjang.
* * * * * *
Feren dan yang lainnya kembali ke kos dengan senyum sumringah karena telah diterima bekerja di sebuah Cafe.
Sosok pertama yang mereka cari setibanya di kost ialah Lucio. Namun sosok yang mereka cari tak juga mereka temukan keberadaannya di dalam kost yang berukuran sangat sempit itu. "Kita terlalu lama di luar. Mungkin Lucio bosan sendirian di kost. Dia mungkin telah pergi ke taman," ucap Feren kepada rekan-rekannya.
"Coba telepon dan tanya keberadaannya. Dia harus tahu berita bagus ini."
"Kalian tidak ada yang tahu kemana dia pergi? Apakah dia juga sudah mendapat pekerjaan baru?" Tanya Bambang penasaran pada yang lainnya.
"Harusnya kita langsung pulang setelah selesai interview tadi. Pras sih yang kelamaan belanjanya, padahal nanti kerja juga ada seragamnya, iya kan?" sahut Bram mulai menyalahkan Pras.
Kebersamaan mereka di dalam kost berukuran kecil itu membuat mereka sudah seperti saudara. Susah dan senang mereka rasakan bersama.
"Kalian ini ada apa sih? Kenapa jadi saling menyalahkan? Memangnya Lucio hilang?" Tanya Feren yang nampak mulai kesal dengan rekan-rekannya yang mendebatkan ketidakberadaan Lucio saat ini di kost.
"Yasudah, kamu telepon dia sekarang. Tanya dia dimana sekarang. Suruh dia pulang sekarang juga. Dia harus tahu kalau kita berlima sudah diterima kerja," sahut Juan menyela Feren yang nampak masih kesal dengan sikap rekan-rekannya.
"Sudah, tapi tak ada jawaban. Mungkin dia lagi sibuk," sahut Feren yang sedari tadi ternyata sudah mencoba menelepon Lucio beberapa kali namun tak ada jawaban.
"Kalau begitu kalain tunggu disini, aku dan Bambang akan keluar untuk membeli makan malam kita, kita harus rayakan ini," ucap Juan yang langsung menarik lengan Bambang untuk pergi bersama dengannya.
Suasana hening seketika. Feren masih terus mencoba menelepon Lucio namun masih gagal. Tak ada jawaban sama sekali dari Lucio.
Hampir setengah jam menunggu, Feren tiba-tiba dikagetkan oleh bunyi handphonenya. Ia mengira itu adalah Lucio.
Ternyata...
"Feren, to,,, tolong kesini segera, aku dan Juan kecelakaan, tolong kesini segera ya,,,," ucap Bambang dengan nada suara penuh ketakutan.
"Hah, kok bisa? Kalian posisinya dimana sekarang? Shareloc ya, aku segera kesana." Tanpa mengatakan apa-apa, Feren diam-diam langsung pergi meninggalkan Pras dan Erik. Ia tak mau membuat keduanya panik dan ketakutan. Pras dan Erik yang tidak tahu apa-apa hanya diam dan tidak membuat gerakan apapun di dalam kost. Hanya rebahan sambil memainkan gawai mereka masing-masing.
Sementara di sana, Lucio masih terbaring di ranjang milik Maya. Pengaruh alkohol yang ia minum dan ditambah benturan dengan Maya membuat kepalanya masih terasa pusing.
"Hei, ayo bangun. Aku sudah memesan makanan untukmu. Kamu makan dulu, ya." Maya mencoba menepuk pundak Lucio untuk membangunkannya. Setelah mencoba beberapa kali, Lucio pun bergerak dan bangun.
"Mmhh, maaf. Kepalaku masih terasa pusing," ucap Lucio setelah berhasil duduk dan berusaha mengumpulkan kembali kesadarannya.
"Kamu tidak apa-apa? Apakah ada bagian tubuhmu yang sakit?" Tanya Lucio lagi pada gadis yang masih duduk di hadapannya.
