Saat sedang kalut karena di-PHK, Lucio justru dibawa pada sebuah kehidupan baru yang mengubah pribadi dan kehidupannya. Perjumpaan tanpa sengaja dengan Maya, membuatnya akhirnya menerima tawaran pekerjaan dari Maya untuk menjadi pria simpanan Maya dan crewnya. Namun Lucio tak ingin terus terjerumus ke dalam lingkaran Maya dan crewnya. Lucio akhirnya menemukan sosok wanita yang benar-benar ia cintai, bahkan ia rela merenggut nyawa orang lain demi wanita yang ia cintai itu.
View MoreNamanya Lucio, seorang buruh di sebuah pabrik sepatu terkenal di salah satu kota di Jakarta. Lucio bekerja sudah hampir tiga tahun sejak ia tamat SMA.
Lucio seorang anak desa, merantau dari kampung ke ibukota demi bisa membantu kehidupan ekonomi keluarganya.
Lucio seorang anak yatim. Ayahnya meninggal sejak ia masih duduk di bangku SMP. Sedangkan adiknya masih di bangku SD. Kehidupan mereka berubah sejak saat itu.
Lucio tampan, hitam manis, hidungnya tinggi seperti hidung milik ibunya. Rambutnya hitam pekat, tebal dan lurus seperti milik almarhum ayahnya.
Bentuk tubuhnya pun tak tak kalah jauh dengan tubuh milik atlet-atlet di negeri ini. Bentuk dadanya pun bebrbeda dengan bentuk dada rekan-rekannya yang lain tentunya.
Lucio tidak pernah mengakui ini sendiri tapi seperti itulah penilaian orang-orang terhadapnya. Tapi semua itu tidak membuatnya jumawa dan bangga berlebihan. Toh ia tetap menjadi seorang anak kampung, pendiam dan pemalu.
Lucio tidak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah karena ekonomi keluarganya di kampung tidak cukup jika harus membiayai kuliahnya juga. Apalagi, adik satu-satunya masih berada di bangku SMP.
Tiga tahun bekerja di pabrik sepatu, Lucio tidak pernah boros dengan uang hasil kerjanya sendiri. Ia selalu mengirimkan uang gajinya untuk ibu dan adiknya. Lucio hanya mengambil sebagian seperlunya saja.
Beberapa bulan lagi adiknya akan meyelesaikan pendidikan di bangku SMP-nya. Itu berarti Lucio masih harus menjadi tulang punggung keluarga tiga tahun lagi agar dapat membantu ibunya menyelesaikan pendidikan adiknya.
Lucio tidak pernah mengeluh. Lucio tidak ingin buru-buru memaksakan kehendaknya untuk kuliah. Ia masih bisa menunggu hingga tiga tahun lagi untuk bisa mendapatkan title mahasiswa. Yang terpenting adalah ibunya tak terbebani, adiknya bisa selesaikan sekolahnya, dan ia bisa makan sehari-hari di tanah rantau.
"Lucio tidak apa-apa, Bu. Kuliah kapan saja bisa. Asalkan adik harus tamat SMA dulu."
Lucio tak pernah membantah ataupun melawan ibunya. Sejak menjadi anak yatim, ibu menjadi satu-satunya wanita yang sangat Lucio cintai. Apalagi usia ibunya pun sudah tak muda lagi.
Seorang diri mengurusi ladang dan rumah membuat tenaga ibu semakin letih. Sesekali Fred, adiknya membantu ibu di kebun sepulang sekolah. Itu pun jika tak ada kelas sore.
Tak ada masalah sejauh ini di tempat kerjanya sehingga ibu dan adik sangat terbantu dengan uang hasil kerjanya. Namun hal itu ternyata berubah kali ini.
Beberapa rekan kerjanya mulai panik setelah mendengar isu akan ada PHK besar-besaran di tempat mereka bekerja. Lucio ikut bingung dan kepikiran akan nasib ibu dan adiknya.
"Saya rasa kita harus segera mencari tempat kerja baru dari sekarang. Kita tidak bisa menunggu hingga pengumuman resminya keluar."
