Lucio mematung tanpa satu pun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Sedangkan di hadapannya Maya sesekali mencuri pandang, menatap Lucio dengan sebuah tatapan penuh tanda tanya.
Jantung Lucio kembali berdegup kencang untuk kesekian kalinya. Apalagi saat Maya meraih dua buah gelas yang sudah terisi wine, lalu berjalan dengan langkah yang begitu anggun mendekati Lucio.
Lucio masih tak kuasa untuk mengangkat wajahnya. Kedua matanya masih tak sanggup membalas tatapan mata Maya.
"Minumlah, ini gelas pertama untuk ucapan selamat datang. Aku berharap tak ada penolakan."
Ucapan selamat datang? Berarti masih ada lagi gelas-gelas yang akan berisi wine berikutnya? Apa maksud semua ini? Bukankah aku kesini untuk membahas pekerjaan yang ia tawarkan padaku? Oh, tidaaaaakkk...
Hati Lucio berteriak sendiri tanpa suara.
Andai saja aku memiliki kuasa, juga sebuah keberanian, aku tentu sudah membalikkan tubuhku lalu pergi begitu saja meninggalkan Maya dan seluruh ketakutan yang sedang menguasai diriku.
"Ada apa, Number One? Kamu tak suka alkohol? Atau,,, tidak biasa?"
Sebuah pertanyaan sederhana dari Maya lagi-lagi membuat Lucio seperti terhimpit di sebuah sudut ruangan. Tak ada jalan keluar bagi Lucio. Yang ada hanyalah sebuah rasa kekalahan. Kalah dengan seorang wanita.
Tapi Lucio harus bagaimana? Ia memang tak pernah mencicipi alkohol jenis apapun. Andai saja yang ditawarkan adalah sebatang rokok, tentu Lucio sudah langsung meraihnya.
"Maaf, Maya. Haruskah aku menerimanya? Bukankah kita hanya akan membahas tentang pekerjaan?"
Dengan nada suara setengah gemetar, Lucio memberanikan diri untuk bertanya. Maya tak menjawab pertanyaa Lucio. Justru, ia semakin melangkah maju dan berdiri persis di hadapan Lucio. Tak ada jarak kini antara Lucio dan Maya.
Lucio merasakan dengan jelas sapuan napas Maya pada wajahnya, juga lembutnya punggung tangan Maya yang sengaja menyentuh pipi Lucio. Sontak, Lucio melangkah mundur satu langkah. Keringat ketakutan semakin deras terasa menetes di bagian punggungnya.
"Apakah kita baru pertama kali bertemu? Kamu tahu, jika kamu terus kaku seperti ini maka kita tak akan memulai pembicaraan kita tentang tawaran pekerjaan yang aku tawarkan padamu kemarin."
Mendengar kata pekerjaan itu, Lucio langsung memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. Dengan sebuah keberanian palsu, ia menatap erat kedua mata Maya yang masih menyimpan seribu tanda tanya.
Kakinya dengan sendirinya memperoleh keberanian untuk melangkah maju. Tentu saja masih sebuah keberanian palsu. Lalu tangan Lucio meraih gelas yang sudah berisi wine di tangan kiri Maya. Tanpa menunggu aba-aba, ia hendak menenggaknya agar pembicaraan tentang pekerjaan bisa segera dimulai.
Namun...
"Eiittsss,,, jangan buru-buru, anak muda." Maya menahan gerakan tangan Lucio yang hampir saja membuat bibir Lucio dan gelas bersentuhan. Lalu dengan sebuah gerakan yang begitu lembut, Maya mengadu gelasnya dengan gelas Lucio.
"Minumlah, lalu kita akan memulai pembicaraan kita."
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Lucio memejamkan kedua matanya dan menenggak habis seluruh wine yang ada di gelas.
Maya menatapnya dengan tatapan yang masih penuh tanda tanya. Tapi kali ini diselingi dengan sebuah senyuman. Sebuah senyum kemenangan pertamanya karena telah berhasil menjadi orang pertama yang memaksa Lucio merasakan alkohol.
