Langkahnya terdengar mantap di atas lantai marmer putih mengilap lobi Cheonghwa Group. Gedung pencakar langit itu menjulang angkuh di tengah kota, tapi pagi ini, Han Ji An merasa ia mampu menyainginya, setidaknya untuk beberapa jam ke depan.
Dengan blazer abu muda, kemeja putih bersih, dan sepatu hitam yang sedikit menyakiti tumitnya, Ji An menarik napas dalam. "Mulai hari ini, aku bukan pengangguran lagi," bisiknya pelan pada diri sendiri. Masih ada sepuluh menit sebelum waktu briefing pertamanya. Belum sempat ia mengambil langkah lagi, suara familiar memanggilnya dari samping. “Ji An!” Min Ji datang sambil menggenggam dua cangkir kopi dan sandwich segitiga yang dibungkus rapi. Dengan senyum lebarnya dan poni yang sedikit berantakan karena angin, gadis itu nyaris terlihat seperti sambutan resmi perusahaan. “Akhirnya resmi jadi pegawai Cheonghwa! Gimana perasaanmu?” “Campur aduk,” Ji An tergelak, mencoba meredakan gugup di dadanya. “Excited, gugup, takut nyasar ke toilet direksi.” Min Ji terkekeh sambil menyerahkan kopi padanya. “Tenang. Kalau kamu nyasar, aku tinggal pura-pura kerja di luar toilet dan kita kabur bareng. Tapi serius, aku bangga kamu keterima. Divisi keuangan tuh keras, Ji An. Tapi kamu keras kepala, jadi cocok!” “Terima kasih, Min Ji. Kalau bukan karena kamu ngasih info lowongan ini…” Ji An menatap ke atas sebentar, mata berbinar. “Aku nggak tahu hidupku bakal ke mana.” “Yah, sekarang hidupmu resmi ke arah meja penuh spreadsheet dan deadline!” celetuk Min Ji sambil mendorong pintu ruang istirahat kecil mereka. Mereka menikmati kopi sejenak, sebelum Min Ji tiba-tiba melirik Ji An dengan pandangan menyelidik. Nada suaranya berubah, lebih pelan, lebih menggoda. “Ngomong-ngomong… Cowok kemarin itu siapa?” Ji An menoleh cepat. “Siapa?” “Yang bikin kamu jatuh dari pot. Aku nggak akan lupa wajahnya. Ganteng, tinggi, muka CEO. Gaya jalan kayak orang punya seluruh lantai gedung.” Ji An buru-buru menunduk, sibuk mengaduk kopi yang sudah tidak bisa lebih tercampur dari ini. “Nggak kenal.” “Yakin?” Min Ji menyipitkan mata, lalu mendekat sambil berbisik, “Tatapan dia waktu liat kamu tuh... kayak lagi liat hantu dari masa lalu, tapi hantunya cantik banget.” “Cuma... kayaknya pernah satu kampus. Tapi bukan siapa-siapa,” kata Ji An cepat, tanpa menatap mata Min Ji. Min Ji menatap temannya lekat-lekat selama tiga detik, sebelum akhirnya mundur dengan senyum licik. “Oke. Tapi kalo kalian nikah, aku mau jadi MC di resepsinya.” Ji An hanya bisa menepuk jidatnya. “Dasar tukang gosip.” --- Waktu berjalan cepat. Setelah sesi briefing dan pengenalan sistem kerja yang padat, Ji An mulai bekerja dengan antusias. Tangan-tangan cekatannya menelusuri laporan-laporan lama, jari-jarinya lincah memberi catatan di sticky note. Meskipun baru hari pertama, ia tampak seperti sudah terbiasa. Fokus. Rapi. Efisien. Jam menunjukkan pukul sebelas siang ketika sebuah notifikasi rapat massal masuk ke inbox-nya. “Wajib hadir: Pengumuman CEO baru akan disampaikan langsung oleh Ketua Direktur.” Suasana kantor mulai berubah. Bisik-bisik antar pegawai terdengar di mana-mana. Beberapa mengeluarkan tebakan kocak, lainnya dengan serius menyebut nama-nama