Home / Romansa / CEO Bertopeng Giok / Duri Mawar Merah

Share

Duri Mawar Merah

Author: Ethan Zachary
last update Last Updated: 2025-06-18 20:52:40

Elara tidak tidur. Ia mungkin sempat terlelap selama beberapa menit dengan posisi duduk di meja kerjanya, tetapi pikirannya terlalu waspada untuk benar-benar beristirahat. Setiap derit gedung atau desau angin di jendela membuatnya tersentak. Namun, seiring dengan garis cahaya fajar pertama yang menembus jendela raksasa di kamarnya, menebarkan warna nila dan jingga di dinding pualam, ketegangan yang mencengkeramnya semalaman perlahan mulai mengendur.

Cahaya pagi terasa seperti pengusiran setan. Kegelapan, dan semua kengerian yang menyertainya, telah diusir mundur.

Didorong oleh rasa penasaran yang tak tertahankan, Elara keluar dari kamarnya. Penthouse itu sunyi senyap. Ia berjalan ke ruang tamu utama, jantungnya berdebar pelan. Matanya langsung tertuju pada meja konsol kecil di dekat koridor timur.

Kosong.

Cangkir porselen yang ia letakkan di sana semalam telah lenyap. Tidak ada bekas air, tidak ada jejak apa pun. Seolah-olah seluruh kejadian mengerikan itu—pesan yang salah ketik, tangan pucat yang terulur dari bayang-bayang—hanyalah produk dari imajinasinya yang kelelahan. Kebersihan dan ketenangan penthouse di pagi hari membuat horor malam sebelumnya terasa semakin sureal, seperti adegan dari film yang berbeda genre.

Tepat pukul tujuh pagi, presisi seperti mesin jam, suara pintu di ujung koridor timur terdengar terbuka dengan sekali klik. Elara menegakkan punggungnya, mempersiapkan diri.

Kian Alvaro melangkah keluar. Ia kembali menjadi sosok yang sempurna. Setelan berwarna abu-abu gelap membungkus tubuhnya tanpa satu pun kerutan, dasi peraknya diikat dengan simpul yang presisi, dan rambutnya yang hitam legam tertata rapi. Tidak ada topeng giok, tidak ada aura kehijauan, tidak ada suara gesekan batu.

Namun, Elara sekarang memiliki mata yang terlatih. Ia melihat apa yang tidak akan dilihat orang lain. Ia melihat kelelahan yang sangat dalam di balik sorot matanya yang dingin, sebuah kelelahan yang bahkan tidak bisa disembunyikan oleh tidur seribu tahun. Ia melihat kulitnya yang sedikit lebih pucat dari kemarin, dan cara Kian bergerak—meski tetap anggun—memiliki kekakuan yang nyaris tak terlihat, seolah otot-ototnya sedang memulihkan diri dari siksaan hebat. Pria di hadapannya tampak seperti seorang prajurit yang baru saja selamat dari pertempuran brutal, dan kini harus mengenakan kembali seragam jenderalnya untuk memimpin perang di siang hari.

Kian berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun, seolah Elara adalah bagian dari perabotan. Tidak ada ucapan terima kasih atas tehnya, tidak ada pengakuan atas kejadian semalam. Inilah aturan tak tertulis yang paling penting: malam tidak pernah ada.

"Sarapan," hanya itu yang ia katakan, sambil berjalan menuju meja makan besar di dekat jendela lain, di mana hidangan sarapan yang mewah sudah tertata rapi, dihidangkan oleh staf rumah tangga yang bergerak nyaris tanpa suara dan menghilang secepat mereka muncul.

Yang mengejutkan, Kian menunjuk kursi di seberangnya. "Duduk."

Elara ragu sejenak sebelum menurut. Makan bersama? Ini adalah sebuah penyimpangan dari pola. Mereka makan dalam keheningan yang canggung. Elara hanya berani menyentuh roti panggangnya, sementara Kian menyantap sarapannya dengan efisiensi mekanis.

Saat itulah ponsel baru Elara, yang tergeletak di meja, bergetar. Lalu bergetar lagi, dan lagi.

Dengan tangan gemetar, ia membukanya. Layarnya penuh notifikasi. Yang pertama adalah pesan dari sebuah bank: ‘Dana sebesar Rp 500.000.000,- telah berhasil ditransfer ke rekening Anda.’

Napas Elara tercekat. Jumlah itu lebih dari cukup untuk melunasi seluruh sisa utang almarhum ayahnya.

Notifikasi kedua adalah sebuah email dengan subjek: ‘Konfirmasi Jadwal Konsultasi Medis: Nyonya Anisa Wijaya – RS Premier Sentosa.’ Rumah sakit termahal di kota itu, dengan dokter spesialis reumatologi terbaik.

