Share

Bab 5 Perjanjian Pra-Nikah

Mendengar ancaman Gea, nyali Ervan tiba-tiba menciut. Ada rasa kesal. Tapi, Ervan tidak mungkin melanjutkan hasratnya. Bisa heboh satu perusahaan jika Gea benar-benar menyebarkan berita itu. Reputasi Ervan dan keluarganya bisa tercoreng....

"Ck! Oke, oke ... aku bakal keluar," ucap Ervan. "Tapi, urusan kita belum selesai. Ingat itu!"

Ervan melenggang pergi dengan kesal dan membanting pintu saat keluar. Setelah kepergian Ervan, tubuh Gea lemas sampai terduduk di lantai sambil menangis.

Sedangkan Ervan menggeram kesal di ruangannya sendiri karena merasa ditolak oleh wanita itu. Baru kali ini Ervan mendapat penolakan. Apalagi Ervan juga ditampar oleh Gea.

"Sialan tuh cewek! Berani banget dia nampar pipi gue!" gerutu Ervan. "Nggak terima gue!"

Ervan duduk di kursi dengan kasar. "Awas lo, Gea. Gue bakal kasih perhitungan buat lo."

****

Gea menatap jam dinding.

Waktu jam kerja sudah habis. Pekerjaannya juga sudah selesai. Kini, Gea bersiap untuk pulang ke rumah. Setelah kejadian pukul 10.30 tadi, akhirnya Gea mengurungkan niat untuk pulang. Ia takut diperlakukan buruk oleh Ervan. Gea benar-benar trauma saat ini. Tapi, dia sudah membuat keputusan dan Ervan ... harus menerimanya!

Setelah keluar dari ruangan, ia berpapasan dengan Lia yang kebetulan ingin ke toilet. Gea tersenyum pada wanita itu dan bertanya, "Mau kemana?"

"Ke toilet. Beser mulu gue dari tadi," ucap Lia sambil terkekeh.

"Oh, yaudah, gue pulang duluan ya," pamit Gea.

Lia hanya mengangguk dan berlalu dari hadapan Gea. Sementara Gea berjalan ke arah ruangan Ervan. Diketuknya beberapa kali pintu ruangan itu, sampai Ervan mempersilahkan masuk.

Gea membuka pintu dan masuk ke dalam.

"Mau ngapain kamu masuk ke sini?" tanya Ervan dengan nada sewot dan lirikan sinis.

Gea tidak langsung menjawab. Map merah yang dipegang tadi pun segera Gea letakkan di atas meja Ervan. Setelah itu, ia duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Ervan.

Ervan yang melihat map itu pun mengernyitkan keningnya. "Apa ini?"

"Bapak buka aja," ujar Gea dengan tenang.

Ervan sedikit mendengus sambil membuka map tersebut. Dibacanya dengan pelan isi dari map itu, kemudian kelopak matanya melebar sempurna. Pandangannya kini sudah beralih ke arah Gea yang sudah menyunggingkan sebuah senyuman aneh.

"Apa maksudnya ini? Kamu mau peras aku?!"

Gea mengernyit. "Siapa yang mau peras Bapak?"

"Ini!" tunjuk Ervan pada isi dari map itu, "Ngapain kamu buat surat perjanjian pra-nikah ini, hah?! Kamu pikir, aku mau nikahin kamu? Huh! Maaf, aku nggak sudi."

"Kalau memang Bapak belum siap buat bertanggung-jawab, harusnya Bapak jangan perkosa saya. Saya nggak mau menanggung malu sendirian. Sementara Bapak enak, ongkang-ongkang kaki doang dan nggak dicibir banyak orang," celetuk Gea.

"Tinggal digugurkan aja apa susahnya sih?! Kemarin dikasih cek malah disobek. Sekarang buat surat perjanjian kayak gini. Nggak ada untungnya buat aku," ucap Ervan kesal. "Kalau kamu nggak mau gugurin itu kandungan, mending kamu nikah aja sama cowok lain."

Gea mendecih sambil berkata, "Enak banget Bapak ngomong ya. Bapak yang berbuat, orang lain yang disuruh tanggung-jawab. Hati Bapak itu terbuat dari apa sih? Atau memang Bapak nggak punya hati sama sekali? Miris banget ya hidup Bapak."

Ervan menggebrak meja sambil berdiri. Tak terima mendapat penghinaan dari Gea. Berani sekali wanita rendahan seperti dia menghina pria yang memiliki jabatan tinggi.

"Kenapa, Pak? Bapak nggak terima saya bilang kayak gitu?" ledek Gea.

"Iya! Kamu didiamkan makin ngelunjak ya! Aku boss di sini! Jadi, jangan macam-macam kamu!" teriak Ervan marah.