orang besar di dunia bisnis. Min Ji muncul dari balik meja, menyeret Ji An keluar. “Ayo, kita barisan depan! Biar keliatan jelas mukanya. Siapa tahu jodoh.” Ji An hanya bisa menggeleng sambil tertawa kecil. Ia tidak menyangka hari pertamanya akan diwarnai pengumuman sebesar ini. --- Hall utama dipenuhi staf dari berbagai divisi. Rapi, formal, sedikit tegang. Ji An berdiri di tengah kerumunan, tepat di samping Min Ji. Sesekali, pandangannya mengamati dekorasi minimalis hall dan kamera-kamera media internal yang bersiap merekam. Pintu utama terbuka. Suara langkah sepatu terdengar mantap. Para staf otomatis berdiri lebih tegak. Wajah-wajah serius menggantikan gurauan. Ketua Direktur Cheonghwa Group, pria tua berwibawa yang rambutnya putih nyaris merata, masuk terlebih dahulu—diikuti seorang pria muda berpakaian jas hitam sempurna. Potongan rambutnya rapi, langkahnya tenang. Seolah ia sudah menguasai seluruh ruangan bahkan sebelum bicara sepatah kata. Dan di detik itulah, dunia Ji An runtuh pelan-pelan. Napasnya tercekat. Pandangannya membeku. Tidak salah. Itu dia. Park Seon Woo. Min Ji mendekat sambil berbisik pelan, matanya terbelalak, “Eh. Itu cowok kemarin, kan?!” Ji An tak menjawab. Seluruh fokusnya hanya tertuju pada satu sosok di depan sana, yang berdiri tepat di samping Ketua Direktur. Pria yang dulu pernah berdiri di seberang ruang debat, melawan argumennya tanpa ragu, dan menatapnya dengan dingin seolah ia musuh abadi. Kini, pria itu mengambil mikrofon. Suara baritonnya terdengar tegas, jelas, tanpa sedikit pun keraguan. “Mulai hari ini, saya Park Seon Woo… menerima tanggung jawab sebagai CEO Cheonghwa Group.” Tepuk tangan bergema. Namun bagi Ji An, dunia terasa bisu. Ji An tidak berkedip. Kata-kata pria itu meluncur begitu tenang, begitu stabil, seolah dunia sedang baik-baik saja. Tapi bagi Ji An, ini lebih dari sekadar pengumuman resmi. Ini semacam lelucon kosmis yang terlalu keterlaluan untuk ditertawakan. Park Seon Woo. CEO? Orang yang pernah jadi rival debat paling menyebalkan di kampus. Orang yang tak pernah bisa ia kalahkan dalam hal logika dan provokasi. Pria yang selalu menjawab dengan suara tenang dan sorot mata menusuk, seakan semua yang Ji An katakan tidak lebih dari kekeliruan emosional. Dan sekarang… dia berdiri di podium, dengan jas hitam elegan dan name tag bertuliskan “Chief Executive Officer.” Dunia memang lucu. “Selamat kepada CEO Park,” ujar Ketua Direktur sebelum memberikan tepuk tangan. Para staf mengikuti, satu per satu. Tepuk tangan bergema di ruangan. Ji An ikut bertepuk tangan, karena itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan tanpa menimbulkan kecurigaan. Tapi tubuhnya menegang. Matanya tak lepas dari pria di atas panggung. Seon Woo tidak melirik ke arah audiens secara spesifik. Tapi ada satu momen singkat, sangat singkat, ketika tatapannya seperti jatuh tepat ke arah Ji An. Atau Ji An yang terlalu sensitif? Min Ji mencondongkan badan, lagi. “Gila, ini baru kejutan. Jadi CEO-nya orang muda, cakep, dan... kayaknya kamu beneran kenal dia, ya?” Ji An mencubit lengan Min Ji pelan. “Ssst!” Pidato Seon Woo tak panjang, tapi padat. Ia tidak bertele-tele. Hanya menjelaskan