Home / Romansa / CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku / 4 | Pelajaran Erotis Pertama

Share

4 | Pelajaran Erotis Pertama

Author: Eliyen Author
last update Last Updated: 2025-08-08 12:43:18

Akash bukan orang yang terbiasa melakukan hal bodoh. Seluruh tindakannya cermat dan terencana. Namun, malam ini pengecualian. Melihat wanita itu berdekatan dengan John, Akash tiba-tiba tergoda untuk menariknya pergi.

Menolongnya? Entah. Akash merasa belum sedekat itu untuk menolong seseorang yang asing. Dia tak mengenal Gista. Hanya berbekal selembar kartu nama dan ocehan omong kosong dari mulut wanita itu, harusnya tak serta-merta membuat Akash bergerak dari kursinya.

Namun, ada sesuatu dalam diri Gista yang membuatnya mengesampingkan sebentar rasionalitas. Menyelamatkan Gista dari John bisa jadi adalah sesuatu yang berguna di masa depan.

Sayangnya, konsekuensi atas tindakannya harus diterima Akash di muka. Open room bersama wanita cantik di kamar hotel yang luas, kedap suara, dan berfasilitas penuh ternyata mulai menguji batas pertahanan Akash.

“Kamu yakin?” Akash bersandar di pintu kamar mandi. Perhatiannya malah teralihkan pada gestur Gista yang sangat menarik.

Ya, menarik. Karena wanita itu duduk sekaku papan di tepi tempat tidur. Pandangan Gista juga lurus ke depan. Ditambah ekspresi sangat serius, tanpa senyum, tanpa lirikan mata menggoda, membuat Akash seperti melihat sosok mahasiswa yang sedang menghadapi ujian dari profesor.

Gista sekarang beda jauh dengan Gista yang memberinya tawaran tidur bersama beberapa jam lalu.

“Yakin.”

Alis Akash terangkat sebelah. Berbeda dengan saat di bar, suara Gista kali ini malah terdengar lemah dan tak yakin. 

“Yakin?” Akash kembali bertanya. Saat melihat anggukan kepala Gista, pria itu merasa geli. “Tapi kamu kelihatan tegang.”

Gista mendongak dan buru-buru menunduk saat melihat Akash melepas jas dan melucuti dasi. “Biasa aja.”

“Oh, ya?” Akash mulai melepas tiga kancing teratas kemejanya. Dia berjalan mendekat dan duduk di samping Gista. Kasur sedikit bergoyang menerima beban tubuhnya.

“Kamu tahu untuk bisa bercinta, seorang pria harus tegang?”

Wajah Gista merah padam. Dia beringsut sedikit menjauhi Akash, meski masih duduk di tempat tidur. 

“Sikapmu ini seperti belum siap.” Akash menatap Gista lekat-lekat. “Tapi kamu tetap datang.”

Akash membiarkan ada jarak di antara mereka. Dia bersandar santai. Dari jarak sedekat ini, dia bisa mencium aroma parfum Gista yang bercampur dengan bau tubuhnya. Manis.

“Kuberitahu satu rahasia kecil.” Akash berbisik dengan suara parau.

Gista menjawab tanpa menoleh. Tangannya saling meremas di pangkuan. “Apa?”

“Saat bermesraan, tubuhmu akan merespons lebih dulu. Sementara akalmu ketinggalan di belakang.”

Gista menoleh. Pandangannya membelalak. Akash langsung menahan dagu wanita itu agar tak lagi-lagi menghindari dirinya.

“Tak percaya?” Ibu jari Akash mengusap bibir bawah wanita itu. Mengabaikan bayangan dada indah yang terpampang di depan mata, Akash memusatkan perhatian sepenuhnya pada sepasang mata indah Gista.

Dia melihat wanita itu menggigil, tapi tetap diam. Gista memejamkan mata rapat-rapat seperti melihat hantu. Akash perlahan menurunkan tangan, mengusap garis batas antara rahang dan pipi dengan buku-buku jarinya, lalu bergerak makin turun menyusuri kulit halus leher Gista.

