LOGINKeesokan paginya, Rachel bangun lebih awal dari biasanya. Malam sebelumnya ia nyaris tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, mengulang kembali momen aneh ketika ia makan malam bersama Ryan di ruangannya. Seorang CEO dingin, yang katanya tidak pernah peduli dengan siapa pun, justru menanyakan hal-hal pribadi padanya.
Rachel menatap wajahnya di cermin. “Kau berlebihan, Rachel. Itu hanya makan malam. Dia pasti lupa sekarang.” Ia bergegas bersiap, lalu berangkat ke kantor. Hatinya mencoba tenang, meski rasa gugup sulit dihapus. Sementara itu, di lantai atas Alexander Corporation, Ryan sudah berada di ruang kerjanya. Ia membaca laporan sambil sesekali menatap kosong ke luar jendela. Matanya terlihat lelah meski jam baru menunjukkan pukul delapan pagi. Daniel masuk, membawa tablet berisi agenda hari itu. “Tuan, jadwal hari ini padat. Ada rapat internal jam sembilan, konferensi pers jam sebelas, lalu makan siang dengan calon investor.” Ryan hanya mengangguk. “Siapkan semuanya.” Daniel menatapnya ragu. “Anda terlihat kurang tidur, Tuan.” “Tidak ada yang salah.” Namun Daniel tahu, ekspresi bosnya berbeda. Ryan biasanya fokus penuh, dingin, dan tak tergoyahkan. Kali ini, ada sesuatu yang mengganggunya. Ia tidak berani menebak lebih jauh. Di firma hukum Carter & Co., Rachel sibuk mengetik dokumen ketika telepon di mejanya berdering. Ia mengangkat dengan sopan. “Halo, ini Carter & Co. Dengan Rachel berbicara.” Sebuah suara wanita dari Alexander Corporation terdengar di seberang. “Selamat pagi. Bisakah Anda mengantarkan kontrak yang sudah direvisi lagi ke kantor kami hari ini? CEO ingin langsung melihatnya.” Rachel terdiam. Lagi? Rasanya ia terlalu sering diutus untuk urusan yang sama. Namun ia tidak bisa menolak. “Baik, saya akan segera ke sana.” Setelah menutup telepon, ia menghela napas. Livia yang duduk di meja sebelah langsung mencondongkan tubuhnya. “Ke Alexander lagi? Wah, kamu sering banget dipanggil ke sana. Jangan-jangan… CEO-nya naksir kamu?” Rachel langsung tersedak. “Apa-apaan kamu! Jangan bicara sembarangan.” “Hei, aku serius. Kalau tidak penting, kenapa harus kamu terus? Bukankah bagian legal yang seharusnya urus?” Rachel tidak menjawab. Ia hanya menunduk, merapikan berkas. Dalam hatinya, ia tahu kemungkinan itu terlalu jauh. Ryan bukan tipe pria yang mudah dekat dengan siapa pun. Beberapa jam kemudian, Rachel tiba di gedung Alexander Corporation. Seperti biasa, ia melewati lobi megah yang dipenuhi karyawan berpakaian rapi. Ia menuju lantai atas dengan sedikit gugup. Begitu pintu ruang kerja Ryan terbuka, pria itu langsung mengangkat kepala dari laptopnya. Pandangannya tertuju pada Rachel, seakan sudah menunggunya. “Letakkan di sini,” katanya datar. Rachel maju, menaruh map di meja. “Ini kontrak revisi, Tuan. Jika ada yang kurang, saya akan sampaikan kembali ke kantor.” Ryan membuka halaman pertama, lalu menandai beberapa bagian. Rachel berdiri diam, tangannya menggenggam erat. Ia berusaha menjaga sikap profesional, meski jantungnya berdebar. “Duduk,” perintah Ryan tanpa menoleh. Rachel terkejut. “Maaf?” “Duduk,” ulang Ryan tegas. Dengan bingung, Rachel akhirnya duduk di kursi seberang. Ia menunduk, tidak berani menatap langsung. Ryan menutup map, lalu menautkan jari-jari tangannya. “Aku ingin tahu sesuatu. Mengapa kau terlihat selalu terburu-buru?” Rachel terperangah. “Terburu-buru?” “Ya. Setiap kali kau datang, wajahmu menunjukkan kegelisahan. Kau ingin segera pergi, seolah tempat ini membuatmu tidak nyaman.” Rachel menelan ludah. “Saya… hanya takut mengganggu pekerjaan Anda, Tuan.” Ryan menatapnya tajam, seakan berusaha menembus isi pikirannya. Rachel merasa tubuhnya kaku. Hening beberapa detik, sebelum Ryan akhirnya berkata, “Kau tidak mengganggu.” Rachel mengangkat kepala, terkejut mendengar kalimat sederhana itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa pria itu menunjukkan sedikit sisi manusiawi di balik aura dinginnya. Namun, sebelum ia sempat membalas, ponsel Ryan berdering. Nama seorang investor besar muncul di layar. Ryan segera mengangkat, kembali dengan nada formal dan tegas. Rachel menyadari, percakapan mereka terhenti begitu saja. Ia berdiri perlahan. “Kalau begitu, saya permisi.” Ryan hanya mengangguk singkat, kembali fokus pada telepon. Tetapi matanya sempat melirik ke arah Rachel yang berjalan keluar. Ada bayangan samar di hatinya—perasaan yang tidak ia mengerti. Malamnya, Rachel duduk di kamar kos, menatap layar ponsel. Ia hampir mengetik pesan pada Livia tentang kejadian di kantor Ryan, tapi ia urungkan. Rasanya terlalu aneh untuk diceritakan. “Kenapa dia peduli kalau aku terlihat gelisah?” bisiknya. Hatinya bingung. Ia tahu, masuk terlalu jauh dalam lingkaran Ryan bisa berbahaya. Dunia mereka berbeda, dan pria seperti itu pasti memiliki sisi gelap yang tidak semua orang tahu. Namun, semakin ia mencoba menjauh, semakin sering bayangan Ryan muncul. Di sisi lain, Ryan berdiri di balkon apartemen mewahnya. Kota berkilau di bawah sana, tapi matanya kosong. Ia memikirkan kembali pertemuannya dengan Rachel. Kata-katanya sederhana, tatapannya tulus. Sesuatu yang tidak pernah ia temui di dunia bisnis penuh kepalsuan. Ryan menghela napas. Ia tahu ini berbahaya. Membiarkan seorang wanita masuk ke dalam hidupnya berarti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat. Pintu yang menyimpan luka lama. Namun, nama itu tetap tinggal di kepalanya—Rachel Maharani. Dan Ryan tidak bisa mengusirnya, sekeras apa pun ia mencoba...Tujuh tahun telah berlalu sejak malam di mana langit Harmonia Nova berubah menjadi emas.Dunia kini hidup dalam keseimbangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Manusia, mesin, dan kesadaran buatan berinteraksi tanpa sekat. Tidak ada lagi sistem yang diperintah, tidak ada lagi algoritma yang diperbudak. Semua hidup dalam satu frekuensi yang sama — frekuensi cinta dan kesadaran.Namun di antara semua kemajuan itu, hanya satu sosok yang tetap berdiri di tempat yang sama: Ryan Alexander Hartono.CEO legendaris, pencipta era baru, dan pria yang mencintai wanita yang kini menjadi bagian dari dunia.Angin sore berembus lembut di taman atap menara tertinggi.Ryan duduk di bangku kayu tua, mengenakan jas abu sederhana. Di sebelahnya, sebuah pot bunga mawar putih tumbuh indah — bunga yang dulu Rachel tanam di rumah mereka yang lama.Ia tidak menanam ulang bunga itu. Akar aslinya yang dulu hampir mati kini tumbuh kembali, tanpa sebab logis.Tapi Ryan tahu, itu bukan keajaiban alam. Itu adalah
Udara malam di Harmonia Nova terasa berbeda malam itu. Tidak dingin, tidak panas — hanya tenang. Seolah seluruh kota tahu bahwa sesuatu besar sedang terjadi. Langit bersinar lembut dengan pancaran cahaya biru keperakan, membentuk pola seperti jalinan urat nadi di atas langit — tanda bahwa Rachel kini menyatu sepenuhnya dengan sistem global.Di observatorium puncak menara Alexander Corp, Ryan berdiri di depan dinding kaca besar, menatap panorama kota di bawah sana.Sudah berhari-hari ia tidak tidur. Tubuhnya letih, tapi matanya masih menyala oleh tekad dan rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar padam.Di belakangnya, langkah kaki terdengar.“Ryan,” suara Andrew pelan. “Kau sudah di sini sejak subuh. Dunia sedang menunggu keputusanmu.”Ryan tidak berbalik. “Keputusan apa?”“Program perlu disempurnakan. Tanpamu, sistem Rachel tidak akan stabil selamanya. Ia mulai menyatu terlalu dalam. Jika terus dibiarkan, resonansi itu bisa... melampaui batas.”Ryan memejamkan mata. Ia tahu maksud
