Share

Bab 4 Melawan

"Hu-Hukuman? Hukuman apa, Pak?" panik Gea.


Namun, Ervan tidak menjawab dan hanya menyeringai.

Tiba-tiba, pria itu menarik tangan Gea hingga jarak mereka cukup dekat. Tanpa memikirkan perasaannya, Ervan mencium bibir ranum wanita itu. Melumatnya dengan kasar.


"Hentikan, Pak!" teriak Gea sambil terus memberontak.


Tapi sayang, Ervan mengabaikan teriakan Gea.


"Hentikan!" Gea kembali berteriak dan mendorong tubuh Ervan hingga menyentuh pintu.


Gea mengusap bibirnya yang ternodai dengan kasar. Air mata sudah mengalir deras. "Apa yang udah Bapak lakuin ke saya, hah?! Bapak mau nodai saya lagi?! Apa belum cukup Bapak buat saya menderita?!"


"Nggak usah sok merasa paling menderita deh. Kamu tuh bukan siapa-siapa di sini," ucap Ervan tanpa rasa bersalah, "Kalau masih mau kerja sama aku, turuti aja apa yang aku mau. Nggak usah berontak."


"Nggak! Saya nggak mau!" tolak Gea merasa terhina. Dia memang berusaha bersikap biasa saja sejak insiden waktu itu. Tapi, Ervan sudah melewati batas! 


Sejak awal, Gea hanya ingin bekerja sebagai karayawan biasa dan bukan pemuas ranjang!

Sayangnya, Ervan seolah tak peduli. Pria itu justru menarik lengan Gea dengan kasar--mencengkramnya kuat sampai Gea meringis kesakitan. "Aku nggak terima penolakan!"


"Saya berhak menolak!" balas Gea tegas.


Tanpa basa-basi, Ervan membawa paksa Gea untuk masuk ke dalam ruangan pribadinya. Ruangan yang pernah ia pakai untuk menodai Gea pertama kali. Didorongnya Gea hingga terduduk di tempat tidur.


"Menolak berarti menantang," ucap Ervan sambil melepas dasi dan kancing kemejanya.


Gea terlihat ketakutan, namun berusaha untuk tetap waras. Selagi Ervan sibuk membuka kemeja, Gea beranjak dari tempat tidur untuk lari. Tapi sayang, gerakannya kurang cepat dengan Ervan.


"Mau ke mana, hah?" Ervan memeluk pinggang Gea dan memaksa untuk naik ke atas tempat tidur. "Naik!"


"Nggak!" tolak Gea.


"Jangan membantah!"


Gea terus memberontak, meskipun tenaganya terkuras cukup banyak. Tapi, Gea tidak ingin dinodai Ervan untuk kedua kalinya. Sudah cukup sekali, bahkan Gea sampai hamil. Takkan ada perulangan!


"Lepasin!" teriak Gea sekuat mungkin.


Ervan tidak menyerah. Namun, perlahan pria itu tampak kewalahan karena Gea terus bergerak dan kakinya enggan naik ke atas tempat tidur. "Turuti aku, Gea!"


"Nggak! Saya nggak mau nurut sama cowok mesum kayak Bapak!"

"Bukankah kamu ingin saya nikahi?"

"Tapi tidak begini!" teriak Gea, hingga  Ervan membekap mulut perempuan itu agar tidak berteriak lagi.

Tapi sayang, tangan itu justru mendapat gigitan dari Gea. Pelukan itu terlepas. Dengan sekuat tenaga, Gea menyingkirkan tubuh Ervan dan segera melarikan diri dari pria itu.

******

Di ruangan, Gea kembali menangis. Ia mengusap bibirnya berulang kali dengan tisu. Seakan tak ingin bekas bibir Ervan menempel di bibirnya.

"Cowok brengsek!" umpat Gea kesal. "Kalau nggak mikirin Mama, mungkin gue udah resign dari sini!"

Gea menangis pilu dan memutuskan untuk pulang. Ia ingin menenangkan diri di rumah. Meskipun jam kantor belum berakhir, Gea sudah tidak kuat untuk menghadapi Ervan sendirian. Apalagi tidak ada Sherly yang menemaninya.

Gea menghapus air matanya sampai kering, kemudian berjalan keluar ruangan sambil membawa tasnya. Baru saja ia melangkah, Ervan sudah muncul kembali di hadapannya. Rasanya muak sekali melihat pria mesum itu.

"Mau ke mana kamu?" tanya Ervan.

"Saya mau pulang," jawab Gea ketus sambil memalingkan wajah ke arah lain.

Ervan mengernyit lalu melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih pukul 10.30. Bahkan jam makan siang belum masuk.

"Ini belum jam pulang," kata Ervan datar. "Aku nggak suka karyawan pemalas."

Gea bergeming. Ia sudah terlanjur lelah menghadapi Ervan. Banyak sekali tuntutan ini dan itu. Gea juga manusia yang butuh ketenangan untuk sesaat.

Ervan masih menatap Gea yang enggan menatapnya. Jika diperhatikan, wanita di depannya cukup menarik dan cantik. Pipi chubby disertai lesung pipi di kanan dan kiri membuat kecantikannya bertambah 90%. Gea juga memakai hijab setiap harinya. Aura cantik semakin terpancar, walaupun make up-nya terkesan natural. Hanya saja, Ervan terlalu malas mengakui itu di depan Gea.

"Kalau diajak bicara, lihat ke lawan bicaranya!" tegur Ervan sedikit kesal.

Wanita itu langsung menatap mata Ervan dengan tajam dan sangat menusuk. "Kalau saya boleh jujur, saya muak lihat Bapak. Kalau Bapak bukan atasan saya, mungkin Bapak sudah saya tuntut atas pemerkosaan itu."

"Oh, jadi kamu nantangin aku?"

"Buat apa saya nantangin Bapak? Korban pemerkosaan punya hak buat laporin pelakunya ke polisi. Bukan nantangin," balas Gea dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Rasa geram menyelimuti hati Ervan. Kata-kata Gea begitu menyakitkan baginya. Ia merasa direndahkan oleh wanita itu.

Ervan menarik paksa tangan Gea dan berniat membawanya masuk ke dalam ruangan Gea. Tapi, Gea menepis tangan Ervan dengan kasar.

"Jangan coba-coba paksa saya untuk berduaan di ruangan sama Bapak," tolak Gea mentah-mentah.

"Kamu didiamkan makin kurang ajar ya sama saya!"

Gea melirik ke beberapa karyawan yang kebetulan melintas. Suara tegas Ervan tentu saja mengundang rasa penasaran mereka.

Gea lantas tersenyum. "Maaf, Pak. Kalau Bapak anggap saya sebagai karyawan kurang ajar, terus saya anggap Bapak apa? Bukannya Bapak lebih kurang ajar ya sama saya?"

Ervan seketika geram. Pria itu tak tahan lagi melihat sikap Gea yang seolah menantangnya. Untuk pertama kalinya, wanita itu berani melawan setiap perkataannya.


"Ikut aku sekarang!"


Ervan mencengkram pergelangan tangan Gea dan langsung menyeretnya masuk ke dalam ruangan wanita itu. Pintu ruangan dikunci dari dalam


"Bapak mau apa?!" tanya Gea sambil memundurkan langkahnya saat Ervan semakin mendekatinya. "Jangan coba-coba dekati saya!"


Ervan tidak menjawab. Netranya masih sibuk memperhatikan lekukan tubuh Gea di balik pakaian kerja Gea.


"Saya minta Bapak keluar dari sini!" usir Gea.


Langkah Ervan mendadak berhenti. "Kamu berani ngusir aku?!"

"Menurut, Bapak?!"


Ervan melanjutkan langkahnya lebih cepat dari yang Gea bayangkan. Pria itu kembali mencium bibir ranum Gea dengan kasar. Tangannya sibuk meraba bagian dada Gea. Mengabaikan teriakan Gea.


Plak!


Gea menampar pipi pria itu dengan keras. Ervan menghentikan aksinya sambil menatap Gea dengan tajam. Pipi kirinya diusap beberapa kali karena terasa perih.


"Keluar dari ruangan saya!" usir Gea diiringi isak tangis.


"Aku nggak akan keluar sampai kamu minta maaf sama aku!"


Gea mendorong tubuh Ervan untuk menjauh. Sorot matanya tetap tajam saat menatap Ervan. "Jangan harap saya minta maaf ke Bapak! Yang harusnya minta maaf itu Bapak, bukan saya! Keluar sekarang juga!"


"Nggak!" tolak Ervan.


"Oke. Saya bakal panggil satpam dan bilang ke semua orang kalau Bapak udah perkosa saya!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status