"Kamu ...."
Ternyata perempuan yang tadi menabraknya itu menemui Nara. Lalu membungkuk sambil dengan perasaan bersalah.
"Saya benar-benar minta maaf, Mbak," ucapnya.
Nara membalas dengan sopan. "Tidak perlu minta maaf, Mbak. Saya mengerti. Namanya juga gak sengaja."
"Terima kasih, Mbak."
~~~
Sebulan kemudian, saat Nara baru saja menerima gaji pertamanya. Dia membelikan kue kesukaan dari sahabatnya, Lia.
Kue Matcha yang menjadi favorit Lia, Nara beli spesial untuk berterima kasih. Karena sebelumnya Lia telah membantunya mendapatkan pekerjaan Nara sekarang ini.
Mereka janjian bertemu di Kafe Star, tempat biasa mereka nongkrong.
Nara telah tiba sekitar setengah jam yang lalu. Namun Lia masih belum tiba juga. Meski begitu Nara masih bersedia menunggu lebih lama karena dia juga tahu jalanan Jakarta macetnya minta ampun.
Sayangnya pesan masuk membuat penantian Nara menjadi sia-sia karena isi dari pesan itu menjelaskan kalau Lia tidak bisa datang karena ada pasien darurat.
Tapi apa boleh buat? Nara mengerti profesi Lia sebagai dokter membuatnya harus siap akan situasi seperti itu.
Saat hendak beranjak dari kafe, tanpa sengaja Nara melihat Agas masuk ke kafe bersama seorang perempuan.
"Siapa ya?" Dalam hati Nara bertanya-tanya.
Niat Nara yang tadinya hendak pulang, diurungkan karena dia terlalu kepo dengan perempuan yang bersama Agas.
Bukan tanpa alasan Nara seperti itu. Ini pertama kalinya Nara melihat Agas berjalan bersama perempuan, sebelumnya Agas itu tidak pernah mau dekat-dekat dengan perempuan.
Sewaktu SMP dulu, bukan satu atau dua perempuan yang menyatakan cinta pada Agas tetapi hanya untuk mendapatkan penolakan dari pria itu.
Kadang kala Agas tampak risih jika ada perempuan yang terang-terangan mendekatinya dan kemudian memberi kata-kata pedas pada perempuan itu. Jadi jangan heran jika sekarang Nara merasa penasaran.
Mereka duduk di dekat Nara hanya saja sepertinya Agas tidak menyadari keberadaannya.
"Kamu kenapa sih bawa aku ke tempat yang murahan seperti ini."
Terdengar ucapan perempuan itu yang terang-terangan merendahkan kafe yang dia datangi.
Nara sedikit mengernyit tidak suka dengan perkataan perempuan itu. Kesannya sombong sekali.
Namun Agas sendiri tampak hanya diam dan tidak memperdulikan keberatan dari perempuan yang dibawanya.
Nara melihat perempuan itu masih mengomel-omel karena tidak suka Agas membawanya ke sini dan mengundang ketidaksukaan dari pengunjung lain.
Akhirnya salah satu dari pengunjung merasa jengkel dan berkomentar, "Eh, elo kalau gak suka datang ke sini, gak usah ke sini. Sana aja pergi ke restoran mewah. Habisin tuh uang lo di sana. Mentang-mentang orang kaya, sombong banget sih!"
Perempuan yang bersama Agas itu tidak terima dan langsung membalas dengan sengit.
Nara yang menyaksikan perdebatan itu merasa takjub. Bukan takjub pada dua orang yang sedang berdebat melainkan takjub pada Agas yang diam saja seakan-akan dia hanya orang asing yang menonton perdebatan tersebut.
"Tuh orang, " gumam Nara tak habis pikir dengan kecuekan Agas.
Nara jadi menduga kalau Agas ini sedang kencan buta yang diatur oleh keluarganya. Biasanya kan keluarga konglomerat identik dengan hal seperti itu.
