“Terserah! Lebih baik aku pulang saja.” Arsyila bangkit dari duduknya dengan tergesa-gesa.
“Tunggu!” cegah Kayla yang masih ingin melanjutkan ucapannya.“Semakin lama di sini, semakin membuatku emosi.” Arsyila pergi dan tak menghiraukan lagi ucapan dari Kayla.Sepanjang perjalanan, Arsyila masih mendengus kesal dengan kelakuan Amira.‘Ada gitu, ya, orang aneh kayak nenek lamper si Amira itu?’ monolog Arsyila sembari meremas-remas telapak tangannya sebagai pelampiasan perasaan marahnya.‘Dia yang merebut nampan, dia juga yang menyiram tangannya pakai air panas, kenapa jadi aku yang dimarahin?’ Dengusan rasa kesal masih terlihat jelas pada diri Arsyila.“Arsyila, kamu sudah pulang, Nak?” tanya Khotijah, ibu panti yang merawat Arsyila sejak masih bayi.Arsyila merasa kaget dengan sapaan dari Khotijah. Sejenak, Arsyila menata hatinya agar tidak terlihat sedang marah.“Iya, Ibu, Arsyila sedang tidak enak badan,” jawabnya bohong. Arsyila memang tidak ingin jika Khotijah mengetahui dirinya dipecat dari perusahaan, karena hal itu tentu akan membuat Khotijah sedih.“Kamu sakit, Arsyila?” Khotijah menyentuk kening Arsyila untuk mengecek suhu tubuhnya.“Istirahatlah!” Dengan segera Arsyila pergi ke kamarnya. Kamar kecil yang di huni dengan dua balita yang menjadi tugas Arsyila untuk menjaganya setiap malam.Arsyila menatap dua bayi mungil yang menggemaskan, mereka terlihat saling bermain karena ke duanya sedang asiknya di fase merangkak.“Hai, Mimin! Hai, Mumun!” Sapa Arsyila pada ke dua bayi perempuan tersebut yang sejak Arsyila datang selalu melihatnya. Bayi itu hanya tersenyum mengoceh dengan bahasa yang Arsyila sendiri tidak bisa jelas mengartikan. Arsyila hanya tahu jika bayi itu tidak punya beban apapun dan hanya memiliki rasa bahagia.“Enak, ya, jadi kalian, tidak pernah punya masalah,” ucap Amira sembari memangku Mimin dan Mumun, tetapi mendengar ucapan Arsyila dengan suara dibuat seperti bicara anak kecil membuat ke dua bayi tersebut bertepuk tangan dengan kompak.“Kok kalian malah senang, sih!” dengus Arsyila kesal, tetapi masih memanjakan Mimin dan Mumun pada pangkuannya. ”Tahu enggak kalian? Kak Arsyila itu lagi sebel sama nenek lampir, namanya Amira, anak dari bosnya kak Arsyila. Selain dia sombong, dia juga senang sekali ngajak ribut, belum lagi memecat orang seenaknya sendiri. Padahal, kak Arsyila tidak salah.” Terlihat Arsyila yang asik curhat kepada Mimin dan Mumun dengan curahan hatinya.Mahardika melangkah menuju ruangan milik Handoko. Mahardika hanya ingin menyerahkan beberapa berkas kepada Handoko untuk di tandatangani.Walaupun Mahardika sudah menjabat sebagai seorang CEO, tetapi Dia tetap menghargai posisi ayahnya sebagai pendiri perusahaan utama."Ada apa, Ayah? Kenapa Ayah sangat marah kepada Amira?" tanya Mahardika dengan wajah datarnya."Sikap adek Kamu tidak pernah berubah. Dia semena-mena memecat salah satu karyawan office girl dengan alasan tidak jelas," kata Handoko merasa kecewa dengan Amira, anak gadisnya yang selalu bersikap sombong dan angkuh."Alasan tidak jelas bagaimana, Ayah? Si dekil itu sudah berani menyiram tangan Amira dengan air panas, Ayah.” Amira mendengus kesal.