“Lihat? Aku cuma menyentuhmu ….” Akash berbisik. Melihat Gista memejamkan mata rapat-rapat, dia semakin berani. Jari Akash menelusuri tulang selangka Gista, lalu berhenti di tali gaun wanita itu.

“... tapi tubuhmu mengatakan lain.” Akash perlahan menurunkan tali gaun wanita itu. Dia terkesima melihat bagaimana helaian kain mungil itu meluncur mulus dari bahu Gista.

Suara kesiap keras terdengar. Refleks wanita itu membuka mata. Dua tangannya langsung memegang tali gaun erat-erat, seolah benda kecil itu bisa menjadi penyelamat hidupnya.

Akash perlahan mengurai tangan Gista. Dia menundukkan kepala. Hampir tak ada celah di antara mereka. Mata Akash melirik ke bawah, melihat kulit putih mulus yang membusung indah dan belahan dada yang menghilang di balik garis terbawah gaun. Samar-samar terlihat puncak dada yang menonjol dari balik bahan gaun. Jakun pria itu bergerak sedikit cepat.

Akash hanya diam di sana, membiarkan napasnya menyentuh bibir Gista. Lalu bisikannya menyapu pendengaran wanita itu. “Jangan bergerak. Kalau aku menunduk satu senti lagi, bibirku akan menyentuh punyamu….”

Akash berkedip. Dia bisa melihat jelas ketegangan di diri wanita itu. Gista sudah serupa busur panah yang direntang lebar-lebar. Akash masih terus menggoda.

“Tapi aku lebih suka kamu yang minta dulu.”

Wajah Gista linglung. Dia mendongak. Itu kesalahan fatal karena jaraknya dengan Akash malah jauh lebih kecil sekarang. 

“Min–minta apa?”

Akash berkedip. Dengkusan geli lolos dari kerongkongannya. Alih-alih menjawab, Akash justru makin menunduk, menjauh dari bibir Gista. Sebagai gantinya, dia mencium ujung bahu wanita itu, merasakan badan ramping itu tersentak kaget. Namun, Akash tak peduli.

Bibirnya terus bergerak, mencium inci demi inci kulit semulus sutra di hadapannya. Sejujurnya itu bukan ciuman yang rakus. Namun, ciuman yang pelan, menggoda, penuh kesabaran.

Sampai Akash memergoki tangan Gista mencengkram pinggiran tempat tidur kuat-kuat. Saking kuatnya sampai buku-buku jarinya memutih. Akash berhenti. Konsentrasinya sedikit terganggu. Kerut muncul di kening Akash. Kepalanya terangkat pelan.

“Ke-napa?” Gista terbata-bata.

Pria itu cermat mengamati Gista. Posisi duduk si wanita tak berubah sedikitpun sejak di awal Akash mencumbu. Bahkan punggung Gista malah semakin tegak, seperti ada papan yang ditempelkan di belakang tubuhnya. Akash memejamkan mata, memaki dalam hati.

“Ba-Bapak bisa teruskan. Saya … saya akan mencatat baik-baik tiap gerakan di ingatan saya.” Gista tergagap.

“Cukup untuk malam ini.” Akash berdiri. Gerakannya tenang, tidak terburu-buru. Namun, kehangatan dalam suaranya menghilang sudah. Berganti dengan nada dingin menusuk.

“Kenapa, Pak?” Gista tampak kebingungan.

Akash menolak bersikap jujur. Tubuh Gista yang luar biasa tegang dan responsnya yang sangat lugu menerbitkan curiga di hati Akash. Wanita di depannya ini seperti seorang perawan yang belum pernah mendapat sentuhan lawan jenis.

Kecurigaan itu bentrok dengan prasangkanya pada Gista. Mungkin saja wanita itu hanya berakting. Namun, seperti yang diyakini Akash selama ini bila tubuh tak mungkin berbohong, Akash merasa bakal menjadi bajingan jika meneruskan pelajaran tentang bercinta ini.

