Aku sedang menjemur Mochi dan Reo di luar saat Ranti datang menghampiriku. Dia datang dengan wajah tertekuk lalu menatapku dengan puppy eyes andalannya. Oh tidak bisa. Aku tidak akan luluh lagi dengan mata bulat yang cantik itu.
"Keykey, kok kamu marahnya lama banget?"
"Nggak usah panggil aku pakai nama itu deh Ran. Geli aku dengarnya."
"Iya aku nggak akan panggil kamu gitu lagi asal kamu maafin aku, ya?"
"Nggak."
"Ayo dong. Aku beneran nyesel, nggak akan aku ulangi. Janji."
"Ya memang nggak seharusnya kamu ngulang perbuatan itu. Baik ke aku atau ke siapa pun."
"Aku harus lakuin apa biar kamu maafin aku?"
"Nggak tau. Aku lagi males mikir, lagi pengen sendiri."
Mata bulat yang penuh permohonan tadi berubah menjadi delikan tajam. Kan sudah kuduga raut sedih tadi hanya kepura-puraan agar aku luluh.
"Tega banget sih kamu ngusir aku lagi. Nggak, kali ini aku nggak bakal pergi sampai kamu maafin aku. Aku udah biarin kamu sendiri empat hari, aku nggak ganggu kamu, aku nggak hubungi kamu. Sekarang aku butuh kepastian."
Kawan-kawan, percayalah bahwa manusia sempurna itu tidak ada. Sada dan Ranti contohnya. Sifat Ranti yang paling malas aku hadapi sedari dulu adalah ke-lebayan-nya yang menurutku sangat diluar batas wajar. Contohnya seperti saat sekarang ini. Jika ada yang tak sengaja mendengar percakapan kami ini tanpa tahu duduk perkaranya, pastilah mereka akan mengira kami pasangan penyuka sesama jenis yang sedang bertengkar.
"Ran, plis deh."
"Selama empat hari itu juga aku udah mikir bener-bener, dan aku sadar apa yang aku lakuin emang kekanakan dan wajar kalau kamu semarah itu. Jadi sebagai gantinya aku korbankan dua voucher all you can eat punya aku, khusus buat kamu."
Mendengar sogokan Ranti di akhir kalimatnya membuat aku menoleh seketika. Jika ini di anime, aku yakin mataku pasti sudah berbinar dengan bintang-bintang. Harga diriku memang semurah itu jika dihadapkan pada makanan.
Ranti mengorbankan voucher makanan adalah sesuatu yang langka. Walaupun terlahir dengan sendok emas di mulutnya, Ranti tetap memiliki jiwa pemburu diskonan dan gratisan apalagi jika itu adalah makanan. Mungkin karena terlalu lama berteman denganku sampai dia tertular sifat rakyat jelata yang aku miliki.
Makan adalah satu diantara beberapa hal yang bisa menyatukan kami. "Ok deal!"
"Hohoho aku tau kamu bakal luluh dengan sogokan ini. Ayo berangkat."
"Tunggu dong. Aku harus kasih para majikan ini makan, kalau mereka udah kenyang baru bisa pergi.” Tentu saja aku harus memastikan dua makhluk ini aman sebelum aku tinggalkan, terutama Reo. Aku bisa diusir dari sini bahkan bisa mati digorok jika aku lalai dalam menjaga anak kesayangan Sada ini.
Seperti baru sadar akan sesuatu, Ranti memekik histeris. Benar-benar ratu lebay, "astaga dragon! Kamu sekarang punya dua pabrik bulu yang bakal berterbangan kemana-mana? Kamu beneran seniat itu ya nyari partner hidup buat Mochi?"
Reo yang sudah mulai kering berjalan menghampiri kaki Ranti.
"Key plis jauhin" Ranti berlari ke belakangku untuk berlindung dari serangan Reo. Ranti itu alergi dengan bulu kucing.
Melihat Ranti yang kesulitan menghindari Reo, aku membawanya ke gendonganku bersama dengan Mochi sambil tertawa. Benar-benar sebuah hiburan di siang hari.
Aku menatap Reo yang berontak dalam gendonganku, "duh sabar ya boy, dia nggak suka kucing. Kalau kamu jadi buaya baru dia bakal suka"
"Enak aja!"