“Lihatlah, Ayah! tangan Amira jadi memerah seperti ini," ucap Amira sembari memperlihatkan tangan putihnya kepada Handoko. Mahardika sendiri melirik sekilas ke arah tangan Amira yang memang sedikit merah, tetapi tidak parah."Duduk, Dek!" perintah Mahardika dengan muka dinginnya. Amira selalu takluk ketika berhadapan dengan Mahardika, kakak yang sangat Amira sayangi dan hormati.Amira langsung duduk dengan menyilangkan tangannya. Sesaat, Mahardika melihat ke arah Amira dan Handoko secara bergantian."Bisa Kamu jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Dek? Sampai Kamu memecat karyawan tanpa seizin Ayah? Bahkan Kamu tahu sendiri jika hal itu sangat dibenci oleh Ayah. Ayah tidak suka menyakiti orang lain, termasuk menyakiti karyawannya sendiri.Terlihat Amira yang gugup ingin menjawab. Dia sendiri tidak tahu kenapa tadi begitu emosi dengan office girl kebanggaan ayahnya."Bu-bukan begitu maksudnya, Mas. Office girl itu yang salah sudah berani menyiram tangan Amira," Amira masih membela diri tak mau kelihatan salah."Dia yang salah atau Kamu yang merebut nampan secara tiba-tiba tanpa izin?" bentak Handoko yang memang paham betul akan sifat putri bungsunya."Kenapa Ayah begitu membela Arsyila dari pada Amira yang merupakan anak kandung Ayah sendiri? Apa istimewanya Arsyila, Yah? Apa Ayah menyukai Arsyila?" bentak Amira naik pitam. Dia sungguh marah mendapatkan bentakan dari Handoko."Amira!" bentak Handoko sembari mengangkat tangannya yang siap menampar Amira, tetapi Mahardika berhasil mencegah pertikaian tersebut."Ayah yang sabar, biar Amira, Dika yang atasi," kata Mahardika meraih tangan Handoko dengan santun. Mahardika memang selalu bisa mengontrol emosi Handoko bahkan menjadi anak kebanggaan bagi Handoko."Urus Adek Kamu itu, Ayah sudah capek selalu menasehatinya. Ini kesalahan Ayah yang suka memanjakan adek Kamu itu," kata Handoko sembari pergi meninggalkan Mahardika dan Amira."Hiks! Hiks!" Amira menangis merasa sakit hati mendengar ucapan dari sang Ayah.“Baiklah, sepertinya kalian memang sudah tidak peduli lagi denganku.” Amira terlihat mengusap air matanya, sembari berdiri dengan pandangan tertuju ke arah Handoko. Seketika Handoko berhenti, lalu menoleh ke arah Amira.“Aku akan pergi dari kehidupan kalian,” ucap Amira dengan nada tinggi sembari mengambil sebuah gunting yang berada di atas meja kerja Handoko dan Amira arahkan ke perutnya sendiri.“Jangan!” cegah Mahardika mulai meradang amarahnya. Mahardika sendiri merasa tidak suka jika Amira selalu saja mengancam untuk bunuh diri saat keinginannya tidak di turuti. Berbeda dengan Handoko yang terlihat acuh melihat Mahardika bersusah payah mencegah Amira, bahkan Handoko memilih meninggalkan mereka berdua."Mau sampai kapan Kamu dan Ayah selalu berantem, Dek? Orang tua Kita tinggal Ayah saja. Apa susahnya hanya menuruti nasehat Ayah," kata Mahardika dengan lembut. Mahardika tahu jika Amira di perlakukan dengan