Lucio masih tetap tenang dan tidak mau menyikapi perkataan rekan kerjanya.
"Saya setuju. Sebaiknya kita harus bergerak dari sekarang agar nantinya ketika sudah di-PHK dari sini, kita sudah tahu kita harus ke mana."
Semua rekan kerjanya benar-benar panik dan sudah mulai memikirkan rencana selanjutnya. Tapi tidak dengan Lucio saat ini. Ia masih diam dan tidak mau menggubris kekhawatiran semua rekan-rekannya.
"Apa yang harus saya lakukan? Ijazahku hanya SMA. Tidak punya keahlian yang menonjol juga di bidang lain," pikirnya. Perlahan ia mulai termakan omongan rekan-rekannya sendiri.
"Lucio, bagaimana denganmu? Jika mau, kita bersama-sama bisa segera menyiapkam surat lamaran dari sekarang."
Lucio hanya diam menatap rekan-rekannya lalu kembali menunduk. Yang ada dalam pikirannya saat ini ialah wajah adik dan ibunya. Tiga tahun lagi adikya akan selesaikan sekolahnya di bangku SMA.
"Memangnya kapan pengumuman PHK-nya keluar?" Tanya seorang rekan kerjanya yang sedari tadi sibuk bermain gawainya.
"Katanya minggu depan, bro. Kita masih punya waktu untuk mencari pekerjaan lain. Saya yakin kita semua pasti kena PHK."
Kalimat terakhir itu bagai petir yang menyambar di telinga Lucio. Ia kemudian berdiri lalu memandangi satu per satu wajah rekan-rekannya.
"Saya pulang saja ke kampung. Saya hanya tamatan SMA. Tidak punya keahlian dan pengalaman kerja. Saya... ."
"Jangan menyerah, bro. Kami semua juga tamatan SMA. Kita berjuang bersama-sama. Kita pasti bisa," potong salah seorang yang sedari tadi belum bersuara.
Lucio benar-benar sudah pasrah dengan situasi saat ini. Baginya, pulang kampung adalah pilihan terakhirnya agar ia bisa lebih dekat dengan ibunya, membantunya dan menjaganya.
Erik, Juan, Pras, Bambang dan Feren sudah menjadi seperti keluarga bagi Lucio sejak mereka bersama-sama kerja di pabrik sepatu. Mereka semua masuk di tanggal dan bulan yang sama tiga tahun lalu di pabrik sepatu yang sebentar lagi akan mem-PHK mereka semua.
"Baiklah, kita berusaha bersama-sama. Kita pasti bisa. Tapi semoga satu di antara kita masih bertahan kerja di sini agar kita bisa menumpang dulu dengannya. Kita semua ini sama-sama pendatang," kata Feren kepada yang lain diikuti anggukan tanda setuju dari yang lainnya. Lucio masih terdiam di posisinya.
Setelah melewati diskusi singkat di antara mereka, diam-diam Lucio berdiri dan berjalan meninggalkan semua rekan-rekannya.
Mereka berenam memang tinggal di satu kamar kos. Mereka tidak sanggup membayar kos masing-masing karena mereka sama-sama memiliki tanggungan yang hampir sama persis.
Bayangkan, betapa hematnya mereka hanya demi kebahagiaan orangtua dan keluarga mereka masing-masing. Mereka bahkan rela tidur berdesak-desakkan di dalam satu kamar kos.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari pun, semuanya mereka tanggung bersama-sama. Membayar biaya sewa kamar kos juga mereka menanggungnya bersama-sama.
Tak ada sesuatu yang menjadi sangat berat dan rumit bagi mereka selama ini namun tidak untuk kali ini. Ini adalah masalah terbesar dan terberat bagi mereka berenam.
Bukan berarti mereka tak sanggup menyelesaiknnya namun mereka tak tega memikirkan keadaan orangtua mereka jika mereka harus kehilangan pekerjaan ini.
