Gista menoleh kanan kiri. Dia sudah menghabiskan dua gelas lemonade miliknya, yang ngomong-ngomong rasanya makin pahit. Sekarang dia sedang menunggu gelas ketiga sambil mencari-cari target berikutnya.
Sayangnya ternyata sulit bagi Gista untuk menemukan orang yang cocok. Helaan nafasnya berat. Setelah ditolak Akash Salim, level malas Gista malah naik tinggi. Deadline dari Lola adalah problem tersendiri yang memaksa Gista harus mengalahkan rasa malas. Dua puluh empat jam sudah berkurang banyak. Kalau ingin membuat naskah super spicy seperti permintaan editornya, Gista harus tahu tentang hasrat, gairah, dan bercinta. Dia bisa menulis hal lain dengan mudah. Namun, tiga hal itu adalah topik berat yang susah diurai oleh Gista. Ada alasan khusus yang membuatnya kesusahan dan akhirnya terdampar di bar mencari-cari subyek yang tepat untuk riset. “Mr. John, long time no see. Gimana kabarnya? Insiden kemarin oke-oke aja, eh?” Gista menoleh sekilas. Seorang pria bule berjas abu-abu, berumur sekitar pertengahan empat puluhan, terlihat membalas pelukan santai seorang wanita. Mereka bercakap-cakap tanpa Gista pahami topiknya. Gista tak peduli. Dia kembali fokus pada minumannya. Lalu ekor matanya melihat bayangan Mr. John datang mendekat. Gista menoleh merasakan keberadaan pria itu yang mengambil tempat duduk tepat di sampingnya. “Kelihatannya sendiri eh?” Mr. John berbasa-basi dengan senyum lebar tersungging di wajah. Gista hanya mengangguk. “John. Wine enthusiast, Pemred Gazebo Magz, dan part time troublemaker.” John mengulurkan tangan sembari mengedipkan sebelah mata. Gista membalas dengan balik memperkenalkan diri. Dalam hati dia mulai mempertimbangkan pria itu sebagai target riset berikutnya. John mulai mengoceh tentang wine dan sikapnya yang terang-terangan mencoba menarik perhatian Gista. Sayangnya, suara John hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri Gista. Hingga satu pertanyaan random muncul begitu saja di benak wanita itu. “Mister, apa yang sering pria katakan saat merayu wanita?” tanya Gista tanpa formalitas sama sekali. Dia menoleh menunggu jawaban John. Seringai lebar John menutupi kekagetannya. “Oh, Sweetheart. Daftarnya bisa lebih panjang dibanding janji politisian. Tapi aku punya favoritku. Kamu terlihat seperti seseorang yang perlu diingatkan tentang bagaimana kenikmatan yang sesungguhnya. Agak cringe memang, tapi sering berhasil.” Gista langsung mengeluarkan ponsel dan mencatat di notes. “Begitu, ya? Bisa kujadikan bahan tulisan. Kuambil, Mister.” “Apa rayuanku tadi berhasil untukmu?” Gista menoleh, sedikit bingung dengan pertanyaan John. Saat sadar ke mana arahnya, wanita itu menggeleng. “Biasa aja.” “Wow.” John memandangi wanita di sampingnya dengan sorot mata aneh. Senyum cabulnya muncul. Ia melihat wanita ini dingin membalas godaan. “Gaunmu benar-benar menggoda imajinasi. Aku jadi penasaran dengan keindahan apa yang tersembunyi di baliknya.” Alis Gista terangkat tinggi. Apa ini cara pria dewasa merayu? Jarinya kembali menari di layar sentuh ponsel, mengutip perkataan John. Otak Gista berputar cepat. Dia harus melakukan pertaruhan. Tanpa basa-basi, Gista bertanya pada John. “Mau tidur sama saya?” John membelalak, tetapi hanya beberapa detik. Lalu suara tawa kagetnya terdengar. Dia melirik bartender, memberi isyarat agar lelaki itu meninggalkannya. Kini hanya ada John dan