Siapa sangka seorang Ceo seperti Agas, makan siang di kantin perusahaan, berbaur dengan pegawai lain. Seperti tidak ada batasan jabatan di sini.
"Nara antarkan puding ini ke Pak Agas yang duduk di sebelah sana," ucap Bu Anggi, penanggung jawab kantin tempat Nara bekerja.
Kantin yang dijalankan perusahaan untuk menyediakan makanan kepada karyawannya sehingga mereka bisa makan siang di sana tanpa membayar karena sudah termasuk fasilitas dari perusahaan.
Nara berjalan sambil membawa puding dengan hati-hati. Sampai akhirnya cukup dekat dengan tempat Agas duduk.
”Permisi Pak Agas, ini puding untuk Anda," ucap Nara dengan sopan.
Agas yang melihat kedatangan Nara hanya mengangguk singkat tanpa bicara. Nara paham betul apa maksudnya. Jadi dia langsung saja meletakkan puding tersebut di meja.
"Apa ada hal lain yang perlu saya bantu, Pak?" tanya Nara.
"Tidak perlu. Silahkan kembali bekerja," jawab Agas demikian.
Nara mengangguk mengerti.
Baru saja dia akan berbalik, namun sebelum dia tahu apa yang terjadi sudah terdorong ke depan ke meja Agas. Membuat isi meja itu berantakan.
"Aduhhh,, sshh... " Nara meringis kesakitan karena perutnya menghantam bagian siku dari meja.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Agas yang terkejut dengan kejadian tersebut.
Dia melihat ke belakangnya, ada seorang perempuan yang rupanya mendorong Nara tadi, sedang berdiri ketakutan.
"Kamu kenapa lari-lari di tempat yang seperti ini? Memangnya ini lapangan bola?!" bentak Agas yang tampak marah atas kekacauan yang disebabkan perempuan itu.
Suasana kantin jadi mencekam sampai yang tadinya banyak orang mengobrol, sekarang sunyi senyap.
"Ma, Maaf, Pak. Saya tadi ...." Perempuan itu berusaha menjawab, namun dia terlalu ketakutan untuk melanjutkannya.
Nara yang masih merasa kesakitan, melirik perempuan yang sedang dimarahi Agas itu. Dia mengenali perempuan itu. Seorang karyawan bagian marketing yang sedang hamil muda. Nara bisa tahu itu karena dia sempat mengobrol saat perempuan itu mengantre untuk jatah makan siangnya.
Buru-buru Nara mencoba membantu perempuan itu dengan berkata, "Pak, maafkan Mbak ini. Dia sedang hamil, jadi mungkin tadi dia tiba-tiba mual makanya lari."
"I-iya Pak. Saya tadi mual, maka dari itu saya lari. Saya minta maaf atas kecerobohan saya yang menyebabkan orang lain celaka, Pak."
Mendengar alasan kenapa perempuan itu berlari, kemarahan Agas agak mereda meski belum sepenuhnya hilang.
"Baiklah kalau alasannya seperti itu. Tetapi tetap saja kamu salah. Kalaupun kamu tidak menabrak orang, bisa jadi kamu sendiri yang jatuh dan justru membahayakan kandunganmu sendiri," ujar Agas dengan wajah tegas. "Lain kali lebih perhatikan langkahmu ."
"Baik Pak."
Perhatian Agas beralih kepada Nara yang sedang berdiri menahan sakit di perutnya.
"Perut kamu masih sakit? Mau saya gendong ke ruang kesehatan?" tanya Agas.
Namun reaksi Nara justru terkejut. Matanya sampai melebar karena merasa aneh dengan tawaran Agas yang membuatnya bergidik sendiri.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya bisa sendiri." Nara menolaknya dengan sopan.
Agas paham kalau Nara mungkin merasa malu jika harus digendong di bawah tatapan banyak orang yang ada di kantin. Jadi dia tidak memaksanya.
Nara berjalan sendiri menuju ruang kesehatan yang berada di dekat kantin. Dengan agak gugup karena sadar kalau di belakangnya ada Agas yang sedang mengikutinya.
Nara tidak habis pikir kenapa Agas harus sampai mengikutinya seperti itu. Bukankah itu sudah cukup berlebihan?
"Kenapa tengok-tengok ke belakang?" Nara terperanjat sampai langkahnya terhenti.
"Bapak ngikutin saya ya?" Nara memberanikan diri bertanya.
Agas tidak langsung menjawab, hanya menatap lurus, lalu berkata, "Saya mau balik ke ruangan saya. Di sana kan arah ke lift."
Nara tercenung. Dia baru sadar kalau memang benar kalau jalan yang dia lalui juga termasuk jalan yang harus dilalui untuk pergi ke lift.
Tanpa menunggu tanggapan Nara, Agas berjalan melewati Nara yang masih termenung.
Setelah Agas menjauh, Nara menutupi wajahnya dengan malu.
"Aduh Naraaaaaa," jerit Nara dalam hati merasa benar-benar malu karena sembarangan menebak kalau Agas tadi mengikutinya. "Ah, malu-maluin aja sih."
