“Bapak mau gak tidur sama saya?”
Gelas di tangan bartender hampir saja tergelincir saat mendengar pertanyaan Gista. Tak cuma sang bartender, Akash sendiri langsung terbatuk-batuk setelah menyemburkan minumannya. Dengan mata melotot tajam ke arah Gista, pria itu berucap setengah berseru, “Apa kamu bilang?!” “Tidur, Pak. Sama saya. Bapak mau?” ulang Gista dengan wajah yang sangat tenang. “Gak waras,” balas Akash yang langsung meletakkan gelas dan berniat menjauhi tempat tersebut. Namun, belum ada berapa langkah, sebuah tangan menghentikannya. Dia menoleh, itu Gista, yang masih menatapnya datar, tapi serius. “Saya sedang riset untuk novel terbaru. Romansa erotis. Jadi, saya butuh pengalaman langsung,” jelas Gista. “Saya dengar Bapak berpengalaman, jadi … bapak bisa tolong bantu saya?” Akash menyipitkan matanya. “Apa ini cara terbaru untuk mendapatkan sponsor?” tanyanya, membuat Gista memiringkan kepala, bingung. “Kalau ya, saya tidak tertarik.” Pria itu menepis tangan Gista, berniat pergi. Tapi, wanita itu kembali menahannya! “Saya gak butuh sponsor. Saya butuh subjek riset,” tegas Gista. Kemudian, wanita itu mengeluarkan kartu nama dan memberikannya pada Akash. “Saya penulis di Megalitera, nama pena Swari.” Akash melirik kartu nama itu, lalu keningnya berkerut. Di sisi lain, Gista mempelajari wajah Akash. Pria itu tampak benar-benar tidak tertarik. Apa … dirinya sungguh akan gagal? Dia hanya punya waktu kurang dari 24 jam sekarang. Kalau bukan Akash, siapa lagi yang bisa dia jadikan subjek riset? Selain saudara kandungnya yang sudah lama tidak dia hubungi, Gista sama sekali tidak pernah berkontak dengan laki-laki mana pun. Tiba-tiba, telinga Gista menangkap sejumlah komentar. “Lihat dia! Nekat banget dekatin Tuan Akash!” “Apa dia gak tahu cara mainnya? Tuan Akash selalu memilih wanitanya sendiri, dan mereka yang menawarkan diri seperti itu pasti bakalan ditolak.” Mendengar hal tersebut, mata Gista membulat sekilas, lalu ekspresinya langsung berubah serius. ‘Jadi, begitu ….’ Di saat ini, Akash mengangkat pandangan menatap Gista, “Saya—” “Kalau Bapak tidak tertarik, maka tidak masalah. Maaf mengganggu waktunya, saya permisi.” Akash tertegun, pandangannya terpaku pada sosok Gista yang berjalan pergi. Namun, kemudian pria itu melihat wanita itu berhenti di tempat, lalu berbalik dan berjalan ke arahnya cepat. “Tapi tolong terima kartu nama saya, Pak. Siapa tahu kedepannya kita bisa bekerja sama.” Usai mengatakan itu, Gista membungkuk sedikit. “Permisi.” Lalu, dia pergi lagi ke sisi bar yang lain. Akash mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menatap kartu nama di tangan. Sesaat, pandangannya bertemu dengan mata bartender. Keduanya bersitatap bingung. “Tadi itu … sungguh terjadi, ‘kan?” tanya Akash. Bartender mengangguk. “Ya, Tuan….” “Dia mengajak saya tidur?” “Betul, Tuan.” “Lalu tanpa memberikan saya kesempatan menjawab, dia berubah pikiran dan langsung pergi?” Sebuah senyuman canggung terlukis di wajah bartender seiring dia mengangguk. “Benar, Tuan Akash.” Seketika, ekspresi Akash berubah gelap, lalu dia memperhatikan lagi sosok Gista yang telah duduk di salah satu kursi bar. “Tidak waras,” ucapnya, sebelum akhirnya memasukkan kartu nama Gista ke dalam jasnya dan berjalan menjauhi bar untuk kembali ke mejanya. “Lo ngobrol sama siapa tadi? Gak bawa ke sini?” Leo–staff Akash sekaligus partner in crime Akash tiap kali berada di pesta formal dengan sekumpulan orang tua-tua yang membosankan, terlihat penasaran. Akash menoleh ke