Gista. “Well. Ini amat menjanjikan. Tertarik padaku, cantik?” Gista menatap John. Raut mukanya datar tanpa emosi. Nada bicaranya juga flat. “Just for fun.” John mencondongkan badan ke depan. “Just for fun? Kalau begitu, kau datang ke orang yang tepat. Aku akan memberimu kesenangan duniawi. Sex sungguh menyenangkan.” Gista mengerjap. Semudah ini? Padahal John terlihat seperti orang baik-baik. Kenapa dia tidak banyak alasan seperti Akash yang kata orang penyuka one night stand? John tiba-tiba mendekat. Tangannya yang semula menyentuh gelas, kini perlahan menyentuh punggung tangan Gista. Lembut, seperti gerakan tak sengaja, tetapi terlalu lama untuk dibilang tak sadar. Pandangannya juga terang-terangan tertuju ke dada montok Gista yang mengintip dari potongan rendah gaun. Bulu kuduk Gista merinding saat ujung jari John mulai menyentuh lengan atas Gista yang telanjang. Dia menelan ludah, merasakan tatapan John mulai turun ke perutnya, lalu ke pinggulnya. Selama itu Gista tetap diam, meski rasa tak nyaman mulai muncul. Wajahnya memang tanpa ekspresi, tetapi rahangnya mulai mengencang. Gista menelan ludah, bergeser pelan agar tak tampak mencolo, berusaha membuat jarak dengan pria itu. Namun, John masih mengejar dengan mengusap-usap lengan telanjang Gista, berlagak bak kawan lama yang baru berjumpa lagi. “Apa yang Anda lakukan?” suara Gista tanpa sadar bergetar. John tertawa. “Foreplay, sayang. Kita membutuhkannya untuk saling mengenal. Kesenangan yang kita tuju butuh pemanasan. Ikuti saja alurnya …,” John tiba-tiba mendekatkan bibir ke telinga Gista. Satu tangannya mulai mengusap panggul wanita itu, “aku pasti akan membuatmu menjerit kesenangan.” Gista tersentak kaget. Rasa panik menghantam kesadarannya. Tangannya refleks mendorong dada John. Alhasil pria itu jatuh terjungkal dengan suara keras. Wine di gelas tumpah menyiram jas dan kemejanya. “Cukup.” Dada Gista naik turun cepat. Suara gelas pecah dan teriakan John sontak memecah suasana. Musik ballroom seketika berhenti. Beberapa kepala menoleh. Bisik-bisik mulai merayap di antara para tamu. John duduk di lantai dengan wajah merah padam. “Apa kau gila? Kau yang minta!” bentaknya keras. Beberapa tamu mulai mendekat. Bartender keluar bar dan menolong Mr. John. Sementara pria itu menunjuk Gista dengan emosi. “Kalian lihat sendiri, kan? Dia serang saya tanpa alasan! Tak sopan! Tak punya etika! Padahal dia yang menggoda lebih dulu!” Gista terperangah. Dadanya bergemuruh. Mati-matian dia menekan emosi yang serasa hendak meledak. Dia tak tahu apa yang salah. Dia hanya ingin riset tentang erotika. Dan erotika jelas melibatkan sentuhan. Namun, mengapa dia merasa tak nyaman dengan sentuhan John? Saat John kembali menuding-nuding mukanya, Gista ingin membalas. Mulutnya terbuka siap membela diri. Lalu satu cengkraman kuat di lengan memaksanya menoleh. Gista terpana. Dia tak mampu bicara. Di bawah tatapan banyak pasang mata, Gista pasrah saja ditarik meninggalkan bar. “Ah, Mister,” suara Akash akhirnya terdengar, santai tapi mengandung ancaman, “Perempuan ini milik saya malam ini. Dan kau tahu betul, menyentuh milik orang lain ada ganjarannya, bukan?” Pandangannya terpaku ke punggung lebar di depannya, sampai tak menyadari dirinya sudah berada di belakang ballroom. Gista baru sadar saat Akash menariknya masuk ke ruang kosong dan mengunci pintu. “Aku penasaran. Saat