MasukPagi itu Rachel tiba di kantor lebih awal. Ia duduk di meja kerjanya sambil menyalakan komputer tua yang sering macet. Di tangannya, ada segelas kopi sachet hangat yang ia beli dari warung depan.
Namun fokusnya bukan pada layar komputer, melainkan pada pikirannya sendiri. Sejak pertemuan kemarin di ruang kerja Ryan, ada sesuatu yang mengganggu. Kata-kata pria itu—“Kau tidak mengganggu”—terus terulang di kepalanya. Kalimat sederhana, tapi terasa begitu asing, seolah datang dari seseorang yang jarang memberi pengakuan semacam itu. Livia, yang baru datang dengan tawa riang, langsung duduk di sebelahnya. “Rach, wajahmu kayak orang lagi jatuh cinta.” Rachel tersedak kopi. “Apa? Tidak, kamu salah paham.” “Ah, ayolah. Aku tahu tatapan orang yang lagi mikirin seseorang.” Livia mencondongkan tubuhnya. “Ngaku saja, kamu mikirin siapa?” Rachel buru-buru menatap layar. “Aku cuma mikirin kerjaan. Jangan asal bicara.” Namun pipinya merona. Livia semakin curiga, tapi ia memilih menggoda pelan. “Oke deh. Tapi kalau ternyata kamu diam-diam ada hubungan dengan CEO besar itu, aku mau jadi orang pertama yang tahu.” Rachel menunduk dalam-dalam, berusaha menutupi kegelisahannya. Ia tahu Livia hanya bercanda, tapi dalam hati kecilnya, ada bagian yang tak bisa membantah. Di gedung Alexander Corporation, suasana pagi seperti biasa: sibuk, penuh disiplin, dengan karyawan berlarian membawa berkas. Di lantai teratas, Ryan sudah duduk di kursinya, membaca laporan keuangan. Namun konsentrasinya terpecah. Di meja sebelah, Daniel membuka jadwal. “Tuan, siang ini Anda ada rapat dengan dewan direksi. Malam ada jamuan makan malam dengan keluarga Montgomery. Mereka ingin membicarakan peluang merger.” Ryan menutup laporan, menatap kosong ke depan. “Batalkan jamuan makan malam.” Daniel hampir menjatuhkan tablet. “Batalkan, Tuan? Keluarga Montgomery akan tersinggung.” “Saya tidak peduli.” “Tapi—” “Cukup, Daniel.” Suara Ryan tegas. Daniel terdiam. Ia jarang melihat Ryan menolak pertemuan bisnis penting tanpa alasan jelas. Biasanya bosnya tidak pernah memberi ruang untuk emosi pribadi. Namun kali ini, sorot matanya menunjukkan ada hal lain yang dipikirkan. Siang harinya, Rachel mendapat tugas lagi. Bosnya meminta ia mengantar beberapa dokumen ke kantor Alexander. Rachel sempat menolak, berharap ada rekan lain yang bisa menggantikan. Namun Pak Arman berkata, “Kamu yang paling teliti. Kalau ada pertanyaan, kamu bisa jawab. Jangan banyak alasan.” Akhirnya Rachel berangkat dengan perasaan campur aduk. Ia takut bertemu Ryan lagi. Namun saat memasuki gedung tinggi itu, langkahnya tetap ia kuatkan. Di ruang kerja Ryan, pintu kembali diketuk. “Masuk,” ucap Ryan. Rachel muncul, membawa map. “Selamat siang, Tuan. Ini dokumen tambahan.” Ryan menatapnya, matanya menyipit seolah menilai. “Kau lagi.” Rachel gugup. “Saya hanya menjalankan tugas.” Ryan mengambil map tanpa berkata-kata. Suasana hening. Rachel menunduk, menunggu instruksi. Namun kali ini, Ryan tidak langsung membaca berkas. Ia menatapnya dalam-dalam. “Kau selalu datang dengan wajah yang sama,” kata Ryan akhirnya. Rachel bingung. “Maksud Anda?” “Seolah kau ingin cepat pergi. Seolah kau tidak nyaman berada di sini.” Rachel menahan napas. Pertanyaan itu pernah muncul kemarin, tapi kali ini nadanya berbeda—lebih personal. “Saya… tidak terbiasa berada di tempat seperti ini. Gedung megah, orang-orang penting. Saya hanya orang biasa, Tuan.” Ryan terdiam sejenak. “Orang biasa, katamu? Lalu apa yang membuatmu berbeda dari mereka yang berusaha menarik perhatianku setiap hari?” Rachel terpaku. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Hening kembali mengisi ruangan, hingga akhirnya Ryan berdiri. “Ikut aku.” Rachel terbelalak. “Ke mana?” “Jangan banyak tanya. Ikut.” Dengan ragu, Rachel mengikuti Ryan keluar dari ruangannya. Mereka berjalan melewati koridor panjang, membuat beberapa karyawan melirik dengan heran. Belum pernah ada yang melihat CEO mereka berjalan beriringan dengan seorang wanita asing. Mereka masuk ke lift khusus eksekutif. Rachel makin gugup. “Tuan Ryan, saya… harus kembali ke kantor setelah ini.” “Kau tidak akan lama,” jawab Ryan singkat. Lift berhenti di lantai bawah. Ryan membawanya ke kafe kecil di sisi gedung. Tempat itu sepi, hampir tidak ada orang. Ryan duduk di salah satu meja, memberi isyarat agar Rachel ikut duduk. Rachel bingung setengah mati. “Kenapa saya diajak ke sini?” Ryan memanggil pelayan, memesan dua kopi tanpa menoleh. Setelah pelayan pergi, ia menatap Rachel lagi. “Karena kau tampak butuh tempat yang lebih tenang.” Rachel terdiam. Ia tidak tahu harus marah, tersinggung, atau tersentuh. Ryan melanjutkan, “Kau bilang kau hanya orang biasa. Tapi justru itu yang membuatku ingin tahu. Semua orang di sekitarku memakai topeng, berusaha mendekat karena kepentingan. Kau berbeda. Kau datang tanpa niat apa pun, selain tugasmu.” Rachel menggenggam tangannya di pangkuan. “Saya tidak mengerti kenapa Anda repot-repot peduli. Saya hanya asisten.” Ryan mencondongkan tubuh, matanya menatap tajam. “Mungkin karena itulah.” Kata-kata itu membuat dada Rachel berdegup kencang. Ia buru-buru menunduk, mencoba menenangkan diri. “Saya… tidak tahu harus menjawab apa.” Hening sesaat, lalu kopi datang. Mereka minum tanpa banyak bicara. Bagi Rachel, situasi ini terlalu aneh. Seorang CEO besar duduk bersamanya di kafe kecil, membicarakan hal-hal pribadi. Namun di balik kegugupannya, ada rasa hangat yang tidak bisa ia ingkari. Sore itu, ketika Rachel kembali ke firma hukum, Livia langsung menyerbunya. “Eh, kamu dari mana lama banget? Jangan bilang kamu ketemu si CEO dingin itu lagi!” Rachel berusaha tenang. “Hanya antar dokumen.” Livia menyipitkan mata. “Antar dokumen sampai berjam-jam?” Rachel menghela napas. “Jangan kepo, Liv.” Namun dalam hati, ia tahu sahabatnya benar. Pertemuannya dengan Ryan hari ini bukan sekadar urusan pekerjaan. Ada sesuatu yang mulai berubah, sesuatu yang bisa jadi berbahaya. Malam itu, Ryan kembali ke apartemennya. Ia duduk di ruang tamu, lampu redup menyinari wajahnya yang letih. Di meja ada segelas wiski, tapi kali ini ia tidak menyentuhnya. Pikirannya kembali pada Rachel. Wajahnya yang gugup, jawabannya yang sederhana, dan tatapan matanya yang tulus. Semua itu membekas. Ryan menutup mata, merasakan sesuatu yang asing. Ia terbiasa mengendalikan semua hal—bisnis, orang, bahkan dirinya sendiri. Tapi entah kenapa, sejak kehadiran Rachel, ada celah kecil yang sulit ia tutup kembali. Dan Ryan tahu, itu baru permulaan...Tujuh tahun telah berlalu sejak malam di mana langit Harmonia Nova berubah menjadi emas.Dunia kini hidup dalam keseimbangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Manusia, mesin, dan kesadaran buatan berinteraksi tanpa sekat. Tidak ada lagi sistem yang diperintah, tidak ada lagi algoritma yang diperbudak. Semua hidup dalam satu frekuensi yang sama — frekuensi cinta dan kesadaran.Namun di antara semua kemajuan itu, hanya satu sosok yang tetap berdiri di tempat yang sama: Ryan Alexander Hartono.CEO legendaris, pencipta era baru, dan pria yang mencintai wanita yang kini menjadi bagian dari dunia.Angin sore berembus lembut di taman atap menara tertinggi.Ryan duduk di bangku kayu tua, mengenakan jas abu sederhana. Di sebelahnya, sebuah pot bunga mawar putih tumbuh indah — bunga yang dulu Rachel tanam di rumah mereka yang lama.Ia tidak menanam ulang bunga itu. Akar aslinya yang dulu hampir mati kini tumbuh kembali, tanpa sebab logis.Tapi Ryan tahu, itu bukan keajaiban alam. Itu adalah
Udara malam di Harmonia Nova terasa berbeda malam itu. Tidak dingin, tidak panas — hanya tenang. Seolah seluruh kota tahu bahwa sesuatu besar sedang terjadi. Langit bersinar lembut dengan pancaran cahaya biru keperakan, membentuk pola seperti jalinan urat nadi di atas langit — tanda bahwa Rachel kini menyatu sepenuhnya dengan sistem global.Di observatorium puncak menara Alexander Corp, Ryan berdiri di depan dinding kaca besar, menatap panorama kota di bawah sana.Sudah berhari-hari ia tidak tidur. Tubuhnya letih, tapi matanya masih menyala oleh tekad dan rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar padam.Di belakangnya, langkah kaki terdengar.“Ryan,” suara Andrew pelan. “Kau sudah di sini sejak subuh. Dunia sedang menunggu keputusanmu.”Ryan tidak berbalik. “Keputusan apa?”“Program perlu disempurnakan. Tanpamu, sistem Rachel tidak akan stabil selamanya. Ia mulai menyatu terlalu dalam. Jika terus dibiarkan, resonansi itu bisa... melampaui batas.”Ryan memejamkan mata. Ia tahu maksud