Saat Nara sedang sibuk seperti itu, tiba-tiba ada seseorang yang meraih bahunya yang membuat Nara tersentak.
"Kamu ...."
°•• Bersambung••°
"Kamu ...." Ternyata perempuan yang tadi menabraknya itu menemui Nara. Lalu membungkuk sambil dengan perasaan bersalah. "Saya benar-benar minta maaf, Mbak," ucapnya. Nara membalas dengan sopan. "Tidak perlu minta maaf, Mbak. Saya mengerti. Namanya juga gak sengaja." "Terima kasih, Mbak." ~~~ Sebulan kemudian, saat Nara baru saja menerima gaji pertamanya. Dia membelikan kue kesukaan dari sahabatnya, Lia. Kue Matcha yang menjadi favorit Lia, Nara beli spesial untuk berterima kasih. Karena sebelumnya Lia telah membantunya mendapatkan pekerjaan Nara sekarang ini. Mereka janjian bertemu di Kafe Star, tempat biasa mereka nongkrong. Nara telah tiba sekitar setengah jam yang lalu. Namun Lia masih belum tiba juga. Meski begitu Nara masih bersedia menunggu lebih lama karena dia juga tahu jalanan Jakarta macetnya minta ampun. Sayangnya pesan masuk membuat penantian Nara menjadi sia-sia karena isi dari pesan itu menjelaskan kalau Lia tidak bisa datang karena ada pasien darurat. Tapi a
"Pak Agas?" ujar Nara yang terkejut setelah melihat sosok yang berada di dalam mobil itu."Ayo masuk," ucap Agas sekali lagi. "Atau perlu saya membukakan pintu untukmu?"Nara buru-buru menggelengkan kepala yang diartikan Agas bahwa Nara bisa membuka pintu mobil sendiri. "Ya sudah, cepat masuk. Sudah malam, saya antar kamu pulang."Ternyata Nara justru menolaknya. "Enggak perlu, Pak. Saya bisa pulang sendiri."Melihat Nara tampak segan untuk masuk, Agas pun keluar dari mobilnya lalu berjalan ke sisi pintu di dekat Nara dan membukakannya tanpa bicara. "Ayo masuk!"Nara kaget bukan main mendapatkan perlakuan seperti itu. Dia sampai tidak bisa bereaksi dengan cepat. Ekspresinya yang berlebihan, seakan-akan baru saja bertemu dengan alien saja."Kenapa? Apa segitu bencinya kamu dengan saya sampai tidak mau semobil sama saya?" tanya Agas dengan serius."Tidak Pak. Tidak seperti itu, Kok." Buru-buru Nara menyanggah. "Tapi coba lihat pakaian saya kotor begini.""Saya juga tahu kok. Bahkan say
Brukkk!!!Nara merasa ada yang janggal, dia merasa tubuhnya bukan terjatuh ke tanah. Tetapi sesuatu yang lain."Sampai kapan kamu dalam posisi begini?" Suara pelan familiar menggelitik Nara, sontak membuka matanya. Dia menoleh ke belakang dan terkejut ternyata dia jatuh menimpa Agas.Nara buru-buru bangun dan kemudian membantu Agas berdiri. "Maaf, Pak. Eh, maksud saya Agas. Kamu gak papa kan? Gak ada yang luka?"Agas tidak langsung menjawab tetapi dia menatap Nara dengan intens, sampai membuat Nara grogi sendiri."Saya heran deh sama kamu. Kenapa ya setiap ketemu, ada aja kesialan yang kamu alami," kata Agas dengan nada serius.Nara yang mendengarnya, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Mau tersinggung tapi apa yang dikatakan Agas memang benar. Namun dia juga merasa tidak nyaman dengan perkataan itu.Kalau dipikir-pikir, Nara juga heran pada dirinya sendiri. Kenapa dari dulu, dia sering sekali terkena sial seperti ini. Seperti ada saja hal-hal yang membuat Nara kesulitan. Apa mema
Nara mengernyit sambil berkata, "Dia itu kan orang yang kencan buta sama Agas kan?"Setelah diingat-ingat memang benar tadi itu orang yang sama yang pernah Nara lihat sedang bersama Agas di kafe Star waktu itu. Dia cukup heran dengan kehadiran perempuan itu di sini. Nara pikir setelah diperlakukan dingin oleh Agas perempuan itu akan menyerah ternyata tidak."Ternyata si mbak itu masih gak kapok meski dicuekin Agas di kafe waktu itu," gumam Nara sambil menunggu lift sampai di lantai tujuan. "Tapi gak heran juga sih, Agas itu dari tampang oke, apalagi dari duitnya. Siapa perempuan yang bisa nolak?"Ting!Pintu lift terbuka, Nara keluar dari sana sambil mendorong troli kembali ke kantin untuk melanjutkan pekerjaannya.~~~"Aldi bilang kamu yang menolong saya sewaktu saya pingsan kemarin?" tanya Agas keesokan harinya saat Nara mengantar makan siang Agas ke ruangannya."Saya cuma bantu sedikit, Pak. Selebihnya itu Pak Aldi yang mengurus." Nara menjawab dengan sopan."Biar begitu pun kamu t