"Lucio, ada apa denganmu? Kami ini saudaramu. Jika ada masalah, ceritalah pada kami. Jangan diam-diam lalu pergi seperti itu. Kita harus cari jalan keluarnya sama-sama. Kita udah berjuang sama-sama selama ini. Senang ataupun susah sudah kita lewati semua. Masa dengan masalah sekecil ini kita tak bisa lewati? Ini masalah kecil, kan? Lebih besar masalah kita sehari-hari, kan? Ayolah, jangan pendam semuanya sendiri. Berbagilah dengan kami. Kita semua disini keluarga."
Lucio sama sekali tak menjawab pertanyaan itu. Secepat kilat ia menghilang dari hadapan semua rekan-rekannya yang sedang kebingungan.
Lucio tak sanggup jika terus duduk dan mendengar semua keluh kesah mereka. Itu hanya akan membuatnya semakin hancur memikirkan ibu dan sekolah adiknya.
Lucio hanya tak ingin nasib adiknya sama seperti dirinya, sehingga apapun akan ia lakukan asalkan adiknya bisa melanjutkan sekolahnya. Setidaknya, sampai tamat SMA.
"Tidak semua masalahku harus aku ceritakan pada kalian. Maafkan aku."
Lucio tiba-tiba merasa kedinginan. Ia berusaha membuka matanya. Ia kaget bukan main ketika menyadari ia sedang berada di dalam sebuah kamar mewah seperti kamar hotel."Kamu sudah sadar?" Suara itu tiba-tiba membuatnya mendapatkan kesadarannya sepenuhnya. Lucio membuka kedua matanya lalu bangkit dari ranjang. Ia kaget bukan main setelah melihat sosok seorang gadis di tepi ranjang. Jantungnya seketika kembali berdegup sangat kencang untuk kesekian kalinya."Aku Maya. Kamu menabrakku sebelum kamu pingsan sehingga aku membawamu kesini."Mendengar kata Maya, Lucio mengucak kedua matanya agar dapat dengan sempurna memandangi gadis yang menyebut namanya Maya. Yang ia pikir saat ini wanita di hadapannya adalah Maya yang tadi bersamanya di hotel."Ahh,,, syukurlah. Bukan Maya yang tadi," gumamnya setelah berhasil menangkap dengan jelas wajah gadis itu lalu kembali merebahkan tubuhnya lagi ke ranjang. &n
Lucio mematung tanpa satu pun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Sedangkan di hadapannya Maya sesekali mencuri pandang, menatap Lucio dengan sebuah tatapan penuh tanda tanya.Jantung Lucio kembali berdegup kencang untuk kesekian kalinya. Apalagi saat Maya meraih dua buah gelas yang sudah terisi wine, lalu berjalan dengan langkah yang begitu anggun mendekati Lucio.Lucio masih tak kuasa untuk mengangkat wajahnya. Kedua matanya masih tak sanggup membalas tatapan mata Maya."Minumlah, ini gelas pertama untuk ucapan selamat datang. Aku berharap tak ada penolakan."Ucapan selamat datang? Berarti masih ada lagi gelas-gelas yang akan berisi wine berikutnya? Apa maksud semua ini? Bukankah aku kesini untuk membahas pekerjaan yang ia tawarkan padaku? Oh, tidaaaaakkk...Hati Lucio berteriak sendiri tanpa suara.Andai saja aku memiliki kuasa, juga sebuah keberanian, aku tentu sudah
"Kamar nomor 28. Langsung masuk saja. Syarat untuk hari pertama kamu adalah kamu harus wangi dan bersih."Lucio telah siap seperti apa yang diminta oleh Maya dalam pesan waslapnya. Semuanya akan dimulai malam ini. Mendapatkan pekerjaan secepatnya telah ia capai saat ini. Sekarang, tinggal komitmennya sendiri yang menentukan. Lanjut, atau berhenti di sini sekarang dan mencari pekerjaan lain.Bagaimana tidak? Melihat isi pesan yang telah dikirimkan pada Lucio, siapapun tentu saja menebak-nebak apa yang akan terjadi kedepannya. Entah baik atau buruk.Sementara itu...Feren dan yang lain masih belum pulang mencari pekerjaan. Setelah mendapat info lowongan pekerjaan tadi malam, mereka semua langsung bergegas. Tak ada kata menunggu. Mereka butuh pekerjaan sekarang juga.Setelah memastikan semuanya sudah pas, Lucio sempatkan dirinya berdiri di hadapan kaca cermin. Ia memandangi cerminan dirinya sendiri t