"Aku tidak apa-apa. Hanya lenganku yang masih agak terasa sakitnya tapi it's okay. Tidak masalah."
"Maaf, aku sama sekali tidak melihatmu tadi," lanjut Lucio setelah berhasil memperoleh kesadaran dan ingatannya yang utuh.
"Ada apa denganmu? Kenapa kamu lari dari dalam hotel tadi?" Kali ini giliran Maya yang bertanya. Tentu saja ia penasaran apa yang telah terjadi dengan Lucio tadi di dalam hotel.
Lucio hanya diam, tak menjawab apa-apa sambil perlahan berusaha untuk bangkit dari ranjang.
"Hati-hati, pelan-pelan ya. Kalau masih pusing istirahat lagi saja, tidak apa-apa," ucap Maya lembut sambil bergerak cepat meraih tangan Lucio yang hampir jatuh ketika berusaha untuk berdiri.
"Tidak apa-apa. Terima kasih. Aku mau ke toilet, boleh?"
"Aku antar ya," sahut Maya lembut.
"Tidak apa-apa. Aku bisa sendiri. Maaf sudah merepotkanmu," balas Lucio lembut mencegah Maya yang berusaha menuntunnya ke toilet.
Diam-diam Maya terus memperhatikan langkah Lucio. Ia kembali ke dapur dan mengambil makanan yang sudah ia pesan setelah Lucio berhasil masuk ke dalam toilet. "Handphone kamu berdering beberapa kali tadi, mungkin ada hal yang penting," ucap Maya memberitahu Lucio setelah lelaki yang tak sengaja menabraknya itu keluar dari toilet.
"Oh, ya? Aku sama sekali tak mendengarnya." Dengan cepat Lucio langsung meraih gawainya dan mengeceknya. Dan benar, ia menemukan tujuh belas panggilan tak terjawan dari Feren.
"Feren, ada apa ini?" Sekilas tampak kekhawatiran muncul di raut wajah Lucio setelah mengetahui Feren telah meneleponnya berkali-kali. Tanpa berpikir panjang lagi ia langsung menelepon Feren.
"Halo, Feren. Maaf tadi aku sama sekali tak mendengar bunyi handphonenya. Ada apa?" Tanya Lucio dengan nada panik setelah teleponnya berhasil terhubung dengan Feren.
"Dimanapun kamu saat ini, apapun yang kamu lakukan, tolong pulang sekarang juga. Aku shareloc sekarang."
Singkat, padat dan tegas. Tanpa basa-basi. Lucio dibuat semakin bingung oleh Feren. Ia mencoba menebak-nebak apa yang telah terjadi namun kepalanya kembali terasa sakit saat ia mencoba berpikir.
"Maaf, aku harus pulang. Teman-temanku membutuhkanku sekarang."
"Tapi kepalamu masih pusing, kamu yakin mau pergi secepat itu?" Tanya Maya berusaha mencegah Lucio.
Tanpa menjawab apapun, dan tidak mau menunggu tanggapan apapun lagi dari Maya, Lucio langsung bergegas pergi meninggalkan kamar Maya.
Namun setelah berhasil keluar dari kamar milik Maya, Lucio sekali lagi diserang oleh rasa takut yang ia rasakan sebelum kejadiannya dengan Maya di pintu hotel. Ia mengenali tempat ia berada saat ini.
"Ahhh, sialaaannn. Ternyata aku masih di hotel ini," umpat Lucio setelah melihat ke sekeliling dan menyadari bahwa ia masih di hotel yang sama. Hanya beda kamar.
Lucio bergegas cepat untuk sampai ke bassement parkiran sepeda motornya lalu dengan penuh hati-hati bergerak meninggalkan hotel yang telah meninggalkan kesan buruk baginya di hari pertamanya datang kesini.
