Share

CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)
CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)
Penulis: Rianievy

Bukti pembayaran

Penulis: Rianievy
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-26 10:09:49

"Luar kota? Berapa lama?" tanya Imelda saat melihat suaminya merapikan beberapa pakaian ke dalam tas koper berukuran kecil yang biasa dipakai Rizal jika dinas selama tiga hari.

"Kali ini seminggu, Mel, nanti aku tinggalin uang tambahan untuk belanja sama jajan anak-anak, ya." Ia mengusap kepala Imelda lalu mengecupnya. Imelda tak tahan. Ia meraih jemari tangan Rizal, digenggam erat. Rizal menatap heran, hingga Imelda mendadak tersenyum.

"Kamu habis dari dokter kandungan? Antar perempuan yang namanya Wanda? Siapa dia, Mas?" Imelda tersenyum, terus seperti itu. Rizal diam. Air wajahnya mendadak berubah pucat, tangannya bergetar pelan di dalam genggaman Imelda, bahkan terasa berkeringat.

"Siapa dia? Kamu punya perempuan lain selain aku?" tatap Imel masih terus tersenyum. Rizal diam, kedua matanya mendadak mengembun, hingga ia menjatuhkan pakaian yang sedang dipegang dengan tangan kiri lalu berlutut di depan istrinya, memeluk pinggang Imelda erat, menumpahkan tangis. Imelda diam, membeku di tempat, tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa membiarkan suaminya meluapkan semuanya dalam tangisan.

Setengah jam berlalu, Imelda dan Rizal duduk di atas ranjang, tak henti Rizal mengecupi jemari tangan wanita yang hampir sebelas tahun menemani hari-harinya menjalani biduk rumah tangga. "Dia siapa?" tanya Imelda begitu lembut. Rizal menunduk, meletakkan jemari Imelda di keningnya, kedua mata Rizal terpejam erat.

"Aku harap kamu ngerti, Mel, posisiku sulit," ucapnya.

"Sesulit apa? Apa kamu, juga merasa sulit untuk bilang ke aku kalau kamu mau nikah lagi? Apa kamu..."

Rizal menggeleng. "Aku nggak selingkuh sama dia, aku nggak selingkuh dari kamu, ak—"

"Tapi kamu nikah sama dia, Mas?" ucap Imelda penuh penekanan. Rizal mendongak, menatap lekat Imelda dengan kedua mata yang terasa sembab.

"Dia, Winola," jawab Rizal.

"Win... Winola, sahabat kamu dari SMP?!" kedua mata Imelda terbelalak. Rizal mengangguk. Kali ini Imelda melepaskan genggaman tangan Rizal pada jemarinya.

"Mel, aku terpaksa..." ucapnya lirih. Imelda menggeleng pelan.

"Terpaksa apa, Mas? Sampai kamu nikahi dia, dan dia ha-mil?" kedua alis mata Imelda berkerut, ia juga bertanya dengan nada penuh penekanan.

"Itu bukan anakku." Rizal berucap tegas.

"Terus?" Imelda masih mencecar.

"Maafin aku, aku nggak bisa cerita sekarang, Mel, maaf..." desah Rizal. Imelda menatap suaminya dengan air mata yang perlahan turun.

"Keluargamu tau?" tanyanya. Rizal menggelengkan kepala.

"Cuma aku, Winola, orang tua dan adiknya," jawab pria itu.

"Hah? Mas... maksudnya apa, sih? Tolong cerita ke aku, aku butuh penjelasan ini Mas Rizal. Dan aku bingung. Kamu sama Winola bukannya udah lama nggak komunikasi, dia di luar negeri, 'kan, Mas?" raut wajah Imelda sudah tak seramah, tersenyum, dan sesabar sebelumnya.