“Maaf. Saya gak bisa lanjutkan.” Akash menjawab dingin. “Kamu bukan tipe saya.”

Dia menyembunyikan rasa tak nyamannya melihat ekspresi Gista. Wanita itu seperti tak percaya dengan pengakuan Akash. Tanpa menunggu balasan Gista, dia berjalan ke kamar mandi. Shower dinyalakan dan Akash berdiri di bawah kucuran deras air.

“Sial.” Akash menunduk melihat dirinya yang begitu tegang. Akash menunduk, menatap tubuhnya sendiri yang menegang tanpa kompromi. Napasnya berat. Air hangat dari shower mengalir menelusuri lekuk ototnya, tapi tak cukup untuk meredam adrenalin yang masih menggelegak.

Sudah berapa wanita yang tidur di ranjangnya? Dia bahkan tak perlu mengingat nama mereka satu per satu. Beberapa datang sendiri, lainnya dia pilih karena kesempurnaan lekuk tubuh atau kelihaian mereka di atas ranjang. Semuanya tahu aturan main—malam tanpa ikatan, hanya kesenangan fisik.

Tapi tidak ada satu pun yang bisa membuatnya seperti ini.

Akash mendesah, memejamkan mata, membiarkan bayangan Gista menyusup dalam benaknya. Rambut acak-acakan, bibir yang bergetar karena marah, dada yang naik turun karena emosi yang ditekan. Dalam benaknya, Gista berteriak di bawahnya, mencoba menolak tapi gagal menyembunyikan gairahnya.

Tangan Akash mengarah ke bawah, menyentuh dirinya sendiri. Sentuhan itu cepat berubah menjadi gesekan penuh tuntutan. Gerakannya makin liar saat membayangkan Gista di bawahnya—berantakan, pasrah, liar.

Entah berapa lama Akash berada di kamar mandi, memuaskan dirinya sendiri dengan fantasi bersama Gista. Saat kembali ke kamar, pria itu tertegun.

Kamar itu kosong. Seprai sudah kembali licin seperti tak pernah diduduki. Tak ada Gista. Yang tertinggal di udara hanya jejak aroma parfumnya saja, juga secarik kertas kecil di atas nakas. 

Akash mendekat. Dengan dua jarinya, dia mengangkat memo itu. Wajahnya mengerut.

Kalau tidak mampu, jangan pernah memulai. Bapak juga bukan tipe saya.

Tapi, terima kasih untuk pelajarannya. Saya sudah tinggalkan bayaran di atas nakas.

Akash melihat ada beberapa lembar seratus ribuan di atas nakas. Satu sudut bibirnya terangkat, tersenyum, tapi tak sampai ke mata.

“Wow.” Akash masih membawa kertas bertulisan tangan Gista dan duduk di sofa. Dia menuang segelas wine, membiarkan cairan merah tua itu menabrak dinding-dinding gelas, sembari memikirkan Gista dengan tatapan kosong.

Dia seperti baru saja mendapat tamparan keras di wajah. “Sialan.”

Hanya tulisan tangan kecil dan rapi, singkat dan sederhana, tetapi maknanya jauh dari definisi sederhana. Akash mendengkus pelan. Dia melirik lembaran uang di atas nakas tanpa berniat mengambilnya.

Akash menjentikkan kertas pesan dari Gista. Kali ini Akash benar-benar tersenyum. Satu senyum pelan seperti harimau yang baru saja kehilangan kelinci buruannya.

Dia mengambil kartu nama dari saku jas. 

SWARI

Penulis Fiksi

📧 gista_maheswari@megalitera.co.id

📱+62 851-1234-5678

🌐 www.megalitera.co.id/gistamaheswari

📍Jakarta, Indonesia

Akash mengamati kartu nama di tangannya. Tanpa ekspresi. Tanpa emosi. Dia meneguk wine lalu menjentikkan kartu nama itu ke udara. Kertas kecil itu melayang cepat, kemudian telak masuk ke tong sampah di sudut ruang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   108 | Making Out di Dapur?