Gea masih tetap tenang. Menghadapi orang seperti itu memang harus bersikap tenang. Bahkan Gea bersedekap sambil menyunggingkan sebuah senyuman.

"Saya kayak gini karena Bapak sendiri yang membuat masalah dalam hidup saya," ujar Gea. "Selama saya hidup, nggak pernah ada satu orang pun yang berani sentuh saya. Apalagi sampai ditiduri kayak gitu. Bapak yang pertama kali nyentuh saya sampai saya hamil kayak gini."

"Dan asal Bapak tahu, saya nggak sama kayak cewek-cewek yang pernah Bapak hamili. Saya cuma butuh tanggung jawab Bapak atas anak ini. Setelah anak ini lahir, Bapak boleh talak saya dan saya akan pergi jauh dari Bapak. Cuma itu yang saya mau," lanjut Gea.

Pria di hadapan Gea itu menatapnya dengan tajam. Kedua tangannya yang berada di atas meja pun terkepal sempurna. Tapi, Gea tidak peduli. Ia masih tetap menunggu jawaban dari Ervan tentang perjanjian tertulis itu.

"Kalau Bapak mau marah, silahkan. Tapi jangan marah sama saya karena ini kesalahan Bapak sendiri. Berani berbuat, berani bertanggung-jawab," ucap Gea.

"Aku nggak mau nikah sama kamu!"

Gea menyeringai. "Oke. Kalau gitu, saya harus datang ke orang tua Bapak untuk bahas soal ini. Gimana? Bapak siap dapat omelan dari orang tua?"

Amarah di wajah Ervan pun meredup. Jika sudah berurusan dengan orang tua, nyali Ervan akan menciut. Apalagi kalau sampai Ayahnya tahu. Bisa-bisa namanya akan dicoret dari daftar ahli waris. Sial! Ervan terjebak oleh kesalahannya sendiri.

Melihat ekspresi Ervan mendadak berbeda dari sebelumnya, Gea pun tersenyum puas.

"Gimana, Pak? Kalau Bapak nggak jawab dalam hitungan ke lima, saya bakal pergi ke rumah orang tua Bapak."

"Sialan kamu!" Ervan mengumpat kesal.

"Harusnya saya yang bilang gitu ke Bapak," balas Gea tak mau kalah. "Yang sialan itu Bapak. Yang bajingan itu Bapak. Yang brengsek itu Bapak. Masalah ini muncul karena ulah Bapak. Saya nggak masalah kalau Bapak hamili cewek lain. Tapi kenapa harus saya yang Bapak nodai? Di kantor ini banyak cewek yang lebih cantik dan lebih seksi dari saya. Kenapa nggak mereka aja? Toh mereka bakal seneng kalau dinodai karena memang mereka suka sama Bapak."

Ervan melebarkan kelopak matanya. "Oh, jadi kamu nggak suka aku nodai? Nggak terima, iya?!"

"Iya!" jawab Gea lantang. "Cuma cewek bodoh yang mau dinodai Bapak. Saya dididik baik-baik sama orang tua saya. Tapi Bapak malah merusak masa depan saya, tanpa ngerasa salah. Makanya saya nggak akan lepasin Bapak sebelum Bapak nikahin saya!"

Ervan hanya menggeram frustrasi sambil membaca isi perjanjian itu. "Apa-apaan ini?! Masa setelah nikah, aku nggak boleh ngelakuin hubungan itu sama kamu! Rugi di aku dong!"

Gea mendecih sambil geleng kepala. "Bapak rugi apa sih? Bapak kan bisa cari cewek lain buat dijadiin pelampiasan. Yang jelas-jelas rugi itu saya, Pak. Saya yang hamil, saya yang melahirkan. Belum lagi nanti ada cibiran tetangga soal kehamilan saya. Bapak mah enak, nggak berbekas. Kalau cewek berbekas, Pak."

"Aku nggak mau tanda tangan kalau aturan nomor dua nggak diganti!" tolak Ervan karena merasa dirugikan.

"Ya itu terserah, Bapak. Saya tinggal ke rumah orang tua Bapak, terus saya …."

Ervan langsung menutup mulut Gea dengan telapak tangannya. Setelah Gea diam, Ervan mengambil pulpen di dekatnya, kemudian membubuhkan tanda tangan tepat di dekat materai. Gea pun tersenyum senang setelah Ervan memberikan kembali surat itu padanya. Gea pun ikut menandatangani perjanjian itu dengan senyum bahagia.

Setidaknya, anak yang ada di dalam kandungannya tidak lahir saat dirinya belum menikah.

Jika sudah menikah, Gea tidak akan peduli lagi pada omongan tetangganya nanti.

"Semoga kerja sama kita berhasil, Pak Ervan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status