arah mata Leo tertuju. Dia melihat Gista yang sudah kembali ke bar. Keningnya berkerut. “Gak tahu. Cewek gila.” Leo mengerutkan keningnya. “Ngajak gue tidur,” bisik Akash. Minuman di mulut Leo spontan tersembur ke arah Akash. Pria itu menggeram rendah. Untung saja dia berhasil menghindar tepat waktu. “Sialan,” desisnya kesal. Tamu-tamu lain di meja itu melirik sebentar sebelum kembali kepada kesibukan masing-masing. Leo tertawa tertahan seraya memandangi Akash. Ekspresi kaget di wajah pria itu terpampang jelas. Leo mencondongkan badan ke arah Akash. “Serius? Rumor lo soal satu pesta satu cewek berarti panjang, ya.” Akash menarik gelas milik Leo. Dia tak menjawab pertanyaan itu. Sebagai gantinya, Akash memusatkan perhatian ke panggung. Acara penghargaan sudah selesai setengah jam yang lalu. Alasan yang membuat Akash meninggalkan mejanya sejenak untuk beristirahat di bar. Berkumpul di meja VIP dengan orang-orang tua yang cenderung konservatif dalam memimpin media dan penerbitan membuat nafasnya sering sesak. Kini suara merdu penyanyi tenar bernama Diva terdengar dari arah panggung. Akash menikmati suaranya, tapi pikirannya berada di tempat lain. Sosok Gista yang baru ditinggalkannya beberapa menit lalu mengganggu pikirannya. Cara Gista mengajak dirinya tidur bersama tidak seperti para wanita menggoda yang sering naik ke ranjangnya. Sebaliknya, wanita itu seperti partner bisnis yang mengajak kerja sama. Datar tanpa emosi, bukan penuh nafsu dan gairah. Atau … jangan-jangan dia sudah terlalu sering menawarkan tubuhnya kepada pria asing hingga tidak merasakan apa pun dan hanya menganggapnya bisnis? Tapi … rasanya tidak juga. Ekspresi Gista waktu bicara tidak seperti penggoda murahan. Tatapannya juga terlalu murni, juga serius. Seakan … sungguh untuk riset semata. Menghela napas kasar, Akash kembali memusatkan perhatian pada wine dan acara malam ini. Sebagai salah satu penerima penghargaan, Akash merasa tak etis bila tampak cuek. Jadi, dia menekan rasa ingin tahunya tentang Gista dan mengalihkan perhatian pada penyanyi di atas panggung. Sialnya mata Akash berkhianat. Dia kembali melirik Gista. Wanita itu masih duduk di bar sendirian. Tangan Akash memutar-mutar gagang gelas. “Itu cewek emang gila beneran?” Tepat pada saat itu, mata Gista melirik ke arahnya. Sial. Hal itu membuat Akash tertegun dan langsung terbatuk-batuk. Dia merasa tertangkap basah! “Kenapa lo?” tanya Leo saat melihat keanehan Akash. Lalu, pandangannya mengikuti arah pandang Akash tadi. Karena merasa dapat sekutu melihat Gista, Akash jadi lebih santai mengamati wanita itu. Tampak Gista sudah mengalihkan pandangan ke arah lain, mungkin … wanita itu tidak menangkap basah dirinya tadi. Gista bertubuh ramping dan mungil. Tingginya rata-rata wanita Indonesia. Bahkan heels yang dipakainya tak mampu mengubahnya jadi jenjang. Dan siapa pun yang sudah merancang gaun itu tahu betul cara membunuh seorang pria pelan-pelan. Warna hijau berliannya menyatu sempurna dengan kulit Gista yang semulus sutra basah. Namun, yang paling mengganggu Akash sekaligus membuatnya kesulitan berpaling adalah potongan rendah di bagian dadanya. Lekuk itu, belahan itu, seperti satu undangan bagi pria-pria kelaparan. Dari seluruh penampilan Gista, bagian itulah yang jadi favorit Akash. Aset indah berukuran besar yang membuatnya sulit berkedip. “Dia sendirian aja dari tadi, gak keliatan membaur. Lo tau Mr John, kan? Si bule itu baru aja kena skors dari perusahaannya karena kasus pelecehan ke pegawainya