Share

Bab 7: Studio yang Asing

Author: Anprar
last update Last Updated: 2025-04-08 09:00:53

Fajar baru saja menyingsing ketika Damian terbangun dengan napas terengah. Mimpi yang sama—serpihan memori tentang dirinya melukis, tangan Eliza menuntun tangannya. Kepalanya masih berdenyut, efek samping dari kilasan ingatan semalam.

Ia menyibakkan selimut dan berjalan ke jendela. Dari kamarnya di lantai dua, ia bisa melihat guest house di kejauhan. Lampu di sana sudah menyala, menandakan Eliza sudah bangun. Pandangannya beralih ke bangunan kecil dengan dinding kaca di ujung taman—studio lukis yang kemarin menarik perhatiannya. Ia melihat sosok Eliza berjalan dari guest house menuju studio, membawa sesuatu yang tampak seperti termos.

Sejak bangun, pikiran Damian terus kembali pada kilasan ingatan semalam. Ia tak pernah melukis. Namun kenapa ia bisa mengingat sensasi kuas di tangannya dengan begitu jelas? Tekstur cat, aroma turpentin, tawa lembut Eliza di telinganya... Sensasi-sensasi itu terasa nyata, meski ia yakin tak pernah mengalaminya.

"Aku perlu mencari tahu," gumamnya, mengambil keputusan.

Damian turun untuk sarapan, mansion masih sunyi, hanya Kirana yang sudah aktif di dapur.

"Selamat pagi, Tuan," sapa Kirana, menyiapkan secangkir kopi. "Menu sarapan favorit Tuan sudah saya siapkan."

Damian terdiam melihat hidangan di hadapannya—avocado toast dengan telur poached dan sedikit chili flakes. Kombinasi yang tidak pernah ia coba dalam ingatannya.

"Ini... favoritku sekarang?" tanyanya.

Kirana tersenyum lembut. "Sudah hampir dua tahun, Tuan. Nona Eliza yang pertama kali membuatkannya, dan Tuan menyukainya. Tuan bilang sempurna untuk memulai hari dengan energi."

Damian mencicipi, dan anehnya, rasanya familiar di lidahnya meski tidak dalam ingatannya. Seolah tubuhnya mengingat apa yang pikirannya lupa.

"Apakah Nona Eliza sudah bangun?" tanya Damian, berusaha terdengar kasual.

"Sudah, Tuan. Beliau datang dari guest house sekitar setengah jam lalu, langsung menuju studio." Kirana menuangkan jus jeruk. "Beliau selalu melukis pagi-pagi. Kebiasaan yang tidak berubah bahkan setelah pindah ke guest house."

Setelah menghabiskan sarapan, Damian melangkah keluar menuju taman belakang. Dulu, taman belakang mansionnya hanya rumput dan beberapa tanaman hias standar. Sekarang ada berbagai tanaman tropis, pohon-pohon kecil, bahkan area kecil dengan tanaman herbal dan sayuran.

Saat mendekati studio, Damian bisa mendengar alunan musik klasik samar-samar—Debussy, Claire de Lune, salah satu favoritnya. Ia merasa seperti penyusup, hendak mengintip kehidupan yang bukan miliknya, meski faktanya ini semua adalah propertinya.

Ia mengetuk pintu kaca. Eliza menoleh, terkejut melihatnya. 

"Damian," ucapnya lembut. "Aku tidak menyangka kau akan datang kemari."

"Aku... ingin melihat," jawab Damian kaku. "Boleh aku masuk?"

"Tentu saja," Eliza mundur memberi jalan. "Ini juga rumahmu."

Damian melangkah masuk, dan seketika dikelilingi aroma cat minyak, turpentin, dan kayu. Aroma yang anehnya, membangkitkan perasaan nyaman yang tidak bisa ia jelaskan. 

Studio itu tidak besar, tapi sangat fungsional. Satu dinding penuh dengan rak berisi kanvas kosong, cat, dan berbagai bahan seni. Dinding lainnya dipenuhi sketsa, foto referensi, dan beberapa kanvas setengah jadi. Damian mengamati lukisan-lukisan yang terpajang—kebanyakan pemandangan alam, potret abstrak, dan beberapa lukisan bunga dengan warna-warna cerah.

Pandangannya tertumbuk pada satu area di sudut studio—sebuah meja kecil dengan peralatan melukis yang tampak berbeda dari milik Eliza. Lebih maskulin, lebih teratur.

"Itu milikku?" tanya Damian pelan, menunjuk area tersebut. Suaranya terdengar ragu, seolah takut mendengar jawabannya.

Eliza mengangguk, sedikit tersenyum. "Kau mulai melukis sekitar setahun lalu. Awalnya hanya iseng ketika menemaniku di studio, tapi kemudian kau menikmatinya." Ia berhenti sejenak. "Kau bilang melukis membantumu melihat dunia dengan cara berbeda. Cara yang tidak bisa kau dapatkan dari spreadsheet dan laporan keuangan."

Damian melangkah mendekat, mengamati kuas-kuas yang tersusun rapi berdasarkan ukuran dan beberapa sketsa yang ditempel di dinding.

Matanya tertarik pada satu lukisan setengah jadi yang terpasang di easel kecil—dua siluet di pantai, menyaksikan matahari terbenam. Lukisan sederhana, tapi entah mengapa membuat hatinya berdesir.

"Itu... terakhir yang kau kerjakan sebelum kecelakaan," jelas Eliza, melihat arah pandangan Damian. "Kau berencana menyelesaikannya sepulang dari Singapura."

"Ini... kita?" tanyanya pelan, suaranya hampir berbisik.

"Ya. Saat kita di Pantai Anyer, tempat kau menyatakan cinta untuk pertama kalinya." Mata Eliza melembut mengingat memori itu. "Kau bilang itu momen paling berani dalam hidupmu."

Damian merasakan dorongan aneh untuk mengambil kuas dan melanjutkan lukisan itu. Tapi bagaimana mungkin? Ia bahkan tidak tahu caranya melukis—atau setidaknya, tidak dalam ingatannya.

Pandangan Damian beralih ke lukisan yang sedang dikerjakan Eliza. Berbeda dari yang lain, lukisan ini lebih abstrak—warna-warna gelap dengan sedikit cahaya yang berusaha menembus, seperti fajar yang berjuang muncul dari kegelapan.

"Apa judulnya?" tanya Damian.

"'Memori yang Hilang,'" jawab Eliza lirih. "Aku mulai mengerjakannya setelah kecelakaanmu."

Sesuatu dalam lukisan itu—kegelapannya, perjuangan cahayanya—membuat Damian merasa tersinggung. Seolah-olah ia adalah kegelapan itu, dan Eliza cahaya yang berusaha menembusnya.

"Kau melukisku sebagai kegelapan?" tanyanya dengan nada dingin.

Eliza terkejut. "Apa? Tidak, bukan itu maksudku—"

"Lalu apa?" potong Damian, emosinya tiba-tiba meluap. "Memori yang hilang? Kegelapan dan cahaya? Cukup jelas metafornya, Eliza."

"Damian, lukisan ini tentang perjalanan kita, tentang harapan—"

"Tentang bagaimana kau adalah korban disini? Tentang bagaimana kau berjuang menghadapi amnesiaku?" Damian tidak mengerti kenapa ia begitu marah, tapi ia tidak bisa menghentikan kata-kata yang keluar. "Amnesia ini terjadi padaku, Eliza. Padaku! Bukan padamu!"

"Aku tahu," Eliza mundur sedikit, terkejut dengan ledakan emosinya. "Aku tidak bermaksud—"

"Kau tidak tahu rasanya bangun dan mendapati tiga tahun hidupmu hilang," suara Damian meninggi. "Kau tidak tahu rasanya menjadi orang asing di rumahmu sendiri. Melihat bukti-bukti kehidupan yang tidak kau ingat pernah jalani."

Mata Eliza berkaca-kaca, tapi ia berusaha tenang. "Kau benar, aku tidak tahu. Tapi aku tahu rasanya melihat orang yang paling kau cintai menatapmu seperti orang asing. Aku tahu rasanya kehilangan seseorang yang masih berdiri di hadapanmu."

Kata-katanya membuat Damian terdiam sejenak. Namun alih-alih mereda, amarahnya justru semakin menjadi. Tanpa berpikir, ia melangkah ke lukisan "Memori yang Hilang" dan mengambilnya dari easel.

"Damian, apa yang kau lakukan?" tanya Eliza, suaranya mulai panik.

"Menghapus metafor menyedihkan ini," jawab Damian dingin.

"Tolong, kembalikan lukisanku. Itu penting bagiku."

"Seperti ingatanku penting bagiku?" balas Damian tajam. 

Dengan gerakan tiba-tiba Damian merobek kanvas itu, menciptakan garis panjang yang membelah lukisan dari atas ke bawah.

Eliza tersentak, wajahnya pucat. "Damian!"

Tapi Damian tidak berhenti. Sesuatu telah pecah dalam dirinya—semua frustrasi, kebingungan, dan kemarahan selama beberapa hari terakhir meledak. Ia merobek kanvas itu sekali lagi, kemudian melemparkannya ke lantai.

Matanya kemudian tertumbuk pada kanvas-kanvas lain—lukisan yang katanya ia buat sendiri.

"Dan ini," ia mengambil salah satu kanvas berisi lukisan gunung, "bukan aku. Aku tidak pernah melukis. Ini bukan aku!"

"Damian, kumohon berhenti!" Eliza berusaha menghentikannya, tapi Damian sudah merobek kanvas kedua, lalu yang ketiga.

Saat tangan Damian terulur ke kanvas yang menggambarkan siluet dua orang di pantai, Eliza berteriak, "CUKUP!"

Suaranya yang pecah menggema di studio kecil, menghentikan gerakan Damian. Air mata mengalir di pipi Eliza.

"Silakan robek semua lukisanku jika itu membuatmu lebih baik," isaknya. "Tapi jangan lukisan itu. Itu terakhir kalinya kau melukis. Itu... itu adalah kenanganku tentangmu."

Kata-kata Eliza bagaikan air dingin yang menyiram amarah Damian. Ia melihat sekelilingnya—lukisan yang telah ia rusak, cat yang tumpah, dan wajah terluka Eliza. Apa yang baru saja ia lakukan?

Tanpa kata, Damian meletakkan kanvas yang belum sempat ia rusak dan berjalan keluar studio, meninggalkan Eliza di antara serpihan karya seninya yang hancur.

Di tengah kebun, langkahnya terhenti. Kepalanya berdenyut hebat, dan kilasan memori lain menyerangnya—kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Ia melihat dirinya dan Eliza di studio ini, tertawa, bermain-main dengan cat, mencium Eliza yang berlumuran cat biru di pipinya. Kenangan itu terasa begitu nyata hingga ia bisa merasakan tekstur cat di jari-jarinya.

Damian jatuh berlutut di rumput, mencengkeram kepalanya yang terasa seperti akan meledak.

Di studio, Eliza duduk di lantai, mengumpulkan serpihan lukisannya dengan tangan gemetar. Salah satu fragmen lukisan "Memori yang Hilang" menunjukkan titik cahaya kecil yang ia lukis dengan hati-hati—seperti harapan yang berjuang di tengah kegelapan. Harapan yang kini terasa semakin jauh.

Di luar pagar properti, sebuah mobil sedan hitam terparkir dengan jendela sedikit terbuka. Vianna Darmawan menurunkan kamera digital berteleskop yang baru ia gunakan untuk mengambil gambar kejadian di studio. Sistem keamanan mansion Lesmana memang ketat, tapi dari tempat strategis ini, dengan lensa yang tepat, ia bisa mengamati tanpa terdeteksi.

"Fase perpecahan berjalan sempurna," gumamnya sambil memeriksa hasil jepretannya—Damian merobek lukisan, Eliza menangis, dan Damian berlutut di taman dengan ekspresi kesakitan. 

Ia mengirim foto-foto tersebut melalui ponselnya. "Mereka bertengkar hebat. Sepertinya Eliza akan segera menyerah."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 46: Rahasia Farmasi

    Laboratorium GlobalPharm, 4 tahun lalu.Vianna Darmawan berdiri dengan punggung tegak di depan Direktur Penelitian, Dr. Hendrik Santoso. Ruangan kantor itu dingin, baik dari suhu AC maupun dari atmosfer pembicaraan yang sedang berlangsung. Cahaya dari jendela kaca besar menyorot wajah Vianna yang tenang, namun matanya menyimpan determinasi kuat."Jadi kau ingin pindah ke divisi eksekutif?" Dr. Hendrik mengangkat alisnya, menatap Vianna dengan skeptis. "Setelah semua investasi yang kami tanamkan untuk pelatihanmu di divisi neuropharmaceutical?""Dengan segala hormat, Dr. Hendrik," Vianna tersenyum profesional, merapikan blazernya, "bakatku lebih cocok di bidang manajemen dan pemasaran. Dua tahun di lab sudah cukup memberiku pemahaman tentang produk kita.""Kau adalah salah satu peneliti paling berbakat dalam tim MX series," Dr. Hendrik bersandar di kursinya, melepas kacamata. "Keputusan ini akan menghambat karirmu.""Atau justru mempercepa

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 45: Album "Kisah Kita"