keras, Dia akan semakin keras.Bukannya menjawab Amira malah memeluk Mahardika. Dia menumpahkan kesedihannya kepada sang Kakak."Apa Ayah suka sama Arsyila, Mas? Kenapa Ayah malah justru membela Arsyila dari pada Amira?" adu Amira yang hanya didengarkan oleh Mahardika. Mahardika hanya memberikan waktu kepada Amira untuk melampiaskan Amarahnya."Sudah jangan begitu, tidak baik berprasangka buruk dengan Ayah. Ayah Kita Ayah yang baik." Mahardika menasehati Amira dengan sabar, sehingga Amira bisa lebih mudah menerima perkataan dari sang Kakak."Kenyataannya Ayah selalu membela office girl itu. Apa coba istimewanya Dia?" Amira masih melampiaskan emosinya."Kamu salah, Dek. Ayah kan pernah cerita ke kita jika ayah menerima seorang office girl dari panti asuhan untuk membantu biaya hidup dan pendidikannya. Seharusnya Kamu harus lebih bersyukur karena Kamu orang yang diberi nikmat lebih. Kamu bisa beli ini itu sesuka Kamu, Kamu juga bisa berpendidikan tinggi dan sekarang Kamu memiliki jabatan bagus di perusahaan ini. Coba Kamu bayangkan office girl itu, Dia sudah berani susah payah bekerja sambil kuliah bahkan masih harus memikirkan adik-adik panti. Apa Kamu masih harus iri dengan Dia? Jika Kamu memecat Dia, terus bagaimana dengan pendidikan dan kehidupan Dia nanti?" Mahardika mencoba memberi pengertian kepada Amira yang saat ini duduk menunduk di depan Mahardika.Amira merasa tersentuh dengan nasehat dari Mahardika. Dia merasa lebih tenang dan sangat bersyukur akan takdir hidupnya."Cuma, Mas jadi penasaran kenapa Kamu sampai meminta paksa nampan yang di bawa office girl itu, Dek?" Mahardika mulai memancing kejujuran Amira, tentu Mahardika paham akan sifat sang adek."Tadi ada Mas Fahri ke sini, Mas. Pikir Amira, Amira yang akan menyuguhi minumannya," kata Amira mulai terbuka. Amira juga terlihat tidak enak hati dalam menyampaikan penuturannya."Lalu, kenapa tidak bilang baik-baik?" tanya Mahardika yang tetap ingin tahu cerita semulanya."Aku lihat Mas Fahri hendak berpamitan, sehingga Amira ingin mencegah dan menyuruhnya untuk minum agar Mas Fahri bisa sedikit lama berada di sini, jadi dengan segera Amira meminta nampan yang di bawa office girl tersebut, hingga minuman itu tumpah pada tangan Amira. Amira kaget dan merasa malu jika saja Bang Fahri melihatnya." Amira berkata jujur kepada Mahardika. Mahardika sendiri nampak tersenyum memahami arti penjelasan sang adek."kamu menyukai Fahri, Dek?" tanya Mahardika curiga.Fahri itu sahabat dari Mahardika yang juga ikut menjadi rekan bisnis di perusahaannya. Fahri sendiri sosok orang yang cerdas dan tegas. Memiliki wajah ganteng dan perawakan tinggi serta memiliki lesung pipi.Laki-laki yang komitmen dan teguh pendirian. Cuek kepada cewek dan tetap menjaga pandangan."Iya, Mas. Aku mencintai Mas Fahri, tapi entahlah," kata Amira dengan wajah yang mulai lesu."Entahlah kenapa?" Mahardika sendiri paham sebenarnya apa yang menjadikan adek perempuannya ini begitu gelisah."Dia sangat cuek," jawab Amira pada akhirnya.Mahardika hanya tersenyum menanggapi