    “Jadi, kemarin kamu bersenang-senang sama cowok lain?”Akash yang baru pulang setelah dua hari penuh pergi ke Surabaya langsung memprotes Gista. Suaranya dingin. Tak ada nada ramah di sana. Pancaran matanya juga tajam menusuk.Gista yang tengah mencoba membuat pasta langsung bengong. “Kamu pulang-pulang kenapa senewen gitu?”Akash menyodorkan tangkap layar status Whatsapp Gista. Bibirnya menipis. “Kamu menunggu siapa? Siapa yang fotoin? Kamu punya tripod? Nggak, kan?”Gista menghela napas panjang. “Akash, itu status buat kamu. Aku nunggu kamu di sana. Pengen kuajak kamu ke tempat jajanan favorit aku.” Gista berkata sabar.Ekspresi Akash berubah. Suaranya lebih lunak. “Lalu yang fotoin?”Gista tak kunjung menjawab. Mata Akash sontak menyipit. “Arvin?”Kepala Gista mengangguk perlahan. “Tugas kantor, Akash. Nggak ada acara spesial.”Dalam dua langkah panjang, Akash langsung mendekati Gista yang sedang berdiri di depan konter dapur. Dia mematikan kompor dan menarik Gista ke pelukannya.“

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   107 | Story WA Pembawa Curiga

    “Latihan kencan lagi?” Gista menatap Arvin.Pria itu mengangguk. Dia menunjuk ke deretan gerobak kaki lima di depan salah satu sekolah Kebayoran Lama. “Nasi uduknya mantap, Gis. Kamu belum sarapan, kan?” Gista menghela napas panjang. “Udah, Kak. Aku lebih suka udah sarapan sebelum berangkat kerja.”“Yah, gimana, dong? Kalau begitu, temani aku makan. Mau?”Gista terdiam.“Anggap saja ini adalah simulasi dari tokohmu yang mencoba lebih membumi, lebih low profile, lebih down to earth.” Arvin berkata.Gista seketika menggelengkan kepala. “Nggak. Kak Arvin salah. Karakter Gio susah buat low profile. Dia tipe yang “mahal”, Kak.”“Kamu bisa buat referensi makan di kaki lima sebagai dinamika karakter Gio.” Arvin membujuk.Namun, Gista menggeleng tegas. “Awal buat karakter Gio, aku butuh diskusi panjang dengan Mbak Lola. Gio adalah karakter yang udah hidup. Dia itu dominan dan chill banget. Pedagang kaki lima bukan ciri dia.” Gista menggeleng.“Kalau begitu, temani aku makan saja. Ini nggak

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   106 | Pendusta Kelas Wahid

    Pacaran adalah proses saling menjajaki, saling mengenal, dan harus diwarnai interaksi yang saling menghormati.Akash tahu konsep pacaran. Namun, jika semua harus berhenti menyentuh Gista secara intim, rasanya dia tak bisa.“Nggak bisa.” Akash menolak permintaan wanitanya yang baru semalam berubah status jadi pacarnya.Gista terkikik geli. Akash terperangah takjub.“Kenapa?” tanya Gista, bingung melihat ekspresi Akash.Pria itu berkata dengan nada takjub yang tidak coba disembunyikan. “Kamu bisa ketawa.”Gista mengangkat alis. “Tentu aja. Aku ini manusia, bukan robot.”“Biasanya kamu hanya punya satu ekspresi. Datar.”Wanita itu jengah. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain. Namun, jari Akash meraih dagunya dan mengembalikan tatapan Gista kembali tertuju padanya.“Aku senang kamu bisa lebih berekspresi. Tapi ekspresi ini hanya boleh kamu perlihatkan di depanku.”“Dih, ngatur.” Pipi Gista bersemu merah.“Tentu saja. Aku pacarmu.” Akash mengecup bibir kekasihnya. “Aku bebas mengaturmu s

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   105 | Kontrak Hubungan

    “Kita pacaran yok, Gis?”Otak Gista mendadak kosong. Dari grade cerdas, dia mendadak merasa turun tingkat ke imbisil. Untuk mengolah satu jawaban saja susahnya setengah mati.“Aku nggak mau kamu mikir-mikir dulu.” Akash menambahkan.Gista mengerjap-ngerjap cepat. Seluruh teori meditasi yang dipelajarinya di internet untuk menenangkan diri lenyap sudah. Dia tak bisa tenang. Sama sekali tak bisa tenang.“Aku mau jawaban sekarang.” Akash menarik Gista masuk pelukannya lebih rapat lagi.“Tapi … tapi ….” Gista kehilangan kata-kata. Dia memaki dirinya sendiri. Ke mana bakatnya sebagai penulis yang selama ini mampu merangkai ribuan kata dalam sehari?“Nggak ada tapi-tapian.” Akash membawanya berjalan perlahan memutari apartemen. Pria itu bergerak sedemikian rupa, sangat lembut, sampai Gista tidak menyadari bila Akash tengah memainkan satu tarian bersamanya.“Kenapa kita harus pacaran?” tanya Gista kehilangan fokus.“Karena kita sudah tidur bersama.”“Tidur bersama nggak harus berarti pacaran

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   104 | Menghamili Gista?

    Gista menarik tangannya cepat-cepat. Ekspresinya sangat dingin. “Ini kantor, Kak. Bisa kita profesional? Kita omongin kerjaan sekarang.”Arvin tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Dia hanya mengangguk dan mulai membahas naskah dengan Gista.Saat akhirnya sesi diskusi itu berakhir, Gista bergegas kembali ke mejanya. Napasnya kembali teratur setelah hampir dua jam terasa sesak. Dia memasukkan laptop ke tas, berniat mengecek pesan di ponsel, saat satu notifikasi dari situs gaya hidup yang diikutinya muncul di layar.“Wanita Sering Meremehkan. Padahal Tolak Cinta Pria Bisa Berakibat Mengerikan.”Gista membeku di kursinya. Gumamannya sangat lirih. “Buset, kenapa artikel ini muncul sekarang, sih? Ada pertanda apa buat aku?”Dia menatap pintu ruang editor. Detik itu juga, Gista berharap Lola bisa segera masuk kantor dan mengambil alih proyek menulis ini.~~~“Bro, lo kesambet malaikat? Dari tadi senyum-senyum terus.”Akash memutar kursi kerjanya. Dari yang awalnya menatap pemandangan gedu

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   103 | Ditembak

    “Kamu sudah punya pacar, Gis?”Pertanyaan itu muncul karena Gista yang terlalu lama merespons permintaan Arvin. Tentu saja pria itu jadi curiga.Gista menggeleng pelan. Namun, bayangan Akash masih terus muncul di depan matanya. Dia menggeleng-geleng, meyakinkan diri kalau yang dilihatnya itu hanya halusinasi saja.“Jadi, aku bisa dekati kamu?” tanya Arvin lagi.Gista menghela napas panjang. Dia menggeleng perlahan. “Kak Arvin, aku–”“Pikirkan saja dulu, Gis. Jangan buru-buru kasih jawaban.” Arvin tersenyum lebar. Dia menepuk bahu Gista lembut. “Aku nggak antar kamu ke rumah temanmu. Nggak apa-apa, kan? Biar kita nggak canggung.”Gista mengangguk perlahan. Dia berjalan keluar halte tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Baru setelah berada di luar, dia sadar jika dari tadi menahan napas.“Astaga, apaan itu tadi?” Gista menarik napas dalam-dalam. “Kenapa Kak Arvin tiba-tiba banget nembak aku?”Gista mengeluarkan ponsel. Ada pesan dari Akash. Pria itu memintanya segera pulang ke apartemen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status