"Hu-Hukuman? Hukuman apa, Pak?" panik Gea.
Namun, Ervan tidak menjawab dan hanya menyeringai.
Tiba-tiba, pria itu menarik tangan Gea hingga jarak mereka cukup dekat. Tanpa memikirkan perasaannya, Ervan mencium bibir ranum wanita itu. Melumatnya dengan kasar.
"Hentikan, Pak!" teriak Gea sambil terus memberontak.
Tapi sayang, Ervan mengabaikan teriakan Gea.
"Hentikan!" Gea kembali berteriak dan mendorong tubuh Ervan hingga menyentuh pintu.
Gea mengusap bibirnya yang ternodai dengan kasar. Air mata sudah mengalir deras. "Apa yang udah Bapak lakuin ke saya, hah?! Bapak mau nodai saya lagi?! Apa belum cukup Bapak buat saya menderita?!"
"Nggak usah sok merasa paling menderita deh. Kamu tuh bukan siapa-siapa di sini," ucap Ervan tanpa rasa bersalah, "Kalau masih mau kerja sama aku, turuti aja apa yang aku mau. Nggak usah berontak."
"Nggak! Saya nggak mau!" tolak Gea merasa terhina. Dia memang berusaha bersikap biasa saja sejak insiden waktu itu. Tapi, Ervan sudah melewati batas!
Sejak awal, Gea hanya ingin bekerja sebagai karayawan biasa dan bukan pemuas ranjang!
Sayangnya, Ervan seolah tak peduli. Pria itu justru menarik lengan Gea dengan kasar--mencengkramnya kuat sampai Gea meringis kesakitan. "Aku nggak terima penolakan!"
"Saya berhak menolak!" balas Gea tegas.
Tanpa basa-basi, Ervan membawa paksa Gea untuk masuk ke dalam ruangan pribadinya. Ruangan yang pernah ia pakai untuk menodai Gea pertama kali. Didorongnya Gea hingga terduduk di tempat tidur.
"Menolak berarti menantang," ucap Ervan sambil melepas dasi dan kancing kemejanya.
Gea terlihat ketakutan, namun berusaha untuk tetap waras. Selagi Ervan sibuk membuka kemeja, Gea beranjak dari tempat tidur untuk lari. Tapi sayang, gerakannya kurang cepat dengan Ervan.
"Mau ke mana, hah?" Ervan memeluk pinggang Gea dan memaksa untuk naik ke atas tempat tidur. "Naik!"
"Nggak!" tolak Gea.
"Jangan membantah!"
Gea terus memberontak, meskipun tenaganya terkuras cukup banyak. Tapi, Gea tidak ingin dinodai Ervan untuk kedua kalinya. Sudah cukup sekali, bahkan Gea sampai hamil. Takkan ada perulangan!
"Lepasin!" teriak Gea sekuat mungkin.
Ervan tidak menyerah. Namun, perlahan pria itu tampak kewalahan karena Gea terus bergerak dan kakinya enggan naik ke atas tempat tidur. "Turuti aku, Gea!"
"Nggak! Saya nggak mau nurut sama cowok mesum kayak Bapak!"
"Tapi tidak begini!" teriak Gea, hingga Ervan membekap mulut perempuan itu agar tidak berteriak lagi.
Tapi sayang, tangan itu justru mendapat gigitan dari Gea. Pelukan itu terlepas. Dengan sekuat tenaga, Gea menyingkirkan tubuh Ervan dan segera melarikan diri dari pria itu.******Di ruangan, Gea kembali menangis. Ia mengusap bibirnya berulang kali dengan tisu. Seakan tak ingin bekas bibir Ervan menempel di bibirnya.