ucapan Amira. Jelas Mahardika paham akan sosok seorang Fahri yang tak lain sahabatnya sendiri."Dia memang cuek orangnya, jika Kamu mau, biar Mas yang berbicara dengan Fahri." Amira dibuat tercengang dengan ucapan Mahardika. Mau bagaimanapun Amira seorang perempuan dan tentunya tak ingin mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu. Dia harus tetap menjaga martabatnya."Maksud Mas apa?" tanya Amira mencoba memahaminya."Tenang saja, Mas akan memikirkannya," jawaban Mahardika semakin membuat Amira kebingungan."Mas, Amira itu perempuan, jadi..." Ucapan Amira terjeda saat Mahardika menyelanya."Justru karena Kamu perempuan itu, Mas akan memikirkannya. Tidak mungkin Mas akan menjodohkan Fahri dengan seorang laki-laki bukan?" kata Mahardika yang mendatangkan senyuman pada bibir Amira."Sungguh? Mas ingin menjodohkan Aku dengan Bang Fahri?" tanya Amira terlihat sangat antusias."Kita lihat nanti. Setahu Aku, Fahri tidak pernah pacaran. Dia anak penurut terutama dengan orang tua. Jadi, nanti kita coba berbicara dengan Ayah akan hal ini. Tapi..." Mahardika sedikit menggantung ucapannya sengaja membuat Amira penasaran."Tapi?" Amira tak sabar untuk menunggu kelanjutan dari omongan Mahardika."Tapi, Kamu harus mencari office girl itu dan menyuruhnya bekerja kembali." Hal itu membuat Amira begitu tercengang merasa aneh dengan ucapan dari Fahri. Jelas Dia gengsi jika harus melakukan hal itu."Jelas tidak mungkin, Mas. Aku akan malu," kata Amira tidak setuju."Kenapa tidak mungkin? Karena itu salah satu cara untuk membujuk ayah agar mau menjodohkan Kamu dengan Fahri," jawab Mahardika tegas.Amira nampak diam dan berpikir akan maksud dari ucapan Mahardika. Amira sangat tertarik dnegan niat baik Mahardika yang ingin menjodohkannya dengan Fahri, tetapi dia gengsi untuk menjalankan perintah Mahardika.Di sisi lain, Arsyila sedang berberes. Saat Arsyila ganti baju, baju Arsyila tercium bau minyak yang harumnya tidak asing di hidungnya.‘ Tuan Mahardika? Apa benar dia mengenali Aku?’gumam Arsyila yang ternyata menaruh rasa penasaran pada sosok seorang Mahardika.Tak terasa Arsyila tersenyum mengetahui jika Mahardika telah mengenalinya.‘Ingat Arsyila, kamu hanya anak yatim piatu, tidak mungkin jika kamu akan berjodoh dengan Tuan Mahardika.’ Seketika Arsyila menepis jauh-jauh harapannya. Tentu bagi Arsyila itu hal yang sangat mustahil.Setelah menenangkan dirinya, Arsyila memilih menghabiskan waktunya untuk bermain dengan anak-anak panti dan sesekali dia membantu ibu panti menyiapkan makan sore untuk mereka semua.Terlihat Mahardika yang masih menasehati Amira. Amira yang keras kepala membuat Mahardika harus lebih sabar untuk menyikapinya."Kamu harus menemui Ayah dan meminta maaf atas kesalahan Kamu, lalu Kamu bilang sama Ayah untuk berjanji mengajak office girl itu masuk kerja lagi," kata Mahardika begitu santai.“Tidak! aku tidak mau,” tolak Amira membuat Mahardika mendengus kesal.“Terserah, Mas pastikan jika Fahri akan menjadi milik orang lain.” Tentu Mahardika punya seribu cara untuk mengatasi keegoisan Amira. Terlihat Amira yang mendeng
