"Hai, Mel. Apa kabarmu?" tanya Naya sembari tersenyum. Kemudian dia menunduk diam sejenak, kelopak matanya mulai mengembun, dirasakannya usapan lembut di punggungnya.Naya menoleh, melihat Alisa yang sudah beranjak remaja. Tidak terasa lima tahun berlalu begitu cepat sejak kepergian Melisa. Operasi pencangkokan jantung Alina berjalan dengan lancar, Alina sudah sehat kembali dengan jantung baru dari Melisa. Bahkan anak-anaknya sudah tumbuh dengan sehat.Naya dan juga keluarganya tidak bisa melupakan jasa Melisa, mereka rutin mengunjungi makam Melisa di setiap tanggal kepergiannya.Masih teringat dengan jelas betapa sedihnya mereka saat Melisa pergi untuk selamanya dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Alina. Sungguh jasa Melisa sangat berharga untuk semua orang, terlebih untuk Irham dan juga keluarganya.Bahkan Irham sempat menurunkan egonya untuk berterima kasih dan meminta maaf kepada Melisa, Naya yang menyaksikan adegan tersebut menangis terharu atas sikap Irham tersebut. Nay
"Maaf, saya tidak sengaja." Naya menunduk membantu seorang wanita yang sedang memungut barang belanjaannya yang berserakan."Tidak apa-apa, saya juga tidak melihat jalan dengan benar," sahut Dara, wanita yang ditabrak oleh Naya. Dia masih fokus mengumpulkan barang-barangnya yang jatuh.Setelah selesai mengumpulkan barang-barang tersebut, Naya menyerahkannya kepada Dara yang masih menunduk."Terima kasih banyak." Dara mendongak melihat Naya, netranya langsung membulat begitu melihat Naya lah yang ada di hadapannya. Bibir Dara seolah kelu, dari dulu dia ingin sekali bertemu dengan Naya, akhirnya setelah sekian lama, Dara diberi kesempatan untuk bertemu dengan Naya tanpa terduga-duga."Sama-sama," ucap Naya sembari tersenyum teduh. "Maaf, apakah ada yang terluka?" tanya Naya.Dara masih membeku, dia belum bisa berkata-kata karena terkejut melihat Naya. Dara masih mematung memandang Naya takjub."Maaf, apakah benar ada yang sakit? Kenapa Mbak diam saja?" tanya Naya lagi sembari menggoyang
"Oh, dia calon istri yang kau ceritakan, Ris?" ucap seseorang yang Melisa kenal memandangnya dengan tatapan sinis."Iya, Ham. Melisa kenalkan temanku, Irham. Dia temanku sewaktu kuliah dulu," ucap Aris mengenalkan Melisa pada sosok yang membuatnya takut.Melisa hanya menundukkan kepala tidak berani menatap wajah garang sosok tersebut. Dia benar-benar merasa ciut di hadapannya.Pandangan mata lelaki tersebut seolah mengintimidasi Melisa, menatap tajam hingga terasa ke dalam tulang-tulangnya.Melisa mengenal sosok tersebut, dia adalah kakak laki-laki Naya. Melisa bertemu dengannya hanya satu kali saja, tapi dia sudah sangat takut akan sosoknya.Padahal sudah empat tahun berlalu semenjak Melisa berpisah dengan Hanan, tapi dia masih mengingat sosok kakak Naya itu."Hai, kenapa diam saja, Mel?" tanya Aris pada Melisa yang hanya diam menunduk sedari tadi."Jangan paksa calon istrimu itu untuk berkenalan denganku, Ris. Dia sudah sangat mengenalku, jadi tidak perlu mengenalkan kami kembali,"
Melisa memacu mobil dengan kecepatan tinggi, dia ingin cepat kembali pulang ke rumah. Agar leluasa menumpahkan segala tangis di dalam kamarnya.Pikirannya sedang kalut sekarang, dia bingung harus berkata apa kepada kedua orangtuanya tentang batalnya pernikahannya dengan Aris.Mereka sangat bahagia saat dulu Melisa menerima lamaran Aris. Melisa tidak tega menghancurkan kebahagiaan mereka begitu saja."Apa yang harus aku katakan kepada mereka? Aku sudah menghancurkan harapan mereka dengan batalnya pernikahanku," lirih Melisa.Setibanya di rumah Melisa bergegas turun dari mobil dan melangkah tergesa masuk ke dalam rumah. Untungnya ayah dan ibunya sedang tidak ada di rumah.Melisa bisa menghindar sebentar dari mereka. Melisa bergegas masuk ke dalam kamar, dia menutup pintu dan menguncinya dari dalam.Melisa melangkah menuju ranjang dan meringkuk di atasnya, kembali dia menumpahkan tangis meratapi semua penyesalannya yang telah egois mengharapkan cinta dari suami orang lain.Hingga sekara
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, Melisa sudah kembali beraktifitas seperti semula. Dia pun sudah mulai mengajar di sekolah yang baru.Melisa mencoba melupakan batalnya pernikahannya dengan Aris. Dia memulai hidup baru kembali tanpa mengingat apa yang baru saja dia alami."Selamat pagi, Bu," sapa Dita rekan sesama guru Melisa yang sudah datang terlebih dahulu."Selamat Pagi, Bu Dita. Sudah sampai dari tadi?" Melisa meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di samping Dita."Baru saja tiba, Bu," jawab Dita dengan ramah sembari merapikan buku di atas mejanya.Melisa tersenyum menanggapi jawaban Dita, dia juga sibuk menata buku yang akan dia bawa mengajar. Melisa sudah tidak sabar untuk kembali menyapa murid-muridnya. Ada satu murid yang sangat membuat Melisa tertarik, nama murid tersebut Alisa, nama yang hampir mirip dengannya.Melisa sudah mulai dekat dengan Alisa dan juga mama Alisa. Kadang jika mama Alisa terlambat menjemput Alisa, Melisa yang menemani Alisa menunggu sang mama."
Melisa menatap bahagia Alisa yang sedang bermain dengan riangnya. Raut gembira tidak hilang dari wajahnya selama bermain.Tanpa terasa sudah satu jam mereka bermain, Melisa merasa bersama Alisa waktu terasa berjalan dengan cepat. Mereka harus segera menyudahi bermainnya."Alisa, kita makan dulu yuk, sebentar lagi kita harus pulang," ucap Melisa pada Alisa.Alisa langsung mendekati Melisa dengan raut muram. Rupanya Alisa masih belum puas bermain. Mungkin karena Alina sedang hamil sehingga Alisa jarang diajak ke tempat bermain.Melisa pun berjongkok menyejajarkan diri dengan Alisa. Dia membelai wajah Alisa yang beraut muram dan bertanya, "Hei, kenapa kok cemberut?"Alisa hanya menggelengkan kepala merespon pertanyaan Melisa. Dia tidak berani membantah ucapan sang guru. Melisa pun tersenyum mengelus puncak kepala Alisa."Jangan sedih, Al. Lain kali kita main di sini lagi," ucap Melisa mencoba menghibur Alisa."Benar?" tanya Alisa dengan mata berbinar."Iya dong. Makanya Alisa jangan bers
Suasana hati yang buruk Setelah kepergian Ratih, Melisa menjadi sedikit pendiam. Dia hanya sesekali menanggapi ocehan Alisa. Jika biasanya keceriaan Alisa mampu membuat Melisa kembali bersemangat, tapi tidak untuk saat ini.Melisa masih saja teringat kata-kata Ratih yang terngiang-ngiang terus di pikirannya. Melisa tak menyangka jika Ratih menjadi begitu membencinya sekarang.Melisa mengerti sekarang bagaimana di posisi Naya yang selalu menghadapi kebencian sang mertua padanya.Sungguh jika bisa memilih tentu Melisa lebih memilih untuk tidak bertemu dengan Ratih lagi untuk selamanya, jika Ratih hanya menyebar kebencian padanya.Bukankah sudah pernah Melisa jelaskan kalau dia memilih berpisah dari Hanan supaya Hanan bisa kembali pada Naya? Kenapa malah Melisa yang disalahkan karena memilih berpisah dari Hanan?"Awas, Bu!" seru Alisa saat Melisa akan menabrak mobil di depan mereka."Astaghfirullah!" Melisa tersadar dari pikirannya sendiri.Melisa terkejut dan buru-buru menginjak rem. U
Selang dua puluh menit Melisa sudah tiba di rumah, dia segera turun dari mobil. Melisa mengernyit heran ketika netranya melihat ada mobil yang nampak asing sedang parkir di halaman rumahnya.Melisa buru-buru masuk ke dalam rumah untuk melihat siapa gerangan yang bertamu ke rumahnya. Dia pun membuka pintu setelah sampai di depannya."Assalamu'alaikum," salam Melisa sembari akan melangkah masuk ke dalam rumah."Wa'alaikumsalam," jawab semua yang duduk di ruang tamu.Melisa membulatkan mata melihat seseorang yang sedang duduk manis di hadapan sang ayah. "Dari mana dia tahu rumahku? Lalu ada kepentingan apa dia sampai datang ke rumahku?" batin Melisa.Melisa mematung di depan pintu tak mengerti dengan situasi yang telah terjadi. Bahkan dia terhenti dari langkahnya saking terkejutnya."Baru pulang, Nak?" tanya Meta mendekat pada Melisa."Eh, iya, Bu," jawab Melisa tergeragap karena terkejut."Ayo duduk dulu, Mel. Nak Ardan sudah menunggu kamu pulang dari tadi," ajak Meta menggandeng tangan