Rizal diam, ia hanya bisa menatap mata istrinya, yang pupil matanya bergerak cepat menatap suaminya untuk segera berkata jujur. Namun, Rizal terus diam, seolah sedang menyusun jawaban yang entah itu benar atau bohong. Imelda diam, menghela napas perlahan, mencoba menenangkan diri.

"Oke, kamu nggak mau jujur hal ini, nggak apa-apa, Mas. Sekarang, kamu, jujur. Mau ke luar kota, atau dia butuh kamu di sana. Entah kamu taruh di mana dia sekarang. Apa kamu beliin dia rumah, apartemen atau apa pun itu?" geram Imelda.

"Dia di rumahnya sendiri, orang tuanya yang beliin, Mel." Rizal memejamkan kedua matanya sejenak sebelum kembali menjawab. "Aku dinas, tapi hanya satu malam, pulang dinas, aku ke rumah Winola, dia butuh aku karena kehamilannya cukup payah. Dia butuh aku temani, maafin aku, Mel. Aku benar-benar—"

PLAK!

Satu tamparan mendarat di wajah Rizal. Imelda tersenyum kemudian. "Terima kasih, Mas, setidaknya kamu mau jujur untuk jawab pertanyaan aku yang kedua, juga, terima kasih karena kamu minta aku ambil dompet kamu di tas yang justru aku temuin amplop itu. Mas Rizal jangan khawatir, aku nggak akan bersikap beda sama kamu. Tamparan aku tadi, untuk jadi pelajaran kamu, kalau aku juga bisa marah dan kecewa."

Rizal memeluk erat istrinya itu. Imelda diam, hanya air mata yang bisa ia jatuhkan di dalam pelukan suaminya. "Kenapa jadi begini, Mas? Kenapa kamu hancurkan semuanya? Kenapa kamu rahasiakan ini?"

"Maaf Imelda, maaf..., tolong ngertiin posisi aku, tolong... aku akan jelasin semuanya ya, tanpa ada kebohongan lagi dari kamu. Aku cinta kamu, aku cuma nolongin Winola, cuma itu." Rizal menyembunyikan wajahnya di ceruk leher istrinya. Diciumnya lembut, lalu mengusap kepala Imelda begitu lembut.

"Sudah berapa lama kalian menikah diam-diam di belakang aku?" ucap Imelda lagi.

"Lima bulan, Mel," jawab Rizal. Imelda bergeming, ia bingung harus apa lagi. Lima bulan, bukan waktu yang sebentar untuk merahasiakan itu semua. Ada apa sebenarnya? Namun, kehancuran sudah berada di pelupuk mata, membuat Imelda mendadak duduk lemas di ujung ranjang. Tangannya gemetar, mimpi apa ia semalam, seketika, apa yang ia rangkai dalam pernikahannya mendadak hancur lebur, berantakan. Imel menatap suaminya yang masih tampak menangis.

"Anak siapa yang dia kandung? Kenapa kamu yang harus tanggung jawab!" bentak Imelda tak tahan. Rizal menoleh ke arah pintu. Ia beranjak cepat lalu memutar kunci pintu, ia tak ingin, mendadak dua putranya melesak masuk dan bertanya kenapa ibunya berteriak.

"Kenapa?! Kamu takut anak-anak dengar. Kalau Ayahnya diam-diam nikah lagi sama sahabat perempuan, yang hami, tapi bukan anak Ayah mereka! Iya!" Imel masih mengamuk. Wajar, hati istri mana yang siap, apalagi Rizal berbohong. Tak bisa menjawab, Rizak hanya meminta Imel mengerti, ia akan membawa Winola bertemu dengannya, mereka bertiga akan bicara.

Winola sendiri kenal dengan Imelda, walau baru beberapa kali mengenal. Tega. Jahat. Imel beranjak cepat, membuka lemari dan segera mengambil baju ganti. "Aku akan ketemu dia. Sendirian. Di mana rumahnya." Ketus Imel tak akan mundur.