Amira masih ingat akan perkataan Handoko, setelah bilang ingin menjodohkan ke duanya anaknya, Handoko tidak memberi tahu dengan siapa mereka akan di jodohkan.Amira memilih menemui Mahrdika untuk menepati janjinya membawa Arsyila bekerja kembali."Ayo, Kak, Kita berangkat sekarang! Mumpung masih sore. Takut kemalaman malah enggak bisa bertemu dengan dia," ucap Amira sembari menarik tangan Mahardika."Kenapa bisa begitu?" tanya Mahardika penasaran."Dia harus merawat anak panti yang masih balita, kasihan benar nasib dia," jawab Amira diiringi umpatan terhadap Arsyila."Amira! Jaga ucapan Kamu, Dek!" Mahardika tidak suka mendengar Arsyila dihina seperti itu oleh Amira. Amira memang belum banyak berubah. Dia masih sering seenaknya sendiri jika berkata."Maaf," kata Amira meringis mendapat teguran dari Mahardika.Mahardika dan Amira baru saja keluar dari Kantor, tiba-tiba Fahri menelepon jika Dia ingin bertemu, dengan segera Mahardika menyanggupinya dan mengajak Fahri untuk ikut pergi."M
Arsyila akhirnya memutuskan untuk bekerja kembali. Hal ini Arsyila lakukan agar terhindar ancaman dari pihak perusahaan. Sungguh Arsyila merasa lelah dihadapi dengan persoalan demikian. Seperti biasanya, pagi sekali Arsyila sudah berada di kantor. Dia bertugas untuk mengepel dan membersihkan semua ruangan yang ada di lantai empat. Tempat dimana jajaran terpenting dalam perusahaan ini berada di lantai tersebut.Semua ruangan sudah dibersihkan, termasuk ruangan pak Handoko, pemilik perusahaan.Hanya saja ada satu ruangan yang tidak bisa dibersihkan dan dikunci membuat Arsyila harus bersabar karena dia tidak akan bisa santai sebelum semua ruangan bersih.'Huh, kenapa musti di kunci? Dan kenapa dari banyak kunci cadangan tidak ada satupun yang cocok,' gerutu Arsyila yang masih berusaha membuka pintu ruangan yang terdapat tulisan ruang CEO ini.Tiba-tiba ada tangan yang menggeser tangan Arsyila, lalu memasukan kunci dan membuka pintunya. Kemudian Arsyila menoleh ke belakang."Tuan," denga
"kalau pakai lipstik yang benar, Arsyila," bisik Mahardika membuat Arsyila malu. Arsyila menutup mulutnya yang menganga karena kaget. "Segera masuk ke toilet atau biar saya yang membersihkannya?" ucap Mahardika membuat Arsyila ketakutan."Ti-dak, sa-ya bisa sendiri," jawab Arsyila sembari berlari meninggalkan Mahardika. Mahardika yang melihat sikap lucu Arsyila hanya bisa tersenyum sendiri.'Sepertinya kamu akan jadi penghiburku setiap hari, Arsyila,' gumam Mahardika sembari menggelengkan kepalanya sendiri merasa lucu.Tak lama kemudian Arsyila keluar dengan penampilannya yang terlihat sangat rapi."Kenapa ngelihatin Arsyila seperti itu, M-as?" tanya Arsyila gugup. Arsyila juga terlihat memepet tembok agar dirinya tidak kelihatan salah tingkah."Ayo berangkat!" ajak Mahardika membuat hati Arsyila lega. Arsyila pikir akan ada drama lagi yang akan membuat dirinya semakin malu."Sebentar, mas, tas mas ketinggalan," kata Ara yang ingin mengambilkan tas Mahardika, tetapi di cegah olehnya.