visinya secara singkat, menyampaikan apresiasi kepada pendahulunya, dan menyebutkan bahwa ia akan memulai masa jabatannya dengan fokus pada transparansi dan integritas di semua lini, termasuk divisi keuangan. Kata itu “transparansi” dan “divisi keuangan” membuat Ji An kembali menegang. Entah kenapa, sorotan matanya makin tajam. Ada hawa yang berubah. Bukan hanya karena dia kenal Seon Woo, tapi karena firasatnya berkata, ini bukan pertemuan kebetulan. Dan Seon Woo… dari cara dia berbicara, dari gesturnya yang tak berlebihan tapi kuat, dari nada suaranya yang tak pernah tergesa, dia terlihat seperti seseorang yang tahu persis apa yang ia lakukan. Atau lebih tepatnya… tahu siapa yang sedang ia hadapi. Selesai pidato, hadirin kembali ke divisi masing-masing. Min Ji masih setengah kegirangan, setengah curiga. Tapi Ji An? Ia kembali duduk di meja kerjanya dengan hati berdebar tak keruan. Ia mencoba membuka kembali lembar laporan, tapi angka-angka di layar Excel seakan menari-nari tak karuan. Masa lalu dan masa kini bertabrakan terlalu cepat. Dan Ji An tahu, hidupnya di Cheonghwa Group baru saja menjadi jauh lebih rumit dari yang ia perkirakan. Min Ji menarik lengan Ji An dengan semangat. “Ya ampun, ternyata dia CEO-nya! Kamu tahu nggak sih, semua orang langsung….” “Aku ke toilet sebentar,” ucap Ji An singkat, nyaris tanpa ekspresi. Min Ji langsung berhenti bicara. “Kamu gak apa-apa?” Ji An tidak menjawab. Ia hanya melangkah cepat keluar dari ruang divisi, melewati beberapa meja tanpa menyapa siapa pun. Napasnya tidak teratur. Tangannya sedikit gemetar. Begitu tiba di toilet wanita, ia masuk ke bilik paling ujung dan mengunci pintunya. Lalu duduk perlahan di penutup kloset. Tangannya menutupi wajah. Dan untuk beberapa detik… hanya ada hening. Kenapa dia di sini? Kenapa harus dia? Dadanya terasa sesak. Ia tidak tahu harus merasa apa. Marah? Bingung? Atau takut? Kenangan kuliah yang selama ini ia kubur dalam-dalam, muncul kembali begitu saja. Suara Seon Woo saat debat terakhir mereka. Tatapan sinis nya. Kata-kata dingin yang menusuk. Dan sekarang, sekarang ia adalah CEO-nya? “Gila,” gumam Ji An lirih, menahan tawa getir. Seolah tak cukup ia harus memulai hidup baru, kini ia juga harus menghadapi orang yang paling ingin ia hindari. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding bilik. “Bukan siapa-siapa, huh…” katanya pada dirinya sendiri. Kali ini, terdengar seperti sindiran. Ia menarik napas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan diri. Tak peduli siapa Park Seon Woo sekarang. Yang penting, dia bukan lagi bagian dari hidup Ji An. Dia hanya… CEO. Atasan. Titik. Begitu ia keluar dari bilik itu, Ji An memutuskan satu hal, ia tidak akan membiarkan masa lalu mengacaukan masa depannya. Apa pun yang terjadi di antara mereka dulu, sekarang mereka hanya rekan kerja. Tapi dalam hatinya, ia tahu… akan sangat sulit menepati keputusan itu. Ia merapikan blazer, memastikan wajahnya netral di depan cermin. Mata sembab sedikit, tapi bisa ditutupi dengan sedikit bedak dan senyum palsu. Langkahnya meninggalkan toilet wanita terdengar mantap. Namun begitu kembali ke meja kerjanya, Ji An langsung sadar satu hal. Ia telah menjadi pion dalam permainan yang belum ia mengerti aturannya. Dan pria yang kini duduk di puncak papan… adalah lawan lama yang tak pernah bermain tanpa strategi. ---[Rumah Keluarga Ji An – Pukul 06.12]Langit masih gelap. Embun masih bergelayut di jendela ketika Ji An mendorong pintu rumah, tubuhnya lunglai dan mata nyaris tak terbuka sempurna. Ia bahkan belum sempat mengganti baju kantor sejak malam tadi. Lelahnya bukan cuma karena jam kerja, tapi karena hidup yang tak pernah memberi jeda.Begitu masuk, aroma bubuk kopi menyambut, disusul suara lembut yang terlalu manis untuk pagi hari.“Ji An-ah, kamu sudah pulang? Ayo sarapan dulu sebentar.”Ibunya berdiri di dapur, mengenakan apron motif bunga yang sudah mulai lusuh. Di meja makan, ada dua piring nasi, dan satu kursi kosong yang sudah disiapkan untuknya.Ji An, masih setengah sadar, mengangguk kecil. “Nanti, Bu. Aku ganti baju dulu...”“Nggak usah lama-lama. Ibu cuma mau bicara sebentar kok.”Nada suara ibunya terlalu halus. Terlalu terencana. Ji An merasakannya langsung.Ia mendesah pelan, lalu duduk perlahan di kursi. Matanya menyapu ruangan. Adiknya belum bangun, dan ayahnya belum pulang d
"Han Ji An-ssi. Apa yang kamu lakukan?"Suara itu membuat Ji An tersentak.Ia menoleh cepat. Di belakangnya berdiri Kang Seo Jun, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan ekspresi bingung namun serius di wajahnya.“Han Ji An?”Suaranya tenang, tapi ada tekanan yang membuat bulu kuduk Ji An meremang.Ji An mematung. “Seo Jun sunbae... ini...”Seo Jun melangkah mendekat. Tatapannya tertuju pada layar yang masih terbuka, menampilkan email dengan subjek:[URGENT] Konfirmasi Transfer (Opsional)Beberapa detik mereka hanya terdiam. Lalu Seo Jun bertanya, suaranya rendah dan nyaris seperti bisikan, “Kamu dapat email ini dari mana?”Tidak ada gunanya berbohong. Yang bisa Ji An lakukan hanyalah jujur.“Aku... lihat ada transaksi mencurigakan. Aku cocokkan datanya, lalu tembus ke folder backup. Sistem audit server simpan salinan semua transaksi besar di atas seratus juta, kan?”“Kamu tahu folder itu seharusnya tidak diakses sembarangan?” Nada suara Seo Jun makin berat. “Apalagi oleh st
[Ruang Rapat CEO]Langit gelap menekan jendela kaca kantor saat suara ketukan pelan terdengar di pintu ruangannya.Seon Woo menoleh dari layar laptopnya, ekspresinya datar seperti biasa. “Masuk.”Pintu terbuka. Sekretarisnya masuk lebih dulu, lalu diikuti empat orang penting dari struktur perusahaan: Kepala Divisi Legal, HR, Operasional, dan Audit.Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung menempati kursi masing-masing di meja rapat kaca panjang. Wajah-wajah mereka tegang, tanpa senyum basa-basi yang biasanya menyertai pertemuan formal.Seon Woo duduk tenang di ujung meja, tangan kanan melipat di depan dada, mata mengamati satu per satu. “Kelihatan seperti kalian menemukan mayat di laci akuntan,” gumamnya ringan, tapi dengan nada tajam.Kepala Audit, Pak Jang, membuka rapat lebih dulu. Suaranya kaku.“Kami menemukan indikasi penyisipan transaksi fiktif selama dua bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil, dan dilakukan lewat vendor yang tidak terdaftar secara resmi di sistem.”“Nama vendor?