Maya kemudian berbalik dan berjalan menuju ke ranjang. Ia duduk sambil memegang gelas winenya yang masih belum habis. Sedangkan gelas Lucio semuanya sudah kosong. Lucio mematung. Tak tahu harus berbuat apa lagi.
"Kemarilah, duduk di sebelahku."
Lagi-lagi jantung Lucio harus kembali berdegup dengan sangat kencang. Pikirannya sudah mulai kemana-mana. Apalagi alkohol yang sudah ia habisi baru saja sedikit sudah menguasai dirinya.
Masih dengan sebuah keberanian palsu, Lucio melangkah maju lalu duduk di sebelah Maya. Tentu saja di atas ranjang. Lucio menunduk. Keberaniannya untuk menatap mata Maya kembali hilang.
"Pekerjaan ini membutuhkan sebuah komitmen. Bahwa kamu harus selalu siap kapan pun jika aku menghubungimu. Kapanpun aku membutuhkanmu."
Lucio merasakan sedikit kelegaan setelah mendengar apa yang baru saja Maya katakan. Karena pada akhirnya, ia benar-benar mendengar Maya membicarakan pekerjaan yang sudah dijanjikan kemarin.
"Bayaran yang akan kamu terima paling rendah adalah dua puluh lima juta. Kamu bisa saja mendapatkan lebih dari itu jika kamu mampu melaksanakan tugasmu dengan baik."
Lucio ingin sekali berteriak tidak percaya mendengar nominal yang baru saja Maya sebutkan. Tapi ia menahan dirinya untuk tetap diam dan mendengar semua yang Maya katakan tentang pekerjaannya.
"Sebelum aku lanjut, apakah kamu tertarik? Tentu saja kamu tak akan menolak, bukan? Setelah mendengar bayaran yang akan kamu terima?"
Lucio masih diam, tak menjawab pertanyaan Maya. Dalam hatinya, ia mencoba meyakinkan dirinya untuk tidak akan menolak. Tapi tidak setelah mendengar apa yang dikatakan selanjutnya. Semua perasaan yang ada sebelumnya hilang seketika.
"Aku dan semua temanku rata-rata adalah wanita kesepian. Ada yang bercerai, dan ada yang sama sekali memilih tidak menikah. Dan kamu adalah orang yang kami butuhkan."
Mendengar itu, Lucio berdiri dan melangkahkan kakinya menjauhi Maya yang masih duduk di atas ranjang. Kakinya terasa gemetar. Begitu juga seluruh tubuhnya. Jantungnya lagi-lagi berdegup kencang. Lebih kencang dari yang ia rasakan sebelum-sebelumnya.
Pekerjaan macama apa kah ini? Apa dia berpikir aku lelaki murahan? Tidaaak. Aku tak akan melakukan pekerjaan ini. Tidaaaak. Aku tidak akan mau menerima pekerjaan ini.
Hatinya berteriak sangat kencang tanpa suara. Di sana, Maya masih duduk dan memainkan gelas berisi wine yang ada di tangannya. Ia sama sekali tak menghiraukan Lucio yang sudah hendak pergi meninggalkannya.
Lucio membalikkan tubuhnya lalu berlari ke arah pintu. Setelah berhasil melewati usaha yang cukup lama karena tak tahu cara membuka pintunya, Lucio berlari dengan sangat kencang ke luar dari kamar hotel.
Sementara Maya masih tetap diam di posisinya di atas ranjang. Ia duduk dan terus memandang ke arah jendela kamar yang tidak tertutup kain gordennya. Tak ada sama sekali usahanya untuk menahan atau mengejar Lucio.
Lucio tak peduli dengan semua itu. Meski kakinya masih sedikit gemetar, ia berhasil masuk ke lift dan turun langsung ke lantai satu. Lucio terus berlari. Sesekali menoleh ke belakang.
Lucio benar-benar tak peduli dengan semua yang ada di sekitarnya saat ini. Ia terus berlari dengan sisa-sisa tenaganya. Ia dengan cepat membuka pintu namun tiba-tiba....
"Braaaakkk...."
Lucio jatuh ke lantai. Pandangannya tiba-tiba gelap. Ia tak tahu persis siapa yang telah ia tabrak. Yang ia rasakan hanya telah menabrak seseorang. Itu saja. Lalu ia tertidur tak menyadarkan diri.
Sementara sosok yang ditabrak oleh Lucio terlihat bersusah payah berusaha bangkit. Ia memegangi lengan dan bahunya yang terasa begitu sakit akibat berbenturan dengan tubuh atletis Lucio.
Mona terjaga saat merasa ingin buang air kecil. Ia membuka matanya dan betapa kagetnya ia saat menyadari ternyata Number One masih memeluknya dengan erat. Tangan Number One masih melingkar di perutnya. "Oh my God, ini kapan ya terakhir kali aku ngerasain tidur dipeluk kek gini? Udah lama banget gak sih? Ah, Number One. Kamu emang paling pinter bikin aku meleleh pagi-pagi gini," batin Mona sambil tersenyum bahagia. Niatnya ia langsung bangun dan menuju ke kamar mandi namun ia urungkan niatnya saat menyadari sesuatu yang lain. Number One memeluknya dalam keadaan telanjang. Dan yang lebih gilanya lagi, batang rudal Number One dalam keadaan turn on. Mungkin pengaruh ereksi pagi hari namun itu sangat menggoda Mona. Ingin sekali ia langsung menyentuh batang rudal yang semalaman mengokang di bagian pantatnya. "Ngga, aku ke kamar mandi buang air dulu. Abis itu, bakal aku balas kamu. Mumpung masih tidur, kan?" Pikir Mona jorok dan nakal. Ia dengan sangat pelan bergerak turun dari ran
Setelah dua kali mencapai puncak kenikmatannya, Number One sama sekali tak membiarkan kesempatan bagi Mona untuk leluasa sedikitpun. Kedua tangannya masih diikat. Tanpa sehelai kainpun yang menututpi tubuhnya. Lubang gua miliknya pun masih tetap menganga di bawah sana. Ada rasa kepuasan tersendiri bagi Number One. Entah kenapa, saat Mona berhasil membuat dirinya berhasil mencapai puncak terlebih dahulu, ia merasa dendam dan ingin menyiksa wanita itu. Dan itu masih terjadi hingga kini.Number One duduk santai menikmati sebatang rokok. Ia sama sekali tak peduli dengan kondisi Mona. Ada rasa tak tega namun Number One masih merasa belum puas menyiksa wanita itu."Kamu serius membiarkan aka seperti ini sampai pagi?" Tanya Mona seketika. Tak ada kemarahan apapun dalam dirinya. Ia justru menikmati cara Number One memperlakukannya. "Aku masih belum puas bermain-main denganmu, Nona. Maafkan aku, tapi Nona tenang saja. Aku bakal puasin Nona," janji Number One. Lalu kembali fokus menikmati ro
Setelah lama mengurung diri di kamar, Maya memutuskan untuk keluar sejenak. Tujuannya kali ini ialah taman tempat ia bertemu dengan Number One. Ia meninggalkan Nancy seorang diri di kamarnya. Namun ternyata, Nancy diam-diam mengetahui kepergian ibunya saat mendengar bunyi daun pintu dibukakan. Bukan tanpa sebab Maya ingin mencari angin segar atau sekedar menenangkan dirinya. Ia masih terbebani dengan permintaan putrinya. "Aku menolak permintaan Nancy, otomatis aku udah gak bisa lagi ketemu sama Number One. Kalaupun masih bisa, aku harus bermain rapi. Nancy gak boleh tahu sama sekali," pikir Maya seorang diri sedari tadi di kamarnya. Nancy yang mengetahui bahwa ibunya hendak pergi, diam-diam mengikuti. Namun saat tahu bahwa ibunya hanya pergi ke taman, Nancy akhirnya kembali ke rumah. Ia memilih pulang dan istirahat karena besok masih hari sekolah.Sementara itu, di lain tempat, Juan dan Bambang mencari keberadaan Feren. "Gue gak tahu, bro. Pas pulang tadi gue masih sempet liat dia
Seperti yang sudah-sudah, Number One paling tidak terima jika ia dikalahkan oleh wanitanya. Ia memejamkan matanya, membiarkan Mona tersenyum puas di atas perutnya setelah merasa menang atas dirinya. "Kita liat aja nanti, kamu atau aku yang bakal merengek minta dikasihani." Mona membalikkan tubuhnya setelah berhasil menelan semua cairan kental milik Number One. "Aku pikir kamu kuat loh, ternyata cuma segini? Baru diemut udah tumpah duluan," ledek Mona sambil tersenyum puas. Setelah mendengar kalimat itu keluar dari mulut Mona, Number One membuka matanya. Ia menatap penuh dendam wanita yang sedang tersenyum bangga itu. Secepat kilat, setelah berhasil mengumpulkan tenaganya, Number One mendorong tubuh Mona agar menempel ke dinding. "Wow, ada yang marah nih kayanya," ucap Mona masih dengan nada meledek dan berusaha tetap tenang. Sedangkan Number One sudah dipenuhi ambisi besar untuk menyiksa Mona. Number One melirik ke tempat lain seolah mencari sesuatu. Dan ia mendapatkan ide setela
"Ahh, kamu ternyata pintar banget ya Number One?" Number One diam. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya sebuah pelukan erat yang ia berikan pada pinggang Mona, sambil terus memagut bibir seksi Mona. Ia sendiri pun telah dikuasai oleh nafsunya sendiri.Sejurus kemudian, saat Number One sudah tak kuasa lagi menahan nafsunya, ia menggendong Mona ke ranjang. Kemudian meletakannya ke atas ranjang. Number One berdiri sejenak, menatap Mona dengan tatapan nakal dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seolah-olah ingin segera menerjang wanita itu sekarang juga.Namun lelaki itu diam, membiarkan Mona berbaring santai. Ia meraih gelas yang masih berada di tangan Mona lalu meletakkannya kembali ke atas meja. Number One berjalan kembali ke atas ranjang, mendekati Mona lalu membukan dress berwarna merah yang dikenakan oleh Mona. Ia menyisakan sepasang pakaian dalam atas dan bawah milik Mona, lalu kembali ke meja. Tanpa berpikir lebih lama lagi, Number One me
"Berapapun lamanya, aku siap melayanimu, Nona." Sebuah jawaban singkat. Sebuah respon balik yang tak pernah dilakukan Number One selama ini. Panggilan Nona yang ia berikan pada Mona membuat wanita itu seketika mematung lagi. Pipinya memerah, mulutnya bungkam, namun tidak di dadanya. Jantung Mona berdegup sangat kencang. Ia sungguh jatuh cinta dengan lelaki yang ada di hadapannya saat ini. Namun ia sadar bahwa itu tak mungkin terjadi. Mona sadar akan usianya. Juga sadar bahwa semua ini hanya sesaat saja. Hubungannya dengan Toni memang tidak seharmonis pasangan lain. Toni lebih memilih wanita lain untuk memenuhi kebutuhan seksnya. Sedangkan Mona, ia terperangkap disini sekarang. Bukan berarti ia tak lihai soal urusan ranjang, tapi inilah kenyataannya.Semua itu membawanya untuk berada disini. Bahkan ia tak tahu menahu bahwa Toni ternyata selingkuh dengan teman baiknya sendiri. Karena itu, Mona pun melakukan hal yang sama. Tapi bukan untuk mendua. Hanya untuk sesaat. Hanya untuk meme