"Feren, sebenarnya apa yang terjadi? Please, jangan membuatku panik seperti ini." Kini, pikirannya kembali fokus tertuju pada saudara-saudaranya. Ia melirik ke layar gawainya yang sedang menampilkan peta dan garis warna biru yang harus ia ikuti saat ini agar bisa sampai pada tempat dimana Feren berada.
Ia sejenak melupakan kejadian yang ia alami beberapa jam yang lalu di hotel. Juga gadis yang baru saja ia tinggalkan setelah pertolongannya mampu mengembalikan kesadaran Lucio.
Siapa dia sebenarnya? Apa yang dia lakukan di hotel ini? Semoga bisa bertemu dengannya lagi esok atau lusa.
Maya tersenyum seorang diri memikirkan sosok Lucio yang ia temui tanpa sengaja tadi di depan pintu. Ia memegangi bahunya lalu kembali tersenyum seorang diri.
Aku harus bertemu dengannya lagi. Harus....
Lucio tiba-tiba merasa kedinginan. Ia berusaha membuka matanya. Ia kaget bukan main ketika menyadari ia sedang berada di dalam sebuah kamar mewah seperti kamar hotel."Kamu sudah sadar?" Suara itu tiba-tiba membuatnya mendapatkan kesadarannya sepenuhnya. Lucio membuka kedua matanya lalu bangkit dari ranjang. Ia kaget bukan main setelah melihat sosok seorang gadis di tepi ranjang. Jantungnya seketika kembali berdegup sangat kencang untuk kesekian kalinya."Aku Maya. Kamu menabrakku sebelum kamu pingsan sehingga aku membawamu kesini."Mendengar kata Maya, Lucio mengucak kedua matanya agar dapat dengan sempurna memandangi gadis yang menyebut namanya Maya. Yang ia pikir saat ini wanita di hadapannya adalah Maya yang tadi bersamanya di hotel."Ahh,,, syukurlah. Bukan Maya yang tadi," gumamnya setelah berhasil menangkap dengan jelas wajah gadis itu lalu kembali merebahkan tubuhnya lagi ke ranjang. &n
Lucio mematung tanpa satu pun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Sedangkan di hadapannya Maya sesekali mencuri pandang, menatap Lucio dengan sebuah tatapan penuh tanda tanya.Jantung Lucio kembali berdegup kencang untuk kesekian kalinya. Apalagi saat Maya meraih dua buah gelas yang sudah terisi wine, lalu berjalan dengan langkah yang begitu anggun mendekati Lucio.Lucio masih tak kuasa untuk mengangkat wajahnya. Kedua matanya masih tak sanggup membalas tatapan mata Maya."Minumlah, ini gelas pertama untuk ucapan selamat datang. Aku berharap tak ada penolakan."Ucapan selamat datang? Berarti masih ada lagi gelas-gelas yang akan berisi wine berikutnya? Apa maksud semua ini? Bukankah aku kesini untuk membahas pekerjaan yang ia tawarkan padaku? Oh, tidaaaaakkk...Hati Lucio berteriak sendiri tanpa suara.Andai saja aku memiliki kuasa, juga sebuah keberanian, aku tentu sudah
"Kamar nomor 28. Langsung masuk saja. Syarat untuk hari pertama kamu adalah kamu harus wangi dan bersih."Lucio telah siap seperti apa yang diminta oleh Maya dalam pesan waslapnya. Semuanya akan dimulai malam ini. Mendapatkan pekerjaan secepatnya telah ia capai saat ini. Sekarang, tinggal komitmennya sendiri yang menentukan. Lanjut, atau berhenti di sini sekarang dan mencari pekerjaan lain.Bagaimana tidak? Melihat isi pesan yang telah dikirimkan pada Lucio, siapapun tentu saja menebak-nebak apa yang akan terjadi kedepannya. Entah baik atau buruk.Sementara itu...Feren dan yang lain masih belum pulang mencari pekerjaan. Setelah mendapat info lowongan pekerjaan tadi malam, mereka semua langsung bergegas. Tak ada kata menunggu. Mereka butuh pekerjaan sekarang juga.Setelah memastikan semuanya sudah pas, Lucio sempatkan dirinya berdiri di hadapan kaca cermin. Ia memandangi cerminan dirinya sendiri t