Tak lama kemudian, perempuan itu tidak tahan dan pergi meninggalkan kafe lebih dulu tanpa mengatakan apa-apa pada Agas.
Nara tidak bisa menahan tidak tertawa. Tapi dia masih agak segan juga kalau tertawa kencang jadi dia hanya tertawa dengan suara pelan sekali.
Namun Nara langsung dibungkam dengan tatapan Agas yang tiba-tiba tertuju ke arahnya.
"Aduh, ketahuan." Nara mengalihkan pandangannya ke arah lain, sambil pura-pura seakan tidak melihat Agas.
Namun tatapan Agas masih saja tertuju padanya sampai membuat Nara tidak tahan lagi.
Dia memutuskan beranjak dari sana untuk kabur. Nara berjalan dengan terburu-buru tanpa menengok ke belakang lagi.
Nasib sial kembali datang. Hujan tiba-tiba turun dengan cepat dan langsung deras. Nara buru-buru mencari tempat berteduh. Kebetulan halte bus dekat dari sana sehingga Nara berteduh di sana.
Dia terjebak hujan cukup lama. Namun tetap sabar menunggu hujan reda.
Tetapi yang tidak disangka-sangka, tiba-tiba saja mobil melintas di depan Nara dengan kencang sampai membuat air di jalan terciprat ke wajah Nara.
"Arggghhhh ...." Nara berteriak kesal sambil mengusap wajahnya yang tersiram air. "Dasar orang gila."
Sepertinya Nara terkena karma karena menertawakan Agas.
"Emang bener kata orang, jangan ketawain orang lain siapa tahu berbalik ke diri sendiri," keluh Nara serasa ingin menangis.
Nara sedang sibuk mengomel-omel sendiri sampai tidak menyadari ada sebuah mobil yang berhenti di depannya.
"Nara, ayo masuk biar saya antarkan ...."
Nara memandang terkejut orang yang ada di dalam mobil tersebut.
°•• Bersambung ••°
Riri memandang heran pria yang ada di hadapannya. Seingatnya dia tidak pernah pria ini, tapi kenapa orang ini malah ada di depan pintu apartemennya."Perkenalkan nama saya Sugeng, pengacara utusan Pak Agas Pratama," kata pria itu seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Riri."Pengacara?" Riri menatap bingung pria di hadapannya. "Ada urusan apa ya?"Entah mengapa ada firasat tidak enak yang menggelitiknya. Namun begitu dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pengacara dari suaminya ini. "Bisakah kita membicarakannya di dalam, Bu?" tanya Sugeng dengan sopan.Riri berpikir sejenak. Sebenarnya dia agak tidak nyaman membiarkan orang asing masuk ke dalam apartemennya, tapi dia lebih tidak nyaman kalau harus bicara di luar begini. Dengan profesinya dan juga skandalnya yang masih 'panas', akan sangat tidak aman kalau dia sampai dipotret.Pada akhirnya Riri membiarkan Sugeng masuk ke dalam apartemennya. Mereka duduk berseberangan di ruang tamu. Kemudian percakapan mereka berlanjut."J
"Meskipun dia anak kandungmu, tapi jangan seenaknya menemuinya." Kalimat itu yang sepintas terdengar oleh Aldi dan membuatnya merasa bingung. Perlu diketahui, Aldi telah menyelidiki wanita itu cukup menyeluruh karena perintah Agas. Sejauh yang telah Aldi selidiki, wanita yang merupakan ibu tiri dari Nara itu bukan sedang bersama dengan suaminya sendiri. Karena Aldu telah melihat wajah dari ayah kandung Nara. Tidak salah lagi, pria itu memang bukanlah Prayoga. "Apa maksudnya tadi?" gumam Aldi bertanya-tanya.Namun perhatiannya kemudian teralihkan karena Lia telah keluar dari toilet."Maaf agak lama, ayo kita lanjut jalan."Pada akhirnya Aldi harus menunda masalah itu karena dia tidak mau mengganggu waktu spesialnya bersama Lia.Beberapa hari sejak Aldi tidak sengaja bertemu Maya, dia telah menyelidiki lebih jauh dan menemukan sesuatu yang menurutnya cukup penting."Jadi maksudnya, Aurel itu bukan anak kandung Prayoga?" kata Agas saat Aldi memberitahunya masalah itu.Aldi mengangguk