kamu mutusin buat ngajak sembarang orang tidur bareng, itu kebanggaan buatmu atau sebatas nekat aja?” Gista bengong. Bukan karena tak mampu menjawab, tapi karena masih syok dengan kejadian barusan yang begitu cepat. Akash menatapnya dari atas ke bawah. Ekspresinya dingin dan tak berperasaan. “Kamu rela tidur bareng dengan siapa pun demi riset, ya?” Akash menekankan kata ‘siapa pun’ kepada Gista. “Kalau memang itu yang kamu cari, aku bisa bantu. Malam ini juga.” Tangannya menyelipkan sesuatu ke telapak tangan Gista—kartu akses hotel. Gista menatapnya, bibirnya terbuka setengah. Tapi tak ada suara yang keluar. Hanya pandangannya yang mengikuti kepergian Akash keluar ruangan. Dan di telapak tangannya, kartu itu terasa lebih panas dari kulitnya sendiri.[Meeting reschedule ya. Lo terusin novel. Sore ini kirim progress ke gue.]Gista mengerjap dan berhenti di tengah jalan. Lola–editornya membatalkan meeting yang dicanangkan sejak beberapa hari lalu. Membahas kemajuan progress Gista di depan fellow writer lainnya.Gista hanya merutuk kecil. Padahal jika waktunya dimaksimalkan ia bisa melakukan riset.Riset.Mendengar kata itu, Gista berpikir keras. Untuk yang tadi– bisa dijadikan bukunya kan? Dimana tokoh female lead bukunya bernama Sarsha terjebak di ruangan kecil dengan male lead bernama Gio. Setelahnya mereka bercumbu hebat. kemudian—“Gis, hape lo bunyi.”Gista gelagapan. Dia mengangguk pada teman kerjanya yang sudah kembali ke kubikelnya sendiri. Sementara Gista menatap layar ponsel dengan heran.Gista enggan mengangkat telepon dari yang tak dikenalnya. Sekali lagi dia menekan tombol merah, menolak panggilan telepon. Gista tak berminat memeriksa histori ponselnya dan langsung berkutat dengan draf novel di mejanya sendiri.Lalu bad
Ada yang berbeda dengan Akash sejak kembali dari Megalitera. Dia berjalan tanpa menoleh sama sekali. Sesampainya dalam ruang kantornya yang sejuk, Akash berdiri kaku. Pintu ruangannya nyaris pecah kena hantaman tangannya. Akash menarik kasar dasi yang sedari pagi melingkar asal di lehernya dan melemparnya asal-asalan ke sofa.Langkah kaki Akash lebar-lebar. Napasnya berat, nyaris menggedor lantai. Wajahnya menggelap. Dan sepasang mata tajam Akash menyimpan bara ….… bara yang sejak pagi tak kunjung padam. Kepalanya masih dipenuhi bayangan Gista. Tatapan dingin perempuan itu, bahkan lebih dingin daripada AC kantornya. Cara Gista meninggalkan kamar tanpa ragu, hanya meninggalkan selembar catatan dan dua lembar uang ratusan ribu di atas meja, bahkan sampai hari ini Ia membalikkan keadaan– meninggalkan Akash jadi pelajaran.“Sialan.” Akash memaki pelan. Leo mengangkat alis. Ia berdiri di pojokan ruang Akash. Ia tak menyangka kehadirannya tak disambut baik dengan pemilik ruangan.“So… Gi
"Apa yang kamu harapkan barusan? Kenapa kamu tutup mata?" Gista membuka mata perlahan. Antara percaya dan tidak, dia akhirnya membelalak. Tangannya sangat susah digerakkan, tetapi harus bergerak. Jadi, dia mengusap dada seraya memalingkan muka. Napas Gista memburu kencang. Dia berusaha menenangkan degup jantung yang liar setelah terlalu lama memejamkan mata di hadapan Akash. Sementara di hadapannya mata Akash menyala oleh gairah. Namun, secepat datangnya, secepat itu juga Akash memadamkan apinya. Tetap saja, dia masih memandangi Gista dengan sorot mata tajam. Seolah pandangannya mampu menelanjangi wanita itu. Gista mengerang dalam hati. Bisa-bisanya dia bersikap begitu konyol dan memalukan seperti itu. Ia pikir ini akan seperti momen dalam novel yang pernah ia baca. Dimana ruangan gelap akan menjadi orang ketiga si tokoh utama. Tapi kenapa ia tak juga menciumnya? Perlahan Gista memegang bibirnya yang mulai mengering. Gista berdeham-deham. Dia bergeser menjauhi Akash. Sembari