    Dengan tangan sedikit gemetar, Damian membawa album foto ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tidak ingin terganggu oleh siapapun, bahkan Kirana. Duduk di tepi tempat tidur, ia menarik napas dalam sebelum membuka cover navy blue album tersebut.Halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang rapi:"Untuk Damian, cinta dan sahabat terbaikku. Tiga tahun yang mengubah hidupku. Tiga tahun penuh tawa, air mata, dan cinta yang terus bertumbuh. Ini kisah kita, dan masih banyak halaman kosong untuk diisi bersama. Selamanya. — Eliza."Tanggal di sudut halaman menunjukkan bahwa album ini diberikan hanya dua minggu sebelum kecelakaannya.Damian membalik ke halaman berikutnya dan menemukan foto pertama—dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, Eliza tampak malu dengan noda kopi di kemejanya, sementara Damian tertawa. Di bawahnya tertulis: "Pertemuan pertama. Noda kopi dan permintaan maaf yang mengubah segalanya."Halaman demi halaman berisi kenangan yang tidak bi

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 44: Menemukan Cincin

    Kafe Enigma terletak di sudut jalan yang tenang di kawasan Kemang, jauh dari kantor-kantor di area bisnis Jakarta. Damian tiba lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut yang tersembunyi namun memberinya pandangan jelas ke pintu masuk dan jalan di luar.Ia telah mengambil beberapa langkah pencegahan—menggunakan taksi biasa alih-alih mobil pribadinya, mengenakan pakaian kasual dan topi, serta meninggalkan ponsel utamanya di rumah, hanya membawa ponsel cadangan yang baru diaktifkan.Tepat pukul 7, Eliza memasuki kafe. Meski Damian tidak sepenuhnya mengingatnya, ada perasaan familiar yang hangat saat melihatnya—rambut hitam panjang yang tergerai, mata cokelat yang ekspresif, dan postur yang anggun namun sedikit tegang. Dia mengenakan jeans dan kemeja putih sederhana, jauh berbeda dari gambaran "perempuan matre" yang dijelaskan Vianna."Damian," Eliza tersenyum ragu saat menghampiri mejanya. "Terima kasih sudah m

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 43: Mimpi Malam Hari

    "Halo? Damian?" suara Eliza terdengar tidak percaya di ujung sambungan."Eliza," Damian menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia perkirakan. "Aku... aku perlu bicara denganmu.""Apa kau..." Eliza terdengar ragu, "...kau mengingatku?""Tidak sepenuhnya," jawab Damian jujur. "Tapi aku baru saja mengalami semacam kilasan ingatan. Tentang kita, berlari di bawah hujan."Jeda sejenak. "Menuju studio lukis," Eliza melanjutkan dengan suara bergetar. "Kau datang memperingatkanku tentang badai, dan aku terpeleset.""Kau ingat," gumam Damian, merasa aneh menemukan konfirmasi atas memori yang bahkan tidak sepenuhnya ia yakini nyata. "Eliza, apa yang sebenarnya terjadi? Antara kita, kecelakaanku, Vi

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 42: Kilasan Pertama

    Hujan masih turun deras ketika mobil Damian memasuki pekarangan mansion. Meski Vianna menawarkan untuk menginap di mansionnya, Damian dengan halus menolak, beralasan perlu menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Kenyataannya, ia membutuhkan ruang untuk berpikir tanpa pengaruh siapapun."Kita bertemu besok di kantor?" tanya Vianna, masih duduk di mobil."Tentu," jawab Damian. "Terima kasih untuk makan malamnya."Begitu mobil Vianna menghilang di balik gerbang, Damian merasakan kelegaan aneh. Ia berdiri sejenak di teras, memandangi taman yang basah oleh hujan."Tuan mau saya siapkan teh hangat?" tanya Kirana, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Lesmana selama dua dekade."Terima kasih

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 41: Makan Malam dengan Vianna

    Restaurant Skye di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit menawarkan pemandangan Jakarta yang memukau. Cahaya lampu kota berpendar di bawah, sementara langit malam masih diselimuti mendung. Damian Lesmana duduk di meja dekat jendela, berhadapan dengan Vianna Darmawan yang mengenakan gaun hitam elegan. Malam ini adalah makan malam perayaan keberhasilan penyelamatan saham LTI dari jatuh lebih dalam."Mengesankan bagaimana kau bisa meyakinkan para investor hanya dalam tiga hari," puji Vianna, mengangkat gelasnya. "Kurasa insting bisnismu tetap tajam meski ingatanmu tidak."Damian tersenyum tipis. "Sebuah perusahaan adalah seperti tubuh. Bahkan jika kau lupa namanya, kau masih bisa merasakan bagaimana ia bekerja."Mereka bersulang, namun Damian tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status