"Luar kota? Berapa lama?" tanya Imelda saat melihat suaminya merapikan beberapa pakaian ke dalam tas koper berukuran kecil yang biasa dipakai Rizal jika dinas selama tiga hari.
"Kali ini seminggu, Mel, nanti aku tinggalin uang tambahan untuk belanja sama jajan anak-anak, ya." Ia mengusap kepala Imelda lalu mengecupnya. Imelda tak tahan. Ia meraih jemari tangan Rizal, digenggam erat. Rizal menatap heran, hingga Imelda mendadak tersenyum.
"Kamu habis dari dokter kandungan? Antar perempuan yang namanya Wanda? Siapa dia, Mas?" Imelda tersenyum, terus seperti itu. Rizal diam. Air wajahnya mendadak berubah pucat, tangannya bergetar pelan di dalam genggaman Imelda, bahkan terasa berkeringat.
"Siapa dia? Kamu punya perempuan lain selain aku?" tatap Imel masih terus tersenyum. Rizal diam, kedua matanya mendadak mengembun, hingga ia menjatuhkan pakaian yang sedang dipegang dengan tangan kiri lalu berlutut di depan istrinya, memeluk pinggang Imelda erat, menumpahkan tangis. Imelda diam, membeku di tempat, tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa membiarkan suaminya meluapkan semuanya dalam tangisan.
Setengah jam berlalu, Imelda dan Rizal duduk di atas ranjang, tak henti Rizal mengecupi jemari tangan wanita yang hampir sebelas tahun menemani hari-harinya menjalani biduk rumah tangga. "Dia siapa?" tanya Imelda begitu lembut. Rizal menunduk, meletakkan jemari Imelda di keningnya, kedua mata Rizal terpejam erat.
"Aku harap kamu ngerti, Mel, posisiku sulit," ucapnya.
"Sesulit apa? Apa kamu, juga merasa sulit untuk bilang ke aku kalau kamu mau nikah lagi? Apa kamu..."
Rizal menggeleng. "Aku nggak selingkuh sama dia, aku nggak selingkuh dari kamu, ak—"
"Tapi kamu nikah sama dia, Mas?" ucap Imelda penuh penekanan. Rizal mendongak, menatap lekat Imelda dengan kedua mata yang terasa sembab.
"Dia, Winola," jawab Rizal.
"Win... Winola, sahabat kamu dari SMP?!" kedua mata Imelda terbelalak. Rizal mengangguk. Kali ini Imelda melepaskan genggaman tangan Rizal pada jemarinya.
"Mel, aku terpaksa..." ucapnya lirih. Imelda menggeleng pelan.
"Terpaksa apa, Mas? Sampai kamu nikahi dia, dan dia ha-mil?" kedua alis mata Imelda berkerut, ia juga bertanya dengan nada penuh penekanan.
"Itu bukan anakku." Rizal berucap tegas.
"Terus?" Imelda masih mencecar.
"Maafin aku, aku nggak bisa cerita sekarang, Mel, maaf..." desah Rizal. Imelda menatap suaminya dengan air mata yang perlahan turun.
"Keluargamu tau?" tanyanya. Rizal menggelengkan kepala.
"Cuma aku, Winola, orang tua dan adiknya," jawab pria itu.
"Hah? Mas... maksudnya apa, sih? Tolong cerita ke aku, aku butuh penjelasan ini Mas Rizal. Dan aku bingung. Kamu sama Winola bukannya udah lama nggak komunikasi, dia di luar negeri, 'kan, Mas?" raut wajah Imelda sudah tak seramah, tersenyum, dan sesabar sebelumnya.
Rizal diam, ia hanya bisa menatap mata istrinya, yang pupil matanya bergerak cepat menatap suaminya untuk segera berkata jujur. Namun, Rizal terus diam, seolah sedang menyusun jawaban yang entah itu benar atau bohong. Imelda diam, menghela napas perlahan, mencoba menenangkan diri.
"Oke, kamu nggak mau jujur hal ini, nggak apa-apa, Mas. Sekarang, kamu, jujur. Mau ke luar kota, atau dia butuh kamu di sana. Entah kamu taruh di mana dia sekarang. Apa kamu beliin dia rumah, apartemen atau apa pun itu?" geram Imelda.
