Cheryl memandangi layar ponselnya beberapa saat setelah telepon dengan Valen terputus. Suara Valen yang hangat dan penuh perhatian biasanya bisa membuat hatinya tenang. Tapi entah mengapa malam ini justru membuat dadanya terasa… kosong. Pikirannya pun langsung melayang keluar kamar, tertambat pada sosok Bara.Tatapan terakhir Bara saat ia mengangkat telepon tadi… sorot mata yang diam tapi seakan menjerit tak terima, masih terekam jelas dalam benaknya. Ada kilatan luka di sana.Dan kini, Cheryl merasa gelisah. Tiba-tiba ada sejumput rasa bersalah yang mencubit-cubit hatinya tanpa ampun.Tanpa pikir panjang lagi, Cheryl melemparkan ponselnya ke atas ranjang begitu saja, lalu melangkah cepat keluar dari kamar.“Bara?” panggilnya sambil menuju dapur.Namun, ruangan itu sudah kosong.Sunyi.Hanya dua cangkir teh yang masih mengepulkan sisa uap di atas meja. Cheryl terhenyak. Jantungnya mulai berdetak tak karuan.Ia segera menuju kamar mandi dan mengetuk pintunya dengan cepat. “Bara? Kamu
Pintu kamar mandi terbuka disertai suara ‘klik’ dari handle yang diputar perlahan. Bara keluar dengan ekspresi super santai, tangan kanan masih menyeka tetesan air dari wajahnya. Begitu ia melangkah ke koridor—‘Plak!’Tabokan panas Cheryl mendarat di lengannya tanpa aba-aba."Pipis doang lama banget, heran!" semprot gadis itu, suaranya melengking seperti ketel mendidih. Sambil memelototi Bara dengan ekspresi sewot, Cheryl membanting pintu kamar mandi sambil menarik napas sekeras mungkin, seolah ingin membuang semua kekesalan yang menumpuk di dada.‘Brak! Klik!’Bara hanya menganga sesaat, lalu mengusap-usap lengannya yang barusan kena tabok. “Heran, dia hobi banget ngomel sih? Padahal belum jadi emak-emak,” gerutunya sambil mencibir kecil. Tapi senyum di ujung bibirnya tidak bisa disembunyikan.“Tapi, lebih heran lagi aku… kok bisa-bisanya ya suka sama cewek cerewet kayak dia?” Bara geleng-geleng kepala sambil melangkah menuju ruang tamu. Cinta memang absurd!Sesampainya di ruang ta
Cheryl terdiam di sisa perjalanan menuju rumahnya. Tatapannya menerobos jendela mobil, menelusuri malam yang berkilau samar oleh lampu kota. Gadis itu terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri.Bara sesekali melirik ke arah Cheryl di sampingnya. Ia benci sunyi seperti ini—bukan karena bosan, tapi karena ia tak tahu lagi bagaimana harus mencairkan jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Padahal, sudah begitu lama ia tidak sedekat ini dengan Cheryl. Rasanya momen ini terlalu mahal untuk dilalui dengan diam. Lampu merah menyala di persimpangan. Bara melambatkan laju mobil hingga berhenti sempurna. Ia menoleh, ingin bicara—setidaknya memecah sepi yang menggantung di antara mereka.“Cher?” panggilnya pelan.Gadis itu tetap diam, bersandar di jok dengan kepala sedikit miring, kelopak matanya terpejam.“Oh, rupanya dia tidur.”Bara menghela napas dalam. Senyum kecil getir yang menggantung di bibirnya ketika memandang raut lelah di wajah Cheryl yang begitu nyata. Tangannya terkulai di
Bara akhirnya melihat sosok Cheryl keluar dari gedung pascasarjana. Di pundaknya tergantung tas tote hitam. Gadis itu menerobos gelapnya malam sambil memeluk erat tasnnya. Sempat membuat Bara merasa iri pada si tas. Ah, andai dirinya yang dipeluk seperti itu oleh Cheryl.Bara langsung menginjak gas mobilnya perlahan, mengikuti arah gadis itu menuju sebuah halte fakultas, di mana seorang pengemudi ojek online tampak sudah menunggunya. Bara menjaga jarak beberapa meter di belakang, tidak ingin menarik perhatian.Motor yang membawa Cheryl akhirnya melaju keluar menuju jalan utama kampus. Bara masih membuntuti dari jauh — sabar menunggu dan menjaga jarak. Si Porsche seolah mendesah frustasi tiap kali ia menahan laju mesinnya. Mobil itu didesain untuk melaju cepat di jalan tol terbuka, bukan merayap pelan di jalanan sempit kampus, membuntuti motor kecil yang sesekali tersendat saat melewati polisi tidur.Bara menggenggam kemudinya erat, berusaha tak tergoda untuk menekan pedal gas lebih
Bara Wardhana memegang setir mobil sport hitamnya, Porsche Panamera Turbo terbaru, unit rakitan Jerman yang ia pilih sendiri. Bukan mobil dinas, bukan juga yang biasa ia bawa untuk rapat lintas kota. Malam ini ia mengemudi sendiri, tanpa Sofyan dan tanpa supir pribadi.Hanya dia, dan rindunya pada Cheryl yang tak lagi bisa dijinakkan.Di parkiran khusus dosen tamu, di dalam mobil mewah itu, Bara menyandarkan tengkuk ke sandaran jok kulit. Matanya terus memandang ke dalam gedung, menunggu dengan gelisah, membayangkan satu wajah yang tak kunjung muncul. Hari ini. Sudah enam bulan lebih sejak hari itu, ketika ia mencoba memohon lebih dalam agar Cheryl sudi kembali ke pelukannya. “Kalau aku bisa berhenti mencintai kamu, Cher… Aku pasti sudah melakukannya.”Namun, Cheryl justru menjawab datar, begitu tega. “Mungkin kamu belum benar-benar mencobanya. Jadi mari kita coba. Anggap kita nggak pernah saling kenal. Dan jangan pernah saling mencari.”Bara tahu kerasnya kepala Cheryl. Memaksakan
Bara Wardhana berdiri tegak di depan papan tulis, meletakkan laptop tipis di atas meja dosen. Tangannya menyesuaikan mikrofon headset di sisi rahang. Suaranya mengalir lancar, nyaris tanpa jeda gugup.“Perkenalkan, saya Bara Wardhana. Saat ini saya menjabat sebagai CEO di Apex Insight Solutions, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi finansial dan big data analytics.”Beberapa mahasiswa tampak saling berbisik pelan, terkesima. Nama Bara Wardhana memang kerap wara-wiri di artikel bisnis dan majalah ekonomi digital. Di depan mereka malam ini berdiri orang yang membangun reputasi sebagai salah satu otak muda paling berpengaruh di industri teknologi keuangan.“Topik malam ini: Strategic Business Growth in the Digital Era. Saya ingin kita semua membedah bagaimana transformasi digital bukan hanya tren, tapi keharusan. Bisnis apapun—besar atau kecil—harus bisa adaptif dan agile kalau mau tumbuh pesat di pasar yang cepat berubah.”Bara berjalan pelan ke sisi kiri papan tulis, menulis be