Share

BAB 2. DIA MENGENALIKU

“Terserah! Lebih baik aku pulang saja.” Arsyila bangkit dari duduknya dengan tergesa-gesa.

“Tunggu!” cegah Kayla yang masih ingin melanjutkan ucapannya.

“Semakin lama di sini, semakin membuatku emosi.” Arsyila pergi dan tak menghiraukan lagi ucapan dari Kayla.

Sepanjang perjalanan, Arsyila masih mendengus kesal dengan kelakuan Amira.

‘Ada gitu, ya, orang aneh kayak nenek lamper si Amira itu?’ monolog Arsyila sembari meremas-remas telapak tangannya sebagai pelampiasan perasaan marahnya.

‘Dia yang merebut nampan, dia juga yang menyiram tangannya pakai air panas, kenapa jadi aku yang dimarahin?’ Dengusan rasa kesal masih terlihat jelas pada diri Arsyila.

“Arsyila, kamu sudah pulang, Nak?” tanya Khotijah, ibu panti yang merawat Arsyila sejak masih bayi.

Arsyila merasa kaget dengan sapaan dari Khotijah. Sejenak, Arsyila menata hatinya agar tidak terlihat sedang marah.

“Iya, Ibu, Arsyila sedang tidak enak badan,” jawabnya bohong. Arsyila memang tidak ingin jika Khotijah mengetahui dirinya dipecat dari perusahaan, karena hal itu tentu akan membuat Khotijah sedih.

“Kamu sakit, Arsyila?” Khotijah menyentuk kening Arsyila untuk mengecek suhu tubuhnya.

“Istirahatlah!” Dengan segera Arsyila pergi ke kamarnya. Kamar kecil yang di huni dengan dua balita yang menjadi tugas Arsyila untuk menjaganya setiap malam.

Arsyila menatap dua bayi mungil yang menggemaskan, mereka terlihat saling bermain karena ke duanya sedang asiknya di fase merangkak.

“Hai, Mimin! Hai, Mumun!” Sapa Arsyila pada ke dua bayi perempuan tersebut yang sejak Arsyila datang selalu melihatnya. Bayi itu hanya tersenyum mengoceh dengan bahasa yang Arsyila sendiri tidak bisa jelas mengartikan. Arsyila hanya tahu jika bayi itu tidak punya beban apapun dan hanya memiliki rasa bahagia.

“Enak, ya, jadi kalian, tidak pernah punya masalah,” ucap Amira sembari memangku Mimin dan Mumun, tetapi mendengar ucapan Arsyila dengan suara dibuat seperti bicara anak kecil membuat ke dua bayi tersebut bertepuk tangan dengan kompak.

“Kok kalian malah senang, sih!” dengus Arsyila kesal, tetapi masih memanjakan Mimin dan Mumun pada pangkuannya. ”Tahu enggak kalian? Kak Arsyila itu lagi sebel sama nenek lampir, namanya Amira, anak dari bosnya kak Arsyila. Selain dia sombong, dia juga senang sekali ngajak ribut, belum lagi memecat orang seenaknya sendiri. Padahal, kak Arsyila tidak salah.” Terlihat Arsyila yang asik curhat kepada Mimin dan Mumun dengan curahan hatinya.

Mahardika melangkah menuju ruangan milik Handoko. Mahardika hanya ingin menyerahkan beberapa berkas kepada Handoko untuk di tandatangani.

Walaupun Mahardika sudah menjabat sebagai seorang CEO, tetapi Dia tetap menghargai posisi ayahnya sebagai pendiri perusahaan utama.

"Ada apa, Ayah? Kenapa Ayah sangat marah kepada Amira?" tanya Mahardika dengan wajah datarnya.

"Sikap adek Kamu tidak pernah berubah. Dia semena-mena memecat salah satu karyawan office girl dengan alasan tidak jelas," kata Handoko merasa kecewa dengan Amira, anak gadisnya yang selalu bersikap sombong dan angkuh.

"Alasan tidak jelas bagaimana, Ayah? Si dekil itu sudah berani menyiram tangan Amira dengan air panas, Ayah.” Amira mendengus kesal.

“Lihatlah, Ayah! tangan Amira jadi memerah seperti ini," ucap Amira sembari memperlihatkan tangan putihnya kepada Handoko. Mahardika sendiri melirik sekilas ke arah tangan Amira yang memang sedikit merah, tetapi tidak parah.

"Duduk, Dek!" perintah Mahardika dengan muka dinginnya. Amira selalu takluk ketika berhadapan dengan Mahardika, kakak yang sangat Amira sayangi dan hormati.

Amira langsung duduk dengan menyilangkan tangannya. Sesaat, Mahardika melihat ke arah Amira dan Handoko secara bergantian.

"Bisa Kamu jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Dek? Sampai Kamu memecat karyawan tanpa seizin Ayah? Bahkan Kamu tahu sendiri jika hal itu sangat dibenci oleh Ayah. Ayah tidak suka menyakiti orang lain, termasuk menyakiti karyawannya sendiri.

Terlihat Amira yang gugup ingin menjawab. Dia sendiri tidak tahu kenapa tadi begitu emosi dengan office girl kebanggaan ayahnya.

"Bu-bukan begitu maksudnya, Mas. Office girl itu yang salah sudah berani menyiram tangan Amira," Amira masih membela diri tak mau kelihatan salah.

"Dia yang salah atau Kamu yang merebut nampan secara tiba-tiba tanpa izin?" bentak Handoko yang memang paham betul akan sifat putri bungsunya.

"Kenapa Ayah begitu membela Arsyila dari pada Amira yang merupakan anak kandung Ayah sendiri? Apa istimewanya Arsyila, Yah? Apa Ayah menyukai Arsyila?" bentak Amira naik pitam. Dia sungguh marah mendapatkan bentakan dari Handoko.

"Amira!" bentak Handoko sembari mengangkat tangannya yang siap menampar Amira, tetapi Mahardika berhasil mencegah pertikaian tersebut.

"Ayah yang sabar, biar Amira, Dika yang atasi," kata Mahardika meraih tangan Handoko dengan santun. Mahardika memang selalu bisa mengontrol emosi Handoko bahkan menjadi anak kebanggaan bagi Handoko.

"Urus Adek Kamu itu, Ayah sudah capek selalu menasehatinya. Ini kesalahan Ayah yang suka memanjakan adek Kamu itu," kata Handoko sembari pergi meninggalkan Mahardika dan Amira.

"Hiks! Hiks!" Amira menangis merasa sakit hati mendengar ucapan dari sang Ayah.

“Baiklah, sepertinya kalian memang sudah tidak peduli lagi denganku.” Amira terlihat mengusap air matanya, sembari berdiri dengan pandangan tertuju ke arah Handoko. Seketika Handoko berhenti, lalu menoleh ke arah Amira.

“Aku akan pergi dari kehidupan kalian,” ucap Amira dengan nada tinggi sembari mengambil sebuah gunting yang berada di atas meja kerja Handoko dan Amira arahkan ke perutnya sendiri.

“Jangan!” cegah Mahardika mulai meradang amarahnya. Mahardika sendiri merasa tidak suka jika Amira selalu saja mengancam untuk bunuh diri saat keinginannya tidak di turuti. Berbeda dengan Handoko yang terlihat acuh melihat Mahardika bersusah payah mencegah Amira, bahkan Handoko memilih meninggalkan mereka berdua.

"Mau sampai kapan Kamu dan Ayah selalu berantem, Dek? Orang tua Kita tinggal Ayah saja. Apa susahnya hanya menuruti nasehat Ayah," kata Mahardika dengan lembut. Mahardika tahu jika Amira di perlakukan dengan keras, Dia akan semakin keras.

Bukannya menjawab Amira malah memeluk Mahardika. Dia menumpahkan kesedihannya kepada sang Kakak.

"Apa Ayah suka sama Arsyila, Mas? Kenapa Ayah malah justru membela Arsyila dari pada Amira?" adu Amira yang hanya didengarkan oleh Mahardika. Mahardika hanya memberikan waktu kepada Amira untuk melampiaskan Amarahnya.

"Sudah jangan begitu, tidak baik berprasangka buruk dengan Ayah. Ayah Kita Ayah yang baik." Mahardika menasehati Amira dengan sabar, sehingga Amira bisa lebih mudah menerima perkataan dari sang Kakak.

"Kenyataannya Ayah selalu membela office girl itu. Apa coba istimewanya Dia?" Amira masih melampiaskan emosinya.

"Kamu salah, Dek. Ayah kan pernah cerita ke kita jika ayah menerima seorang office girl dari panti asuhan untuk membantu biaya hidup dan pendidikannya. Seharusnya Kamu harus lebih bersyukur karena Kamu orang yang diberi nikmat lebih. Kamu bisa beli ini itu sesuka Kamu, Kamu juga bisa berpendidikan tinggi dan sekarang Kamu memiliki jabatan bagus di perusahaan ini. Coba Kamu bayangkan office girl itu, Dia sudah berani susah payah bekerja sambil kuliah bahkan masih harus memikirkan adik-adik panti. Apa Kamu masih harus iri dengan Dia? Jika Kamu memecat Dia, terus bagaimana dengan pendidikan dan kehidupan Dia nanti?" Mahardika mencoba memberi pengertian kepada Amira yang saat ini duduk menunduk di depan Mahardika.