Di sana, tepatnya di kos, Feren melirik jam pada gawainya. Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Semuanya diam membisu. Mereka duduk membisu mengitari hidangan makanan yang telah disajikan di atas lantai. Mereka masih menunggu kehadiran Lucio.Namun Lucio tak peduli. Baginya, yang terpenting saat ini ialah mendapatkan kembali tawaran pekerjaan yang ditawarkan oleh wanita itu.Langkah kakinya terhenti. Lucio berbalik dan berusaha mendapatkan suara seseorang yang menyapanya baru saja. Ternyata benar. Wanita paruh baya itu kini berdiri di hadapannya lagi. Ia baru saja tiba dan hendak masuk ke taman.Lucio tak tahu apa yang sering wanita itu lakukan ketika datang ke taman malam-malam seorang diri. Tapi ia tak pedulikan semua itu. Sungguh, ia tak pedulikan apapun selain yang satu ini."Oh,,, hai,,,," sapa Lucio dengan nada gugup seperti biasa.Wanita itu berjalan masuk ke taman. Lucio tak menunggu perintah apapun lagi. Kedua kakinya langsung melangkah masuk mengikuti langkah wanita it
Lucio melangkah gontai diikuti kelima orang rekannya. Atau lebih tepatnya saudaranya, keluarganya.Hari ini menjadi hari yang paling menegangkan karena sesaat lagi Lucio dan kelima saudaranya akan mengetahui siapa saja di antara mereka yang akan di-PHK dan siapa yang akan bertahan.Lucio menoleh dan melihat ke wajah Feren, lalu ke yang lainnya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hanya sebuah tatapan kosong dan rekan-rekannya tampak sangat lesu. Hari masih pagi."Apakah kalian sudah siap?"Kali ini tak seperti biasanya, Lucio akan lebih banyak bersuara ketimbang beberapa hari lalu ketika mendengar info akan ada PHK besar-besaran. Satu per satu rekannya mengangguk bisu. Mereka tampak benar-benar lesu."Ayolah,,, jangan loyo mukamu. Apapun keputusannya kita harus terima."Lucio mencoba memberikan semangat pada rekan-rekannya yang sudah menjadi keluarga baginya selama kurang lebih tiga tahun. Jauh dalam lubuk hatinya, Lucio tak tega melihat nasib mereka semua saat ini.Bukan hanya Lu
Tak ada tempat lain yang Lucio tuju saat ini. Ia kembali ke sebuah taman yang tak jauh dari kosnya. Taman ini selalu menjadi pilihan utama ketika Lucio butuh waktu untuk sendiri: merenung, bersedih, mengenang masa lalunya atau hanya menghilangkan lelah sekalipun.Lucio selalu seperti ini. Berjalan seorang diri. Sama sekali tak ada niat untuk mengajak rekannya yang lain.Ada sebuah bangku dekat pintu masuk sebelah barat yang mungkin sudah bosan dengan kehadiran Lucio. Seperti biasanya, ketika ke tempat ini ia tak lupa membawa serta sebotol minuman dingin Good Day Coffee yang ia beli di pedagang kaki lima yang sering berjualan dengan sepeda mengelilingi taman ini.Tak hanya kopi dalam kemasan, di tangannya ia bawa juga sebungkus rokok Marlboro filter yang sudah tak penuh lagi isinya. Lucio mulai kecanduan rokok sejak ia masih duduk di bangku SMP.Lucio melangkah masuk ke taman. Tatapannya kosong ke depan. Di hadapan Lucio saat ini berdiri kokoh sebuah bangunan mewah yang tidak terlalu t