Langit di Sumur Ujung Kulon Banten masih berwarna abu-abu, menyembunyikan hujan yang sebenarnya siap terjun bebas dari pagi. Ombak di sepanjang pantai Sumur hingga Tanjung Lesung tak bersahabat.
Alif berjalan kaki dari indekosnya yang terletak di dekat Masjid At Taubah Sumur ke pasar, ia berjalan hingga bertemu simpang tiga Sumur dan berbelok kanan ke arah Tanjung Lesung, letak Pasar Sumur sekitar 600m. Pagi itu nampak beberapa rombongan wisatawan sudah datang, kendaraan ber plat B mendominasi meskti ada beberapa diantaranya berplat F. Di saat akhir pekan wilayah Sumur Ujung Kulon kerap dikunjugi wisatawan dari Jabodetabek, ada yang ingin menikmati pesona pasir putih dan birunya Pantai Daplangu atau ada juga yang menyeberang ke Pulau Umang, Pulau Oar, atau pulau lainnya di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.
Alif hendak membeli cumi bayi asin yang menjadi lauk favoritnya. Cumi dari Sumur ini terkenal memiliki rasa yang gurih dengan asin yang sedang. Jika di musim
“Mas, kalau aku banyak kekurangan disana sini, kamu sabar ya bimbing akunya. Aku nggak pandai dalam hal agama, aku nggak bisa masak, aku orangnya nggak punya rencana.”Alif menyandarkan bahunya di tembok kamar, memejamkan matanya dan mengingat perkataan Nurul yang pernah disampaikan kepadanya. Ia kemudian membuka binder yang berisi berbagai rencana hidupnya. Ia tatapi semua lembar demi lembar. Alif menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, ia rasakan betul tiap oksigen yang masuk ke dalam tubuhnya. Alif meminum teh pahitnya perlahan.Alif menuliskan kendala-kendala yang ia hadapi dari rencana yang telah ia buat dan memikirkan beberapa cara untuk menyelesaikannya lengkap dengan alternatifnya.Saat ini, ia tengah dihadapkan pada keraguan pak Handoko yang belum juga memberikan izin kepadanya untuk memberikan restu menikahi Nurul. Lalu, Alif menuliskan rencana-rencana yanng dapat ia komunikasikan kembali kepada pak Handoko hingga membuatnya y
Commuter line bergerak ke arah Stasiun Jatinegara, meninggalkan Stasiun Tanah Abang dengan segala riuh ramainya yang menjadi saksi pertemuan dua anak manusia yang sedang sama-sama memahami perbedaan diantara keduanya. Deru mesin dan gesekan rel mengiringi keduanya dalam perjalanan kembali ke Balai Diklat Keagamaan Jakarta.Awan berarak dalam beberapa gradasi hitam abu-abu, membisikan angin di sekitarnya untuk membawanya menuju lautan. Meski ada beberapa awan yang enggan berjalan, warna abu-abunya menjadi lukisan kelabu langit Jakarta.“Mas kok kita lewat sini?” tanya Nurul masih dengan kepala yang disandarkan di bahu kiri Alif. Tangannya tetap memegang erat lengan Alif.“Iya, kita aga muter nggak apa-apa ya de, mas nggak akan pernah mau liat kamu desak-desakan lagi di gerbong,” jawab Alif lembut.Kali ini Nurul membenamkan wajahnya ke dada kiri Alif, ia sudah tidak kuat menahan haru yang ia tahan dari tadi. Air matan
“Emmmm mau mau mau, makan dulu yuk!”Alif dan Nurul mencari tempat makan di luar stasiun, mereka mencari-cari ke segala arah. Alif memperhatikan satu outlet yang familiar baginya.“Mas, kamu jangan keseringan makan ayam geprek pedas ya!”Alif buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Akhirnya masuklah mereka ke warung nasi lesehan.“Kamu cuma pesan ikan bakar sama sayur ayem aja mas?”“Iya de, sayur asem itu favoritnya mas.”Selesai makan mereka tak langsung bergegas ke Rawa Kuning. Nurul bergeser duduknya ke samping Alif. Ia kembali menyandarkan kepalanya.“Kalau mau santai banget mas mau pesen kopi ya.”Alif menyeruput kopi hitamnya dengan perlahan. Menenangkan hatinya dengan pahit dari rasa kopi. Kopi favorit Alif adalah kopi pahit, baginya rasa pahit yang berasal dari kopi murni kejujuran dan apa adanya. Tak peduli jika ada gula maupun susu yang men
Alif dan Nurul menyantap menu yang telah mereka pesan, pembicaraan yang tadi telah dimulai harus dijeda. Gerimis mulai menampakan dirinya melalui suara yang beradu di atap, wangi petrikor kesukaan Alif tercium.Alunan musik terdengar ramah di telinga dari suara pemain band yang disediakan oleh pemilik cafe untuk menghibur pengunjung. Pengunjung yang datang pun fokus dengan urusan masing-masing, tak nampak mata-mata usil yang memandangi urusan orang lain. Entah memang tiap orang yang datang membawa dunianya sendiri atau kecenderungan untuk tidak mengurusi hidup orang lain yang lebih nampak.“De, suasana hati kamu lagi baik nggak?”“Udah baik kok mas, masa aku mau nangis terus.”“Tapi kok hari ini dari awal ketemu mukanya lebih banyak cemberut de?”“Nggak tahu kenapa kalau ketemu kamu aku bawaannya jadi nggak enak mas.”“Kamu nggak suka mas disini de?”“Bukan mas, bukan g
Nurul memandangi coretan pulpen Alif di atas lembar demi lembar kertas buku catatannya. Begitu terencana, sistematis, dan penuh perhitungan. Nurul semakin merasa tak enak hati, ia semakin merasa bersalah. Ingin rasanya ia ungkapkan hal yang sebenarnya terjadi, saat itu juga mulutnya malah enggan untuk sekadar menghentikan pembicaraan Alif.“Kamu lagi nggak enak badan de? Kok malah diam aja? Apa dari rencana-rencana yang udah mas buat nggak ada solusi ya untuk kamu?”Suasan hening, Alif menghentikan pembicaraannya dan menyeruput kembali kopi pahitnya.“Mas, kenapa kamu tempo hari nggak ngizinin aku untuk pamit?”Pahit kopi yang baru saja Alif tenggak menjadi tiada rasa.“Kok kamu malah kesitu lagi sih de? Kalau lagi ada masalah yang berat banget kasih tahu ke mas dan kita diskusikan sekalian ya.”“Mas aku juga nggak tahu kenapa, tapi kalau kita terus-terusan kayak gini nanti kamu makin sakit.”
“Mas aku minta maaf ya.”“Maaf untuk apa de?”Terdengar samar suara Nurul di ujung telepon, suaranya lebih berat dan terisak. Sejak dua hari yang lalu saat Alif menemui orang tuanya, tiap percakapan selalu ada kata maaf yang terlontar dari Nurul.“De, udah berapa kali kamu bilang gitu. Udah dong, ya. Masa tiap hari nangis terus. Biarin dulu bapak sendiri, biarin bapak untuk punya waktu menimbang kondisi saat ini.”“Tapi mas, kenapa sih aku yang jadi korbannya? Kenapa aku yang harus ngikutin kemauan bapak terus-terusan?”“Husst, istigfar de.”Tangis Nurul semakin pecah. Alif tak pernah tenang jika kondisi Nurul demikian, ia mengganti mode panggilan suara menjadi video call.“Udah dong ya, kita udah sepakat kan kemarin. Apa pun yang terjadi, kita bakal cari jalan keluarnya bareng-bareng.”“Maaaass, padahal aku udah nurutin kemauan bapak. Dari d
“Ngikut kamu aja mas aku mah, kamu udah makan mas?”Entah memang sudah disetting saat Nurul bertanya atau memang sudah tidak bisa diajak bicara baik-baik, bunyi keroncongan perut Alif kali ini terdengar berulang kali.“Ya ampuuun mas, kamu laper banget ya?”Alif hanya diam sambil terus mengendarai motornya, laparnya mungkin masih bisa ditahan tapi rasa malunya membuat ia salah tingkah.“Kamu jangan-jangan pulang kerja langsung kesini ya mas?”Nurul terus mencecar.“Kalau nggak langsung berangkat nanti sampai sininya malam banget de.”“Kamu mah maaaassss.”Nurul mendekap erat Alif dari belakang, wajahnya ia benamkan di pundak Alif. Alif berbelok kanan di ring road Mandala ke arah Maja. Kondisi jalan yang berlubang membuatnya sangat berhati-hati, saat di lampu merah ia kembali bertanya pada Nurul. “Ke Cafe D’Lebak kamu mau de?”&ldq
Dua minggu setelah pertemuan di Cafe D’Lebak, sudah tidak ada lagi tangis dari Nurul tiap komunikasi dengan Alif. Alif telah berkali-kali meyakinkan bahwa mereka pasti bisa melewati tiap hal yang dihadapi, termasuk jika itu adalah kesulitan yang amat berat.****“Biar mas yang menenangkan badainya ya, kamu cukup percaya sama mas dan kita hadapi semuanya bersama.”****“Mas minggu depan aku mau ke luar kota, mau ke Surabaya.”“Ada acara apa de?”“Mba Sindi mau nikah, jadi aku sama teman-teman aku mau barengan ke sana.”“Kamu nggak apa-apa perginya?”“Aku udah baikan mas, kan kamu yang minta aku untuk selalu kuat. Aku juga capek nangis terus. Ya itung-itung sekalian ngerefresh pikiran aku mas.”“Hati-hati.”“Iya mas, kamu nggak mau ikutan?”“Nggak dulu deh, ini kan acara spesial sahabat kamu. Jadi kamu