"Dia di rumahnya sendiri, orang tuanya yang beliin, Mel." Rizal memejamkan kedua matanya sejenak sebelum kembali menjawab. "Aku dinas, tapi hanya satu malam, pulang dinas, aku ke rumah Winola, dia butuh aku karena kehamilannya cukup payah. Dia butuh aku temani, maafin aku, Mel. Aku benar-benar—"
PLAK!
Satu tamparan mendarat di wajah Rizal. Imelda tersenyum kemudian. "Terima kasih, Mas, setidaknya kamu mau jujur untuk jawab pertanyaan aku yang kedua, juga, terima kasih karena kamu minta aku ambil dompet kamu di tas yang justru aku temuin amplop itu. Mas Rizal jangan khawatir, aku nggak akan bersikap beda sama kamu. Tamparan aku tadi, untuk jadi pelajaran kamu, kalau aku juga bisa marah dan kecewa."
Rizal memeluk erat istrinya itu. Imelda diam, hanya air mata yang bisa ia jatuhkan di dalam pelukan suaminya. "Kenapa jadi begini, Mas? Kenapa kamu hancurkan semuanya? Kenapa kamu rahasiakan ini?"
"Maaf Imelda, maaf..., tolong ngertiin posisi aku, tolong... aku akan jelasin semuanya ya, tanpa ada kebohongan lagi dari kamu. Aku cinta kamu, aku cuma nolongin Winola, cuma itu." Rizal menyembunyikan wajahnya di ceruk leher istrinya. Diciumnya lembut, lalu mengusap kepala Imelda begitu lembut.
"Sudah berapa lama kalian menikah diam-diam di belakang aku?" ucap Imelda lagi.
"Lima bulan, Mel," jawab Rizal. Imelda bergeming, ia bingung harus apa lagi. Lima bulan, bukan waktu yang sebentar untuk merahasiakan itu semua. Ada apa sebenarnya? Namun, kehancuran sudah berada di pelupuk mata, membuat Imelda mendadak duduk lemas di ujung ranjang. Tangannya gemetar, mimpi apa ia semalam, seketika, apa yang ia rangkai dalam pernikahannya mendadak hancur lebur, berantakan. Imel menatap suaminya yang masih tampak menangis.
"Anak siapa yang dia kandung? Kenapa kamu yang harus tanggung jawab!" bentak Imelda tak tahan. Rizal menoleh ke arah pintu. Ia beranjak cepat lalu memutar kunci pintu, ia tak ingin, mendadak dua putranya melesak masuk dan bertanya kenapa ibunya berteriak.
"Kenapa?! Kamu takut anak-anak dengar. Kalau Ayahnya diam-diam nikah lagi sama sahabat perempuan, yang hami, tapi bukan anak Ayah mereka! Iya!" Imel masih mengamuk. Wajar, hati istri mana yang siap, apalagi Rizal berbohong. Tak bisa menjawab, Rizak hanya meminta Imel mengerti, ia akan membawa Winola bertemu dengannya, mereka bertiga akan bicara.
Winola sendiri kenal dengan Imelda, walau baru beberapa kali mengenal. Tega. Jahat. Imel beranjak cepat, membuka lemari dan segera mengambil baju ganti. "Aku akan ketemu dia. Sendirian. Di mana rumahnya." Ketus Imel tak akan mundur.
"Mel, jangan gini, kasihan dia lagi hamil, aku juga harus jaga perasaan kedua orang tuanya, juga perasaan kamu. Makanya aku diam dan rahasiakan ini, maaf, Mel. Ini cuma status, supaya keluarga Winola nggak malu karena dia hamil sama laki-laki yang baru dia kenal saat liburan di Thailand. Maaf, sayang, maaf..." Rizal memeluk erat istrinya itu. Imel lemah, ia menangis, bahkan tubuhnya merosot.
"Kamu gila, Mas Rizal, kamu gila, kamu hancurkan semuanya," isak Imel.