sendiri.” celetuk Leo lagi. “Lagi ngobrol sama cewek tadi.” Akash mengalihkan pandangan dari dada Gista. Keningnya berkerut. Dia melirik Gista lagi. Tak ada tawa. Wajah Gista tetap datar, tetapi ekspresi Mr. John semringah. Akash tak mengerti mengapa dia tiba-tiba merasa gelisah. Kepala Akash menggeleng. “Menurut lo, dia cewek yang suka numpang tenar ke orang lain gak?” Leo melihat ke arah Akash. Senyumnya misterius. “Gue kenalan sama dia dulu, baru bisa jawab pertanyaan lo. Tapi dia deketin Mr. John. Kayaknya dia emang cewek yang demen nyari shortcut buat tenar. Kalo cewek bener-bener, gak seintim itulah dia ngobrol sama pelaku pelecehan. Eh, lo mau ke mana?” Akash berdiri. “Duluan.” Akash meletakkan gelas di meja. Langkahnya ringan. Tanpa memperdulikan tamu-tamu di meja VIP, dia melenggang pergi. Jalannya santai melewati bar, melingkari para tamu yang lain, dan berbasa-basi pada beberapa orang yang menyapanya. Pria itu seperti tak mengarah ke mana pun, tetapi kakinya bergerak mantap menuju ke tempat Gista dan Mr. John.[Meeting reschedule ya. Lo terusin novel. Sore ini kirim progress ke gue.]Gista mengerjap dan berhenti di tengah jalan. Lola–editornya membatalkan meeting yang dicanangkan sejak beberapa hari lalu. Membahas kemajuan progress Gista di depan fellow writer lainnya.Gista hanya merutuk kecil. Padahal jika waktunya dimaksimalkan ia bisa melakukan riset.Riset.Mendengar kata itu, Gista berpikir keras. Untuk yang tadi– bisa dijadikan bukunya kan? Dimana tokoh female lead bukunya bernama Sarsha terjebak di ruangan kecil dengan male lead bernama Gio. Setelahnya mereka bercumbu hebat. kemudian—“Gis, hape lo bunyi.”Gista gelagapan. Dia mengangguk pada teman kerjanya yang sudah kembali ke kubikelnya sendiri. Sementara Gista menatap layar ponsel dengan heran.Gista enggan mengangkat telepon dari yang tak dikenalnya. Sekali lagi dia menekan tombol merah, menolak panggilan telepon. Gista tak berminat memeriksa histori ponselnya dan langsung berkutat dengan draf novel di mejanya sendiri.Lalu bad
Ada yang berbeda dengan Akash sejak kembali dari Megalitera. Dia berjalan tanpa menoleh sama sekali. Sesampainya dalam ruang kantornya yang sejuk, Akash berdiri kaku. Pintu ruangannya nyaris pecah kena hantaman tangannya. Akash menarik kasar dasi yang sedari pagi melingkar asal di lehernya dan melemparnya asal-asalan ke sofa.Langkah kaki Akash lebar-lebar. Napasnya berat, nyaris menggedor lantai. Wajahnya menggelap. Dan sepasang mata tajam Akash menyimpan bara ….… bara yang sejak pagi tak kunjung padam. Kepalanya masih dipenuhi bayangan Gista. Tatapan dingin perempuan itu, bahkan lebih dingin daripada AC kantornya. Cara Gista meninggalkan kamar tanpa ragu, hanya meninggalkan selembar catatan dan dua lembar uang ratusan ribu di atas meja, bahkan sampai hari ini Ia membalikkan keadaan– meninggalkan Akash jadi pelajaran.“Sialan.” Akash memaki pelan. Leo mengangkat alis. Ia berdiri di pojokan ruang Akash. Ia tak menyangka kehadirannya tak disambut baik dengan pemilik ruangan.“So… Gi
"Apa yang kamu harapkan barusan? Kenapa kamu tutup mata?" Gista membuka mata perlahan. Antara percaya dan tidak, dia akhirnya membelalak. Tangannya sangat susah digerakkan, tetapi harus bergerak. Jadi, dia mengusap dada seraya memalingkan muka. Napas Gista memburu kencang. Dia berusaha menenangkan degup jantung yang liar setelah terlalu lama memejamkan mata di hadapan Akash. Sementara di hadapannya mata Akash menyala oleh gairah. Namun, secepat datangnya, secepat itu juga Akash memadamkan apinya. Tetap saja, dia masih memandangi Gista dengan sorot mata tajam. Seolah pandangannya mampu menelanjangi wanita itu. Gista mengerang dalam hati. Bisa-bisanya dia bersikap begitu konyol dan memalukan seperti itu. Ia pikir ini akan seperti momen dalam novel yang pernah ia baca. Dimana ruangan gelap akan menjadi orang ketiga si tokoh utama. Tapi kenapa ia tak juga menciumnya? Perlahan Gista memegang bibirnya yang mulai mengering. Gista berdeham-deham. Dia bergeser menjauhi Akash. Sembari
Pujian tak pernah membuat Gista besar kepala. Namun, pagi itu, saat Lola memanggilnya ke ruang editor, pujian justru terasa seperti jebakan.“Good job! Nah, gini dong, Gis. Lo kalo mau usaha, pasti bisa nulis adult romance.”Lola memberi isyarat agar Gista mendekat. Suara kursi putar digeser terdengar di ruang rapat kecil Megalitera. Gista kini berhadapan dengan laptop Lola yang menampilkan draf bab pertama naskahnya.“Premis lo udah oke. Chapter pertama juga udah lumayan bagus, lebih bagus dibanding yang kemarin. Ini udah ada jiwanya, meski masih tipis banget. Mature vibes-nya udah keliatan, Gis. Tapi masih belum nendang, belum bikin basah kuyup pembaca. Gue butuh yang nuansanya hot banget, lebih heavy lagi biar pembaca sampe blingsatan.”Kritikan Lola membuat kepala Gista pening. Namun, wanita itu tak menunjukkannya. Dia hanya menatap kosong ke layar laptop.“Kalo yang kemarin kurang spicy, ini kurang basah. Tambahin lagi, Gis. Lo harus bisa bikin cerita yang panas ngebakar. Pokok
Akash bukan orang yang terbiasa melakukan hal bodoh. Seluruh tindakannya cermat dan terencana. Namun, malam ini pengecualian. Melihat wanita itu berdekatan dengan John, Akash tiba-tiba tergoda untuk menariknya pergi.Menolongnya? Entah. Akash merasa belum sedekat itu untuk menolong seseorang yang asing. Dia tak mengenal Gista. Hanya berbekal selembar kartu nama dan ocehan omong kosong dari mulut wanita itu, harusnya tak serta-merta membuat Akash bergerak dari kursinya.Namun, ada sesuatu dalam diri Gista yang membuatnya mengesampingkan sebentar rasionalitas. Menyelamatkan Gista dari John bisa jadi adalah sesuatu yang berguna di masa depan.Sayangnya, konsekuensi atas tindakannya harus diterima Akash di muka. Open room bersama wanita cantik di kamar hotel yang luas, kedap suara, dan berfasilitas penuh ternyata mulai menguji batas pertahanan Akash.“Kamu yakin?” Akash bersandar di pintu kamar mandi. Perhatiannya malah teralihkan pada gestur Gista yang sangat menarik.Ya, menarik. Karena
Gista menoleh kanan kiri. Dia sudah menghabiskan dua gelas lemonade miliknya, yang ngomong-ngomong rasanya makin pahit. Sekarang dia sedang menunggu gelas ketiga sambil mencari-cari target berikutnya.Sayangnya ternyata sulit bagi Gista untuk menemukan orang yang cocok. Helaan nafasnya berat. Setelah ditolak Akash Salim, level malas Gista malah naik tinggi.Deadline dari Lola adalah problem tersendiri yang memaksa Gista harus mengalahkan rasa malas. Dua puluh empat jam sudah berkurang banyak. Kalau ingin membuat naskah super spicy seperti permintaan editornya, Gista harus tahu tentang hasrat, gairah, dan bercinta.Dia bisa menulis hal lain dengan mudah. Namun, tiga hal itu adalah topik berat yang susah diurai oleh Gista. Ada alasan khusus yang membuatnya kesusahan dan akhirnya terdampar di bar mencari-cari subyek yang tepat untuk riset.“Mr. John, long time no see. Gimana kabarnya? Insiden kemarin oke-oke aja, eh?”Gista menoleh sekilas. Seorang pria bule berjas abu-abu, berumur sekit