"Buktinya kamu selalu terjebak dengan janji manis buaya-buaya"
"Skip skip. Sekarang aku penasaran dari mana kamu dapat kucing hitam yang maco ini."
"Panjang ceritanya"
"Cerita aja, aku pasti dengerin."
"Nggak deh, lagi nggak mood. Kapan-kapan aja aku ceritain."
-£-
Setelah menuntaskan hasrat makanku yang selalu menggebu-gebu, aku tersandar lemas di kursi resto.
"Alhamdulillah aku kenyang banget. Terima kasih untuk rezeki hari ini ya Allah."
"Enak ya Key makanannya. Kapan-kapan kita wajib makan disini lagi."
Aku mengangguk, "kalau aku udah dapat kerja."
"Oh iya kerja! Aku baru ingat sesuatu," seru Ranti.
"Apa?"
"Aku udah dapat kerjaan buat kamu."
"Kerja dimana?"
"Di Pearly. Kamu gantiin Mbak Mayang aja, soalnya dia mau resign abis melahirkan. Susah juga kalau harus nyari asisten baru, mending kamu aja."
Pearly itu adalah usaha di bidang kecantikan yang didirikan oleh Ranti. Atas dasar kecintaannya pada kecantikan wajah dan tubuh, Ranti menciptakan produk skincare dan bodycare sendiri. Kini produk dari Pearly sudah tersebar luas dan sangat laris di pasaran.
Bukan tak bersyukur mendapat tawaran kerja dari Ranti, tapi berkerja dengan teman terasa salah buatku. Jika ingin, sejak awal pasti aku sudah menanyakan posisi kosong pada Ranti di tempat kerjanya. Namun bekerja dengan teman baik sendiri mempunyai banyak risiko menurutku. Satu yang paling rentan adalah hubungan personalku dengan Ranti yang bisa rusak kapan saja akibat masalah pekerjaan, dan aku tidak mau itu terjadi.
Seumur hidup hanya Ranti teman yang selalu ada disampingku, yang benar-benar tulus berteman denganku, yang tidak pernah menganggap aku jelek. Pertemanan ini lebih berarti untukku dari pada sebuah pekerjaan.
"Kok diam Key? Apa kamu mau posisi yang lain? Bilang aja, nanti aku usahain"
"Nggak nggak. Bukan gitu. Aku udah lebih dulu dapat tawaran kerjaan."
"Oh ya? Kerja dimana? Bagian apa?"
Aku menggeleng "belum tau."
"Kok bisa? Emang pas nawarin kerjaan, orangnya nggak bilang kamu mau ditempatin di bidang apa?"
"Nggak ada. Aku cuma dikasih alamat dan besok disuruh kesana."
Ranti menatapku dengan pandangan menelisik, "kamu yakin sama tawarannya? Kalau ternyata kamu ditipu gimana? Emang orang yang ngasih tawaran itu bisa dipercaya?"
Pertanyaan Ranti membuatku teringat dengan percakapanku dan Sada kemarin. Entah kenapa aku geli sendiri mengingat aksi merajuknya kemarin. Lucunya, tadi pagi dia menghubungiku lagi seperti tak terjadi apa-apa. Benar-benar aneh.
"Key? Kok malah ketawa sih?"
"Hah? Nggak, tadi aku keinget sesuatu aja. Orangnya bisa dipercaya kok, aku percaya sama dia."
"Yaudah kalau gitu. Nanti kalau ternyata kerjaannya nggak cocok, kamu kasih tau aku ya."
"Siap ndoro. Aku ke toilet dulu."