Notifikasi ketiga membuat matanya berkaca-kaca. Sebuah salinan surat elektronik dari universitas impian adiknya, Laras. ‘Dengan gembira kami menginformasikan bahwa Larasati Wijaya telah diterima di Fakultas Ekonomi dan Bisnis melalui jalur beasiswa penuh Alvaro Foundation.’

Elara mengangkat kepalanya, menatap pria di seberangnya dengan tatapan tak percaya, rasa terima kasih, dan ketakutan yang berbaur menjadi satu. Kian tidak membalas tatapannya. Ia hanya menyesap kopi hitamnya, matanya menatap pemandangan kota.

"Sarapanmu dingin," ujarnya datar.

Tidak ada kehangatan dalam kata-katanya, tetapi pesannya jelas. Aku menepati janjiku. Pengorbanan Elara telah dibayar lunas dalam semalam. Kebebasannya ditukar dengan masa depan keluarganya.

Setelah sarapan, Kian berdiri. "Kita ke kantor. Helena menjadwalkan presentasi dadakan untuk proyek turbin angin yang aku hentikan sementara dua minggu lalu. Dia secara terbuka menantang keputusanku. Aku ingin kau ada di sana."

Di dalam lift pribadi yang meluncur turun dari penthouse, Elara bisa merasakan ketegangan yang berbeda dari Kian. Ini bukan kelelahan karena kutukannya, melainkan energi dingin dari seekor predator yang wilayahnya sedang diganggu.

Suasana di lantai eksekutif Alvaro Corp terasa tegang. Mereka berjalan lurus menuju ruang rapat utama. Di dalamnya, Helena sudah menunggu. Ia tampak memukau dalam balutan gaun kerja berwarna merah menyala, kontras dengan interior ruangan yang monokrom. Ia berdiri di depan layar presentasi raksasa, tampak percaya diri dan berkuasa, dikelilingi oleh beberapa kepala divisi yang tampak berpihak padanya.

"Kian, aku tahu kau sibuk," sapa Helena, senyumnya manis seperti madu beracun. "Tapi aku hanya merasa proyek ini layak mendapat kesempatan kedua. Aku menemukan beberapa data pasar baru yang mungkin bisa mengubah pandanganmu." Ia sama sekali tidak melirik ke arah Elara.

Helena memulai presentasinya. Dia brilian, tidak bisa disangkal. Ia berbicara dengan fasih, menampilkan grafik dan data yang menunjukkan potensi keuntungan luar biasa dari proyek turbin angin itu. Ia berhasil membius ruangan, argumennya tampak kuat dan tak terbantahkan. Kian hanya duduk diam di kepala meja, wajahnya tak berekspresi, mendengarkan.

Namun, Elara tidak hanya mendengarkan. Pikirannya bekerja cepat, memindai data yang ditampilkan Helena dan membandingkannya dengan ribuan data yang telah ia tanamkan dalam benaknya dari tablet semalam. Angka-angka Helena memang benar. Tetapi konteksnya… ada yang salah dengan konteksnya.

Kemudian ia menemukannya. Sebuah detail kecil yang tersembunyi di lampiran laporan anak perusahaan mereka di Jerman. Proyeksi pertumbuhan fantastis yang dipaparkan Helena sangat bergantung pada data dari anak perusahaan itu. Dan Elara ingat dengan jelas catatan kaki di profil perusahaan itu.

Jari-jemari Elara menari di atas tabletnya, mengetik dengan cepat dan senyap. Ia tidak ingin berbicara dan menginterupsi. Itu bukan tempatnya. Tapi ia bisa menjadi senjata rahasia.

Saat Helena mendekati puncak argumennya yang penuh kemenangan, Elara dengan hati-hati menggeser tabletnya ke depan Kian. Di layarnya tertulis sebuah pesan singkat:

Proyeksi pendapatan Helena bergantung pada data anak perusahaan di Jerman, yang 80% labanya berasal dari kontrak insentif energi hijau pemerintah X-345. Kontrak itu berakhir kuartal ini dan telah dikonfirmasi tidak dapat diperpanjang. Proyeksinya tidak valid.

Kian melirik ke bawah, matanya yang dingin memindai pesan itu. Selama sepersekian detik, hanya sepersekian detik, Elara melihat sesuatu di wajahnya. Sebuah kilatan. Bukan senyuman, bukan juga keterkejutan. Itu adalah kilatan pengakuan, seolah sebuah senjata yang ia lupakan tiba-tiba muncul di tangannya pada saat yang genting.

Ia membiarkan Helena menyelesaikan kalimat terakhirnya dengan penuh gaya. Para eksekutif lain di ruangan itu mengangguk-angguk setuju, tampak terkesan. Ruangan itu menjadi milik Helena.

Kemudian, Kian Alvaro angkat bicara. Suaranya tenang, namun memotong keheningan seperti bilah es.

"Helena," katanya pelan. "Proyeksi pendapatanmu bergantung pada data anak perusahaan kita di Jerman, bukan?"

Helena tampak sedikit terkejut oleh pertanyaan spesifik itu. "Benar. Pertumbuhan mereka sangat fenomenal."

"Pertumbuhan itu didorong oleh kontrak pemerintah X-345," lanjut Kian, kata-katanya persis seperti yang ditulis Elara. "Kontrak yang berakhir kuartal ini dan tidak akan diperpanjang. Tanpa kontrak itu, anak perusahaan tersebut sebenarnya merugi. Artinya, seluruh presentasimu yang indah ini didasarkan pada data yang menyesatkan."

Keheningan yang mematikan menyelimuti ruangan. Wajah Helena yang tadinya berseri-seri berubah pucat pasi. Senyumnya luntur, digantikan oleh ekspresi ngeri karena telah tertangkap basah. Ia telah dipermalukan secara total di depan semua orang.

Kian berdiri. "Rapat selesai. Proyek itu tetap dihentikan."

Ia berbalik dan berjalan keluar ruangan tanpa menoleh ke belakang. Elara segera mengumpulkan barang-barangnya. Saat ia bangkit, matanya bertemu dengan tatapan Helena. Senyum palsu dan pesona wanita itu telah lenyap. Yang tersisa adalah tatapan penuh kebencian yang murni dan tajam, ditujukan langsung padanya. Helena tahu. Entah bagaimana, ia tahu bahwa Elara adalah sumber dari kejatuhannya.

Elara buru-buru mengikuti Kian keluar dari ruangan. Punggung bosnya tampak sama tegaknya seperti biasa. Ia telah selamat dari malam yang penuh teror, dan kini ia baru saja membantu memenangkan pertempuran korporat di siang hari. Ia bukan lagi sekadar pengamat yang ketakutan. Tanpa ia sadari, ia telah menjadi bagian dari permainan, sebuah pion yang tiba-tiba bisa memakan ratu. Dan ia tahu, perang ini masih jauh dari kata usai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO Bertopeng Giok   27. Pertanyaan di Jantung Badai

    Ruang meditasi di Perpustakaan Senja terasa seperti jantung dari sebuah badai yang akan datang. Di luar dinding-dindingnya yang sunyi, waktu terus berpacu menuju hari gerhana, dan dua kekuatan satu modern, satu mistis sedang memburu mereka. Namun di dalam sini, waktu seolah berhenti, menanti satu momen paling krusial. Keputusan telah dibuat. Pelatihan yang dipercepat telah usai. Malam ini, mereka tidak akan berlatih. Mereka akan bertaruh segalanya.Rama berdiri di hadapan mereka, jubahnya yang sederhana seolah menyerap cahaya temaram di ruangan itu. Ekspresinya khidmat. "Ingat," katanya, menatap Kian dengan tajam, matanya yang kuno seolah menembus langsung ke dalam jiwa pria itu. "Kau tidak datang sebagai penakluk yang menuntut rampasan perang. Kau datang sebagai seorang peziarah yang memohon sebuah nama suci. Tunjukkan rasa hormat, bukan pada monster yang kau takuti, tetapi pada entitas purba yang sama terlukanya denganmu. Buat ia mengerti bahwa kau membutuhkan namanya bukan untuk me

  • CEO Bertopeng Giok   26. Nama yang Tak Terucap

    Harapan, Elara menyadari, adalah sebuah benda yang berat. Sehari sebelumnya, ia dan Kian berada di ambang keputusasaan. Kini, setelah mereka memiliki tujuan yang baru mempelajari Nama Kekuatan dari sang Tahanan Giok harapan itu terasa nyata, namun juga membawa serta beban tanggung jawab yang luar biasa.Keesokan paginya, Kian sudah siap untuk kembali menyelam. Energi gugup namun penuh tekad terpancar darinya. "Kita harus tahu namanya sekarang," ujarnya pada Rama, rasa urgensinya begitu jelas. "Kita tidak punya waktu untuk disia-siakan."Rama, yang sedang menyiram sebuah tanaman aneh yang daunnya berkilauan seperti obsidian, menoleh dengan tenang. "Api yang terlalu besar hanya akan menghanguskan kayu bakarnya sebelum sempat memberi kehangatan," katanya puitis. "Jembatan empati yang baru saja kau bangun itu masih terbuat dari benang-benang sutra yang rapuh. Jika kau langsung datang dan menuntut sebuah jawaban sebesar Nama Kekuatannya, jembatan itu akan runtuh. Kau akan dianggap sebagai

  • CEO Bertopeng Giok   25. Garis Darah dan Benang Takdir

    Keheningan yang menyelimuti ruang meditasi setelah penyelaman kedua Kian terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang tegang dan penuh antisipasi, melainkan keheningan yang lembut dan rapuh, seperti ketenangan setelah badai dahsyat berlalu. Kian duduk bersandar di dinding, tubuhnya masih lelah, tetapi gejolak panik di matanya telah digantikan oleh sebuah ketenangan yang kosong dan introspektif. Air mata telah mengering di pipinya, meninggalkan jejak kerapuhan yang belum pernah ada sebelumnya. Elara duduk tidak jauh darinya, memberinya ruang, namun kehadirannya terasa seperti sebuah jangkar yang kokoh. Ia menyiapkan secangkir teh hangat—kali ini teh melati biasa tanpa ramuan apa pun—dan meletakkannya di meja rendah di antara mereka. Sebuah gestur normal di tengah situasi yang sama sekali tidak normal. Pintu ruangan terbuka tanpa suara. Rama masuk, ekspresinya yang biasanya tenang kini diwarnai oleh sebersit rasa hormat saat ia menatap Kian.

  • CEO Bertopeng Giok   24. Jembatan Empati

    Keheningan di dalam ruang meditasi terasa sakral. Waktu seolah melambat, setiap detik berdenyut dengan bobot dari apa yang akan terjadi. Kian Alvaro, pria yang membangun hidupnya di atas pondasi kontrol dan logika, kini duduk bersila, bersiap untuk melakukan tindakan penyerahan diri yang paling mutlak. Di hadapannya, Elara duduk dengan punggung lurus, menjadi perwujudan dari ketenangan dan kekuatan, meskipun jantungnya sendiri berdebar kencang seperti genderang perang. Ia telah meminum ramuan penenang, tubuhnya sedikit lebih rileks dari hari sebelumnya. Ia menatap Elara untuk terakhir kalinya, sebuah tatapan yang mengandung segalanya: rasa takut, keraguan, dan sebersit kepercayaan yang baru tumbuh. Elara hanya mengangguk pelan, sebuah janji tanpa kata bahwa ia akan berada di sana untuk menariknya kembali. Kian memejamkan mata. Penyelaman kali ini terasa berbeda. Jika sebelumnya ia seperti jatuh ke dalam jurang, kali ini ia melangkahinya d

  • CEO Bertopeng Giok   23. Membongkar Ruang Terkunci

    Satu hari. Dua puluh empat jam. Waktu yang biasanya terasa begitu singkat bagi seorang Kian Alvaro yang jadwalnya dipadatkan dalam interval lima belas menitan, kini terasa membentang seperti sebuah gurun tak bertepi. Tugasnya hari ini tidak tertera di tablet mana pun. Tidak ada rapat, tidak ada laporan, tidak ada data untuk dianalisis. Tugasnya adalah sesuatu yang jauh lebih sulit: menelusuri kembali koridor-koridor berdebu di dalam ingatannya sendiri dan memilih satu kepingan jiwa yang paling rapuh untuk dipersembahkan pada sebuah entitas yang selama ini ia anggap sebagai monster. Pagi itu, suasana di Perpustakaan Senja terasa berat. Rama telah memberi mereka ruang, menghilang di antara rak-rak buku yang tak berujung, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang sarat makna. Kian tidak bisa diam. Ia mondar-mandir di ruang duduk mereka, energi kegelisahannya begitu kuat hingga seolah membuat udara bergetar. Ia mencoba melakukan hal yang biasa ia lakukan saat meras

  • CEO Bertopeng Giok   22. Rencana Musuh

    Perjalanan kembali dari Palung Jiwa tidaklah instan. Meskipun tubuh Kian telah kembali ke ruang meditasi, kesadarannya terasa seperti pecahan kaca yang berserakan, butuh waktu untuk menyatu kembali. Elara dengan sabar mendampinginya, membantunya bangkit dengan gestur yang kini terasa alami, seolah merawat kerapuhan pria itu telah menjadi bagian dari ritme hidupnya. Ia menuntun Kian yang masih gemetar menuju ruang duduk yang lebih nyaman di perpustakaan, di mana Rama telah menunggu dengan tiga cangkir teh herbal hangat yang aromanya menenangkan. Kian duduk tersungkur di sofa empuk, jubah kebesarannya sebagai CEO yang tak terkalahkan kini terasa seperti kostum yang kebesaran. Ia menatap kosong ke cangkir tehnya, bayangan dari badai zamrud dan inti cahaya yang terbelenggu itu masih menari-nari di balik matanya. Untuk waktu yang lama, ia hanya diam, mencoba menjembatani antara realitas mengerikan yang baru saja ia saksikan dengan realitas aman di perpustakaan kuno ini.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status