Amira merasa tersentuh dengan nasehat dari Mahardika. Dia merasa lebih tenang dan sangat bersyukur akan takdir hidupnya.

"Cuma, Mas jadi penasaran kenapa Kamu sampai meminta paksa nampan yang di bawa office girl itu, Dek?" Mahardika mulai memancing kejujuran Amira, tentu Mahardika paham akan sifat sang adek.

"Tadi ada Mas Fahri ke sini, Mas. Pikir Amira, Amira yang akan menyuguhi minumannya," kata Amira mulai terbuka. Amira juga terlihat tidak enak hati dalam menyampaikan penuturannya.

"Lalu, kenapa tidak bilang baik-baik?" tanya Mahardika yang tetap ingin tahu cerita semulanya.

"Aku lihat Mas Fahri hendak berpamitan, sehingga Amira ingin mencegah dan menyuruhnya untuk minum agar Mas Fahri bisa sedikit lama berada di sini, jadi dengan segera Amira meminta nampan yang di bawa office girl tersebut, hingga minuman itu tumpah pada tangan Amira. Amira kaget dan merasa malu jika saja Bang Fahri melihatnya." Amira berkata jujur kepada Mahardika. Mahardika sendiri nampak tersenyum memahami arti penjelasan sang adek.

"kamu menyukai Fahri, Dek?" tanya Mahardika curiga.

Fahri itu sahabat dari Mahardika yang juga ikut menjadi rekan bisnis di perusahaannya. Fahri sendiri sosok orang yang cerdas dan tegas. Memiliki wajah ganteng dan perawakan tinggi serta memiliki lesung pipi.Laki-laki yang komitmen dan teguh pendirian. Cuek kepada cewek dan tetap menjaga pandangan.

"Iya, Mas. Aku mencintai Mas Fahri, tapi entahlah," kata Amira dengan wajah yang mulai lesu.

"Entahlah kenapa?" Mahardika sendiri paham sebenarnya apa yang menjadikan adek perempuannya ini begitu gelisah.

"Dia sangat cuek," jawab Amira pada akhirnya.

Mahardika hanya tersenyum menanggapi ucapan Amira. Jelas Mahardika paham akan sosok seorang Fahri yang tak lain sahabatnya sendiri.

"Dia memang cuek orangnya, jika Kamu mau, biar Mas yang berbicara dengan Fahri." Amira dibuat tercengang dengan ucapan Mahardika. Mau bagaimanapun Amira seorang perempuan dan tentunya tak ingin mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu. Dia harus tetap menjaga martabatnya.

"Maksud Mas apa?" tanya Amira mencoba memahaminya.

"Tenang saja, Mas akan memikirkannya," jawaban Mahardika semakin membuat Amira kebingungan.

"Mas, Amira itu perempuan, jadi..." Ucapan Amira terjeda saat Mahardika menyelanya.

"Justru karena Kamu perempuan itu, Mas akan memikirkannya. Tidak mungkin Mas akan menjodohkan Fahri dengan seorang laki-laki bukan?" kata Mahardika yang mendatangkan senyuman pada bibir Amira.

"Sungguh? Mas ingin menjodohkan Aku dengan Bang Fahri?" tanya Amira terlihat sangat antusias.

"Kita lihat nanti. Setahu Aku, Fahri tidak pernah pacaran. Dia anak penurut terutama dengan orang tua. Jadi, nanti kita coba berbicara dengan Ayah akan hal ini. Tapi..." Mahardika sedikit menggantung ucapannya sengaja membuat Amira penasaran.

"Tapi?" Amira tak sabar untuk menunggu kelanjutan dari omongan Mahardika.

"Tapi, Kamu harus mencari office girl itu dan menyuruhnya bekerja kembali." Hal itu membuat Amira begitu tercengang merasa aneh dengan ucapan dari Fahri. Jelas Dia gengsi jika harus melakukan hal itu.

"Jelas tidak mungkin, Mas. Aku akan malu," kata Amira tidak setuju.

"Kenapa tidak mungkin? Karena itu salah satu cara untuk membujuk ayah agar mau menjodohkan Kamu dengan Fahri," jawab Mahardika tegas.

Amira nampak diam dan berpikir akan maksud dari ucapan Mahardika. Amira sangat tertarik dnegan niat baik Mahardika yang ingin menjodohkannya dengan Fahri, tetapi dia gengsi untuk menjalankan perintah Mahardika.

Di sisi lain, Arsyila sedang berberes. Saat Arsyila ganti baju, baju Arsyila tercium bau minyak yang harumnya tidak asing di hidungnya.

‘ Tuan Mahardika? Apa benar dia mengenali Aku?’gumam Arsyila yang ternyata menaruh rasa penasaran pada sosok seorang Mahardika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status