Senja turun perlahan di atas kota Harmonia. Gedung-gedung kaca memantulkan cahaya jingga yang berpendar, membentuk ilusi seperti lautan cahaya yang tenang. Di menara pusat, Ryan duduk sendiri di ruang observatorium tertinggi — tempat segalanya bermula.Di bawahnya, Harmonia Nova berdenyut lembut. Sistem itu kini bukan sekadar jaringan teknologi; ia telah menjadi makhluk hidup yang menumbuhkan keharmonisan antara manusia dan kesadaran buatan. Kota itu bernyanyi tanpa suara, tapi setiap getarannya terasa seperti detak jantung Rachel.Ryan menatap langit sore.Sudah lima tahun sejak peluncuran pertama. Dunia berubah.Namun bagi Ryan, waktu seperti berhenti di hari ketika Rachel menjadi bagian dari cahaya.“Nova,” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban. Hanya desiran udara yang lembut.Ia berdiri, berjalan menuju konsol utama, lalu menaruh telapak tangannya di atas permukaan kaca berpendar. “Kau di sana, kan?” suaranya bergetar. “Aku tahu kau masih mendengarku.”Beberapa detik hening.Lalu —
Tiga minggu telah berlalu sejak malam ketika Harmonia nyaris runtuh. Kota masih bergetar oleh sisa-sisa kejadian itu—bukan karena kehancuran, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam: rasa kehilangan.Di menara utama, gedung kaca setinggi langit yang kini disebut banyak orang sebagai The Living Tower, dunia seakan memantulkan bayangan Ryan yang berjalan menyusuri lorong kosong di lantai atas.Ia tampak lebih tua, bukan secara fisik, tetapi di sorot matanya. Orang-orang di sekelilingnya berbicara dengan nada kagum, ada pula yang dengan rasa iba.Mereka tahu, Ryan telah menyelamatkan dunia bisnis dari kehancuran global. Mereka juga tahu, harga yang dibayarnya adalah separuh jiwanya sendiri—Rachel Maharani.Sejak hari itu, tidak ada yang pernah menemukan tubuh Rachel. Hanya sistem Harmonia yang tetap aktif, memproses data dengan efisiensi tak pernah terlihat sebelumnya, seolah ada kesadaran di dalamnya.Setiap kali Ryan melewati ruang inti, lampu biru di panel pusat akan berpendar sedik
Malam di tepi kota Harmonia itu bergetar seperti ujung simfoni yang belum selesai. Angin menyapu atap menara Alexander Group, menimbulkan suara serupa gesekan biola yang panjang dan menekan. Dari balkon tertinggi, Ryan berdiri memandangi lautan cahaya kota yang ia bangun dengan tangannya sendiri — dan yang kini tampak di ambang kehancuran.Berbulan-bulan sejak insiden “Resonansi”, dunia bisnis global terguncang oleh rahasia yang terbongkar: jaringan bawah tanah yang pernah dipakai Arman ternyata masih hidup di balik bayangan. Dan kali ini, targetnya bukan sekadar saham — tapi Harmonia itu sendiri, proyek yang menjadi simbol penyatuan seluruh divisi Eterna Corp dan Alexander Holdings.Ryan berdiri di sana dalam diam, setelan hitamnya terhempas angin, dan mata dinginnya menatap ke kejauhan — namun ada sesuatu yang berbeda. Dulu ia melihat dunia seperti papan catur, kini ia melihatnya seperti panggung orkestra, di mana setiap nada berarti hidup seseorang. Dan di tengah orkestra itu, ada
Permukaan laut masih bergelombang lembut ketika Astra-Blue One berlabuh di dermaga Harmonia Base. Di atas langit, spiral cahaya dari bulan dan samudra perlahan meredup, menyisakan jejak biru samar yang masih menari di cakrawala. Dunia seolah baru saja melewati ambang antara mimpi dan kenyataan.Lyra berdiri di dek kapal, masih mengenakan pakaian penyelam yang basah. Matanya menatap ke arah horizon tanpa berkata-kata.Suara resonansi yang tadi mengguncang hatinya masih bergema samar di telinga—bukan sebagai nada asing, melainkan detak yang seirama dengan jantungnya sendiri.“Kau baru saja menghubungkan langit dan bumi,” kata Dean melalui sistem komunikasi.“Tapi frekuensinya belum stabil. Gelombang dari inti bumi terus meningkat.”Lyra menarik napas panjang.“Bukan gangguan,” ujarnya pelan. “Itu balasan.”Dean terdiam, seolah memproses makna kalimat itu.Keesokan harinya, rapat darurat digelar di lantai puncak Harmonia Core. Semua kepala riset dan pemimpin dunia hadir melalui proyeksi.