Tiba-tiba Agas menyodorkan sebotol minuman mineral pada Nara."Eh?" Nara jadi terbengong-bengong. "Maksudnya apa ini, Pak?""Minum dulu nih. Siapa tahu kamu kurang fokus karena kurang minum air putih," jelas Agas.Sekarang Nara baru mengerti maksud Agas. Untuk kesekian kalinya, Agas kembali menyaksikan tingkah konyol Nara yang terus-terusan membuat dirinya sendiri malu."Saya balik kerja dulu, Pak. Permisi!"Kali ini Nara benar-benar keluar dengan cepat karena tidak tahan terus berada di sana. Dia takut wajahnya benar-benar terbakar karena merasa malu.Baru setelah menutup pintu dan berada di luar ruangan Agas, dia akhirnya bisa bernapas lega."Aduh, Naraaaa ... Sampai kapan lu terus-terusan bikin malu diri sendiri?" Nara mendesah lelah.Tanpa disadari ucapan Nara didengar oleh Pak Aldi yang sudah berada di depannya sambil membawa berkas untuk dibawa masuk ke ruangan Agas."Kenapa Mbak Nara?" tanya Pak Aldi.Nara terkejut dengan kehadiran Pak Aldi. Buru-buru menjawab, "Gak ada apa-apa
"Harusnya aku sadar diri," batin Nara dengan sedih. Pasalnya, dia baru saja menyaksikan Agas berduaan lagi dengan perempuan yang pernah Nara lihat di kafe sebelumnya."Dari penampilannya aja, bisa dilihat kalau dia itu dari keluarga kaya," gumam Nara pelan sekali yang didengar samar oleh Lia, sahabatnya."Ada apa sih? Kok kamu aneh banget dari tadi?" tanya Lia yang masih tidak mengerti apa yang terjadi dengan Nara."Gak ada apa-apa," jawab Nara singkat.Lia tentu tidak percaya pada perkataan Nara namun ekspresi suram di wajah sahabatnya itu, akhirnya Lia memilih untuk memberi Nara waktu."Apa jangan-jangan tadi kamu lihat gebetanmu sama cewek lain?" celetuk Lia asa.Namun justru membuat Nara bereaksi. Tampak matanya melebar karena terkejut dengan celetukan Lia yang tepat pada sasaran."Ah, bener begitu ya?" ujar Lia yang tidak menyangka kalau tebakannya ternyata benar. "Cantik gak ceweknya?" Nara sontak cemberut dengan pertanyaan Lia yang membuatnya makin down. "Cantik banget. Cantik
"Siapa?" ujar Nara pelan sekali saat melihat perempuan hamil itu.Pikirannya mulai menebak-nebak dengan perasaan was-was. Siapa perempuan itu? Apakah istri Agas? Tapi bukannya waktu itu Agas berkencan buta dengan perempuan lain?"Sudah ditungguin dari tadi terus kok gak bawa apa-apa?" kata bumil itu tampak kesal dengan Agas."Loh bukannya tadi kamu yang nyuruh saya masak. Jadi saya gak bawa makanan dong," jawab Agas yang semakin membuat perempuan itu kesal."Maksudnya bahan masakannya Agas," tandas perempuan itu.Agas tampak terpaku. Rupanya dia baru sadar kalau di dapur apartemennya ini tidak pernah diisi bahan masakan karena memang Agas jarang datang ke sini."Nah loh? Baru sadar kan?" sindir perempuan itu, "Ini dedek bayiku udah kelaperan eh malah suruh nunggu lagi.""Salah sendiri kenapa gak makan yang gampang-gampang aja. Apa susahnya sih pesen makanan?" balas Agas yang ikutan jengkel dengan omelan perempuan itu."Ini aku kan lagi ngidam, Gas. Nanti kalau bayiku lahir ileran gima
"Enak banget Gas. Gak nyangka ternyata kamu pinter banget masak ya," ungkap Tasya yang tampak sangat menikmati masakan Agas.Nara mengangguk-angguk setuju. "Iya Pak. Ini benaran enak banget.""Syukurlah kalau suka. Jadi masakan saya tidak dibuang," ucap Agas sambil tersenyum lega.Nara yang melihat senyum itu tampak terpesona. Dia masih benar-benar takjud karena sosok Agas yang biasanya hanya berekspresi datar, ternyata bisa tersenyum juga. Meski ini bukan pertama kalinya Nara melihat senyuman Agas tetapi tdak menghentikannya untuk merasa kagum."Sering-sering aja masak deh Gas. Sayang kalau bakatmu ini tidak digunakan.""Emang kamu pikir saya bukan orang sibuk?" ujar Agas menanggapi perkataan Tasya."Eh, iya juga. Kamu itu kan Pak Ceo terkenal," timpal Tasya dengan nada mengejek."Minta dimasakin suami sendiri aja sana. Heran banget. Biasanya orang ngidam, yang repot itu suaminya kenapa giliranmu saya yang direpotin?" gerutu Agas meski begitu dia tidak memasang ekspresi kesal."Salah