Share

Part 3. Chef

Sambil mengiris wortel sesekali aku memperhatikan Sada yang sangat gesit memasak dengan alat masak yang sangat-sangat seadanya. Dia tampak lihai dan akrab dengan kegiatan ini, yang membuat aku paling tercengang adalah aksinya menggiling cabai secara manual, alias diuleg sendiri.

Beberapa menit yang lalu Mas Lukman datang dengan sekantong plastik penuh bahan masakan. Sepertinya Sada meminta pria itu membawa semua bahan masakan di rumahnya, lengkap dengan ulekan cabai. Jadilah dia chef dadakan di dapurku yang sangat minimalis.

Katanya dia akan memasak sop ayam. Tapi sejujurnya, aku sanksi dengan rasa masakannya. Terlihat lihai belum tentu hasilnya enak, 'kan?

"Gue nggak percaya lo cuma punya wajan, panci, spatula, dan cutter karatan."

"Masih mending dari pada nggak ada."

"Gue juga nggak percaya lo masih bisa bertahan hidup dengan kemampuan masak nol besar kayak gini. Masak itu adalah basic skill buat survive."

"Ya buktinya aku masih nafas sampai sekarang."

"Dan gue nggak-"

"Bisa diem nggak sih? Kalau nggak ikhlas masaknya nggak usah ngedumel gitu. Aku nggak minta kamu buat masak disini." Aku menuding hidungnya dengan pisau yang tadi dia bilang karatan. Dia benar-benar membuatku muak.

"Wow be careful.” Sada mengangkat kedua tangannya lalu memintaku mendekat. “Sini masukin wortelnya."

Sambil menunggu ayam dan komponen-komponen lainnya matang, aku membentang tikar dan meletakkan sebuah meja kecil di tengahnya. Disinilah aku dan Sada duduk berhadap-hadapan.

"Jadi gimana setoran kos lo bulan ini?"

Ok, here we go.

"Udah ada uangnya, tapi belum cukup."

Sada menegakkan badannya dan menatapku lurus, tampaknya dia akan bicara serius. "Gue nggak bermaksud menyinggung atau apa ya, tapikan ternyata lo nggak pengangguran nih, berarti lo punya pemasukan. Ya gue tau lo pasti punya kebutuhan lain, tapi kan bayar kos ini salah satu kewajiban lo juga. Sorry kalau terlalu to the point, tapi gue nggak bisa basa-basi."

Aku mengangguk, "iya aku paham. Tapi walaupun aku punya pekerjaan, tetap aja itu masih kurang. Yah, ada satu dan lain hal yang buat aku harus cari kerja tambahan karena uang dari nerjemah aja nggak cukup."

Aku tidak tahu kenapa aku bisa seringan ini menceritakan kesulitanku pada orang yang masih tergolong asing. Biasanya aku tidak akan nyaman menceritakan tentang diriku bahkan ke orang terdekat. Mungkin karena aku berhutang padanya, atau karena memang sifat blak-blakannya yang mempengaruhi aku untuk berterus terang, atau mungkin dia memang dapat semudah itu memancing sisi terlemahku untuk keluar. Entahlah, yang jelas bercerita padanya terasa benar.

Aku tidak bercanda saat mengatakan aku butuh pekerjaan, setidaknya dengan penghasilan tetap per bulan, karena pengahasilan dari menerjemah tak tentu. Dulu hasilnya memang masih cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Tapi sekarang berbeda. Adikku akan kuliah. Sudah janjiku kepada diri sendiri bahwa jika adikku kuliah, aku harus membantu biayanya. Aku tidak ingin berlepas tangan dan membiarkan orang tuaku membiayainya sendiri. Aku merasa sudah saatnya aku mengambil alih tugas itu. Maka sekarang aku benar-benar butuh pekerjaan.

"Jadi sekarang lo butuh kerja tambahan?"

Aku mengangguk cepat, lalu menambahkan, "kerjaan dengan gaji tetap per bulan. Merawat Reo belum bisa aku kategorikan sebagai pekerjaan."

Diluar dugaanku, ternyata Sada tertawa. "Nggak lah. Gue juga ogah ngasih lo gaji karna ngerawat Reo. Upah dari ngerawat Reo kan potongan biaya kos. Kalau gue gaji lo lagi, lo menang banyak dong."

"Dasar mafia."

"No no, itu namanya strategi bisnis. Win win solution."