Pujian tak pernah membuat Gista besar kepala. Namun, pagi itu, saat Lola memanggilnya ke ruang editor, pujian justru terasa seperti jebakan.“Good job! Nah, gini dong, Gis. Lo kalo mau usaha, pasti bisa nulis adult romance.”Lola memberi isyarat agar Gista mendekat. Suara kursi putar digeser terdengar di ruang rapat kecil Megalitera. Gista kini berhadapan dengan laptop Lola yang menampilkan draf bab pertama naskahnya.“Premis lo udah oke. Chapter pertama juga udah lumayan bagus, lebih bagus dibanding yang kemarin. Ini udah ada jiwanya, meski masih tipis banget. Mature vibes-nya udah keliatan, Gis. Tapi masih belum nendang, belum bikin basah kuyup pembaca. Gue butuh yang nuansanya hot banget, lebih heavy lagi biar pembaca sampe blingsatan.”Kritikan Lola membuat kepala Gista pening. Namun, wanita itu tak menunjukkannya. Dia hanya menatap kosong ke layar laptop.“Kalo yang kemarin kurang spicy, ini kurang basah. Tambahin lagi, Gis. Lo harus bisa bikin cerita yang panas ngebakar. Pokok
Akash bukan orang yang terbiasa melakukan hal bodoh. Seluruh tindakannya cermat dan terencana. Namun, malam ini pengecualian. Melihat wanita itu berdekatan dengan John, Akash tiba-tiba tergoda untuk menariknya pergi.Menolongnya? Entah. Akash merasa belum sedekat itu untuk menolong seseorang yang asing. Dia tak mengenal Gista. Hanya berbekal selembar kartu nama dan ocehan omong kosong dari mulut wanita itu, harusnya tak serta-merta membuat Akash bergerak dari kursinya.Namun, ada sesuatu dalam diri Gista yang membuatnya mengesampingkan sebentar rasionalitas. Menyelamatkan Gista dari John bisa jadi adalah sesuatu yang berguna di masa depan.Sayangnya, konsekuensi atas tindakannya harus diterima Akash di muka. Open room bersama wanita cantik di kamar hotel yang luas, kedap suara, dan berfasilitas penuh ternyata mulai menguji batas pertahanan Akash.“Kamu yakin?” Akash bersandar di pintu kamar mandi. Perhatiannya malah teralihkan pada gestur Gista yang sangat menarik.Ya, menarik. Karena
Gista menoleh kanan kiri. Dia sudah menghabiskan dua gelas lemonade miliknya, yang ngomong-ngomong rasanya makin pahit. Sekarang dia sedang menunggu gelas ketiga sambil mencari-cari target berikutnya.Sayangnya ternyata sulit bagi Gista untuk menemukan orang yang cocok. Helaan nafasnya berat. Setelah ditolak Akash Salim, level malas Gista malah naik tinggi.Deadline dari Lola adalah problem tersendiri yang memaksa Gista harus mengalahkan rasa malas. Dua puluh empat jam sudah berkurang banyak. Kalau ingin membuat naskah super spicy seperti permintaan editornya, Gista harus tahu tentang hasrat, gairah, dan bercinta.Dia bisa menulis hal lain dengan mudah. Namun, tiga hal itu adalah topik berat yang susah diurai oleh Gista. Ada alasan khusus yang membuatnya kesusahan dan akhirnya terdampar di bar mencari-cari subyek yang tepat untuk riset.“Mr. John, long time no see. Gimana kabarnya? Insiden kemarin oke-oke aja, eh?”Gista menoleh sekilas. Seorang pria bule berjas abu-abu, berumur sekit