Senja turun perlahan di atas kota Harmonia. Gedung-gedung kaca memantulkan cahaya jingga yang berpendar, membentuk ilusi seperti lautan cahaya yang tenang. Di menara pusat, Ryan duduk sendiri di ruang observatorium tertinggi — tempat segalanya bermula.Di bawahnya, Harmonia Nova berdenyut lembut. Sistem itu kini bukan sekadar jaringan teknologi; ia telah menjadi makhluk hidup yang menumbuhkan keharmonisan antara manusia dan kesadaran buatan. Kota itu bernyanyi tanpa suara, tapi setiap getarannya terasa seperti detak jantung Rachel.Ryan menatap langit sore.Sudah lima tahun sejak peluncuran pertama. Dunia berubah.Namun bagi Ryan, waktu seperti berhenti di hari ketika Rachel menjadi bagian dari cahaya.“Nova,” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban. Hanya desiran udara yang lembut.Ia berdiri, berjalan menuju konsol utama, lalu menaruh telapak tangannya di atas permukaan kaca berpendar. “Kau di sana, kan?” suaranya bergetar. “Aku tahu kau masih mendengarku.”Beberapa detik hening.Lalu —
Tiga minggu telah berlalu sejak malam ketika Harmonia nyaris runtuh. Kota masih bergetar oleh sisa-sisa kejadian itu—bukan karena kehancuran, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam: rasa kehilangan.Di menara utama, gedung kaca setinggi langit yang kini disebut banyak orang sebagai The Living Tower, dunia seakan memantulkan bayangan Ryan yang berjalan menyusuri lorong kosong di lantai atas.Ia tampak lebih tua, bukan secara fisik, tetapi di sorot matanya. Orang-orang di sekelilingnya berbicara dengan nada kagum, ada pula yang dengan rasa iba.Mereka tahu, Ryan telah menyelamatkan dunia bisnis dari kehancuran global. Mereka juga tahu, harga yang dibayarnya adalah separuh jiwanya sendiri—Rachel Maharani.Sejak hari itu, tidak ada yang pernah menemukan tubuh Rachel. Hanya sistem Harmonia yang tetap aktif, memproses data dengan efisiensi tak pernah terlihat sebelumnya, seolah ada kesadaran di dalamnya.Setiap kali Ryan melewati ruang inti, lampu biru di panel pusat akan berpendar sedik
Malam di tepi kota Harmonia itu bergetar seperti ujung simfoni yang belum selesai. Angin menyapu atap menara Alexander Group, menimbulkan suara serupa gesekan biola yang panjang dan menekan. Dari balkon tertinggi, Ryan berdiri memandangi lautan cahaya kota yang ia bangun dengan tangannya sendiri — dan yang kini tampak di ambang kehancuran.Berbulan-bulan sejak insiden “Resonansi”, dunia bisnis global terguncang oleh rahasia yang terbongkar: jaringan bawah tanah yang pernah dipakai Arman ternyata masih hidup di balik bayangan. Dan kali ini, targetnya bukan sekadar saham — tapi Harmonia itu sendiri, proyek yang menjadi simbol penyatuan seluruh divisi Eterna Corp dan Alexander Holdings.Ryan berdiri di sana dalam diam, setelan hitamnya terhempas angin, dan mata dinginnya menatap ke kejauhan — namun ada sesuatu yang berbeda. Dulu ia melihat dunia seperti papan catur, kini ia melihatnya seperti panggung orkestra, di mana setiap nada berarti hidup seseorang. Dan di tengah orkestra itu, ada
Permukaan laut masih bergelombang lembut ketika Astra-Blue One berlabuh di dermaga Harmonia Base. Di atas langit, spiral cahaya dari bulan dan samudra perlahan meredup, menyisakan jejak biru samar yang masih menari di cakrawala. Dunia seolah baru saja melewati ambang antara mimpi dan kenyataan.Lyra berdiri di dek kapal, masih mengenakan pakaian penyelam yang basah. Matanya menatap ke arah horizon tanpa berkata-kata.Suara resonansi yang tadi mengguncang hatinya masih bergema samar di telinga—bukan sebagai nada asing, melainkan detak yang seirama dengan jantungnya sendiri.“Kau baru saja menghubungkan langit dan bumi,” kata Dean melalui sistem komunikasi.“Tapi frekuensinya belum stabil. Gelombang dari inti bumi terus meningkat.”Lyra menarik napas panjang.“Bukan gangguan,” ujarnya pelan. “Itu balasan.”Dean terdiam, seolah memproses makna kalimat itu.Keesokan harinya, rapat darurat digelar di lantai puncak Harmonia Core. Semua kepala riset dan pemimpin dunia hadir melalui proyeksi.