Ji An keluar dari ruang CEO dengan langkah cepat dan kepala tertunduk. Wajahnya menegang, rahangnya terkunci, dan napasnya sedikit tersengal—bukan karena lelah, tapi karena emosi yang membuncah tanpa jalan keluar.Kesal. Malu. Dan bodoh.Itu tiga kata yang paling tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini.Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—sikap Seon Woo yang dingin seolah tidak pernah terjadi apa-apa, atau kenyataan bahwa ia masih berharap pria itu akan menunjukkan sedikit saja kepedulian. Sedikit saja.Ia membanting tubuhnya ke kursi, membiarkan punggungnya menyentuh sandaran dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa rekan kerja di seberangnya sempat melirik, tapi tak ada yang berani menyapa. Aura Ji An terlalu panas pagi ini.Belum lima detik ia mencoba menenangkan diri, suara hak sepatu yang familiar terdengar mendekat.“Ji An-ah.”Ia mendongak cepat dan mendapati Min Ji berdiri di sisi mejanya, membawa map biru dan ekspresi lelah akibat lembur semalam.“Ada dokume
Pagi itu, Ji An datang dengan kepala penuh amarah yang dibungkus rapi dalam senyum tipis dan ketukan ringan di pintu. Satu malam penuh ia berperang dengan pikirannya sendiri, mengulang setiap detik kebersamaannya dengan Seon Woo—mulai dari sundulan isengnya di rak es krim, kalimat ambigu sebelum tertidur, sampai... napas mereka yang terlalu dekat di ruang tamu.Ia sudah mempersiapkan beberapa kalimat pembuka: mungkin sedikit sarkasme, mungkin pertanyaan frontal, atau setidaknya satu tuntutan maaf.Tapi begitu pintu terbuka, semua yang ia siapkan langsung hancur.Seon Woo berdiri di depan mejanya sambil memeriksa dokumen, lengkap dengan ekspresi datarnya yang biasa. Seolah-olah malam kemarin tidak pernah ada.“Oh, Han Ji An-ssi,” ucapnya ringan. “Kamu datang tepat waktu. Aku mau bahas laporan transaksi bulan lalu. Duduklah.”Ji An mematung sejenak.Ia menatap Seon Woo dalam diam, menunggu kode—sekecil apa pun—bahwa pria itu akan menyebutkan sesuatu. Bahkan satu kalimat basa-basi pun ta
Begitu suara pintu tertutup rapat, Seon Woo membuka sebelah matanya perlahan. Sunyi. Ia mengintip ke arah pintu, memastikan Ji An benar-benar pergi. Setelah yakin tidak ada suara langkah kaki atau napas penuh kekesalan dari arah dapur, ia menghela napas lega dan… duduk tegak. Tidak, ia tidak mabuk. Seon Woo menyandarkan punggungnya ke sofa, lalu memutar lehernya pelan. “Toleransi alkoholku masih oke, ternyata,” gumamnya lirih sambil memijat perutnya yang sedikit nyeri. “Tapi tendangannya juga masih tetap berbahaya. Apa dia latihan MMA sekarang?” Ia memicingkan mata ke arah gelas yang masih berisi setengah di meja. Sebenarnya, satu-satunya alasan ia bersikap seperti itu adalah karena… ia tidak sengaja mendengar Ji An dan Seo Jun merencanakan sesuatu di restoran. Pergi ke tempat baru, katanya. Naik mobil yang sama, katanya. Dan entah kenapa, Seon Woo merasa... tidak suka. Hanya sedikit. Sedikit banget. Bukan karena cemburu, tentu saja. Bukan karena takut kehilangan. Hanya