"Nggak. Kamu tetap cintaku. Selamanya. Aku di sana juga hanya menemani, tidak tidur dengan dia. Dia sahabatku, Mel, sahabat." Rizal terus memeluk istrinya itu, keduanya menangis bersama, begitu sesak rasanya, apapun alasannya, Imel begitu berat menerima.
Rizal masih menutupi, maka Imelda yang akan mencari tau semuanya. Winola yang bernama asli Wanda Sarasvati, merupakan sahabat Rizal, mereka memang begitu dekat, hingga kuliah satu jurusan, namun berpisah setelah Winola – panggilan kesayangan dari keluarga wanita itu – bekerja di perusahaan besar negara lain. Rizal berusia 34 tahun, sedangkan Imelda 33 tahun dengan dua anak laki-laki berusia 10 dan 9 tahun. Pernikahan Imelda dan Rizal sangat bahagia, bagaimana seorang Rizal mencintai istrinya itu, tapi, ia juga tak tega dengan sahabatnya itu. "Jangan sekarang, Mel..." cegah Rizal saat istrinya ngotot mau bertemu Winola. Tangan Rizal di tepis Imelda begitu kuat. Ia berbalik badan. Menatap penuh amarah juga tanda tanya besar mengapa Winola tega menjadi duri dalam daging rumah tangganya. Imelda menerima? Belum. Ia mau mendengar jawaban yang masuk diakal.
Layaknya rumah tangga yang tak ada masalah berarti, Imelda dan Rizal kembali menjalani kehidupan normal. Anak-anak tidak ada yang curiga dengan cerita ayahnya yang memiliki istri lain. Feeling seorang istri tak pernah salah, ia meraih ponsel Rizal, mengecek pesan singkat sampai ke email juga. Jarinya terus mengusap layar benda pipih itu, dan benar, sejak beberapa hari lalu banyak pesan singkat dan telepon masuk yang tak Rizal baca juga jawab panggilan itu dari Winola. Imel membaca semua pesan masuk dari Winola, menanyakan kapan ke rumah, sampai, pesan semalam, Imel di rumah sakit, ia terpeleset dan jatuh.Lalu, ada pesan lain yang menunjukkan ia di kamar rawat. Pun, tak lupa Winola menulis pesan di bawah foto yang dikirim
Imelda sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, suami yang dicintainya, semakin hari, justru semakin lebih ada bersama Winola. Wanita itu kehamilannya semakin besar, Imelda memendam kegalauan hatinya seorang diri. Menepati janji kepada suami juga Winola untuk tak bercerita kepada keluarga besar suaminya, pun, demi menjaga hati dua anaknya-- Dewa dan Ardan, yang semakin merasa ada yang aneh dengan sikap Rizal.Bulan ke delapan, kehamilan Winola semakin menambah daftar panjang kekesalan Imelda, karena Rizal akhirnya bicara jika keluarga besar 'sahabatnya' itu, meminta dirinya untuk lebih sering berada di sana. Imel tak habis pikir, kok ada, keluarga perempuan yang mendesak hal itu sementara mereka, tau Rizal sudah beristri dan memiliki dua anak.Rasa penasaran Imel kembali memuncak. Ia menatap Rizal yang sedang memasukkan pakaian milik pria itu ke dalam satu koper be
Winola putar otak, ia malas membahas dan menanyakan kepada Rizal perkara uang yang seharusnya, menjadi jatah Winola dan anak-anak. Jika ia tak mengalihkan pikirannya tentang Rizal, bisa-bisa semua kacau, anak-anak juga akan kena dampaknya. Itu yang ia jaga begitu hati-hati.Rizal pulang, setelah dua minggu semenjak Winola melahirkan, ia selalu di rumah wanita itu. Kedua mata Rizal terbelalak, saat ia melihat keadaan ruang TV rumahnya banyak loyang, dan adonan kue kering. Di dapur, terlihat Imel sedang mengeluarkan loyang dari dalam oven besar milik istrinya yang lama tak ia pakai semenjak lebaran tahun lalu. Biasanya, Imel akan membuat kue khas lebaran sendiri, ia memiliki keahlian akan hal itu."Mel, kamu tumben bikin nastar dan sagu keju sekarang?" Rizal membawa sepatunya ke arah rak di dekat dapur, lalu menjajarkan dengan sepatu anaknya di sana. Ia segera me
Rizal hanya bisa menatap terkejut ke arah Winola, lalu ia terkekeh. "Aku tidak mencintaimu, Win, kamu sahabatku, dan akan terus begitu."Winola menyeka air matanya, ia menunduk, begitu paham. "Tapi hatiku, setelah selama ini kebersamaan kita, aku ...," ia menjeda. "Aku rela menjadi yang kedua. Aku rela waktumu lebih banyak di Imel dari pada denganku. Aku nggak masalah, satu malam cukup. Aku nggak mau Sahila nggak punya Ayah. Kamu tau, kan, laki-laki itu juga aku nggak kenal siapa, Zal...," isaknya lagi.Imelda diam, ia menatap Winola, lalu berganti ke Sahila. Anak itu tak berdosa, wajahnya memang tak mirip dengan Rizal, kulitnya saja putih, hidungnya begitu mancung dengan bola mata abu-abu terang. Bukan Rizal sekali.Rizal mencoba menyanggah, namun dicegah Imelda dengan menggenggam jemari tangan suaminya itu.