"Cowok brengsek!" umpat Gea kesal. "Kalau nggak mikirin Mama, mungkin gue udah resign dari sini!"Gea menangis pilu dan memutuskan untuk pulang. Ia ingin menenangkan diri di rumah. Meskipun jam kantor belum berakhir, Gea sudah tidak kuat untuk menghadapi Ervan sendirian. Apalagi tidak ada Sherly yang menemaninya.Gea menghapus air matanya sampai kering, kemudian berjalan keluar ruangan sambil membawa tasnya. Baru saja ia melangkah, Ervan sudah muncul kembali di hadapannya. Rasanya muak sekali melihat pria mesum itu."Mau ke mana kamu?" tanya Ervan."Saya mau pulang," jawab Gea ketus sambil memalingkan wajah ke arah lain.Ervan mengernyit lalu melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih pukul 10.30. Bahkan jam makan siang belum masuk."Ini belum jam pulang," kata Ervan datar. "Aku nggak suka karyawan pemalas."Gea bergeming. Ia sudah terlanjur lelah menghadapi Ervan. Banyak sekali tuntutan ini dan itu. Gea juga manusia yang butuh ketenangan untuk sesaat.Ervan masih menatap Gea yang enggan menatapnya. Jika diperhatikan, wanita di depannya cukup menarik dan cantik. Pipi chubby disertai lesung pipi di kanan dan kiri membuat kecantikannya bertambah 90%. Gea juga memakai hijab setiap harinya. Aura cantik semakin terpancar, walaupun make up-nya terkesan natural. Hanya saja, Ervan terlalu malas mengakui itu di depan Gea."Kalau diajak bicara, lihat ke lawan bicaranya!" tegur Ervan sedikit kesal.Wanita itu langsung menatap mata Ervan dengan tajam dan sangat menusuk. "Kalau saya boleh jujur, saya muak lihat Bapak. Kalau Bapak bukan atasan saya, mungkin Bapak sudah saya tuntut atas pemerkosaan itu.""Oh, jadi kamu nantangin aku?""Buat apa saya nantangin Bapak? Korban pemerkosaan punya hak buat laporin pelakunya ke polisi. Bukan nantangin," balas Gea dengan mata yang sudah berkaca-kaca.Rasa geram menyelimuti hati Ervan. Kata-kata Gea begitu menyakitkan baginya. Ia merasa direndahkan oleh wanita itu.Ervan menarik paksa tangan Gea dan berniat membawanya masuk ke dalam ruangan Gea. Tapi, Gea menepis tangan Ervan dengan kasar."Jangan coba-coba paksa saya untuk berduaan di ruangan sama Bapak," tolak Gea mentah-mentah."Kamu didiamkan makin kurang ajar ya sama saya!"Gea melirik ke beberapa karyawan yang kebetulan melintas. Suara tegas Ervan tentu saja mengundang rasa penasaran mereka.Gea lantas tersenyum. "Maaf, Pak. Kalau Bapak anggap saya sebagai karyawan kurang ajar, terus saya anggap Bapak apa? Bukannya Bapak lebih kurang ajar ya sama saya?"Ervan seketika geram. Pria itu tak tahan lagi melihat sikap Gea yang seolah menantangnya. Untuk pertama kalinya, wanita itu berani melawan setiap perkataannya."Menurut, Bapak?!"
Ervan melanjutkan langkahnya lebih cepat dari yang Gea bayangkan. Pria itu kembali mencium bibir ranum Gea dengan kasar. Tangannya sibuk meraba bagian dada Gea. Mengabaikan teriakan Gea.
Plak!
Gea menampar pipi pria itu dengan keras. Ervan menghentikan aksinya sambil menatap Gea dengan tajam. Pipi kirinya diusap beberapa kali karena terasa perih.
"Keluar dari ruangan saya!" usir Gea diiringi isak tangis.
"Aku nggak akan keluar sampai kamu minta maaf sama aku!"
Gea mendorong tubuh Ervan untuk menjauh. Sorot matanya tetap tajam saat menatap Ervan. "Jangan harap saya minta maaf ke Bapak! Yang harusnya minta maaf itu Bapak, bukan saya! Keluar sekarang juga!"
"Nggak!" tolak Ervan.
"Oke. Saya bakal panggil satpam dan bilang ke semua orang kalau Bapak udah perkosa saya!"
Delapan tahun kemudian....“Papa!”Iqbal berseru riang saat melihat sang ayah sudah menunggunya di parkiran mobil. Saat ini, Iqbal sudah bersekolah di Sekolah Dasar yang cukup terkenal dan bonafit di Semarang. Iqbal baru saja selesai ulangan matematika dan mendapatkan nilai terbaik. Ia tidak sabar ingin menunjukkan hasil ulangannya pada sang ayah.Iqbal berlari-lari kecil menghampiri ayahnya. Setelah hampir sampai, Iqbal tersandung batu dan hampir terjatuh. Untunglah sang ayah dengan sigap menangkap tubuhnya.“Astaga, Iqbal. Kamu tuh jangan suka lari-lari. Hampir aja jatuh kamunya. Kalau sampai ada yang luka, Papa yang dimarahi Mama,” ucap Ervan.Iqbal justru tertawa lalu meminta maaf pada Ervan. “Iya maaf ya, Pa. Soalnya aku semangat banget mau nunjukin hasil ulangan matematika aku ke Papa.”“Kamu ada ulangan matematika hari ini?” tanya Ervan.“Iya, Pa. Ini hasilnya.”Iqbal menyodorkan selembar kertas ulangan pada Ervan. Ervan pun dengan senang hati menerimanya dan memeriksa hasil ul
Dua tahun kemudian, Ervan tampak disibukkan dengan toko sembakonya yang semakin hari semakin ramai pembeli. Padahal ia sudah memiliki tiga orang pekerja, namun dirinya masih harus membantu jika sudah ramai pesanan. Belum lagi ada pesanan yang berasal dari beberapa toko kelontong yang harus diantar. Ervan benar-benar kewalahan, namun tetap bersyukur karena kios sembakonya selalu ramai pembeli.Hingga malam pun tiba, Ervan bergegas masuk ke kamar untuk tidur setelah menghitung keuntungan hari ini. Saat masuk ke kamar, ia melihat istrinya masih belum tidur. Sedangkan Iqbal sudah tidur di kamar satunya.“Sayang, kok belum tidur?” tanya Ervan sambil memeluk istrinya yang berdiri memandangi langit malam dari jendela kamar.“Aku belum bisa tidur, Mas. Tadi udah minum susu hangat, tapi belum ngantuk juga,” jawab Gea. “Oh iya, gimana keuntungan hari ini, Mas?”“Alhamdulillah makin meningkat, Sayang. Aku kayaknya butuh dua karyawan lagi deh, Yang. Soalnya setiap hari pembeli makin ramai. Kadang
Seminggu setelah kepergian Intan, Ervan dan Gea memutuskan untuk mengikhlaskan semuanya. Mulai dari permasalahan awal dengan Intan dan Irma, sampai merembet ke masalah Wahyu yang dendam karena kematian Jelita. Bahkan sampai menyeret beberapa orang, termasuk Restu. Mereka sudah mulai berdamai dengan masa lalu dan akan memulai kehidupan baru bersama-sama.Dan pagi ini, mereka berniat melihat kondisi terkini Irma dan juga Dira. Mereka berada di RSJ yang sama. Namun, mereka hanya bisa melihat dari kejauhan saja. Kondisi Irma dan Dira sangat buruk dan sulit untuk dikendalikan, terutama Irma yang terkadang berteriak bahwa dirinya adalah orang paling kaya di muka Bumi ini. Obsesinya menjadi orang kaya memang masih sangat melekat di pikirannya, sehingga membuatnya depresi ketika keinginan itu tak tercapai.Setelah selesai melihat kondisi Irma dan Dira, mereka memutuskan untuk berkunjung ke makam Wahyu dan Intan. Hanya sebentar karena mereka sekeluarga berencana untuk liburan ke tempat rekreas
Fahri berjalan memasuki kafe yang menjadi tempat pertemuannya dengan Ervan malam ini. Pagi tadi, ia ditugaskan Ervan untuk mengunjungi para pelaku yang sudah mengganggu kehidupan Ervan. Hanya sekadar mengetahui keadaan mereka masing-masing. Kalau Restu, Ervan sendiri sudah mempekerjakannya lagi mulai besok, dan itu atas permintaan Gea. Ervan juga sudah bisa memaafkan kesalahan Restu, mengingat kondisi Restu saat itu sedang terdesak.Ervan yang melihat keberadaan Fahri langsung melambaikan tangan. Posisi duduknya memang sedikit ke belakang area kafe karena lebih sepi dari bagian depan. Untung saja Fahri bisa menyadari lambaian tangannya dan bergegas menghampirinya.Fahri duduk di hadapan Ervan. Wajahnya tampak murung setelah mengunjungi Intan, Irma dan Dira. Ervan bisa merasakan aura tidak enak dari tatapan mata Fahri.“Ada apa, Ri?” tanya Ervan.Sebelum berbicara, Fahri menghela napas terlebih dulu. Helaan napasnya terdengar sangat berat sekali. Kemudian, Fahri berkata, “Van, gue puny
Gea melambaikan tangan ketika mobil Bagus sudah melaju meninggalkan rumahnya. Senyum bahagia Gea tak luntur sedetikpun. Hatinya sangat-sangat lega sekarang. Bagus kembali bersikap seperti biasanya dan justru menerima putranya sebagai cucu.Hingga tak lama kemudian, suara Ervan terdengar jelas di telinganya. Gea menoleh dan ternyata Ervan sudah berdiri di sampingnya.“Loh, ini kado dari siapa, Yang?” tanya Ervan sambil mengernyit heran.“Dari Papa, Mas.”Ervan melongo mendengar jawaban Gea. “Hah? Papa?”“Iya, Mas.”“Papa kesini?” tanya Ervan lagi.Gea mendengus dan hanya mengangguk. Sementara Ervan mencoba menepuk pipinya. Ia merasa sedang bermimpi. Namun hal itu justru membuatnya terlihat lucu di mata sang istri, sampai membuat istrinya tertawa.Ervan lantas menatap istrinya dengan alis yang tertaut samar. “Kok kamu ketawa, Yang?”“Ya soalnya kamu lucu,” jawab Gea apa adanya.“Lucu kenapa?”“Itu tadi, tepuk-tepuk pipi.” Gea menekan pipi Ervan yang tampak sedikit berisi. “Kamu itu lagi
“Ma, makasih banyak udah kasih pencerahan Gea. Berkat Mama, dia sekarang jauh lebih tenang dan nggak jadi pergi,” ucap Ervan lega.“Iya, Van. Mama ngelakuin ini demi kebahagiaan kalian. Jangan sampai kalian berpisah hanya karena ocehan dari tetangga. Memang pernikahan kalian terjadi atas dasar kesalahan. Tapi, bukan berarti mereka berhak menilai kalian seenaknya.”Saat ini, Ervan dan Lastri sedang duduk di ruang tamu. Sedangkan Gea dan Iqbal sudah tidur di kamar. Mereka masih mengobrol sambil menikmati segelas teh yang dibuat oleh Lastri.Ervan benar-benar lega sekali ketika hati Gea luluh oleh nasehat Lastri. Ia tidak menyangka, ucapan Lastri sangat berpengaruh pada keputusan Gea. Hingga akhirnya, Gea membatalkan keputusannya untuk pergi meninggalkan Ervan.“Ehm, atau kami pindah aja ya, Ma. Ke Semarang lagi. Soalnya tetangga di lingkungan sana baik-baik banget, terutama sama Gea. Beda sama tetangga di sini,” ujar Ervan.Lastri tersenyum dan berkata, “Van, mau kalian keliling dunia p