Setelah selesai buang air kecil, aku bercermin untuk melihat penampilanku. Ewh aku sangat terganggu melihat minyak di wajahku ini. Aku menghidupkan air kran dan membasuh wajah dan memoles liptint kembali. Setidaknya ini akan sedikit membantu penampilanku agar tak terlihat terlalu lusuh. "Mbak, majikannya baik banget ya." Aku menoleh ke kiri, melihat ke arah seorang perempuan remaja yang aku perkirakan baru lulus SMA. Dia terseyum ramah padaku. "Maksudnya gimana?" Tanyaku tak paham. "Aku lihat mbak tadi makan sama majikan mbak. Aku kesini juga sama majikan aku, dia artis, tapi baik banget. Asik ya mbak punya majikan baik, ditraktir makan yang enak-enak terus." "Hah?" "Sesekali coba ikut majikannya perawatan deh mbak. Aku udah dua kali dibawa ke salon, jadinya wajah aku jadi lebih bersih dan sehat gini. Walaupun kita nggak cantik dan nggak putih, tapi kalau wajah terawat jadi lebih mendingan. Terus coba upgr
Sesuai arahan Sada, aku pergi ke alamat yang dia kirim pada siang hari ini. Ternyata dia mengirim aku ke salah satu restoran terbaik di kota ini, yang seumur hidup aku tak pernah membayangkan akan masuk ke dalamnya. Delizio, adalah salah satu restoran bintang lima yang sering kali dikunjungi atau di-review oleh artis maupun foodvloger ternama. Tampilan luarnya saja sudah menjanjikan kemewahan, kenikmatan, dan tentu saja kemahalan untuk kantongku yang tidak pernah sehat ini.Akan bekerja sebagai apa aku disini? Tukang cuci piring kah? Atau tukang bersih-bersih?Aku mematut tampilan diriku di depan jendela restoran ini yang sangat berkilau dan bebas debu. Jika dilihat dari penampilanku, diterima sebagai petugas bersih-bersih saja rasanya sudah sangat bersyukur.Omong-omong dari mana Sada punya link untuk memasukkan aku ke restoran ini ya? Memang siapa Juna Juna itu? Sedekat apa mereka? Kalau aku benar-benar bisa diterima disini karena re
Alarm sialan yang lupa aku non-aktifkan mengacaukan rencana leha-lehaku hari ini. Karena bunyinya yang sangat berisik, aku jadi tidak bisa tidur lagi. Mungkin memang sudah seharusnya aku bangun, karena sekarang sudah hampir jam sebelas. Setelah peregangan sebentar, aku beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Tanpa mandi. Mandi hanya dilakukan jika kita banyak mengeluarkan keringat dan lama beraktivitas diluar ruangan. Keluar dari kamar mandi, aku melihat Mochi yang menghapiriku sambil mengeong tak jelas. "Kamu kenapa? Udah laper ya?" Aku mengikuti Mochi yang berlari ke tempat tidurnya dan menemukan Reo yang masih bergelung di dalam kandang. Makanan dan minum yang aku berikan tadi malam tampak tak tersentuh sama sekali. Ini aneh. Biasanya makanan Reo akan habis atau tersisa sedikit, tapi ini makanannya seperti benar-benar tak tersentuh. Aku jongkok di depan kandang Reo dan mencoba mengelusnya. Tubuhhya terasa sangat l
Setelah diperika, ternyata Reo sedang menderita sariawan yang cukup parah. Beruntung dia segera dibawa ke vet dan diberikan penanganan tepat. Untuk membantu proses penyembuhan, Reo juga diberikan beberapa obat-obatan. Oh iya, kami juga memeriksa keadaan tubuh Reo paska terkena pukulan tadi. Untungnya menurut dokter pukulan itu tidak berdampak apa-apa. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Sada jika pukulan itu menyebabkan cidera serius untuk Reo."Kita makan dulu. Lo belum sarapan kan?" Tanya Sada saat motornya bergerak menjauh dari klinik hewan.Teringat akan keadaan uangku yang masih belum membaik, rasanya tawaran sarapan di luar ini tidak begitu menggiurkan. Lagi pula, aku sudah menyetok telur, minyak, dan beras di kos untuk menghemat pengeluaranku."Mau sarapan dimana?" Tanyaku.Menanyakan tempat sarapan tentu menjadi hal yang penting. Jika dia mengajakku sarapan di warung tenda tepi jalan maka aku akan memesan teh hangat. Tapi jika dia ingin sarapan
