MasukAkash bukan orang yang terbiasa melakukan hal bodoh. Seluruh tindakannya cermat dan terencana. Namun, malam ini pengecualian. Melihat wanita itu berdekatan dengan John, Akash tiba-tiba tergoda untuk menariknya pergi.
Menolongnya? Entah. Akash merasa belum sedekat itu untuk menolong seseorang yang asing. Dia tak mengenal Gista. Hanya berbekal selembar kartu nama dan ocehan omong kosong dari mulut wanita itu, harusnya tak serta-merta membuat Akash bergerak dari kursinya. Namun, ada sesuatu dalam diri Gista yang membuatnya mengesampingkan sebentar rasionalitas. Menyelamatkan Gista dari John bisa jadi adalah sesuatu yang berguna di masa depan. Sayangnya, konsekuensi atas tindakannya harus diterima Akash di muka. Open room bersama wanita cantik di kamar hotel yang luas, kedap suara, dan berfasilitas penuh ternyata mulai menguji batas pertahanan Akash. “Kamu yakin?” Akash bersandar di pintu kamar mandi. Perhatiannya malah teralihkan pada gestur Gista yang sangat menarik. Ya, menarik. Karena wanita itu duduk sekaku papan di tepi tempat tidur. Pandangan Gista juga lurus ke depan. Ditambah ekspresi sangat serius, tanpa senyum, tanpa lirikan mata menggoda, membuat Akash seperti melihat sosok mahasiswa yang sedang menghadapi ujian dari profesor. Gista sekarang beda jauh dengan Gista yang memberinya tawaran tidur bersama beberapa jam lalu. “Yakin.” Alis Akash terangkat sebelah. Berbeda dengan saat di bar, suara Gista kali ini malah terdengar lemah dan tak yakin. “Yakin?” Akash kembali bertanya. Saat melihat anggukan kepala Gista, pria itu merasa geli. “Tapi kamu kelihatan tegang.” Gista mendongak dan buru-buru menunduk saat melihat Akash melepas jas dan melucuti dasi. “Biasa aja.” “Oh, ya?” Akash mulai melepas tiga kancing teratas kemejanya. Dia berjalan mendekat dan duduk di samping Gista. Kasur sedikit bergoyang menerima beban tubuhnya. “Kamu tahu untuk bisa bercinta, seorang pria harus tegang?” Wajah Gista merah padam. Dia beringsut sedikit menjauhi Akash, meski masih duduk di tempat tidur. “Sikapmu ini seperti belum siap.” Akash menatap Gista lekat-lekat. “Tapi kamu tetap datang.” Akash membiarkan ada jarak di antara mereka. Dia bersandar santai. Dari jarak sedekat ini, dia bisa mencium aroma parfum Gista yang bercampur dengan bau tubuhnya. Manis. “Kuberitahu satu rahasia kecil.” Akash berbisik dengan suara parau. Gista menjawab tanpa menoleh. Tangannya saling meremas di pangkuan. “Apa?” “Saat bermesraan, tubuhmu akan merespons lebih dulu. Sementara akalmu ketinggalan di belakang.” Gista menoleh. Pandangannya membelalak. Akash langsung menahan dagu wanita itu agar tak lagi-lagi menghindari dirinya. “Tak percaya?” Ibu jari Akash mengusap bibir bawah wanita itu. Mengabaikan bayangan dada indah yang terpampang di depan mata, Akash memusatkan perhatian sepenuhnya pada sepasang mata indah Gista. Dia melihat wanita itu menggigil, tapi tetap diam. Gista memejamkan mata rapat-rapat seperti melihat hantu. Akash perlahan menurunkan tangan, mengusap garis batas antara rahang dan pipi dengan buku-buku jarinya, lalu bergerak makin turun menyusuri kulit halus leher Gista. “Lihat? Aku cuma menyentuhmu ….” Akash berbisik. Melihat Gista memejamkan mata rapat-rapat, dia semakin berani. Jari Akash menelusuri tulang selangka Gista, lalu berhenti di tali gaun wanita itu. “... tapi tubuhmu mengatakan lain.” Akash perlahan menurunkan tali gaun wanita itu. Dia terkesima melihat bagaimana helaian kain mungil itu meluncur mulus dari bahu Gista. Suara kesiap keras terdengar. Refleks wanita itu membuka mata. Dua tangannya langsung memegang tali gaun erat-erat, seolah benda kecil itu bisa menjadi penyelamat hidupnya. Akash perlahan mengurai tangan Gista. Dia menundukkan kepala. Hampir tak ada celah di antara mereka. Mata Akash melirik ke bawah, melihat kulit putih mulus yang membusung indah dan belahan dada