Perjalanan kembali dari gedung Alvaro Corp ke penthouse terasa seratus kali lebih lama daripada saat berangkat. Keheningan di dalam mobil mewah itu begitu pekat hingga Elara bisa merasakan denyut nadinya sendiri di pelipis. Ini bukan keheningan kosong yang canggung seperti sebelumnya. Keheningan ini terisi penuh oleh hal-hal yang tak terucapkan.
Elara duduk tegak, tangannya terkepal di pangkuan, menatap lurus ke depan. Ia baru saja mengguncang sarang lebah. Ia telah mempermalukan seorang wanita yang berada di puncak rantai makanan korporat. Ia bisa merasakan sisa-sisa tatapan berbisa Helena di punggungnya, sebuah janji akan pembalasan di masa depan. Namun, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lain yang mulai tumbuh: sebuah kesadaran. Ia tidak lagi tak terlihat. Ia melirik ke arah Kian yang duduk di seberangnya, dipisahkan oleh ruang kabin yang luas. Pria itu menatap keluar jendela, wajahnya seperti topeng pualam yang tak bisa ditembus. Ia tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada pengakuan atas bantuannya, tetapi juga tidak ada teguran karena telah bertindak lancang. Keheningannya adalah sebuah persetujuan diam-diam, sebuah pengakuan bahwa Elara telah melampaui perannya sebagai asisten biasa dan menjadi sesuatu yang lebih sebuah aset. Saat mereka tiba di penthouse, Kian langsung berjalan menuju ruang kerjanya di sayap barat. "Lanjutkan pekerjaanmu," hanya itu perintahnya sebelum pintu ruangannya tertutup. Elara berjalan gontai menuju kamarnya. Pikirannya berpacu lebih cepat dari kereta ekspres. Insiden di ruang rapat tadi membuktikan satu hal: informasi adalah kekuatan. Dan ia membutuhkan lebih banyak informasi, bukan hanya tentang Alvaro Corp, tetapi tentang kondisi Kian. Tentang kutukan itu. Karena Helena mungkin adalah ancaman di siang hari, tetapi monster di sayap timur adalah ancaman yang konstan. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Dengan tergesa, ia membuka tas kecil yang ia bawa dari rumah satu-satunya benda yang benar-benar miliknya di tempat ini. Ia mengeluarkan sebuah buku catatan tua bersampul kulit yang sudah usang dan rapuh. Buku milik neneknya. Di samping buku itu, ia juga mengeluarkan sebuah kantong kain belacu kecil yang warnanya sudah memudar. Isinya adalah bunga rampai potpourri yang dibuatkan neneknya bertahun-tahun lalu. Neneknya pernah berkata, campuran herbal dan bebatuan kecil di dalamnya bisa "menenangkan jiwa yang resah". Selama ini Elara menyimpannya hanya karena nilai sentimental, sebuah kenang-kenangan dari satu-satunya orang yang pernah menceritakan dongeng-dongeng aneh kepadanya. Ia mendekatkan kantong itu ke hidungnya. Aromanya khas, seperti tanah kering, lumut, dan sedikit aroma tajam seperti ozon—aroma yang entah kenapa mengingatkannya pada "Teh Penenang Giok". Elara duduk di mejanya, membuka buku catatan neneknya dengan sangat hati-hati. Halaman-halamannya yang rapuh penuh dengan tulisan tangan kuno dan sketsa-sketsa yang ganjil. Ada gambar-gambar tumbuhan yang tidak ia kenali, diagram bebatuan dengan garis-garis aneh yang menghubungkan mereka, dan tentu saja, gambar berulang dari sosok pria dengan wajah tertutup topeng batu. Saat ia sedang begitu fokus menelaah sebuah sketsa, suara Kian yang dingin dan tajam tiba-tiba terdengar dari interkom di dinding. "Elara. Bawa laporan keuangan Proyek Icarus ke ruang kerjaku. Sekarang." Elara tersentak kaget. Dengan terburu-buru, ia bangkit, mencari map berisi laporan yang dimaksud di tumpukan dokumen digital yang sudah ia organisir. Dalam kegugupannya, sikunya tanpa sengaja menyenggol kantong bunga rampai kecil itu. Benda itu jatuh dari meja, mendarat tepat di atas map yang akan ia bawa, tanpa ia sadari. Ia berjalan cepat menuju ruang kerja Kian dan mengetuk pelan. "Masuk." Elara masuk. Ruang kerja Kian sama seperti bagian lain penthouse itu: luas, mewah, dan dingin. Kian sedang duduk di belakang meja mahoni raksasa, memijat pelipisnya dengan satu tangan. Garis-garis stres terlihat jelas di wajahnya. Pertarungannya dengan Helena tadi pagi jelas menguras energinya. "Laporannya, Tuan," kata Elara pelan, meletakkan map itu di atas meja. Saat ia meletakkan map itu, kantong kain kecil berwarna pudar itu meluncur dari atasnya dan mendarat di permukaan meja kayu yang mengilap. Benda itu tampak begitu sederhana dan tidak pada tempatnya di tengah kemewahan yang steril itu. Kian membeku. Gerakannya terhenti total. Matanya terpaku pada kantong kecil itu. Selama sepersekian detik yang menegangkan, topeng profesionalnya yang dingin retak. Mata Elara menangkap kilatan emosi yang begitu cepat dan rumit di matanya—keterkejutan, kebingungan, ketidakpercayaan, dan sesuatu yang lebih dalam… sebuah gema dari rasa sakit yang familier. "Apa ini?" tanya Kian. Suaranya tidak lagi dingin dan memerintah. Suaranya serak dan tegang. Elara mengerjap, bingung dengan reaksi Kian yang begitu kuat. "I-itu hanya bunga rampai tua, Tuan. Dari nenek saya. Maaf, sepertinya tidak sengaja terbawa." Ia mulai mengulurkan tangan untuk mengambilnya kembali. "Jangan," kata Kian, suaranya lebih tajam sekarang, menghentikan gerakan Elara. Dengan gerakan yang sangat lambat, seolah mendekati hewan liar yang terluka, Kian mengulurkan tangannya. Jari-jarinya, yang biasanya begitu mantap saat menandatangani dokumen bernilai miliaran, tampak sedikit gemetar saat menyentuh kantong kain itu. Ia mengangkatnya, membawanya lebih dekat ke wajahnya, dan menghirup aromanya dalam-dalam. Dan kemudian, Elara menyaksikan sesuatu yang luar biasa. Seluruh ketegangan di tubuh Kian seolah menguap. Pundaknya yang kaku sedikit merosot. Otot-otot di rahangnya yang tegang mengendur. Ia menutup matanya sejenak, dan untuk pertama kalinya sejak Elara bertemu dengannya, pria itu tampak… damai. Hanya sesaat, tetapi momen itu begitu nyata. Ini adalah pemandangan paling manusiawi dan paling rapuh yang pernah Elara saksikan dari seorang Kian Alvaro di siang hari. Saat Kian membuka matanya lagi, kedamaian itu lenyap, digantikan oleh tatapan yang tajam dan menyelidik. Topengnya telah kembali, tetapi retakannya masih terasa. "Nenekmu," ujarnya, suaranya rendah dan penuh intensitas. "Siapa dia sebenarnya?" Pertanyaan itu bukan lagi pertanyaan seorang CEO yang melakukan pemeriksaan latar belakang. Ini adalah pertanyaan dari seseorang yang baru saja menemukan setetes air di tengah gurun. Melihat celah kerapuhan itu, Elara menemukan keberanian yang tidak ia duga ia miliki. "Saya tidak tahu persis, Tuan," jawabnya jujur. "Dia seorang penyembuh tradisional di desa kami. Orang-orang memanggilnya 'Eyang Asih'. Dia tahu banyak tentang khasiat tumbuhan dan bebatuan." Kian menatapnya lekat-lekat, tatapannya begitu dalam seolah mencoba membaca seluruh sejarah keluarga Elara dari matanya. Ia tidak bertanya lebih jauh. Dengan sangat hati-hati, ia meletakkan kantong bunga rampai itu di sudut mejanya, di samping tempat pulpennya yang mahal. Ia tidak membuangnya. "Kau boleh pergi," katanya, suaranya kembali datar, tetapi intensitas dari momen tadi masih terasa pekat di udara. Elara kembali ke kamarnya, pikirannya bergemuruh. Reaksi Kian terhadap bunga rampai itu adalah sebuah konfirmasi. Teh herbal. Bunga rampai. Neneknya. Semuanya terhubung dalam sebuah jalinan takdir yang rumit. Keluarganya bukan hanya penonton dalam drama ini; mereka adalah bagian dari naskah. Sebuah kesadaran baru menghantamnya dengan kekuatan penuh. Ia bukan hanya seorang asisten yang terperangkap. Ia bukan hanya seorang saksi. Mungkin, hanya mungkin, ia adalah kunci. Dengan semangat yang baru, ia kembali membuka buku catatan neneknya. Kali ini, ia tidak membacanya dengan rasa ingin tahu yang pasif. Ia membacanya dengan tujuan. Ia adalah seorang peneliti yang mencari obat. Jarinya yang lentik menelusuri sketsa-sketsa rumit, mencoba mencari pola, mencoba menghubungkan diagram aneh itu dengan diet mineral Kian dan gejala-gejala yang ia tunjukkan. Pandangannya berhenti pada sebuah halaman di bagian akhir buku. Halaman itu berisi sebuah gambar yang berbeda dari yang lain. Bukan gambar tumbuhan atau batu, melainkan sketsa siluet tubuh manusia. Dari sekeliling tubuh itu, ada garis-garis energi yang mengalir ke arah kepala. Garis-garis itu berasal dari sebuah lingkaran yang digambar di bawah kaki siluet itu lingkaran yang terdiri dari simbol-simbol tumbuhan dan bebatuan yang ia lihat di halaman-halaman sebelumnya. Dan di bagian paling bawah halaman, tertulis sebuah kalimat dengan tinta yang sudah memudar: "Penjaga tidak hanya mengurung, tapi juga menyeimbangkan." Elara menatap kalimat itu lama. Mengurung. Menyeimbangkan. Perannya bukan hanya untuk menjaga rahasia Kian tetap terkunci. Mungkin, perannya yang sesungguhnya adalah untuk membantunya menemukan keseimbangan yang telah lama hilang. Jalan di hadapannya bukan lagi hanya tentang bertahan hidup di dalam sangkar emas. Jalan itu kini adalah sebuah pencarian. Dan untuk pertama kalinya, Elara merasa ia memiliki peta.Ruang meditasi di Perpustakaan Senja terasa seperti jantung dari sebuah badai yang akan datang. Di luar dinding-dindingnya yang sunyi, waktu terus berpacu menuju hari gerhana, dan dua kekuatan satu modern, satu mistis sedang memburu mereka. Namun di dalam sini, waktu seolah berhenti, menanti satu momen paling krusial. Keputusan telah dibuat. Pelatihan yang dipercepat telah usai. Malam ini, mereka tidak akan berlatih. Mereka akan bertaruh segalanya.Rama berdiri di hadapan mereka, jubahnya yang sederhana seolah menyerap cahaya temaram di ruangan itu. Ekspresinya khidmat. "Ingat," katanya, menatap Kian dengan tajam, matanya yang kuno seolah menembus langsung ke dalam jiwa pria itu. "Kau tidak datang sebagai penakluk yang menuntut rampasan perang. Kau datang sebagai seorang peziarah yang memohon sebuah nama suci. Tunjukkan rasa hormat, bukan pada monster yang kau takuti, tetapi pada entitas purba yang sama terlukanya denganmu. Buat ia mengerti bahwa kau membutuhkan namanya bukan untuk me
Harapan, Elara menyadari, adalah sebuah benda yang berat. Sehari sebelumnya, ia dan Kian berada di ambang keputusasaan. Kini, setelah mereka memiliki tujuan yang baru mempelajari Nama Kekuatan dari sang Tahanan Giok harapan itu terasa nyata, namun juga membawa serta beban tanggung jawab yang luar biasa.Keesokan paginya, Kian sudah siap untuk kembali menyelam. Energi gugup namun penuh tekad terpancar darinya. "Kita harus tahu namanya sekarang," ujarnya pada Rama, rasa urgensinya begitu jelas. "Kita tidak punya waktu untuk disia-siakan."Rama, yang sedang menyiram sebuah tanaman aneh yang daunnya berkilauan seperti obsidian, menoleh dengan tenang. "Api yang terlalu besar hanya akan menghanguskan kayu bakarnya sebelum sempat memberi kehangatan," katanya puitis. "Jembatan empati yang baru saja kau bangun itu masih terbuat dari benang-benang sutra yang rapuh. Jika kau langsung datang dan menuntut sebuah jawaban sebesar Nama Kekuatannya, jembatan itu akan runtuh. Kau akan dianggap sebagai
Keheningan yang menyelimuti ruang meditasi setelah penyelaman kedua Kian terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang tegang dan penuh antisipasi, melainkan keheningan yang lembut dan rapuh, seperti ketenangan setelah badai dahsyat berlalu. Kian duduk bersandar di dinding, tubuhnya masih lelah, tetapi gejolak panik di matanya telah digantikan oleh sebuah ketenangan yang kosong dan introspektif. Air mata telah mengering di pipinya, meninggalkan jejak kerapuhan yang belum pernah ada sebelumnya. Elara duduk tidak jauh darinya, memberinya ruang, namun kehadirannya terasa seperti sebuah jangkar yang kokoh. Ia menyiapkan secangkir teh hangat—kali ini teh melati biasa tanpa ramuan apa pun—dan meletakkannya di meja rendah di antara mereka. Sebuah gestur normal di tengah situasi yang sama sekali tidak normal. Pintu ruangan terbuka tanpa suara. Rama masuk, ekspresinya yang biasanya tenang kini diwarnai oleh sebersit rasa hormat saat ia menatap Kian.
Keheningan di dalam ruang meditasi terasa sakral. Waktu seolah melambat, setiap detik berdenyut dengan bobot dari apa yang akan terjadi. Kian Alvaro, pria yang membangun hidupnya di atas pondasi kontrol dan logika, kini duduk bersila, bersiap untuk melakukan tindakan penyerahan diri yang paling mutlak. Di hadapannya, Elara duduk dengan punggung lurus, menjadi perwujudan dari ketenangan dan kekuatan, meskipun jantungnya sendiri berdebar kencang seperti genderang perang. Ia telah meminum ramuan penenang, tubuhnya sedikit lebih rileks dari hari sebelumnya. Ia menatap Elara untuk terakhir kalinya, sebuah tatapan yang mengandung segalanya: rasa takut, keraguan, dan sebersit kepercayaan yang baru tumbuh. Elara hanya mengangguk pelan, sebuah janji tanpa kata bahwa ia akan berada di sana untuk menariknya kembali. Kian memejamkan mata. Penyelaman kali ini terasa berbeda. Jika sebelumnya ia seperti jatuh ke dalam jurang, kali ini ia melangkahinya d
Satu hari. Dua puluh empat jam. Waktu yang biasanya terasa begitu singkat bagi seorang Kian Alvaro yang jadwalnya dipadatkan dalam interval lima belas menitan, kini terasa membentang seperti sebuah gurun tak bertepi. Tugasnya hari ini tidak tertera di tablet mana pun. Tidak ada rapat, tidak ada laporan, tidak ada data untuk dianalisis. Tugasnya adalah sesuatu yang jauh lebih sulit: menelusuri kembali koridor-koridor berdebu di dalam ingatannya sendiri dan memilih satu kepingan jiwa yang paling rapuh untuk dipersembahkan pada sebuah entitas yang selama ini ia anggap sebagai monster. Pagi itu, suasana di Perpustakaan Senja terasa berat. Rama telah memberi mereka ruang, menghilang di antara rak-rak buku yang tak berujung, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang sarat makna. Kian tidak bisa diam. Ia mondar-mandir di ruang duduk mereka, energi kegelisahannya begitu kuat hingga seolah membuat udara bergetar. Ia mencoba melakukan hal yang biasa ia lakukan saat meras
Perjalanan kembali dari Palung Jiwa tidaklah instan. Meskipun tubuh Kian telah kembali ke ruang meditasi, kesadarannya terasa seperti pecahan kaca yang berserakan, butuh waktu untuk menyatu kembali. Elara dengan sabar mendampinginya, membantunya bangkit dengan gestur yang kini terasa alami, seolah merawat kerapuhan pria itu telah menjadi bagian dari ritme hidupnya. Ia menuntun Kian yang masih gemetar menuju ruang duduk yang lebih nyaman di perpustakaan, di mana Rama telah menunggu dengan tiga cangkir teh herbal hangat yang aromanya menenangkan. Kian duduk tersungkur di sofa empuk, jubah kebesarannya sebagai CEO yang tak terkalahkan kini terasa seperti kostum yang kebesaran. Ia menatap kosong ke cangkir tehnya, bayangan dari badai zamrud dan inti cahaya yang terbelenggu itu masih menari-nari di balik matanya. Untuk waktu yang lama, ia hanya diam, mencoba menjembatani antara realitas mengerikan yang baru saja ia saksikan dengan realitas aman di perpustakaan kuno ini.