Elara tidak tidur. Ia mungkin sempat terlelap selama beberapa menit dengan posisi duduk di meja kerjanya, tetapi pikirannya terlalu waspada untuk benar-benar beristirahat. Setiap derit gedung atau desau angin di jendela membuatnya tersentak. Namun, seiring dengan garis cahaya fajar pertama yang menembus jendela raksasa di kamarnya, menebarkan warna nila dan jingga di dinding pualam, ketegangan yang mencengkeramnya semalaman perlahan mulai mengendur.
Cahaya pagi terasa seperti pengusiran setan. Kegelapan, dan semua kengerian yang menyertainya, telah diusir mundur. Didorong oleh rasa penasaran yang tak tertahankan, Elara keluar dari kamarnya. Penthouse itu sunyi senyap. Ia berjalan ke ruang tamu utama, jantungnya berdebar pelan. Matanya langsung tertuju pada meja konsol kecil di dekat koridor timur. Kosong. Cangkir porselen yang ia letakkan di sana semalam telah lenyap. Tidak ada bekas air, tidak ada jejak apa pun. Seolah-olah seluruh kejadian mengerikan itu—pesan yang salah ketik, tangan pucat yang terulur dari bayang-bayang—hanyalah produk dari imajinasinya yang kelelahan. Kebersihan dan ketenangan penthouse di pagi hari membuat horor malam sebelumnya terasa semakin sureal, seperti adegan dari film yang berbeda genre. Tepat pukul tujuh pagi, presisi seperti mesin jam, suara pintu di ujung koridor timur terdengar terbuka dengan sekali klik. Elara menegakkan punggungnya, mempersiapkan diri. Kian Alvaro melangkah keluar. Ia kembali menjadi sosok yang sempurna. Setelan berwarna abu-abu gelap membungkus tubuhnya tanpa satu pun kerutan, dasi peraknya diikat dengan simpul yang presisi, dan rambutnya yang hitam legam tertata rapi. Tidak ada topeng giok, tidak ada aura kehijauan, tidak ada suara gesekan batu. Namun, Elara sekarang memiliki mata yang terlatih. Ia melihat apa yang tidak akan dilihat orang lain. Ia melihat kelelahan yang sangat dalam di balik sorot matanya yang dingin, sebuah kelelahan yang bahkan tidak bisa disembunyikan oleh tidur seribu tahun. Ia melihat kulitnya yang sedikit lebih pucat dari kemarin, dan cara Kian bergerak—meski tetap anggun—memiliki kekakuan yang nyaris tak terlihat, seolah otot-ototnya sedang memulihkan diri dari siksaan hebat. Pria di hadapannya tampak seperti seorang prajurit yang baru saja selamat dari pertempuran brutal, dan kini harus mengenakan kembali seragam jenderalnya untuk memimpin perang di siang hari. Kian berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun, seolah Elara adalah bagian dari perabotan. Tidak ada ucapan terima kasih atas tehnya, tidak ada pengakuan atas kejadian semalam. Inilah aturan tak tertulis yang paling penting: malam tidak pernah ada. "Sarapan," hanya itu yang ia katakan, sambil berjalan menuju meja makan besar di dekat jendela lain, di mana hidangan sarapan yang mewah sudah tertata rapi, dihidangkan oleh staf rumah tangga yang bergerak nyaris tanpa suara dan menghilang secepat mereka muncul. Yang mengejutkan, Kian menunjuk kursi di seberangnya. "Duduk." Elara ragu sejenak sebelum menurut. Makan bersama? Ini adalah sebuah penyimpangan dari pola. Mereka makan dalam keheningan yang canggung. Elara hanya berani menyentuh roti panggangnya, sementara Kian menyantap sarapannya dengan efisiensi mekanis. Saat itulah ponsel baru Elara, yang tergeletak di meja, bergetar. Lalu bergetar lagi, dan lagi. Dengan tangan gemetar, ia membukanya. Layarnya penuh notifikasi. Yang pertama adalah pesan dari sebuah bank: ‘Dana sebesar Rp 500.000.000,- telah berhasil ditransfer ke rekening Anda.’ Napas Elara tercekat. Jumlah itu lebih dari cukup untuk melunasi seluruh sisa utang almarhum ayahnya. Notifikasi kedua adalah sebuah email dengan subjek: ‘Konfirmasi Jadwal Konsultasi Medis: Nyonya Anisa Wijaya – RS Premier Sentosa.’ Rumah sakit termahal di kota itu, dengan dokter spesialis reumatologi terbaik. Notifikasi ketiga membuat matanya berkaca-kaca. Sebuah salinan surat elektronik dari universitas impian adiknya, Laras. ‘Dengan gembira kami menginformasikan bahwa Larasati Wijaya telah diterima di Fakultas Ekonomi dan Bisnis melalui jalur beasiswa penuh Alvaro Foundation.’ Elara mengangkat kepalanya, menatap pria di seberangnya dengan tatapan tak percaya, rasa terima kasih, dan ketakutan yang berbaur menjadi satu. Kian tidak membalas tatapannya. Ia hanya menyesap kopi hitamnya, matanya menatap pemandangan kota. "Sarapanmu dingin," ujarnya datar. Tidak ada kehangatan dalam kata-katanya, tetapi pesannya jelas. Aku menepati janjiku. Pengorbanan Elara telah dibayar lunas dalam semalam. Kebebasannya ditukar dengan masa depan keluarganya. Setelah sarapan, Kian berdiri. "Kita ke kantor. Helena menjadwalkan presentasi dadakan untuk proyek turbin angin yang aku hentikan sementara dua minggu lalu. Dia secara terbuka menantang keputusanku. Aku ingin kau ada di sana." Di dalam lift pribadi yang meluncur turun dari penthouse, Elara bisa merasakan ketegangan yang berbeda dari Kian. Ini bukan kelelahan karena kutukannya, melainkan energi dingin dari seekor predator yang wilayahnya sedang diganggu. Suasana di lantai eksekutif Alvaro Corp terasa tegang. Mereka berjalan lurus menuju ruang rapat utama. Di dalamnya, Helena sudah menunggu. Ia tampak memukau dalam balutan gaun kerja berwarna merah menyala, kontras dengan interior ruangan yang monokrom. Ia berdiri di depan layar presentasi raksasa, tampak percaya diri dan berkuasa, dikelilingi oleh beberapa kepala divisi yang tampak berpihak padanya. "Kian, aku tahu kau sibuk," sapa Helena, senyumnya manis seperti madu beracun. "Tapi aku hanya merasa proyek ini layak mendapat kesempatan kedua. Aku menemukan beberapa data pasar baru yang mungkin bisa mengubah pandanganmu." Ia sama sekali tidak melirik ke arah Elara. Helena memulai presentasinya. Dia brilian, tidak bisa disangkal. Ia berbicara dengan fasih, menampilkan grafik dan data yang menunjukkan potensi keuntungan luar biasa dari proyek turbin angin itu. Ia berhasil membius ruangan, argumennya tampak kuat dan tak terbantahkan. Kian hanya duduk diam di kepala meja, wajahnya tak berekspresi, mendengarkan. Namun, Elara tidak hanya mendengarkan. Pikirannya bekerja cepat, memindai data yang ditampilkan Helena dan membandingkannya dengan ribuan data yang telah ia tanamkan dalam benaknya dari tablet semalam. Angka-angka Helena memang benar. Tetapi konteksnya… ada yang salah dengan konteksnya. Kemudian ia menemukannya. Sebuah detail kecil yang tersembunyi di lampiran laporan anak perusahaan mereka di Jerman. Proyeksi pertumbuhan fantastis yang dipaparkan Helena sangat bergantung pada data dari anak perusahaan itu. Dan Elara ingat dengan jelas catatan kaki di profil perusahaan itu. Jari-jemari Elara menari di atas tabletnya, mengetik dengan cepat dan senyap. Ia tidak ingin berbicara dan menginterupsi. Itu bukan tempatnya. Tapi ia bisa menjadi senjata rahasia. Saat Helena mendekati puncak argumennya yang penuh kemenangan, Elara dengan hati-hati menggeser tabletnya ke depan Kian. Di layarnya tertulis sebuah pesan singkat: Proyeksi pendapatan Helena bergantung pada data anak perusahaan di Jerman, yang 80% labanya berasal dari kontrak insentif energi hijau pemerintah X-345. Kontrak itu berakhir kuartal ini dan telah dikonfirmasi tidak dapat diperpanjang. Proyeksinya tidak valid. Kian melirik ke bawah, matanya yang dingin memindai pesan itu. Selama sepersekian detik, hanya sepersekian detik, Elara melihat sesuatu di wajahnya. Sebuah kilatan. Bukan senyuman, bukan juga keterkejutan. Itu adalah kilatan pengakuan, seolah sebuah senjata yang ia lupakan tiba-tiba muncul di tangannya pada saat yang genting. Ia membiarkan Helena menyelesaikan kalimat terakhirnya dengan penuh gaya. Para eksekutif lain di ruangan itu mengangguk-angguk setuju, tampak terkesan. Ruangan itu menjadi milik Helena. Kemudian, Kian Alvaro angkat bicara. Suaranya tenang, namun memotong keheningan seperti bilah es. "Helena," katanya pelan. "Proyeksi pendapatanmu bergantung pada data anak perusahaan kita di Jerman, bukan?" Helena tampak sedikit terkejut oleh pertanyaan spesifik itu. "Benar. Pertumbuhan mereka sangat fenomenal." "Pertumbuhan itu didorong oleh kontrak pemerintah X-345," lanjut Kian, kata-katanya persis seperti yang ditulis Elara. "Kontrak yang berakhir kuartal ini dan tidak akan diperpanjang. Tanpa kontrak itu, anak perusahaan tersebut sebenarnya merugi. Artinya, seluruh presentasimu yang indah ini didasarkan pada data yang menyesatkan." Keheningan yang mematikan menyelimuti ruangan. Wajah Helena yang tadinya berseri-seri berubah pucat pasi. Senyumnya luntur, digantikan oleh ekspresi ngeri karena telah tertangkap basah. Ia telah dipermalukan secara total di depan semua orang. Kian berdiri. "Rapat selesai. Proyek itu tetap dihentikan." Ia berbalik dan berjalan keluar ruangan tanpa menoleh ke belakang. Elara segera mengumpulkan barang-barangnya. Saat ia bangkit, matanya bertemu dengan tatapan Helena. Senyum palsu dan pesona wanita itu telah lenyap. Yang tersisa adalah tatapan penuh kebencian yang murni dan tajam, ditujukan langsung padanya. Helena tahu. Entah bagaimana, ia tahu bahwa Elara adalah sumber dari kejatuhannya. Elara buru-buru mengikuti Kian keluar dari ruangan. Punggung bosnya tampak sama tegaknya seperti biasa. Ia telah selamat dari malam yang penuh teror, dan kini ia baru saja membantu memenangkan pertempuran korporat di siang hari. Ia bukan lagi sekadar pengamat yang ketakutan. Tanpa ia sadari, ia telah menjadi bagian dari permainan, sebuah pion yang tiba-tiba bisa memakan ratu. Dan ia tahu, perang ini masih jauh dari kata usai.Helikopter hitam itu mendarat tanpa suara di sebuah lembah kecil yang tersembunyi di kawasan Puncak, Cisarua. Saat pintu geser terbuka, udara yang langsung menyergap mereka begitu berbeda. Jika Jakarta adalah napas panas dari mesin dan ambisi, dan Ciptagelar adalah udara tanah yang sarat dengan bahaya, maka Puncak adalah embusan nap
Fajar baru saja akan merekah, namun di dalam penginapan terpencil itu, tidak ada satu pun dari penghuninya yang tertidur. Pengetahuan akan tenggat waktu tiga minggu yang mereka miliki terasa seperti beban fisik, menekan udara di sekitar mereka dan membuat setiap detik terasa berharga sekaligus menyiksa. Mereka tidak lagi hanya melawan sebuah konspirasi, mereka kini sedang berlomba melawan pergerakan langit."Perpustakaan Senja," ulang Kian, suaranya pelan namun bergema di keheningan pagi buta. Ia menatap Elara, mencari kepastian. "Hanya itu petunjuk yang kita punya?"Elara menghela napas, mencoba menggali lebih dalam lagi ke sudut-sudut ingatannya yang kabur. "Hanya itu, Tuan. Nenek hanya menyebutnya sekali atau dua kali saat aku masih sangat kecil. Bukan sebagai tempat yang nyata, lebih seperti sebuah dongeng. Dia bilang 'si penjaga buku' adalah kerabat jauh dari garis keturunan ibu, seorang pria yang sangat tua, lebih tua dari seharusnya, dan tinggal di sebuah tempat
Perjalanan kembali dari Lembah Tujuh Bintang terasa jauh lebih berat daripada saat berangkat. Setiap langkah terasa membebani, bukan karena kelelahan fisik semata, tetapi karena bobot pengetahuan yang baru saja mereka peroleh. Hutan yang di pagi hari terasa magis dan penuh kehidupan, kini terasa mencekam dan opresif. Setiap bayangan
Keheningan yang mengikuti pernyataan Elara terasa begitu pekat, seolah udara di lembah itu sendiri ikut menahan napas. Realisasi mengerikan itu menggantung di antara mereka: mereka tidak sedang menghadapi seorang pebisnis serakah, tetapi seorang fanatik yang berencana melepaskan bencana.Kian adalah yang pertama kali memecah kebekuan. Reaksinya bukanlah kepanikan, melainkan fokus yang dingin dan tajam. Naluri sang jenderal mengambil alih sepenuhnya. Dengan gerakan lembut namun tegas, ia menarik Elara menjauh dari batu hitam itu. "Jangan sentuh lagi," perintahnya pelan, matanya memindai lingkungan sekitar, waspada terhadap ancaman yang tak terlihat.Ia mengeluarkan sebuah multi-alat dari sakunya. Dari salah satu kompartemennya, ia mengambil sebuah penjepit kecil dan sebuah tabung sampel steril. Dengan presisi seorang ahli bedah, ia mendekati batu itu dan dengan hati-hati mengambil sampel dari cairan hitam kental yang sudah sedikit mengering di sisinya. Ia memasukkannya
Fajar di perbukitan Ciptagelar adalah sebuah entitas yang sama sekali berbeda dari fajar di Jakarta. Tidak ada gedung pencakar langit yang menghalangi cahaya pertama, hanya kabut tipis yang melayang di atas pucuk-pucuk pohon, mengubah sinar matahari pagi menjadi selubung keperakan yang magis. Di dalam keheningan yang hanya dipecah oleh suara serangga hutan, Elara dan Kian sudah bergerak. Mereka adalah dua bayangan yang menyelinap keluar dari penginapan, meninggalkan jejak embun di atas rerumputan.Pakaian mereka adalah cerminan dari misi mereka. Setelan mahal dan sepatu kulit telah berganti dengan celana kargo berwarna zaitun, kaus menyerap keringat, dan sepatu bot trekking yang kokoh. Kian, tanpa jas dan dasinya, tampak lebih liar dan berbahaya, otot-ototnya yang terbentuk dari disiplin bertahun-tahun terlihat lebih jelas. Elara, dengan rambut yang diikat ekor kuda dan ransel kecil di punggungnya, memancarkan aura ketenangan dan fokus yang tidak ia miliki beberapa minggu lalu."Merek
Perjalanan darat selama beberapa jam dari Jakarta menuju kaki Gunung Salak adalah sebuah transisi yang nyata, bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara psikologis. Aspal mulus dan hutan beton yang angkuh perlahan-lahan menyerah pada jalanan yang lebih berkelok, digantikan oleh hamparan sawah hijau zamrud yang berkilauan di bawah matahari dan siluet pegunungan yang membiru di kejauhan. Udara di dalam mobil sedan mewah yang dikemudikan oleh supir pribadi Kian terasa dingin dan artifisial, sangat kontras dengan udara lembap dan hangat yang merembes masuk setiap kali mereka menurunkan kaca jendela.Elara menatap pemandangan yang familier itu dengan perasaan campur aduk. Ada kelegaan yang menenangkan saat melihat kembali perbukitan dan pepohonan yang menjadi latar masa kecilnya. Namun, kelegaan itu kini dilapisi oleh lapisan tipis kecemasan. Tanah yang indah ini bukan lagi hanya sekadar rumah; ini adalah medan perang yang tidak terlihat. Setiap petak tanah yang mereka lewati kini ia