“Ya, ini ada hubungannya dengan Gaura. Kau, cari tahu siapa yang berusaha menjebakku semalam di bar," perintah Edrio pada Brian.
Brian menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Saya akan menyelidikinya sekarang," balasnya sambil membuka ponsel miliknya kemudian mengutak-atiknya. Beberapa saat kemudian, Brian begitu terkejut melihat hasilnya. "Pak, saya sudah mengirimkan hasil penyelidikannya pada anda," ucapnya. Edrio segera membuka laptopnya, kemudian melihat semua hasil penyelidikan Brian. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras. “Singkirkan semuanya tikus-tikus itu!“ *** Satu bulan telah berlalu. Kini, Gaura tengah berdiri tegak di lapangan tembak, matanya fokus pada target yang terletak beberapa meter di depannya. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan, namun tubuhnya yang sudah mulai lelah tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa minggu terakhir, Gaura merasa semakin lelah, baik fisik maupun emosional. Tapi sebagai seorang bodyguard, ia tak bisa menunjukkan kelemahannya. Tidak di hadapan siapapun. Tangannya menggenggam pistol dengan erat, matanya menatap lurus ke sasaran. Tembakan pertama meleset sedikit, dan Gaura menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ini hanya latihan, bukan situasi berbahaya. Seharusnya ia bisa mengatasinya. Tapi tubuhnya tak bisa berbohong. Rasa pusing yang datang semakin parah, ditambah dengan mual yang tak kunjung hilang. "Fokus, Gaura. Jangan sampai lengah," ia memotivasi dirinya sendiri. Namun, tubuhnya terasa semakin berat. Pandangannya mulai kabur. Terlalu sering ia terjaga di malam hari, terlalu banyak memikirkan masalah pribadi yang tak bisa ia atasi. Rasa takut terus menghantui pikirannya. Belum lagi rasa nyeri yang datang dari punggung dan kepala, akibat tuntutan fisik yang tak pernah ada habisnya. Satu tembakan lagi. Kali ini, ia menargetkan dengan hati-hati, tetapi tubuhnya tiba-tiba terasa melayang. Kepalanya berputar, dan dalam detik-detik yang teramat singkat, ia merasa kegelapan menyelubungi penglihatannya. Gaura berusaha untuk tetap tegak, tetapi kaki-kakinya terasa lemas. Sebelum ia sempat menyadarinya, tubuhnya jatuh terduduk ke tanah, pistol terlepas dari tangannya. "Gaura!" suara laki-laki yang familiar terdengar jelas. Itu suara Brian, salah satu rekan kerjanya. Brian berlari ke arahnya, dan dalam sekejap, dia sudah berada di samping Gaura. "Kamu baik-baik saja? Jangan paksakan dirimu seperti ini, Gaura. Kamu terlihat sangat lelah." Gaura berusaha mengangkat tangan, mencoba memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja. Namun, tubuhnya masih terasa sangat lemas, dan ia kesulitan untuk mengangkat kepala. "Aku... hanya... sedikit lelah," jawabnya, dengan suara yang terputus-putus. Brian tampak tak puas dengan jawaban itu. "Tidak seperti biasa, Gaura. Kamu harus istirahat," katanya dengan nada tegas. Ia membantu Gaura untuk berdiri dengan tegak, namun tubuh Gaura yang rapuh hampir saja jatuh lagi jika tidak segera disangga oleh Brian. "Benar-benar tak bisa menahan rasa lelah ini..." Gaura bergumam, bibirnya terasa kering. "Ada apa denganku?" guman Gaura sambil memijit pelipisnya. Wanita itu mengatur napasnya beberapa kali, kemudian melepaskan tangan Brian yang menyangga tubuhnya dengan perlahan. Namun, rasa mual yang tak tertahankan muncul. Gaura pun berlari menuju toilet untuk mengeluarkan isi perutnya, meninggalkan Brian yang menatapnya penuh kasihan. "Uh." Gaura menyeka sudut bibirnya. Tatapannya tertuju pada Wastafel. Tidak ada apapun yang dia keluarkan kecuali cairan berwarna kuning, membuat pikirnya cemas seketika. Hari ini, tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya. Punggungnya yang terbiasa tegang setelah latihan fisik sebagai bodyguard kini terasa sangat nyeri. Sepertinya, kelelahan yang menumpuk akibat tugas berat akhir-akhir ini belum juga hilang. Sejak beberapa hari lalu, perasaan mual yang terus-menerus datang membuat Gaura merasa tidak karuan. Muntah berkali-kali dan tubuh yang semakin terasa lemah. Itu bukan gejala biasa. Waktu berlalu sejak kejadian itu, dan ia semakin sadar bahwa hal yang paling menakutkan dalam hidupnya kini mungkin menjadi kenyataan. Setelah pulang dan membeli test pack, semuanya terbukti. Dua garis merah. Ia hamil. Semuanya terasa kabur dalam benaknya. Tidak ada rasa bahagia, tidak ada euforia. Hanya ketakutan yang menghancurkan. Edrio. Pria yang tak pernah melibatkan dirinya dalam hubungan apa pun kecuali tentang pekerjaan. Gaura langsung teringat akan malam itu. Malam yang penuh dengan kebodohan dan penyesalan. Gaura mengusap wajahnya kasar, mencoba menenangkan diri. "Ini salah," bisiknya pada diri sendiri. "Aku tak bisa memberitahunya. Tidak mungkin Edrio menerima ini." Mungkin, jika ia tak pernah terjerumus ke dalam situasi ini, hidupnya bisa berjalan seperti biasa. Tetapi kenyataannya, ia kini harus menghadapi konsekuensi dari malam itu. Janin yang tumbuh di dalam rahimnya adalah sebuah beban yang tak sanggup ia pikul. Dengan keputusan yang telah bulat, Gaura memutuskan untuk pergi ke klinik. Namun, perjalanan menuju klinik terasa sangat panjang. Setiap langkah seolah membawa beban yang semakin berat. Gaura menahan napasnya, merasakan gemetar di seluruh tubuhnya. Tiba di klinik, ia segera menuju ruang pendaftaran dan tidak berlama-lama menunggu. Matanya kosong, tidak ada ekspresi yang terlukis di wajahnya. Ia hanya ingin semuanya selesai. Setelah beberapa saat, seorang perawat memanggilnya dan membimbing Vina ke ruang pemeriksaan. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Semua gerak tubuhnya terasa kaku. Hanya ada rasa takut yang menguasai pikirannya. Dokter yang menyambutnya memberikan senyuman hangat, tetapi Vina hanya membalasnya dengan tatapan kosong. "Bagaimana kondisi Anda, Ibu?" tanya dokter sambil membuka alat pemeriksaan. Gaura hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. Semua instruksi dokter hanya terdengar samar. Matanya terfokus pada layar monitor di depan dokter yang mulai menggerakkan transducer ke perutnya. Tak lama, gambar yang tidak bisa dibohongi muncul di layar. "Ibu bisa lihat kantung kehamilannya?" tanya dokter dengan lembut. "Kandungan Anda sudah berusia empat minggu." Gaura membeku. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Sebuah rasa sesak muncul di dadanya. Semua yang ia rencanakan sebelumnya, semua yang ia pikirkan, terasa sia-sia. 'Apa yang harus aku lakukan?' pikirnya, tak mampu lagi berpikir jernih. Dokter yang melihat perubahan ekspresi di wajah Gaura berusaha menghiburnya. "Jangan khawatir, Ibu. Kami akan membantu Anda melalui ini. Kehamilan di usia dini memang penuh tantangan." Gaura berusaha menahan isak tangisnya. Semuanya terasa begitu absurd. Di satu sisi, ia merasa takut akan masa depannya, merasa tak siap menghadapi kehamilan ini. Namun di sisi lain, ada suara kecil dalam hatinya yang berbisik, 'Bayi ini tidak bersalah. Dia berhak hidup.' Gaura memejamkan matanya. Keputusan yang semula sudah bulat—untuk mengakhiri hidup janin ini—tiba-tiba saja terhenti. Ada suara hati yang lebih besar daripada ketakutannya. 'Tidak... Aku tidak bisa melakukannya.' Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri. 'Aku tak bisa mengakhiri hidupnya. Ini salah. Aku tidak bisa melakukan ini.' Tak lama, dokter membereskan alat-alatnya dan memberikan resep vitamin untuk Gaura. "Kita akan memantau keadaan Anda setiap minggu. Jangan khawatir, Bu, semuanya akan baik-baik saja." Gaura tidak bisa mendengar lagi kata-kata dokter. Ia hanya ingin keluar dari ruangan itu, menghindari kenyataan yang mengintainya. Begitu banyak pertanyaan di kepalanya, namun satu hal yang ia yakini, hidup ini tidak bisa diputuskan dengan satu langkah cepat. Setelah keluar dari ruang pemeriksaan, Gaura duduk di ruang tunggu, untuk mengambil obat. Matanya kosong. "Aku harus menerima kenyataan ini," gumamnya. "Bayi ini ada di dalam tubuhku, dan aku yang bertanggung jawab untuk hidupnya." Air mata mengalir deras di pipinya. Namun, kali ini bukan air mata penyesalan, melainkan air mata kelegaan. Untuk pertama kalinya dalam berhari-hari, Gaura merasa sedikit tenang. Keputusan yang sebelumnya terasa sangat berat kini terasa lebih ringan. Ia tidak akan membunuh kehidupan yang ada di dalam dirinya. Namun, ada satu hal yang belum ia tentukan. bagaimana ia akan menghadapi Edrio? Apa yang akan terjadi jika pria itu tahu? Akankah Edrio menerima kenyataan ini, atau justru akan menolaknya dengan keras? Satu langkah besar telah Gaura ambil. Dan perjalanan hidupnya ke depan, baik atau buruk, hanya ia yang bisa tentukan. Namun, bagaimana ia akan menjelaskannya kepada sang Ibu? Akankah wanita yang telah melahirkannya itu dapat menerima kenyataan pahit ini? Tanpa Gaura sadari, seseorang tak sengaja melihat keberadaannya. Ia juga melihatnya keluar dari dalam ruang pemeriksaan kandungan. "Apa yang Gaura lakukan di sini?"“Kenapa, sayang?” tanya Gaura sambil menghampiri. “Aku mimpi buruk… tentang ayam goreng yang berubah jadi monster. Terus dia mengejarku dan Nenek dengan saus sambal!” Galen menjelaskan sambil memperagakan tangannya seperti cakar monster. Edrio nyaris tertawa, tapi ia cepat-cepat batuk pelan menahan ekspresi geli. “Itu mimpi yang sangat… spesifik.” “Dan pedas,” tambah Galen sambil mengangguk serius. Gaura mengelus rambutnya. “Mau Bunda temani di kamarmu?” Galen mendekat dan memeluk Gaura erat-erat. “Aku… boleh tidur di sini aja, tidak? Cuma malam ini. Pura-puranya kita berkemah.” Edrio dan Gaura saling pandang. Edrio mengangkat alis. “Kemah, ya?” “Aku jadi penjaga tenda. Kalau monster ayam datang lagi, aku usir pakai bantal!” kata Galen sambil mengayunkan bantal dinosaurusnya seperti pedang. Gaura sudah tidak bisa menolak. “Ayo, Pangeran Penjaga. Masuk ke tenda Raja dan Ratu.” Galen langsung memanjat ke ranjang, menyelip di tengah mereka dengan gaya penuh kemenangan.
“Tapi Ayah belum tahu kalau aku punya rencana rahasia!” Galen menjawab dengan misterius, lalu menyeringai seperti tokoh kartun. Mereka menggelar tikar di bawah pohon besar. Elia duduk santai sambil membaca buku, sementara Gaura dan Edrio membuka makanan yang berisi, sandwich, buah, ayam goreng, dan jus jeruk. “Bunda, ini hari terbaik!” kata Galen sambil menyuap potongan apel. “Karena pikniknya?” tanya Gaura. “Karena semua bersama. Dan... rencana rahasiaku berjalan lancar,” jawabnya licik. Gaura dan Edrio saling pandang heran. “Apa maksudmu?” tanya Edrio, curiga. Galen berdiri, membuka tas besarnya—dan dari sana ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi benda-benda lucu seperti, mahkota kertas, topeng binatang, dan secarik kertas lipat. “Aku siapkan ini karena aku mau kasih kejutan!” katanya bangga. Ia meletakkan mahkota di kepala Gaura. “Ini buat Bunda, Ratu Piknik!” Lalu ia memakaikan topeng singa pada Edrio. “Dan ini buat Ayah… Singa Penjaga!” Gaura tak bisa menahan tawa.
“Aku tidak menggombal. Aku sedang menyatakan fakta.” Edrio tertawa pelan lalu menarik selimut itu perlahan, memperlihatkan wajah istrinya lagi.Gaura menatapnya dengan senyum malu. Ia menggeliat kecil, lalu menyandarkan kepala di dada Edrio yang hangat.“Semalam… terasa seperti mimpi,” bisiknya.Edrio membalas dengan mengecup ubun-ubunnya. “Tapi ini nyata. Kamu istriku sekarang. Dan aku… milikmu sepenuhnya.”Mereka terdiam beberapa saat, membiarkan suara detak jantung dan tarikan napas menjadi satu-satunya irama di kamar itu.Lalu Gaura menatapnya dan bertanya, “Apa kau pernah membayangkan kita akan sampai di titik ini, setelah semua kekacauan yang kita alami?”Edrio menggeleng pelan. “Tidak. Tapi aku bersyukur kita bertahan. Dan lebih dari itu—aku bersyukur kamu memilih tetap bersamaku.”Gaura menyentuh wajahnya dengan penuh kelembutan. “Kita sama-sama bertahan, Edrio. Kau juga tidak menyerah padaku.”Mereka saling menatap sejenak sebelum akhirnya bibir mereka bersentuhan lagi—kali
"Hmhh.." lenguh Gaura menahan semua sensasi yang tubuhnya rasakan. Edrio menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan, kemudian memulai aksinya untuk 'bertarung' dengan Gaura. Di saat mereka berdua tengah saling bertarung di dalam kamar, di sebuah kamar lain tepatnya kamar tidur milik Galen, terdapat bocah itu bersama neneknya. Kamar Galen dihiasi cahaya lampu malam berbentuk bintang-bintang yang memantul di langit-langit. Bocah itu sudah mengenakan piyama bergambar dinosaurus, tapi matanya masih terbuka lebar, tak kunjung mengantuk.Di sebelahnya, Elia—nenek tercintanya—sedang duduk di tempat tidur, membacakan buku dongeng dengan suara lembut. Namun, Galen tampaknya lebih sibuk berpikir daripada mendengarkan cerita.“Nenek…” Galen memanggil dengan suara pelan namun penuh rasa ingin tahu.“Iya, sayang?” Elia menutup buku dan menoleh penuh perhatian.Galen duduk bersila di tempat tidurnya, alisnya mengernyit lucu. “Kenapa Bunda sama Ayah tidur di hotel? Kenap
“Karena aku takut akan kehilanganmu kalau kau tahu siapa aku dulu… Tapi sekarang, aku lebih takut kehilanganmu kalau aku tetap diam.” Gaura menarik napas dalam, lalu mengangguk perlahan. “Kau seharusnya percaya bahwa aku cukup kuat untuk berdiri di sampingmu, bahkan saat yang terburuk sekalipun.” Edrio tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ekspresi damai kembali menghiasi wajahnya. “Maafkan aku, Gaura.” Ia memeluk Gaura erat di hadapan semua tamu. Suasana kembali hangat, bahkan lebih dari sebelumnya. Galen berlari ke arah mereka, memeluk kaki kedua orang tuanya dengan senyum polos dan bahagia. Beberapa detik kemudian, pendeta yang masih berdiri terpaku akhirnya berkata sambil tertawa kecil, “Kalau begitu… bolehkah saya melanjutkan? Saya pikir kita masih punya satu bagian yang tertunda…” Para tamu tertawa dan bersorak. Musik lembut kembali diputar. Edrio dan Gaura berdiri berhadapan lagi, dan kali ini, saat pendeta menyuruh mereka mengucapkan “I do,” keduanya menga
“Matikan itu!" perintahnya ke tim teknis. Tapi layar tidak bergeming. Wanita itu sudah meng-hack sistem sepenuhnya. Gambar berikutnya menunjukkan Edrio sedang berada dalam pertemuan gelap bersama pria-pria bersenjata, membawa koper uang dan dokumen. Kemudian, rekaman suara mulai terdengar—diskusi mengenai distribusi logistik “tak terdaftar” dari pelabuhan. “Jadi… semua ini cuma kedok?” bisik salah satu pejabat tamu yang hadir. Gaura berdiri kaku. Senyumnya lenyap. Matanya tak percaya melihat Edrio di layar. Ia menoleh ke suaminya yang kini menatap layar dengan rahang mengeras. “Edrio…” bisiknya nyaris tak terdengar. “Apa maksud semua ini?” Edrio menatap Gaura dengan ekspresi bersalah, namun tak gentar. Ia meraih tangannya, tapi Gaura menariknya pelan. “Aku bisa jelaskan.” “Kapan?” suara Gaura kini bergetar. “Kapan kau akan memberitahuku tentang masa lalu ini? Galen... aku harus melindungi dia.” Edrio menarik napas dalam. “Itu sudah lama berlalu. Dan aku keluar dari itu semua s