"Terserah."

Sada berjalan ke arah kompor dan melakukan sedikit icip-icip, "berhubung sopnya udah matang, kita lanjutkan ngobrol tentang kerja tambahan lo nanti."

Hanya dengan begitu suara perutku semakin gaduh. Jangan salahkan aku, salahkan saja aroma sopnya yang sangat menggoda untuk disantap segera.

Lalu begitu saja, setelah mencoba satu suapan pertama aku langsung merasa melayang ke surga cita rasa. Aku tidak hiperbola, rasa sop ini benar-benar nikmat. Mungkin yang sedang makan di depanku ini adalah koki terbaik dari sebuah hotel bintang lima.

Dengan bersihnya piringku tanpa ada sebutir nasi pun tersisa, aku resmi menarik lagi keraguanku tentang rasa makanan yang dia buat. Ternyata dia punya satu kelebihan yang sangat menarik dibalik sifat menyebalkannya.

Setelah mencuci piring dan peralatan masak, aku duduk untuk menenangkan perutku yang kekenyangan sambil meratapi nasib laptopku yang sekarang sudah diujung usianya. Aku harus segera memeriksa apakah dia masih bisa digunakan atau tidak. Tapi dengan adanya seorang tamu tak diundang yang sedang bermain dengan Reo dan Mochi membuatku merasa tak leluasa untuk melakukan segala urusanku.

"Ehem," aku mencoba menarik perhatian Sada.

"Minum sana. Dari tadi ham hem mulu."

Aku beralih duduk di sampingnya yang sibuk menggelitik Reo, "aku bukan bermaksud ngusir atau apa. Tapi kamu beneran kesini cuma buat nagih uang kos? Kan kamu udah tau uangnya nggak ada, jadi kenapa kamu masih disini?"

Ditatap dengan jarak sedekat ini oleh mata yang tajam itu membuatku beringsut menjauh, "itu namanya lo ngusir," ujarnya.

"Nggak kok. Aku masih ingat banget waktu itu kamu bilang banyak urusan. Pasti kamu orang yang super sibuk. Jadi dari pada lama-lama disini, mending kamu selesaikan urusan yang lain.”

"Pertama, gue nggak perlu repot-repot buat kesini kalau emang cuma buat minta uang kos. Tinggal suruh Yadi, beres. Kedua, gue kesini mau liat keadaan Reo langsung. Ketiga, kalau gue sempat kesini berarti gue senggang. Nggak usah ngatur-ngatur.”

"Tapi kamu ganggu aktivitas aku.”

"Apa? Nonton anime?"

"Hei!"

Kalimat protesku selanjutnya terhenti karena perkataan Sada, "gue ada tawaran kerja buat lo."

Aku mengerjap untuk mencerna ucapannya, tapi... "Jangan bilang kerja buat bantuin Mas Lukman ngurusin kos?"

Sada meluruskan kaki dan bersandar ke dinding lalu mengutak-atik hp-nya, tak menggubris pertanyaanku. "Itu udah gue kirim ke wa lo. Lusa lo bisa datang ke sana, temui orang yang namanya Juna. Bilang lo disuruh Sadajiwa."

Aku melihat pesan dari Sada yang berisikan sebuah alamat. "Kamu nggak bakal jual aku ke om-om kan?"

"Kenapa lo nggak pernah berprasangka baik ke orang? Kalau lo nggak percaya yaudah, nggak usah datang. Anggap aja gue nggak pernah nawarin kerjaan. Intinya gue bakal suruh Yadi nagih uang kos terus ke lo, nggak mau tau gue."

"Cie ngambek. Iya, maaf deh.”

"Ya kalau ragu nggak usah datang. Gue paling males jelas-jelasin ke orang yang suka suudzon ke orang lain, nggak guna."

Setelah mengatakan itu, Sada mengambil jaketnya dan berlalu keluar. Astaga dia ngambek beneran. Apa perkataanku terlalu menyinggung? Apa aku sudah keterlaluan? Apa dia memang sesensitif itu?

Aku berlari mengejarnya keluar, "hei, aku beneran minta maaf, okay? Aku nggak ada maksud nyinggung kamu kok. Maaf kalau kamu tersinggung. Makasih banyak tawarannya, aku pasti datang kesana lusa."

"Ya."

Lalu dia benar-benar pergi tanpa berbalik. Ada apa dengan pria itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status