yang menghilang di balik garis terbawah gaun. Samar-samar terlihat puncak dada yang menonjol dari balik bahan gaun. Jakun pria itu bergerak sedikit cepat. Akash hanya diam di sana, membiarkan napasnya menyentuh bibir Gista. Lalu bisikannya menyapu pendengaran wanita itu. “Jangan bergerak. Kalau aku menunduk satu senti lagi, bibirku akan menyentuh punyamu….” Akash berkedip. Dia bisa melihat jelas ketegangan di diri wanita itu. Gista sudah serupa busur panah yang direntang lebar-lebar. Akash masih terus menggoda. “Tapi aku lebih suka kamu yang minta dulu.” Wajah Gista linglung. Dia mendongak. Itu kesalahan fatal karena jaraknya dengan Akash malah jauh lebih kecil sekarang. “Min–minta apa?” Akash berkedip. Dengkusan geli lolos dari kerongkongannya. Alih-alih menjawab, Akash justru makin menunduk, menjauh dari bibir Gista. Sebagai gantinya, dia mencium ujung bahu wanita itu, merasakan badan ramping itu tersentak kaget. Namun, Akash tak peduli. Bibirnya terus bergerak, mencium inci demi inci kulit semulus sutra di hadapannya. Sejujurnya itu bukan ciuman yang rakus. Namun, ciuman yang pelan, menggoda, penuh kesabaran. Sampai Akash memergoki tangan Gista mencengkram pinggiran tempat tidur kuat-kuat. Saking kuatnya sampai buku-buku jarinya memutih. Akash berhenti. Konsentrasinya sedikit terganggu. Kerut muncul di kening Akash. Kepalanya terangkat pelan. “Ke-napa?” Gista terbata-bata. Pria itu cermat mengamati Gista. Posisi duduk si wanita tak berubah sedikitpun sejak di awal Akash mencumbu. Bahkan punggung Gista malah semakin tegak, seperti ada papan yang ditempelkan di belakang tubuhnya. Akash memejamkan mata, memaki dalam hati. “Ba-Bapak bisa teruskan. Saya … saya akan mencatat baik-baik tiap gerakan di ingatan saya.” Gista tergagap. “Cukup untuk malam ini.” Akash berdiri. Gerakannya tenang, tidak terburu-buru. Namun, kehangatan dalam suaranya menghilang sudah. Berganti dengan nada dingin menusuk. “Kenapa, Pak?” Gista tampak kebingungan. Akash menolak bersikap jujur. Tubuh Gista yang luar biasa tegang dan responsnya yang sangat lugu menerbitkan curiga di hati Akash. Wanita di depannya ini seperti seorang perawan yang belum pernah mendapat sentuhan lawan jenis. Kecurigaan itu bentrok dengan prasangkanya pada Gista. Mungkin saja wanita itu hanya berakting. Namun, seperti yang diyakini Akash selama ini bila tubuh tak mungkin berbohong, Akash merasa bakal menjadi bajingan jika meneruskan pelajaran tentang bercinta ini. “Maaf. Saya gak bisa lanjutkan.” Akash menjawab dingin. “Kamu bukan tipe saya.” Dia menyembunyikan rasa tak nyamannya melihat ekspresi Gista. Wanita itu seperti tak percaya dengan pengakuan Akash. Tanpa menunggu balasan Gista, dia berjalan ke kamar mandi. Shower dinyalakan dan Akash berdiri di bawah kucuran deras air. “Sial.” Akash menunduk melihat dirinya yang begitu tegang. Akash menunduk, menatap tubuhnya sendiri yang menegang tanpa kompromi. Napasnya berat. Air hangat dari shower mengalir menelusuri lekuk ototnya, tapi tak cukup untuk meredam adrenalin yang masih menggelegak. Sudah berapa wanita yang tidur di ranjangnya? Dia bahkan tak perlu mengingat nama mereka satu per satu. Beberapa datang sendiri, lainnya dia pilih karena kesempurnaan lekuk tubuh atau kelihaian mereka di atas ranjang. Semuanya tahu aturan main—malam tanpa ikatan, hanya kesenangan fisik. Tapi tidak ada satu pun yang bisa membuatnya seperti ini. Akash mendesah, memejamkan mata, membiarkan bayangan Gista menyusup dalam benaknya. Rambut acak-acakan, bibir yang bergetar karena marah, dada yang naik turun karena emosi yang ditekan. Dalam benaknya, Gista berteriak di bawahnya, mencoba menolak tapi gagal menyembunyikan gairahnya. Tangan Akash mengarah ke bawah, menyentuh dirinya sendiri. Sentuhan itu cepat berubah menjadi gesekan penuh tuntutan. Gerakannya makin liar saat membayangkan Gista di bawahnya—berantakan, pasrah, liar. Entah berapa lama Akash berada di kamar mandi, memuaskan dirinya sendiri dengan fantasi bersama Gista. Saat kembali ke kamar, pria itu tertegun. Kamar itu kosong. Seprai sudah kembali licin seperti tak pernah diduduki. Tak ada Gista. Yang tertinggal di udara hanya jejak aroma parfumnya saja, juga secarik kertas kecil di atas nakas. Akash mendekat. Dengan dua jarinya, dia mengangkat memo itu. Wajahnya mengerut. Kalau tidak mampu, jangan pernah memulai. Bapak juga bukan tipe saya. Tapi, terima kasih untuk pelajarannya. Saya sudah tinggalkan bayaran di atas nakas. Akash melihat ada beberapa lembar seratus ribuan di atas nakas. Satu sudut bibirnya terangkat, tersenyum, tapi tak sampai ke mata. “Wow.” Akash masih membawa kertas bertulisan tangan Gista dan duduk di sofa. Dia menuang segelas wine, membiarkan cairan merah tua itu menabrak dinding-dinding gelas, sembari memikirkan Gista dengan tatapan kosong. Dia seperti baru saja mendapat tamparan keras di wajah. “Sialan.” Hanya tulisan tangan kecil dan rapi, singkat dan sederhana, tetapi maknanya jauh dari definisi sederhana. Akash mendengkus pelan. Dia melirik lembaran uang di atas nakas tanpa berniat mengambilnya. Akash menjentikkan kertas pesan dari Gista. Kali ini Akash benar-benar tersenyum. Satu senyum pelan seperti harimau yang baru saja kehilangan kelinci buruannya. Dia mengambil kartu nama dari saku jas. SWARI Penulis Fiksi 📧 gista_maheswari@megalitera.co.id 📱+62 851-1234-5678 🌐 www.megalitera.co.id/gistamaheswari 📍Jakarta, Indonesia Akash mengamati kartu nama di tangannya. Tanpa ekspresi. Tanpa emosi. Dia meneguk wine lalu menjentikkan kartu nama itu ke udara. Kertas kecil itu melayang cepat, kemudian telak masuk ke tong sampah di sudut ruang.“Akash tak datang lagi?” Asisten pribadi sekaligus tangan kanan Adam Salim mengangguk. Dia menyerahkan map tebal ke hadapan bosnya.“Tuan Akash terakhir kali terlihat di apartemennya bersama seorang gadis.”Adam, pria yang hampir menginjak angka enam puluh tahun, memicingkan mata. Dia mengamati satu demi satu dari delapan belas foto berukuran A5 yang tersusun rapi di dalam map.“Siapa dia?” Kening Adam berkerut. “Penampilannya biasa saja. Tak ada bagus-bagusnya.”Si aspri langsung menyebutkan profil Gista Maheswari dengan cukup rinci. Seolah dia seperti Wikipedia hidup yang mengetahui sosok Gista hampir dari A sampai Z.“Gista Maheswari, alias Swari, adalah penulis di Megalitera. Itu penerbit kecil yang sempat mendapat suntikan dana dari Salim Publishing, tetapi kemudian dibatalkan karena muncul skandal dengan Tuan Akash.”Adam mendengarkan perkataan asisten pribadinya. Ekspresinya dingin, hampir terlihat acuh tak acuh. Namun, otaknya merekam setiap kata yang didengarnya.“Jadi, Akas
“Baru kali ini royaltiku segede ini. Bisa sewa apartemen mewah nggak, ya?”Gista terkesiap saat buku tabungannya diambil paksa oleh Akash. Dia melotot galak ke arah pria yang sudah berdiri di atasnya.“Akash, balikin!” Gista berjinjit. Tinggi Akash yang kelewat jangkung membuatnya kerepotan mengambil buku tabungan.“Kenapa harus sewa?” Akash menatap Gista. Dia sudah membaca saldo tertera di buku rekening. Nominalnya lumayan, tapi jelas masih kalah banyak dibanding isi saldonya.“Kenapa nggak tinggal permanen di tempatku saja?” tanya Akash lagi.Gista mencebik. Dia tak mau lagi merebut buku tabungannya. Sebagai gantinya, Gista melempar diri ke tempat tidur dan mengamati Akash yang berdiri di depan meja kabinet.Sudah empat hari berlalu sejak mereka kembali dari Surabaya. Rangkaian tur buku Gista sudah selesai. Kini waktunya dia menikmati kesuksesan dengan tenang sambil merancang draf buku baru.“Kamu emang segemesin gini ya, Kash?” Gista menggoda. Dia membuka satu demi satu kancing kem
“Gagal?” Akash mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Dia mematikan mode pengeras suara. “Ya, gagal.” Akash mengulang perkataan sahabatnya. “Yang bener? Miss Gista gak ada di Surabaya?” “Bukan nggak ada. Dia nggak mau ketemu sama aku.” Akash mengamati kopernya yang sudah berdiri tegak di samping tempat tidur. Setengah jam lagi sopir yang akan mengantarnya ke bandara datang. Akash tak mau berlama-lama di kota ini. Sudah gagal bertemu Gista, dia harus secepatnya kembali ke Jakarta. Dia tak boleh menimbulkan kecurigaan banyak orang di sana. “Wah, Bro. Serius, nih? Hubungan kalian beneran di ujung tanduk?” Akash bisa membayangkan sahabatnya mondar-mandir di Jakarta sana. Pasti Leo tidak terima karena rencananya yang sempurna ternyata tak berhasil membawa Gista kembali pada Akash. “Nggak tahu.” Akash mulai merasa lelah. “Dua minggu ini dia full menghindar.” “Itu kesalahan lo, Kash. Mentang-mentang Miss Gista udah lo dapetin, terus lo kasih dia treatment kayak di dunia bis
“Wah, keren juga si Swari.” Akash mendongakkan pandangan ke arah Leo. “Dengar ini, Bro.” Leo tertawa seraya menaikkan volume salah satu podcast di kanal YouTube. “Benarkah tokoh pria dalam novelmu terinspirasi dari seseorang yang nyata?” Gista tersenyum samar di layar. “Mungkin. Tapi pria itu sekarang cuma bagian dari masa lalu.” Leo bersiul keras. “Wah. Wah. Gue udah tebak. Miss Gista adalah lawan berat buat lo.” Akash kembali menundukkan pandangan menghadapi setumpuk dokumen di atas meja. Raut mukanya tenang, tetapi hatinya mendidih. “Kalau mau marah, ya marah aja, Kash. Gak usah sok-sokan ditahan.” Leo terkekeh. “Lo keluar atau HRD bakal pecat lo?” Akash bertanya dingin. Tawa Leo makin keras. “Cemen banget lo. Tiap ada masalah, ancamannya cuma itu mulu. Basi.” Pria itu berjalan mendekat. “Arvin udah kelar. Sekarang masalah lo malah sama Miss Gista. Kalian ini emang pasangan yang unik.” “Dia memergoki Amara datang ke apartemen,” ujar Akash datar. Mulut Leo terbuka lebar
“Kamu tahu nggak rasanya disembunyikan kayak sesuatu yang kotor?”“Aku nggak sembunyikan kamu karena malu, Sayang. Aku cuma belum siap kalau Papa tahu aku beneran sayang.”Gista termangu teringat obrolannya dengan Akash semalam. “Kupikir kamu sembunyiin aku dari papamu. Tapi kayaknya nggak, Akash,” gumam Gista lirih.Dia masih melihat Amara yang menghilang ke dalam lift. Tanpa menebak pun, Gista tahu persis wanita itu pasti tengah menuju ke apartemen Akash.“Menolak perjodohan, hah? Kamu emang nggak bisa diercaya.”Gista menghela napas panjang. Dia memutuskan mengabaikan kehadiran Amara di gedung apartemen mereka. Taksinya sudah datang. Jadi, Gista memilih untuk berangkat kerja alih-alih kembali ke apartemen dan mengawasi pertemuan Amara dan Akash.Di kantor Gista langsung dihadang Direktur. “Rapat penting, Gista.”“Rapat apa, Pak Direktur?”“Karena novelmu laris manis dan masuk rak best seller di banyak tempat, banyak yang minta kamu sebagai narasumber bedah buku.”Gista mengerjapka
“Akash, buka! Papa mau bicara!”Gista langsung menjauh dari Akash. Matanya membelalak lebar. Dia menutupi tubuhnya dengan dua tangan karena gaun tidur yang dikenakannya memang hanya bertali tipis.“Papamu?” Gista bertanya tanpa suara.Akash menggeram kesal. Kesenangannya terganggu oleh si orang tua itu.“Tunggu di dalam.” Akash tiba-tiba menarik Gista memasuki kamar. “Jangan keluar sebelum aku beri aba-aba buat keluar.”Mulut Gista terbuka lebar-lebar. Sepasang matanya membulat besar. Benaknya yang sudah berprasangka, kini makin negative thinking.“Kamu sembunyiin aku lagi?” tanya Gista tidak percaya.Di latar belakang terdengar gedoran keras lagi. Suara papa Akash terdengar nyaring di luar. Akash menghela napas berat.“Kamu mau menemui papaku dengan pakaian seperti ini?”“Aku bisa ganti baju.” Gista menantang.Akash mengernyitkan dahi. “Gista, ada apa sama kamu? Kenapa kamu ingin sekali ketemu sama papaku?”Gista menelan ludah. “Nggak ada alasan khusus, kok.”“Akash! Papa tahu kamu s