"Mel, jangan gini, kasihan dia lagi hamil, aku juga harus jaga perasaan kedua orang tuanya, juga perasaan kamu. Makanya aku diam dan rahasiakan ini, maaf, Mel. Ini cuma status, supaya keluarga Winola nggak malu karena dia hamil sama laki-laki yang baru dia kenal saat liburan di Thailand. Maaf, sayang, maaf..." Rizal memeluk erat istrinya itu. Imel lemah, ia menangis, bahkan tubuhnya merosot.

"Kamu gila, Mas Rizal, kamu gila, kamu hancurkan semuanya," isak Imel.

"Nggak. Kamu tetap cintaku. Selamanya. Aku di sana juga hanya menemani, tidak tidur dengan dia. Dia sahabatku, Mel, sahabat." Rizal terus memeluk istrinya itu, keduanya menangis bersama, begitu sesak rasanya, apapun alasannya, Imel begitu berat menerima. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mau bantu dan ujung2nya ketagihan. udah jelas anak haram dan di depan umum diakui anak sendiri nantinya.
goodnovel comment avatar
jess
Alasan yang aneh
goodnovel comment avatar
Izah Aziz Izah Aziz
Sedih sekali.. Tapi cerita nya bagus sekali..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Kebahagiaan Sesungguhnya

    "Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Awet muda

    Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Curhatan lelaki

    Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Kedatangan Araska

    "Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Melepas Rindu

    Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Permintaan kembali

    Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Kesabaran diuji

    Rumah bercat putih itu, menjadi tempat di mana Ardan, Sahila, Reno juga Bima tinggal. Sahila masih koma, tak tau kapan ia akan bangun, dan kini sudah memasuki waktu tiga bulan semenjak kecelakaan itu terjadi. Sejak pagi, Ardan sudah menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh Sahila dengan cara membasuh perlahan. Reno membantu, ia mengambil handuk, juga pakaian Sahila sambil sesekali melihat Bima yang semakin hari semakin sehat. "Pagi, Sahila," sapa Ardan yang sudah melipat kaos lengan panjangnya hingga siku. "Pagi, Mama," sapa Reno sambil mengecup kening wanita yang masih terbujur tak sadarkan diri. "Reno, kamu lihatin Bima, ya, udah bangun atau belum?" "Iya, Pa." Kemudian Reno berjalan keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar lain yang ditempati ia juga Bima. Ardan perlahan melucuti pakaian istrinya, hingga separuh telanjang. Dengan telaten dan perlahan, ia mengelap tubuh istrinya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat. Tangannya mengarah ke wajah, begitu pe

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Terus menunggu

    Tepat dua minggu kemudian, kondisi ibu dan bayi stabil, dokter juga memberikan izin untuk keluarga membawa mereka berangkat ke Bangkok, Thailand. "Semua sudah siap, Dan?" Rizal memastikan lagi supaya Ardan tak perlu bolak balik mengurus banyak hal karena tertinggal. "Udah, Yah." Ardan yang sudah resign dari pekerjaannya tampak begitu syok dengan kondisi yang ia alami saat ini. Ambulance sudah bersiap berangkat menuju ke bandara dari rumah sakit. Bima digendong Imelda yang ikut serta juga Rizal. Bayi mungil itu sudah tidak perlu alat bantu napas, kondisinya membaik dengan cepat. Seperti mukjizat yang datang dengan cepat kepada bayi Bima. Reno duduk di mobil yang membawa ia juga Imelda dengan tenang. Wajahnya murung, tapi mau apa lagi, semua sudah keputusan Ardan. Ia juga sedih melihat Sahila masih dalam keadaan koma. "Nenek, Mama nanti bangun, 'kan?" Reno menyandarkan kepala ke bahu kanan Imelda. "Iya. Reno berdoa terus, ya, supaya Mama bangun. Nanti di sana, Reno tetap harus raji

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Terguncang

    Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status