Keluarga, setiap orang pasti selalu membayangkan memiliki keluarga yang utuh, lengkap dan tidak terpisah-pisah, atau bisa juga tanpa masalah. Tapi hal itu tidak bisa terjadi pada rumah tangga Imel, nyatanya, ia harus menerima status suaminya yang punya istri lain. Berat, bagaimana ia mencintai Rizal begitu dalam, namun di sakiti oleh status pria itu begitu tega.Pelukan tangan Rizal setia pada pinggang istrinya, wajah pria yang terlelap itu membuat Imel akhirnya bisa tersenyum, Rizal menepati janji, sudah tiga minggu ia selalu di rumah, tidak pernah menemui Winola. Telepon dari wanita itu pun juga tidak pernah ada. Imel selalu mengecek setiap Rizal pulang bekerja.Tatapan Imel lekat ke arah suaminya, ia tersenyum. Lalu, menyusupkan wajahnya pada ceruk leher Rizal yang menggeram tertahan namun semakin erat memeluk."
Jatuh cinta itu bisa membuat hilang akal, apalagi posisinya memang sedikit menekan urat malu yang harus diputus. Rizal memarkirkan mobil di garasi, jam sudah di angka 4 sore, mereka baru pulang dari toko seragam sekolah, lalu lanjut ke mal untuk makan siang bersama, kemudian membeli sepatu baru untuk dua anaknya.Namun, tatapan semuanya mengarah pada sosok Winola yang duduk di teras rumah tanpa pagar itu sambil menggendong Sahila. Satu persatu turun dari mobil, tatapan Imelda mengarah ke kedua anaknya. Sedangkan Rizal tampak kesal melihat kehadiran sahabatnya itu di rumah."Salim dulu sama Tante Winola, Dewa... Ardan," ucap Imel mengingatkan sopan santun. "Ini teman Ayah dan Ibu," lanjutnya. Dewa meraih tangan kanan Winola, ia mencium punggung tangan itu, bergantian ke Ardan. Keduanya lalu masuk ke dalam rumah sambil menenteng tas belanjaan mereka.
Pov Imelda.Bagaimana rasanya menjadi aku? Sulit dijelaskan. Suamiku terus marah dan tak habis pikir dengan Winola yang terang-terangan jujur mencintai suamiku. Ini gila. Luar biasa di luar logikaku. Ada wanita yang rela menjadi madu rumah tanggaku, berkedok sahabat yang berubah menjadi cinta.Winola menangis, air mata itu jujur, aku bisa lihat bagaimana percikan cinta itu memang ada untuk suamiku. Sakit? Sangat. Yang kupikirkan hanya kedua putraku, bagaimana Dewa akan marah, ia sudah akan ABG, di mana darahnya mulai membara. Siap memberontak, dan aku takut. Bagaimana ini, aku harus apa demi anak-anakku?Pov author."Aku akan talak kamu, Win," ucap Rizal tegas. Setegas sorot mata yang begitu tajam menyayat hati wanita itu.Winola menggelengkan kepala.