Di sana, tepatnya di kos, Feren melirik jam pada gawainya. Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Semuanya diam membisu. Mereka duduk membisu mengitari hidangan makanan yang telah disajikan di atas lantai. Mereka masih menunggu kehadiran Lucio.Namun Lucio tak peduli. Baginya, yang terpenting saat ini ialah mendapatkan kembali tawaran pekerjaan yang ditawarkan oleh wanita itu.Langkah kakinya terhenti. Lucio berbalik dan berusaha mendapatkan suara seseorang yang menyapanya baru saja. Ternyata benar. Wanita paruh baya itu kini berdiri di hadapannya lagi. Ia baru saja tiba dan hendak masuk ke taman.Lucio tak tahu apa yang sering wanita itu lakukan ketika datang ke taman malam-malam seorang diri. Tapi ia tak pedulikan semua itu. Sungguh, ia tak pedulikan apapun selain yang satu ini."Oh,,, hai,,,," sapa Lucio dengan nada gugup seperti biasa.Wanita itu berjalan masuk ke taman. Lucio tak menunggu perintah apapun lagi. Kedua kakinya langsung melangkah masuk mengikuti langkah wanita it
Lucio melangkah gontai diikuti kelima orang rekannya. Atau lebih tepatnya saudaranya, keluarganya.Hari ini menjadi hari yang paling menegangkan karena sesaat lagi Lucio dan kelima saudaranya akan mengetahui siapa saja di antara mereka yang akan di-PHK dan siapa yang akan bertahan.Lucio menoleh dan melihat ke wajah Feren, lalu ke yang lainnya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hanya sebuah tatapan kosong dan rekan-rekannya tampak sangat lesu. Hari masih pagi."Apakah kalian sudah siap?"Kali ini tak seperti biasanya, Lucio akan lebih banyak bersuara ketimbang beberapa hari lalu ketika mendengar info akan ada PHK besar-besaran. Satu per satu rekannya mengangguk bisu. Mereka tampak benar-benar lesu."Ayolah,,, jangan loyo mukamu. Apapun keputusannya kita harus terima."Lucio mencoba memberikan semangat pada rekan-rekannya yang sudah menjadi keluarga baginya selama kurang lebih tiga tahun. Jauh dalam lubuk hatinya, Lucio tak tega melihat nasib mereka semua saat ini.Bukan hanya Lu
Tak ada tempat lain yang Lucio tuju saat ini. Ia kembali ke sebuah taman yang tak jauh dari kosnya. Taman ini selalu menjadi pilihan utama ketika Lucio butuh waktu untuk sendiri: merenung, bersedih, mengenang masa lalunya atau hanya menghilangkan lelah sekalipun.Lucio selalu seperti ini. Berjalan seorang diri. Sama sekali tak ada niat untuk mengajak rekannya yang lain.Ada sebuah bangku dekat pintu masuk sebelah barat yang mungkin sudah bosan dengan kehadiran Lucio. Seperti biasanya, ketika ke tempat ini ia tak lupa membawa serta sebotol minuman dingin Good Day Coffee yang ia beli di pedagang kaki lima yang sering berjualan dengan sepeda mengelilingi taman ini.Tak hanya kopi dalam kemasan, di tangannya ia bawa juga sebungkus rokok Marlboro filter yang sudah tak penuh lagi isinya. Lucio mulai kecanduan rokok sejak ia masih duduk di bangku SMP.Lucio melangkah masuk ke taman. Tatapannya kosong ke depan. Di hadapan Lucio saat ini berdiri kokoh sebuah bangunan mewah yang tidak terlalu t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments