Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan.
Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat begitu mencemaskannya. “Gaura, kamu dari mana saja? Kenapa kamu tidak mengangkat telepon? Ibu hampir saja melapor ke polisi jika kamu tak pulang juga!“ Elia berkata dengan suara serak penuh kecemasan. “Kamu sakit, bukan? Kenapa kamu tidak memberitahu Ibu?” Gaura hanya diam, mencoba menahan air mata yang sudah mulai menggenang. Tanpa berkata-kata, ia melangkah mendekat dan langsung memeluk Elia dengan erat. Air mata mulai tumpah, dan tubuhnya bergetar di pelukan ibunya. Selama ini, Gaura selalu berusaha kuat, tetapi kali ini ia merasa sangat rapuh. Ia merasa seperti telah mengkhianati ibu yang telah membesarkannya seorang diri. Pikirannya langsung tertuju pada janin di dalam kandungannya yang mungkin akan mengalami nasib yang sama. Hidup tanpa sosok Ayah. Elia kaget dengan tangisan Gaura yang tak tertahankan. “Sayang, ada apa? Kamu kenapa?” tanyanya, tetapi Gaura hanya menggelengkan kepala, tidak bisa mengatakan apapun. Hatinya begitu sesak, dan setiap pertanyaan yang datang seakan semakin menyakitkan. Akhirnya, setelah beberapa saat, Gaura pun bisa menenangkan diri. Elia menatapnya dengan penuh kekhawatiran, masih berusaha memahami apa yang terjadi pada anaknya. “Sayang, cerita sama Ibu. Apa yang terjadi?” Gaura memejamkan mata, seolah berjuang melawan perasaan yang terus mengguncangnya. “Ibu... aku sangat lelah. Aku... aku masuk kamar dulu, ya?” Suaranya hampir tak terdengar, dan dengan perlahan, Gaura meninggalkan ruang tamu menuju kamar. Hari pun berganti, namun Gaura tak juga keluar dari kamar dan izin dari pekerjaannya dengan alasan sakit. Setiap kali Elia mengantarkan makanan, Gaura hanya duduk termenung, tak menyentuhnya sedikitpun. Pikiran-pikiran buruk terus berputar di benaknya, sementara perutnya yang semakin membesar semakin tidak bisa disembunyikan. Kehamilannya semakin jelas, dan Gaura tahu, tidak lama lagi, dunia akan tahu apa yang terjadi. Sebagai seorang bodyguard, ia diajarkan untuk melindungi orang lain, tetapi kali ini, siapa yang akan melindunginya? Bagaimana ia bisa menghadapinya? Sementara itu, Edrio, atasannya yang selama ini tampak begitu tegas dan profesional, kini hanya menjadi bayang-bayang gelap yang menghantui Gaura. Apa yang harus ia lakukan? Jika dia mengungkapkan semuanya pada ibunya, apakah Elia akan menganggapnya sebagai anak durhaka? Setelah berjam-jam berpikir, Gaura memutuskan untuk keluar dari kamar. Elia duduk menunggu di ruang tamu, dan ketika melihat sang putri keluar, hatinya berdegup kencang. “Sayangku... kamu sudah siap cerita sama Ibu?” tanya Elia pelan, berharap ada penjelasan. Gaura berjalan mendekat, tubuhnya terasa lemah, namun ia mencoba untuk tegar. Ketika ia menggenggam tangan Elia, rasa sakit di hatinya semakin dalam. “Ibu... maafkan aku. Aku sudah melakukan kesalahan yang besar,” Gaura berkata dengan suara tertahan, air mata kembali mengalir. Elia mengusap puncak kepala Gaura dengan penuh kasih sayang. “Tidak apa-apa, sayang. Semua orang pasti membuat kesalahan. Ceritakan, Ibu akan mendengarkan.” Gaura terdiam lama, merasakan gelombang emosi yang begitu berat. Namun, akhirnya ia menarik napas dalam-dalam dan mengucapkan kata-kata yang selama ini ia pendam. “Ibu... aku, aku...“ Gaura merasakan lidahnya terasa kelu dan lehernya seakan tercekik ketika akan mengungkapkan kenyataan pahit yang ia alami. Namun, Elia dengan sabar menanti kata apa yang akan terucap dari bibir putrinya. “Aku.“ Gaura menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata, “Aku hamil, Bu." Keheningan menyelimuti ruangan itu. Elia terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. “Kamu... hamil?” Suaranya hampir tidak terdengar. Tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana rasanya mendengar kata-kata itu dari anak yang selama ini ia banggakan. Gaura menunduk, tak berani menatap mata ibunya. “Iya, Bu. Aku hamil,” jawabnya lirih, suaranya tercekat di tenggorokan. Elia diam, seakan tidak bisa menerima kenyataan itu. Gaura selalu menjadi anak yang kuat, selalu menjaga dirinya. Tidak ada pria yang pernah bisa mendekatinya, apalagi menghamilinya. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? “Siapa... siapa yang melakukannya? Kamu harus bilang pada Ibu,” tanya Elia, suaranya mulai bergetar, namun kini ada nada marah yang jelas terdengar. Gaura menggigit bibirnya. Mengatakan nama Edrio, atasannya yang selama ini ia hormati, adalah hal yang paling sulit. Namun, keheningan yang mencekam itu membuatnya tak bisa berbohong lagi. “Ibu... dia... Edrio. Atasanku,” jawab Gaura dengan suara tercekat. Elia terperanjat, wajahnya memerah, dan tangannya gemetar. “Edrio? Apa kamu bercanda?” Suaranya naik, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja diungkapkan. “Bagaimana bisa dia—” Isak tangis Gaura terdengar menyakitkan di telinga Elia. “Apakah... apakah kamu dipaksa?" Gaura dengan pelan menganggukkan kepalanya. "Aku sudah berusaha melawan, Bu... tapi, ta-tapi-“ Elia tidak tahu harus berkata apa. Air mata mulai mengalir di wajahnya. Rasa marah, kecewa, dan khawatir bercampur aduk. “Jangan takut, sayang. Kita akan hadapi ini bersama. Bayi ini tidak bersalah.” Gaura menggenggam tangan ibunya lebih erat, merasakan kehangatan dari pelukanq Elia yang penuh kasih sayang. Meski hatinya terasa hancur, setidaknya ada satu orang yang tetap percaya padanya. “Maafkan aku, Bu,” Gaura berkata pelan penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, sayang. Kamu tidak sendiri. Cucuku, adalah tanggung jawabku juga,” jawab Elia, memeluk anaknya dengan penuh kasih, mencoba memberikan ketenangan di tengah badai yang melanda hidup mereka. Gaura tahu, meski Edrio adalah bayangan kelam dalam hidupnya, ia tidak akan menyerah. Kini, ia punya alasan lebih untuk bertahan—untuk dirinya, untuk ibunya, dan untuk janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Esoknya, Gaura memutuskan untuk kembali ke kantor. Ia datang ke kantor dengan langkah yang berbeda. Tidak seperti biasanya, hari ini dia tampil berbeda. Rambutnya yang biasanya disanggul rapi kini dibiarkan tergerai indah, menyentuh bahunya dengan lembut. Wajahnya, yang biasanya tegas dan datar, kini dihiasi dengan riasan yang sempurna, menonjolkan kecantikan alami yang selama ini disembunyikan. Setelan jas hitam yang dipakainya bukan hanya menggambarkan sosok seorang bodyguard yang kuat, tetapi juga seorang wanita yang kini tahu betul apa yang ia inginkan dari hidupnya. Tiba di kantor, Gaura menarik perhatian banyak orang. Ada yang menatapnya dengan kagum, namun Gaura hanya berjalan dengan kepala tegak, penuh percaya diri. Setiap langkahnya terasa lebih mantap, meski hatinya penuh dengan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Perasaan gelisahnya semakin meningkat seiring dekatnya ruang kerja Edrio. Tadi malam, Gaura sudah memutuskan bahwa ini adalah waktunya. Waktunya untuk melepaskan masa lalu, meski itu terasa sangat menyakitkan. Ketika Gaura akhirnya memasuki ruang kerja Edrio, suasana dalam ruangan terasa berbeda. Edrio, yang biasanya tampak dominan dan tidak mudah terpengaruh, kali ini tampak sedikit terkejut melihat penampilannya yang berbeda. Namun, dia tidak mengungkapkan perasaannya. Wajahnya tetap datar, meski ada sesuatu yang berubah dalam tatapannya yang langsung tertuju pada Gaura. Gaura berdiri di depan meja Edrio dengan tegas, menatapnya tanpa gentar. Senyum tipis mengembang di bibirnya. "Selamat pagi, Pak Edrio," sapanya, suaranya terdengar lebih tenang dan percaya diri dari biasanya. Edrio memandangnya sejenak, bingung dan sedikit tertegun. Namun, dia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Gaura dengan mata yang penuh pertanyaan. "Pak Edrio," lanjut Gaura, matanya tetap menatap mata pria itu, "saya ingin mengundurkan diri hari ini." Kata-katanya keluar dengan penuh ketegasan, hampir seperti perintah. Keheningan menyelimuti ruangan. Edrio terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. Tidak ada yang lebih mengejutkan baginya selain pengunduran diri Gaura, yang selama ini selalu menjadi sosok yang tidak pernah goyah. Apa yang terjadi? Mengapa setelah Gaura yang cukup lama izin dari pekerjaannya, dan dikenal tegas dan setia, tiba-tiba mengundurkan diri begitu saja? "Saya sudah memikirkan ini dengan matang, Pak. Saya rasa ini keputusan terbaik untuk saya." Gaura melanjutkan, sambil menyerahkan amplop putih yang berisi surat pengunduran dirinya. Edrio menyentuh amplop itu dengan ragu, lalu membuka perlahan. Matanya menelusuri setiap kata yang tertulis di dalamnya. Tidak ada kata penjelasan lebih lanjut, hanya kalimat tegas yang menyatakan bahwa Gaura mengundurkan diri. Gaura menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dipahami Edrio. Ada rasa kesedihan yang mendalam, tapi juga keberanian yang sangat jelas di mata wanita itu. "Terima kasih. Saya berharap Anda sukses ke depannya."“Kenapa, sayang?” tanya Gaura sambil menghampiri. “Aku mimpi buruk… tentang ayam goreng yang berubah jadi monster. Terus dia mengejarku dan Nenek dengan saus sambal!” Galen menjelaskan sambil memperagakan tangannya seperti cakar monster. Edrio nyaris tertawa, tapi ia cepat-cepat batuk pelan menahan ekspresi geli. “Itu mimpi yang sangat… spesifik.” “Dan pedas,” tambah Galen sambil mengangguk serius. Gaura mengelus rambutnya. “Mau Bunda temani di kamarmu?” Galen mendekat dan memeluk Gaura erat-erat. “Aku… boleh tidur di sini aja, tidak? Cuma malam ini. Pura-puranya kita berkemah.” Edrio dan Gaura saling pandang. Edrio mengangkat alis. “Kemah, ya?” “Aku jadi penjaga tenda. Kalau monster ayam datang lagi, aku usir pakai bantal!” kata Galen sambil mengayunkan bantal dinosaurusnya seperti pedang. Gaura sudah tidak bisa menolak. “Ayo, Pangeran Penjaga. Masuk ke tenda Raja dan Ratu.” Galen langsung memanjat ke ranjang, menyelip di tengah mereka dengan gaya penuh kemenangan.
“Tapi Ayah belum tahu kalau aku punya rencana rahasia!” Galen menjawab dengan misterius, lalu menyeringai seperti tokoh kartun. Mereka menggelar tikar di bawah pohon besar. Elia duduk santai sambil membaca buku, sementara Gaura dan Edrio membuka makanan yang berisi, sandwich, buah, ayam goreng, dan jus jeruk. “Bunda, ini hari terbaik!” kata Galen sambil menyuap potongan apel. “Karena pikniknya?” tanya Gaura. “Karena semua bersama. Dan... rencana rahasiaku berjalan lancar,” jawabnya licik. Gaura dan Edrio saling pandang heran. “Apa maksudmu?” tanya Edrio, curiga. Galen berdiri, membuka tas besarnya—dan dari sana ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi benda-benda lucu seperti, mahkota kertas, topeng binatang, dan secarik kertas lipat. “Aku siapkan ini karena aku mau kasih kejutan!” katanya bangga. Ia meletakkan mahkota di kepala Gaura. “Ini buat Bunda, Ratu Piknik!” Lalu ia memakaikan topeng singa pada Edrio. “Dan ini buat Ayah… Singa Penjaga!” Gaura tak bisa menahan tawa.
“Aku tidak menggombal. Aku sedang menyatakan fakta.” Edrio tertawa pelan lalu menarik selimut itu perlahan, memperlihatkan wajah istrinya lagi.Gaura menatapnya dengan senyum malu. Ia menggeliat kecil, lalu menyandarkan kepala di dada Edrio yang hangat.“Semalam… terasa seperti mimpi,” bisiknya.Edrio membalas dengan mengecup ubun-ubunnya. “Tapi ini nyata. Kamu istriku sekarang. Dan aku… milikmu sepenuhnya.”Mereka terdiam beberapa saat, membiarkan suara detak jantung dan tarikan napas menjadi satu-satunya irama di kamar itu.Lalu Gaura menatapnya dan bertanya, “Apa kau pernah membayangkan kita akan sampai di titik ini, setelah semua kekacauan yang kita alami?”Edrio menggeleng pelan. “Tidak. Tapi aku bersyukur kita bertahan. Dan lebih dari itu—aku bersyukur kamu memilih tetap bersamaku.”Gaura menyentuh wajahnya dengan penuh kelembutan. “Kita sama-sama bertahan, Edrio. Kau juga tidak menyerah padaku.”Mereka saling menatap sejenak sebelum akhirnya bibir mereka bersentuhan lagi—kali
"Hmhh.." lenguh Gaura menahan semua sensasi yang tubuhnya rasakan. Edrio menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan, kemudian memulai aksinya untuk 'bertarung' dengan Gaura. Di saat mereka berdua tengah saling bertarung di dalam kamar, di sebuah kamar lain tepatnya kamar tidur milik Galen, terdapat bocah itu bersama neneknya. Kamar Galen dihiasi cahaya lampu malam berbentuk bintang-bintang yang memantul di langit-langit. Bocah itu sudah mengenakan piyama bergambar dinosaurus, tapi matanya masih terbuka lebar, tak kunjung mengantuk.Di sebelahnya, Elia—nenek tercintanya—sedang duduk di tempat tidur, membacakan buku dongeng dengan suara lembut. Namun, Galen tampaknya lebih sibuk berpikir daripada mendengarkan cerita.“Nenek…” Galen memanggil dengan suara pelan namun penuh rasa ingin tahu.“Iya, sayang?” Elia menutup buku dan menoleh penuh perhatian.Galen duduk bersila di tempat tidurnya, alisnya mengernyit lucu. “Kenapa Bunda sama Ayah tidur di hotel? Kenap
“Karena aku takut akan kehilanganmu kalau kau tahu siapa aku dulu… Tapi sekarang, aku lebih takut kehilanganmu kalau aku tetap diam.” Gaura menarik napas dalam, lalu mengangguk perlahan. “Kau seharusnya percaya bahwa aku cukup kuat untuk berdiri di sampingmu, bahkan saat yang terburuk sekalipun.” Edrio tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ekspresi damai kembali menghiasi wajahnya. “Maafkan aku, Gaura.” Ia memeluk Gaura erat di hadapan semua tamu. Suasana kembali hangat, bahkan lebih dari sebelumnya. Galen berlari ke arah mereka, memeluk kaki kedua orang tuanya dengan senyum polos dan bahagia. Beberapa detik kemudian, pendeta yang masih berdiri terpaku akhirnya berkata sambil tertawa kecil, “Kalau begitu… bolehkah saya melanjutkan? Saya pikir kita masih punya satu bagian yang tertunda…” Para tamu tertawa dan bersorak. Musik lembut kembali diputar. Edrio dan Gaura berdiri berhadapan lagi, dan kali ini, saat pendeta menyuruh mereka mengucapkan “I do,” keduanya menga
“Matikan itu!" perintahnya ke tim teknis. Tapi layar tidak bergeming. Wanita itu sudah meng-hack sistem sepenuhnya. Gambar berikutnya menunjukkan Edrio sedang berada dalam pertemuan gelap bersama pria-pria bersenjata, membawa koper uang dan dokumen. Kemudian, rekaman suara mulai terdengar—diskusi mengenai distribusi logistik “tak terdaftar” dari pelabuhan. “Jadi… semua ini cuma kedok?” bisik salah satu pejabat tamu yang hadir. Gaura berdiri kaku. Senyumnya lenyap. Matanya tak percaya melihat Edrio di layar. Ia menoleh ke suaminya yang kini menatap layar dengan rahang mengeras. “Edrio…” bisiknya nyaris tak terdengar. “Apa maksud semua ini?” Edrio menatap Gaura dengan ekspresi bersalah, namun tak gentar. Ia meraih tangannya, tapi Gaura menariknya pelan. “Aku bisa jelaskan.” “Kapan?” suara Gaura kini bergetar. “Kapan kau akan memberitahuku tentang masa lalu ini? Galen... aku harus melindungi dia.” Edrio menarik napas dalam. “Itu sudah lama berlalu. Dan aku keluar dari itu semua s