Suara gesekan batu itu tidak terdengar lagi. Keheningan yang menyusul terasa jauh lebih mengerikan, membiarkan imajinasi Elara berlari liar. Apa yang ada di ujung koridor itu? Sebuah ruangan berlapis batu? Sebuah penjara pribadi? Apakah Kian berubah menjadi patung giok hidup setiap malam, dan suara tadi adalah proses transformasinya yang menyakitkan?
Elara memaksa kakinya yang terasa seperti jeli untuk bergerak. Ia bergegas menyusuri koridor sayap barat, menjauh dari sumber suara yang menakutkan itu. Kartu akses yang diberikan Kian berbunyi klik pelan saat ia menempelkannya di pintu paling ujung. Pintu itu terbuka tanpa suara, menampakkan kamarnya. Napas Elara tercekat. Ini bukan kamar, ini adalah sebuah apartemen studio mewah. Sebuah ranjang berukuran king size dengan seprai sutra putih gading menempati pusat ruangan. Di satu sisi, sebuah area kerja dengan meja kayu minimalis dan kursi ergonomis menghadap ke jendela yang juga setinggi langit-langit, menyuguhkan pemandangan kerlip lampu kota dari sudut yang berbeda. Di sisi lain, sebuah pintu geser membuka ke arah lemari pakaian tipe walk-in. Karena penasaran, Elara melangkah masuk ke dalam lemari itu. Deretan pakaian baru tergantung rapi, semuanya adalah merek desainer yang hanya pernah ia lihat di majalah. Blus sutra, celana bahan, beberapa gaun koktail, bahkan pakaian santai dari katun berkualitas tinggi. Semuanya berukuran pas untuknya. Di bawahnya, berjajar sepatu hak tinggi, sepatu datar, dan sepatu kets. Kian tidak hanya memberinya pekerjaan, ia telah membeli dan merancang seluruh identitas baru untuknya. Rasa ngeri bercampur dengan kekaguman yang aneh menjalari dirinya. Pria itu begitu teliti, begitu mengontrol. Kamar mandinya bahkan lebih sureal. Dindingnya terbuat dari pualam kelabu, dengan bak mandi besar yang bisa menampung dua orang dan area pancuran terpisah yang dilapisi kaca. Semua perlengkapan mandinya adalah merek premium dari Prancis. Tempat ini jauh lebih mewah dari gabungan seluruh unit di rumah susunnya. Ini adalah sangkar emas termewah yang bisa ia bayangkan. Namun, saat ia berdiri di tengah kemewahan itu, perasaan sepi yang akut justru mencengkeramnya. Tidak ada foto keluarganya di meja, tidak ada tumpukan buku favoritnya, tidak ada selimut rajutan neneknya yang sudah usang. Tidak ada jejak dari dirinya yang lama di sini. Untuk mengusir pikiran-pikiran gelap dan gema suara aneh dari koridor timur, Elara memutuskan untuk menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Ia duduk di meja kerjanya yang dingin, membuka tabletnya, dan mulai mengerjakan ringkasan rapat. Ia memutar musik klasik dari sistem suara canggih di ruangan itu, berharap alunan biola Vivaldi bisa menenggelamkan suara-suara lain. Awalnya berhasil. Ia fokus pada tugasnya, mengetik dengan cepat. Pikirannya yang analitis mengambil alih. Ia tidak hanya mencatat poin-poin tindakan, tetapi juga menambahkan kolom "Observasi", di mana ia menulis analisisnya tentang dinamika politik di dalam ruangan rapat tadi. ‘Observasi 1: Ibu Helena secara konsisten mengajukan pertanyaan yang menantang data dari tim riset internal, menyiratkan ketidakpercayaan. Kemungkinan mencoba mempromosikan konsultan eksternal yang memiliki hubungan dengannya.’ ‘Observasi 2: Proposal Proyek Phoenix sengaja ditahan oleh divisi keuangan. Perlu ditelusuri siapa yang memberi perintah, kemungkinan ada sabotase internal untuk memperlambat laju inovasi.’ Ia begitu tenggelam dalam pekerjaannya sehingga hampir tidak menyadarinya pada awalnya. Sebuah suara. Sangat pelan, menembus alunan musik. Sebuah rintihan rendah dan panjang. Elara membeku, jari-jarinya berhenti di atas layar tablet. Ia mematikan musik. Keheningan kembali menyergap, tebal dan berat. Ia menahan napas, telinganya menegang, mencoba menangkap suara itu lagi. Selama beberapa menit, tidak ada apa-apa. Mungkin hanya suara angin, atau pipa air di gedung raksasa ini. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Lalu, ia mendengarnya lagi. Kali ini lebih jelas. Suara sesuatu yang berat diseret di lantai marmer. Sreet… sreet… Diikuti oleh suara dentuman pelan, seolah sesuatu yang besar dan padat membentur dinding. Suara-suara itu datang dari arah timur. Bulu kuduk Elara berdiri. Jantungnya berdegup kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Ia segera menyalakan kembali musiknya dengan volume lebih keras, memaksa dirinya untuk kembali fokus pada layar tablet. Tetapi kini, setiap kata yang ia ketik terasa salah, dan setiap bayangan di sudut kamarnya tampak bergerak. Ia terus-menerus melirik ke arah pintu, setengah berharap sekaligus setengah takut pintu itu akan terbuka. Tepat pukul delapan lima puluh lima malam, ia menyelesaikan tugasnya. Ringkasan eksekutifnya detail, tajam, dan disertai analisis mendalam. Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol "kirim". Selesai. Tugasnya untuk hari itu selesai. Ia berbaring di ranjangnya yang luas, menarik selimut sutra hingga ke dagu. Ia mencoba untuk tidur, tetapi matanya menolak untuk terpejam. Setiap derit kecil di gedung itu terdengar seperti langkah kaki yang mendekat. Tiba-tiba, sebuah getaran singkat dan hening terasa di meja nakas. Ponsel baru pemberian Kian. Layarnya menyala. Bukan panggilan, melainkan sebuah pesan masuk. Jantung Elara serasa berhenti berdetak. Pengirimnya tidak terdaftar sebagai "Kian Alvaro", melainkan "ID TIDAK DIKENAL". Ia meraih ponsel itu. Pesannya singkat, seolah diketik oleh seseorang yang kesulitan menggerakkan jemarinya. Dpur. Bwaakn teh. Cpat. Dapur. Bawakan teh. Cepat. Elara membaca pesan itu tiga kali. Otaknya berputar. Ini adalah perintah. Perintah dari dia. Tapi aturan pertama yang Kian tetapkan dengan begitu tegas adalah larangan untuk mendekati sayap timur setelah matahari terbenam. Dapur berada di area tengah, berbahaya karena dekat dengan perbatasan terlarang itu. Apakah ini sebuah ujian? Atau sebuah jebakan? Perjanjiannya kembali terngiang di benaknya: “Kau akan selalu ada saat aku butuhkan, siang atau malam.” Ini adalah bagian dari pekerjaan. Bagian dari tugasnya sebagai "penjaga rahasia". Menolak berarti mengingkari perjanjian. Konsekuensinya mungkin jauh lebih buruk daripada menghadapi apa pun yang menunggunya di dapur. Dengan napas tertahan, Elara bangkit dari tempat tidur. Ia teringat pada daftar "Menu Malam" yang aneh itu. Ada satu jenis teh yang diberi label "Teh Penenang Giok". Ia bergegas ke dapur. Dapur itu sendiri adalah sebuah ruangan besar bergaya industrial dengan peralatan baja tahan karat yang berkilauan di bawah cahaya lampu temaram. Terasa kosong dan mengerikan di tengah malam. Tangannya gemetar hebat saat ia mencari-cari di lemari pantry yang luas. Akhirnya, ia menemukannya. Sebuah kaleng hitam tanpa merek, hanya dengan label kecil bertuliskan "TPG". Di dalamnya ada campuran daun kering dan serpihan mineral kecil yang berkilauan. Aromanya aneh, seperti tanah basah setelah hujan dan ozon. Ia menyeduh teh itu sesuai instruksi yang ia hafal dari tablet. Membawa cangkir porselen yang mengepulkan uap wangi itu dengan kedua tangan, Elara berjalan perlahan keluar dari dapur, menuju ruang tamu utama yang gelap. Jantungnya berdebar begitu keras hingga ia bisa mendengarnya di telinganya sendiri. Ia berhenti di ambang batas antara dapur dan ruang tamu. Ruangan di hadapannya gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya kota yang masuk melalui dinding kaca. Di dekat pintu masuk koridor timur yang terlarang, ia melihatnya. Sebuah siluet. Sosok itu berdiri dalam bayang-bayang pekat, membuatnya mustahil untuk melihat detail apa pun. Tetapi siluetnya salah. Terlalu tinggi, terlalu lebar. Ada sesuatu yang tidak proporsional, seolah bahunya lebih bidang dan posturnya lebih kaku. Dan di sekitar kepalanya, pendaran hijau pucat yang samar itu kembali terlihat, sebuah aura mengerikan di dalam kegelapan. Elara membeku. Ia tidak bisa melangkah lebih jauh. Sosok itu tidak bergerak, tidak bersuara. Kemudian, sebuah tangan terulur dari dalam bayang-bayang, berhenti di area yang sedikit lebih terang. Tangan itu besar dan pucat pasi, nyaris seputih pualam. Jari-jarinya panjang dan tampak kaku. Elara langsung mengerti. Ia tidak seharusnya melihat sosok itu. Ia hanya perlu menyerahkan tehnya. Sebuah transaksi tanpa kata di perbatasan antara dunia manusia dan dunia monster. Dengan langkah-langkah kecil yang dipaksakan, ia berjalan mendekat, matanya terpaku pada tangan pucat itu. Ia meletakkan cangkir teh yang masih panas di atas meja konsol kecil yang berada tepat di antara mereka, lalu mundur dengan cepat, seolah menjauh dari api. Ia bersembunyi di balik dinding koridor barat, hanya mengintip dengan sebelah mata. Tangan pucat itu bergerak maju, jari-jarinya yang kaku dengan hati-hati mencengkeram cangkir panas itu. Tangan itu kemudian ditarik kembali ke dalam kegelapan pekat. Klik. Suara pintu yang berat ditutup terdengar dari ujung koridor timur. Setelah itu, keheningan total. Elara bersandar di dinding, kakinya lemas hingga ia hampir merosot ke lantai. Ia berhasil. Ia baru saja menyajikan teh untuk sesosok makhluk terkutuk. Ini bukan lagi pekerjaan. Ia adalah perawat, seorang penjaga, untuk siksaan malam hari tuannya. Sangkar emasnya kini terasa lebih seperti pos penjaga di gerbang neraka. Dan malam masih panjang.Ruang meditasi di Perpustakaan Senja terasa seperti jantung dari sebuah badai yang akan datang. Di luar dinding-dindingnya yang sunyi, waktu terus berpacu menuju hari gerhana, dan dua kekuatan satu modern, satu mistis sedang memburu mereka. Namun di dalam sini, waktu seolah berhenti, menanti satu momen paling krusial. Keputusan telah dibuat. Pelatihan yang dipercepat telah usai. Malam ini, mereka tidak akan berlatih. Mereka akan bertaruh segalanya.Rama berdiri di hadapan mereka, jubahnya yang sederhana seolah menyerap cahaya temaram di ruangan itu. Ekspresinya khidmat. "Ingat," katanya, menatap Kian dengan tajam, matanya yang kuno seolah menembus langsung ke dalam jiwa pria itu. "Kau tidak datang sebagai penakluk yang menuntut rampasan perang. Kau datang sebagai seorang peziarah yang memohon sebuah nama suci. Tunjukkan rasa hormat, bukan pada monster yang kau takuti, tetapi pada entitas purba yang sama terlukanya denganmu. Buat ia mengerti bahwa kau membutuhkan namanya bukan untuk me
Harapan, Elara menyadari, adalah sebuah benda yang berat. Sehari sebelumnya, ia dan Kian berada di ambang keputusasaan. Kini, setelah mereka memiliki tujuan yang baru mempelajari Nama Kekuatan dari sang Tahanan Giok harapan itu terasa nyata, namun juga membawa serta beban tanggung jawab yang luar biasa.Keesokan paginya, Kian sudah siap untuk kembali menyelam. Energi gugup namun penuh tekad terpancar darinya. "Kita harus tahu namanya sekarang," ujarnya pada Rama, rasa urgensinya begitu jelas. "Kita tidak punya waktu untuk disia-siakan."Rama, yang sedang menyiram sebuah tanaman aneh yang daunnya berkilauan seperti obsidian, menoleh dengan tenang. "Api yang terlalu besar hanya akan menghanguskan kayu bakarnya sebelum sempat memberi kehangatan," katanya puitis. "Jembatan empati yang baru saja kau bangun itu masih terbuat dari benang-benang sutra yang rapuh. Jika kau langsung datang dan menuntut sebuah jawaban sebesar Nama Kekuatannya, jembatan itu akan runtuh. Kau akan dianggap sebagai
Keheningan yang menyelimuti ruang meditasi setelah penyelaman kedua Kian terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang tegang dan penuh antisipasi, melainkan keheningan yang lembut dan rapuh, seperti ketenangan setelah badai dahsyat berlalu. Kian duduk bersandar di dinding, tubuhnya masih lelah, tetapi gejolak panik di matanya telah digantikan oleh sebuah ketenangan yang kosong dan introspektif. Air mata telah mengering di pipinya, meninggalkan jejak kerapuhan yang belum pernah ada sebelumnya. Elara duduk tidak jauh darinya, memberinya ruang, namun kehadirannya terasa seperti sebuah jangkar yang kokoh. Ia menyiapkan secangkir teh hangat—kali ini teh melati biasa tanpa ramuan apa pun—dan meletakkannya di meja rendah di antara mereka. Sebuah gestur normal di tengah situasi yang sama sekali tidak normal. Pintu ruangan terbuka tanpa suara. Rama masuk, ekspresinya yang biasanya tenang kini diwarnai oleh sebersit rasa hormat saat ia menatap Kian.
Keheningan di dalam ruang meditasi terasa sakral. Waktu seolah melambat, setiap detik berdenyut dengan bobot dari apa yang akan terjadi. Kian Alvaro, pria yang membangun hidupnya di atas pondasi kontrol dan logika, kini duduk bersila, bersiap untuk melakukan tindakan penyerahan diri yang paling mutlak. Di hadapannya, Elara duduk dengan punggung lurus, menjadi perwujudan dari ketenangan dan kekuatan, meskipun jantungnya sendiri berdebar kencang seperti genderang perang. Ia telah meminum ramuan penenang, tubuhnya sedikit lebih rileks dari hari sebelumnya. Ia menatap Elara untuk terakhir kalinya, sebuah tatapan yang mengandung segalanya: rasa takut, keraguan, dan sebersit kepercayaan yang baru tumbuh. Elara hanya mengangguk pelan, sebuah janji tanpa kata bahwa ia akan berada di sana untuk menariknya kembali. Kian memejamkan mata. Penyelaman kali ini terasa berbeda. Jika sebelumnya ia seperti jatuh ke dalam jurang, kali ini ia melangkahinya d
Satu hari. Dua puluh empat jam. Waktu yang biasanya terasa begitu singkat bagi seorang Kian Alvaro yang jadwalnya dipadatkan dalam interval lima belas menitan, kini terasa membentang seperti sebuah gurun tak bertepi. Tugasnya hari ini tidak tertera di tablet mana pun. Tidak ada rapat, tidak ada laporan, tidak ada data untuk dianalisis. Tugasnya adalah sesuatu yang jauh lebih sulit: menelusuri kembali koridor-koridor berdebu di dalam ingatannya sendiri dan memilih satu kepingan jiwa yang paling rapuh untuk dipersembahkan pada sebuah entitas yang selama ini ia anggap sebagai monster. Pagi itu, suasana di Perpustakaan Senja terasa berat. Rama telah memberi mereka ruang, menghilang di antara rak-rak buku yang tak berujung, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang sarat makna. Kian tidak bisa diam. Ia mondar-mandir di ruang duduk mereka, energi kegelisahannya begitu kuat hingga seolah membuat udara bergetar. Ia mencoba melakukan hal yang biasa ia lakukan saat meras
Perjalanan kembali dari Palung Jiwa tidaklah instan. Meskipun tubuh Kian telah kembali ke ruang meditasi, kesadarannya terasa seperti pecahan kaca yang berserakan, butuh waktu untuk menyatu kembali. Elara dengan sabar mendampinginya, membantunya bangkit dengan gestur yang kini terasa alami, seolah merawat kerapuhan pria itu telah menjadi bagian dari ritme hidupnya. Ia menuntun Kian yang masih gemetar menuju ruang duduk yang lebih nyaman di perpustakaan, di mana Rama telah menunggu dengan tiga cangkir teh herbal hangat yang aromanya menenangkan. Kian duduk tersungkur di sofa empuk, jubah kebesarannya sebagai CEO yang tak terkalahkan kini terasa seperti kostum yang kebesaran. Ia menatap kosong ke cangkir tehnya, bayangan dari badai zamrud dan inti cahaya yang terbelenggu itu masih menari-nari di balik matanya. Untuk waktu yang lama, ia hanya diam, mencoba menjembatani antara realitas mengerikan yang baru saja ia saksikan dengan realitas aman di perpustakaan kuno ini.