Apa yang ingin ditunjukkan oleh Lia ternyata sebuah undangan yang mana tercetak nama mereka berdua.Aldi merasa terpesona dengan desainnya yang indah. Sungguh seperti mimpi bagi Aldi, tinggal menghitung hari, dia akan segera mempersunting sang pujaan hati."Apa bagus?" tanya Lia. "Kalau ada yang mau kamu tambahkan, bilang sama aku, biar nanti aku minta revisi. Ini baru sample aja.""Cuma satu aja? Bukannya kalau sample biasanya lebih dari satu?" tanya Aldi."Emang lebih dari satu sih, cuma aku langsung jatuh cinta sama sample yang ini," jawab Lia. "Ya, kalau kamu kurang suka desain yang ini, kita bisa minta desain lain.""Gak usah. Kalau kamu suka yang ini, aku juga pilih yang ini," sahut Aldi sambil tersenyum.~~~Sudah dua minggu sejak Agas tahu kalau Riri bukanlah ibu kandung Bima, dia sama sekali belum membuat langkah apapun selain memecat pembantunya. Justru dia menutupi masalah itu dan tidak membesarkannya.Orang lain tidaklah melihat perubahan yang ada dalam diri Agas. Seolah-o
Tepatnya beberapa jam yang lalu Agas tidak hanya meminta Aldi untuk mencari pelaku kekerasan pada Bima tetapi juga untuk menjalankan tugasnya melakukan tes DNA.Agas meminta Aldi mengambil sesuatu dari laci di ruang kantornya. Berupa sample rambut milik Bima dan Riri.Sebenarnya belakangan ini Agas merasakan keraguan samar tentang hubungan antara Riri dan Bima. Padahal mereka adalah ibu dan anak tapi wanita itu tampak tidak suka dekat dengan anaknya sendiri.Sample ini Agas dapat saat tidak sengaja melihat sisir bekas dipakai Riri. Ada sehelai rambut yang menyangkut di sana. Saat itu entah dari dorongan apa, Agas memutuskan menyimpan sample tersebut.Bukannya Agas tidak pernah berpikir untuk mengetesnya. Sudah berkali-kali pikiran itu terus terbesit namun ketika sampai pada praktiknya, dia merasa ragu. Entah karena alasan apa karena dia sendiri tidak tahu.Lebih tepatnya, nurani Agas agak segan untuk melakukannya. Mengingat sejak awal menikah dengan Riri, dia tidak bisa memberikan apa
Aldi tampak terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Agas. Sebelum akhirnya tetap mengatakannya. "Pelakunya adalah ibu Riri, Pak."Tidak ada perubahan besar pada ekspresi Agas saat mendengar ucapan Aldi, karena pada dasarnya sejak awal Agas sendiri sudah curiga pada Riri.Namun begitu masih belum membuat Agas mengerti, mengapa ada seorang ibu yang tidak memiki kasih sayang pada anaknya sendiri."Oke. Terima kasih," kata Agas kemudian menutup telepon.Tangan Agas mengepal kuat, jelas sekali kalau saat ini dia sedang marah. "Kali ini, sudah terlalu jauh, Riri."Setelah mengatakan itu, Agas kembali ke kamar rawat untuk pamit kepada ibunya. Kemudian keluar lagi untuk pergi entah kemana.Satu jam kemudian, SUV Hitam milik Agas memasuki kediamannya sendiri. Rupanya dia langsung pulang dari rumah sakit. Namun bukan dengan tujuan untuk beristirahat melainkan hal lain. Agas berjalan masuk ke rumah dengan wajahnya yang serius. Namun dia tidak pergi ke arah kamarnya, tapi menuju
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir