Sepeninggal calon istri pergi ke dapur untuk memasak makan malam, Rashya menekan pelan sebuah nomor panggilan yang menghubungkan pengacaranya, Bramastra, di Jakarta. Tak lama kemudian, terdengar sahutan seorang pria di ujung sana. "Selamat malam Tuan, ada yang bisa kubantu?" "Kau 'ga usah formal begitu, Bram, kita berada di luar kantor sekarang!" omelnya kesal ke pengacara, dan juga sahabat yang telah bekerja bertahun-tahun di perusahaan. "Ada apa 'sih, Shya? Tumben mendadak sekali telepon aku, memang kau ada di mana sekarang?" Bramastra ingin tahu. Sejak kecelakaan dialami CEO, mereka jadi jarang berkomunikasi lebih intens tak ingin membebani pikirannya dengan urusan perusahaan, kecuali hanya memberi laporan penting yang diminta, lalu dikirim ke kediamannya. "Besok pagi berangkat menemuiku di Bali, ada tugas penting bagimu mengatur aset milikku dan pernikahan kontrak dengan Zaphira, sekarang aku kirim draftnya!" perintah CEO Rashya tegas. Zaphira-?! Pengacara Bramastra
Zaphira menyandarkan kepalanya ke punggung kursi taman. Kelopak matanya terpejam sejenak setelah mematikan panggilan telepon putra bungsu Tuan Imran. Ada-ada saja tingkah adik Rashya yang sangat memuakkan kali ini, dengan memaksanya menikahi pria yang tak disukai sama sekali sejak pertama kali melihatnya di ruang perawatan rumah sakit. Antara Arzu dan Rashya sangat berbeda, seperti langit dan bumi; sikapnya yang arogan mau menang sendiri, begitu kasar, dan mampu menyakiti dirinya setiap kali mereka bertemu. Meskipun Rashya dalam keadaan lumpuh, dia lebih menyukai daripada Arzu yang tegap sempurna, namun begitu jumawa seolah alam semesta miliknya. Dasar pria gila! Dipikirnya brengsek itu dengan mahar sebesar dua milyar dan pesta perkawinan yang megah membuatnya makin tersanjung, lalu hidup bahagia bersamanya. Chuih! Tak sekalipun dia tertarik padanya. "Rara!" Panggilan keras Rashya seketika membuyarkan lamunan gadis itu yang langsung membuka mata, dan menoleh seraya mengubah g
Arzu Rakha Kaivan duduk termenung di kantor mewah dan elegan, yang dulunya dikuasai Rashya, tapi kini sudah menjadi miliknya. Tiada seorangpun kini dapat mengambil alih darinya lagi. Sekarang tinggal sebuah impian yang belum dicapai yaitu memilih pendamping hidup, dan cuma Zaphira Ayu Lutfiah, gadis yang belum sama sekali mampu ditundukkan olehnya. Jarinya menekan sebuah nomor panggilan di gawai, merindukan gadis berada di pulau Dewata, sedang merawat kakaknya yang belum berhasil bangkit dari masa buruk setelah terbangun dari koma. Entah kapan Rashya pulih, namun Arzu malah bersyukur karenanya. "Hai 'Ra, apa kabarmu di Bali?" serunya begitu gembira, panggilannya diangkat dengan cepat oleh gadis itu. Rasa rindu Arzu kian menggebu, dengan mendengar suaranya sudah menaikkan gairah, membayangkan tubuh polos meringkuk ke dalam pelukannya. Terdengar suara Zaphira gugup, menjawab di ujung sana, "Hai Arzu, kami berdua baik-baik saja di sini, Mas Rashya sedang beristirahat di kamar. Oy
Tawar menawar kemudian terjadi di antara mereka. Negosiasi yang saling menguntungkan bagi keduanya. Zaphira tak menyangka, harta yang dimiliki Rashya Afkar Alfarezer tak cuma hanya perusahaan di dalam negeri, namun investasi di luar negeri. Ayahnya, Tuan Imran Nadhirrizki belum cukup banyak mengetahui dari prilaku putra sulung dibalik sikapnya yang urakan dan angkuh, ternyata bisnisnya telah jauh melanglang buana lebih besar dari perusahaan milik keluarga. "Apakah ini sungguh-sungguh keputusan yang baik bagimu, Mas?" Zaphira bertanya penuh keraguan, dan kecemasannya begitu besar daripada manusia lumpuh yang terbaring di sampingnya. Dengan berat hati dia jadi terpaksa mengiyakan permintaan yang menjerat ke dalam masalah yang lebih pelik. "Tenang saja, Ra, rahasia ini akan aman selamanya. Pernikahan kontrak yang kita lakukan nanti dijelaskan kembali oleh pengacaraku. Kau mendapat bagian dari property mewah milikku di Jakarta, termasuk setengah aset perusahaan jika aku sudah pulih
Zaphira mencuci tangan bersih-bersih sebelum siap menyuap makan malam untuk CEO Rashya. Dia masih mengacuhkan pertanyaan tadi, menganggap pria itu cuma sedang bercanda atau berkhayal karena rasa kesepian di jiwa, setelah ditinggalkan keluarganya sebulan lalu. Sampai saat ini, tak satupun datang menjenguknya lagi seakan dicoret dari bagian anggota keluarga. Meskipun dulu Rashya pernah melarang mereka agar rela atas kepergiannya ke Bali, tapi bukan berarti tidak ditengok sama sekali. "Mas, ayo kamu makan dulu!" bujuknya pelan. Sang CEO tetap tidak mau membuka mulut sama sekali. Berpaling muka melirik ke arah lain, bukan ke gadis yang baru saja dilamarnya, yang tak mau menjawab, iya atau tidak. "Kamu kok masih ngambek, Mas? Jangan gitu dong, nanti kalau sakit lagi aku juga yang repot!" Zaphira pun mengeluh, meletakkan piring ke meja nakas di samping ranjang. "Dokter Darsono pasti mengomel padaku kalau kesehatanmu semakin menurun karena banyak pikiran." "Mengapa kalian tidak b
Minyak zaitun dikucurkan ke telapak tangan Zaphira, diusapkan ke lengan dan tungkai kaki Rashya berharap otot dan sendinya segera pulih. Sayangnya, pria angkuh itu tidak merasakan apa-apa. Tubuh lumpuhnya seperti mati, kecuali kedua lengan yang masih lemah, namun masih bisa digerakkan. "Mas Rashya, kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir. Belakangan ini putra Tuan Imran lebih banyak diam. Sebulan tinggal di villa Bali seakan pria itu kehilangan sesuatu yang besar dalam hidupnya melebihi masalah kelumpuhan. Pandangannya kosong membuat Zaphira khawatir luar biasa. "Mas, bicara dong! Memang aku patung dicuekin begini, apa ada sesuatu dipikirkan tolong ceritakan saja ke diriku biar kamu 'ga punya beban?" desaknya begitu penasaran. "Hmm-- apa kau menyukai adikku, 'Ra?" Rashya melirik ke perawat pribadinya, "Tubuhku memang lumpuh, tetapi mataku mampu melihat bagaimana sikap Arzu sangat tertarik padamu beberapa waktu lalu!" "Arzu? Mas pasti lagi bercanda kan?!" Zaphira melongo me