“Nggak nawarin aku minum di rumahmu, Gis? Udah kuanterin pulang, nih.”Gista melepas sabuk pengaman. Dia menatap Arvin yang duduk di belakang kemudi.“Rumahku berantakan, Kak. Nggak siap terima tamu.”Arvin menahan pergelangan Gista, tetapi langsung melepaskannya lagi saat melihat tatapan tajam wanita itu.“Sori. Kelepasan. Semoga ke depan nggak nunggu lama lagi biar bisa gandengan terus sama kamu.”Gista menghela napas panjang. “Nggak lucu, Kak.”“Jadi, besok kujemput?”Gista mengangkat bahu. “Nggak usah. Aku besok ada riset di luar.”Gista keluar mobil Arvin. Hari ini dia tidak lembur. Namun, Direktur mentraktir semua orang makan di restoran yang baru buka dekat kantor. Alhasil, Gista jadi kemalaman pulang.Dan dia terpaksa menerima tawaran Arvin untuk pulang bersama. Gista sudah ketinggalan busway terakhir.Malam sudah beranjak ke dini hari. Badan Gista lelah luar biasa. Langkahnya lemas menyeberangi jalan. “Baru pulang?”Gista terlonjak kaget. Matanya seketika terbuka lebar saat
“Kamu betulan jadi simpanan Pak Akash Salim?”Gista hampir saja tersedak ludahnya sendiri. Matanya membelalak nanar ke arah Direktur.Pria paruh baya itu sedang menatapnya penuh spekulasi. Entah apa yang ada di pikiran Direktur tentang Gista saat ini.“Pak Direktur, bagaimana Anda bisa percaya gosip murahan seperti itu?” Gista balik bertanya dengan nada datar.Direktur mengernyitkan dahi. “Kamu betulan nggak bisa berekspresi, ya?”“Hubungannya dengan saya dipanggil ke sini apa, Pak?”“Oh ya. Benar.” Direktur membetulkan posisi duduknya. “Suasana di kantor agak ribut. Jujur saja, ada gosip santer terdengar tentang kamu.”“Pak, itu–”“Ini agak bikin canggung. Jujur, aku nggak peduli benar apa nggaknha. Tapi, Gista. Gosip semacam itu bisa mengganggu citra profesionalmu. Bahkan citra perusahaan. Mengerti maksudku?”Gista terdiam. Telinganya mendengar, hatinya mencerna suara lembut, tetapi dingin Direktur. Setiap kata seperti jarum yang menusuk kulitnya.“Ya, Pak. Saya mengerti,” jawabnya
“Kamu bisa miliki semuanya, Akash Salim. Kecuali harga diri.”Senyum Akash sontak hilang. Sorot matanya berubah dingin menusuk. Perlahan dia berdiri dan menghadap Arvin dengan gestur tegak. Tinggi tubuhnya yang menjulang seolah mengintimidasi Arvin.Sayangnya, Arvin tak takut. Dia justru mencemooh sinis. “Katamu melindungi wanitamu seperti gentleman. Tapi gentleman macam mana yang ngebiarin wanitanya bertarung sendirian di luar sana?”Akash mengernyitkan dahi. Aura mencekam menguar kuat dari Akash.“Kalau memang nggak bisa melindungi dengan baik, jangan sok berakting jadi pelindung, Tuan Akash Salim.”Dalam sekejap, suasana kafe berubah mencekam. Layaknya panggung pertunjukan, Gista menyadari baik Akash maupun Arvin, keduanya pandai memainkan peran. Arvin dengan topeng simpatinya. Dan Akash dengan sikap dinginnya yang mematikan.Kasak-kusuk mulai terdengar dari sekeliling. Gista menghela napas, jengah dengan mejanya yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian."Ada hubungan apa kalian berd
“Kenapa harus gagal orgasme, sih?”Gista mengetukkan jari di atas kibor kuat-kuat. Emosinya tumpah di sana. Matanya terpaku ke layar laptop, tetapi pikirannya berkelan kepada Akash Salim.“Cowok brengsek,” gerutunya lirih. “Bisa-bisanya dia main berhenti di tengah jalan.”Helaan napas berat akhirnya keluar. Gista memejamkan mata. Pada akhirnya, tarian jarinya di atas tombol-tombol kibor terhenti sejenak.“Malu banget kemarin.” Tangannya menutupi muka. Detik berikutnya, dia langsung bersikap normal setelah teringat di mana dirinya sekarang.Gista memandang sejenak ke arah trotoar persis di samping tempatnya duduk sekarang. Hanya bersekat dinding kaca tebal, dengan Gista duduk di bagian dalam kafe kecil dan hangat itu, pemandangan orang-orang berjalan cepat menembus gerimis terpampang jelas di depan mata.Malam ini dia sengaja keluar dari rumah. Kepalanya sumpek, efek dua hari penuh memikirkan orgasme yang gagal. Dia memilih menghabiskan malam Minggu di kafe tak jauh dari rumahnya, menc
“Kamu mempermainkan dua pria, tapi aku nggak akan biarkan kamu bisa memilih, Gista.”“Apa maksudmu aku nggak bisa milih?” tanya Gista datar.Akash menoleh. “Karena pilihanmu hanya satu. Hanya aku, Gista.” Perkataan itu terlontar dari mulut Akash setelah mereka berada di dalam mobil. Wajah Akash datar, tetapi hatinya bergejolak oleh kemarahan. Gista dan Arvin saling bersentuhan, berjanji minum bersama, dan tertawa bersama. Bayangan itu membuat darahnya mendidih.Dia mengunci pintu mobil, tetapi tak menyalakan mesin. Parkir bawah tanah sepi karena sudah lewat jam pulang kantor. Akash duduk mematung di belakang kemudi. Dan Gista duduk kaku di sampingnya.“Akash, antar aku pulang dulu.”Namun, Akash bergeming. Tatapannya lurus ke depan. Suaranya dingin, kontras dengan ekspresinya yang tampak malas-malasan.“Bagaimana tokohmu menghukum pasangannya yang berbuat salah?”Kali ini Gista menoleh. “Gio? Dia menghukum Sharna? Untuk apa?”“Karena telah menggoda pria lain.”Mata Gista membelalak,
“Jadi, dia sudah menjadi orang ketiga dalam kontrak kita?”Gista langsung mencengkeram sabuk pengaman. Matanya lurus ke depan, tak melihat ke arah Akash yang menyetir di tengah hujan deras. “Udah kubilang, Kak Arvin cuma rekan kerja biasa.”“Rekan kerja, tapi rela hujan-hujanan datang hanya untuk temani kamu lembur dan antar pulang?”Gista menghela napas panjang. “Cuma dia yang masih baik sama aku, selain Mbak Lola.”“Teman kantor yang lain?”Gista hanya diam. Akash berkedip. Tangannya memutar roda kemudi. “Apartemenku?” tanyanya mengubah topik pembicaraan.“Rumahku,” jawab Gista datar.Akash mengangguk. Begitu tiba di depan rumah wanitanya, Akash berniat memayungi Gista turun. Sayangnya Akash kalah cepat. Gista sudah keluar mobil dan berlari masuk rumah.“Tabletmu ketinggalan lagi.” Akash mendesah pelan saat melihat pintu berdebam menutup. Ponselnya berdering pelan. Gista menelepon.“Nggak usah mampir, Pak Akash. Capek.”“Tab–” Akash tak sempat menyelesaikan ucapan. Telepon di ujun