Kesan pertamaku bekerja di Delizio adalah lelah tapi sangat menyenangkan! Aku tidak pernah membayangkan bahwa membuat pastry akan semenyenangkan itu, ditambah dari tekanan yang tak biasa saat pengunjung ramai, rasanya aku benar-benar bekerja. Ada perasaan yang membuncah saat semua terselesaikan dengan baik. Yah, walaupun aku tidak membantu banyak dan tidak membuat bahan-bahan inti untuk dekorasi, tapi aku senang bisa membantu rekan-rekan di decorateur. Sebagai anak baru, aku ditempatkan di bagian apprentie atau yang biasa dikenal dengan cook helper.Di hari pertama saja, aku sudah mendapat begitu banyak ilmu tentang pastry. Walau pekerjaanku cukup ringan; mengupas, membersihkan, memotong, mengiris, ataupun menghaluskan, tapi bonusnya aku bisa mengintip cara para decorateur membuat berbagai macam créme atapun karamel. Seperti tadi, mereka membuat créme d'amandes. Oh, jangan tanya aku bagaimana cara menyebutnya
“Mbak ada uang nggak buat bayar SPP aku? Minggu depan aku UAS, kalau nggak melunasi SPP nggak bisa ikut ujian.” Aku meremas celana kulotku dengan jemari yang tiba-tiba mendingin. Kepalaku juga seketika pening. Aku melirik Mas Mahen sekilas, berharap speaker hp kentangku ini tidak mengelurkan suara terlalu keras hingga Mas Mahen tidak bisa mendengar percakapan barusan. Aku menjawab pertanyaan Fabian, adikku, dengan sedikit berbisik. “Nanti mbak telfon lagi kalau udah di kos ya. Mbak tutup dulu telfonnya.” Tanpa menunggu balasan dari Fabian, aku mengakhiri panggilan. Kenapa harus saat ini? Kenapa harus di tengah malam yang hening, di dalam mobil yang pengemudinya adalah Mas Mahen? Aku akan benar-benar merasa tak enak dan canggung jika Mas Mahen mendengar semuanya. Entah sudah berapa kali aku melirik Mas Mahen, sembari merapal doa semoga saja dia tidak mendengar. “Kos kamu yang mana Nay?” “H-hah?” “Kos kamu sebel
“Lo dimana?” adalah pertanyaan Sada saat pertama kali aku menangkat telfon. “Di kos.” “Gue kesana sekarang.” “Mau ngapain?” Tut. Aish! Kenapa sih dia suka sekali mematikan panggilan secara sepihak? Membuat jengkel saja. Aku berjalan gontai ke kamar mandi lalu mulai mencuci muka dan gosok gigi. Setelahnya aku pergi ke dapur miniku dan melihat ke dalam ricecooker, oh syukurlah nasinya masih cukup untuk sarapan pagi ini. Saatnya memberikan majikanku makan lalu membuat makananku sendiri. Saat akan menggoreng telur, Sada menggedor pintu kosku dengan tidak manusiawi. Oh tentu saja itu dia, memang siapa lagi yang menggedor pintu seperti sedang membangunkan orang sahur begitu? Hanya Sada orangnya. Biarlah, toh jika pintu kosku jebol, dia juga yang akan mengganti. “Kenapa sih tiap gedor pintu tuh nggak pernah santai?” tanyaku saat membukakan pintu. “Gue kira lo masih tidur, atau nggak lagi deng
Setelah Ranti memergoki posisiku yang sangat tidak biasa –alias di atas perut Sada– pria itu pergi begitu saja dari kosku dengan seringai jahil di bibirnya yang tak pernah hilang bahkan sampai dia menutup pintu, meninggalkan aku bersama tatapan Ranti yang mengandung sejuta tanya dan tentu saja beragam spekulasi yang dia ciptakan sendiri. Aku tahu setelah ini aku akan memasuki tahap introgasi ala Ranti yang lebih ditail dan memusingkan dibandingkan ketika sesi tanya jawab saat sidang skripsi. “Langsung aja ya, Kay,” Ranti menarik nafas dramatis, welcome back our drama queen, “sejak kapan kamu punya simpanan singa arab begitu tapi nggak pernah kasih tau aku?” Pfftt Ranti dan pilihan katanya. Singa arab? Yah, kalau dipikir-pikir Sada memang bisa saja menjadi singa yang siap mencabik mangsanya jika dia benar-benar murka. Tidak salah sih, tapi tidak benar juga. “Pertama-tama, yang perlu kamu tahu adalah dia bukan simpananku,” terangku pada Ranti.