"Bisa," jawab Arsyila membuat Mahardika tersenyum senang."Kita pulang ke apartemen," ucap Mahardika penuh dengan keyakinan. Arsyila hanya diam dan menuruti saja keinginan Mahardika. Bagi Arsyila di sini dia bekerja dan tentu harus menuruti semua keinginan atasannya selagi itu benar.Mahardika terlihat melajukan mobil dengan kecepatan sedang untuk menuju apartemen miliknya yang tak jauh dari kantornya. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu membeli beberapa bahan untuk membuat sup iga."Apakah semua ini sudah cukup?" tanya Mahardika terlihat berpikir."Sudah, Pak," jawab Arsyila sembari tersenyum."Baiklah." Mahardika terlihat begitu semangat.Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di apartemen milik Mahardika. Arsyila terlihat canggung karena harus berduaan di dalam sebuah rumah."Masuklah! Tenang saja, semua akan baik-baik saja," kata Mahardika meyakinkan Arsyila. Arsyila tersenyum dan perlahan masuk ke dalam apartemen.Jika biasanya Mahardika akan bersikap cuek kepada bawahannya
Mahardika sudah selesai sarapan yang cukup kesiangan. Berbagai drama telah terjadi hari ini dan hal itu membuat Mahardika ingin sejenak menenangkan diri."Jadwal saya selanjutnya apa Arsyila?" tanya Mahardika terlihat lelah.Arsyila masih bingung melihat jadwal yang ada pada ponsel miliknya yang sudah di kirim oleh sekretaris pribadi Mahardika.'Huh, kenapa harus saya sih? Padahal memiliki sekretaris pribadi, kalau begini kan aku terlihat bodohnya karena tidak lincah dalam mengatur jadwal,' batin Arsyila menahan kekesalannya."Bapak, hmm, maksudnya Mas ada pertemuan dengan PT. Mustika Putri untuk membicarakan bisnis fashion."Apa? Kapan mereka melakukan jadwal dengan kita? Kenapa tanpa sepengetahuan saya?" protes Mahardika terlihat tidak suka."Saya tidak tahu, mas," jawab Arsyila kaget karena Mahardika cukup keras dalam mengucapkannya.Mahardika segera menelepon seseorang . Dia tidak ingin berurusan dengan PT. Mustika Putri karena itu milik Gempita."Apa? Kenapa bisa begitu?Siapa yan
Mahardika telah menceritakan semuanya kepada Handoko. Dirinya semakin yakin untuk menjalankan ide dari Arsyila karena Handoko menyetujuinya.Selain bekerja di bidang property perusahaan Handoko memiliki usaha baru di bidang fashion yang baru saja beberapa tahun Mahardika dirikan.Niat awal memang usaha fashion milik Mahardika ini akan diberikan kepada istrinya kelak, tetapi sebelumnya Mahardika meminta bantuan Amira selaku adek perempuannya yang tentu jauh lebih paham persoalan fashion.Kini Arsyila di panggil pribadi oleh Handoko. Hanya ada Mahardika dan Arsyila."Bagaimana tanggapan PT Mustika Putri saat kamu tidak datang, Dika?" tanya Handoko ingin tahu terlebih dahulu persoalan kerja sama."Mereka sangat marah, mereka menuduh telah mempermainkan perusahaannya dan mereka mengancam akan menjatuhkan perusahaan kita.Handoko nampak menarik napasnya dengan kasar. Dia sendiri bingung dengan persoalan ini. Ini memang sebuah kecerobohan yang harus segera di atasi."Baik, kita harus cepat
Mahardika sangat menyukai gaya Arsyila yang demikian. Selain suka tantangan, Arsyila sebenarnya memiliki ide yang cemerlang."Apa yang kamu minta akan aku kasih," jawab Mahardika begitu mudah."Serius? Jika aku minta panti asuhan di bangun lebih besar dan layak?" Kata Arsyila yang sudah mulai tidak canggung dengan Mahardika, bahkan antara Mahardika dan Arsyila sudah menggunakan aku dan kamu sebagai bahasanya."Mudah saja bagiku," jawab Mahardika menyombongkan diri. Tentu hal itu semakin membuat Arsyila semangat karena baru itu impiannya saat ini.Handoko yang melihat sikap natural Arsyila dan Mahardika hanya bisa tersenyum. Dia hanya bisa berharap agar Mahardika dan Arsyila cepat bersatu tanpa ada paksaan."Dan satu lagi?" ucap Arsyila membuat Mahardika mengernyitkan keningnya."Apa?" Mahardika nampak serius memperhatikan Arsyila. Dia sudah tidak sabar untuk menunggu permintaan Arsyila selanjutnya."Aku ingin tetap kuliah," kata Arsyila yang takut jika profesinya ke depan akan mempe