Malam ini, Akash kembali berada di sebuah klub malam, ditemani salah satu sahabat lamanya—Wildan, pria yang sudah seperti rekan tetapnya dalam urusan hiburan dan pelarian sementara.
Begitu sosok Akash melangkah masuk, atmosfer klub yang semarak seketika berubah. Musik dentuman bass yang memekakkan telinga seolah tak mampu meredam sorakan dan bisikan para wanita yang langsung memperhatikannya. Semua mata tertuju padanya, dan tak sedikit dari mereka berlomba mendekat, mencoba merayu dengan senyum dan lirikan genit. Bagi mereka, bersama CEO tampan itu meski hanya semalam adalah keberuntungan besar.
Di balik gemerlap lampu strobo dan alunan musik EDM yang mengguncang lantai dansa, Akash terlihat seperti pria bebas tanpa beban. Gelas minuman keras di tangannya, asap rokok yang membumbung dari sela jarinya, dan beberapa wanita cantik yang bergelayut manja di sekelilingnya menampilkan citra pria yang hidupnya penuh warna.
Namun malam ini terasa berbeda.
"Gue punya cewek cantik. Spesial buat lo malam ini," ujar Wildan sembari menunjuk ke arah seorang wanita seksi bergaun merah yang berdiri tak jauh dari mereka. Senyum wanita itu menggoda, tubuhnya menggeliat lembut mengikuti irama musik, menunggu isyarat dari Akash.
Tapi Akash hanya melirik sekilas, lalu mengangkat jari telunjuknya dan menggerakkannya ke kiri dan ke kanan, tanda penolakan yang tak biasa. Sorot matanya kosong meski tubuhnya masih berada di tengah keramaian.
Wildan mengernyit. "Serius lo, Kash?" tanyanya dengan suara setengah berteriak karena harus mengalahkan suara musik.
Akash menggeleng pelan, lalu menyeruput minumannya tanpa berkata apa pun.
Wildan melipat tangan di dada, ekspresinya bingung. Selama ini, sahabatnya itu tak pernah menolak jika ditawarkan wanita. Bahkan, biasanya ia yang lebih dulu meminta Wildan mencarikan teman malam untuknya—seseorang yang bisa menemaninya melewati malam dan berakhir di ranjang.
Tapi sekarang? Bahkan dalam kondisi sedikit mabuk sekalipun, Akash menolak.
Ada yang berubah dari Akash malam ini. Wildan bisa merasakannya. Meskipun pria itu tertawa dan terlihat menikmati malam, namun ada satu hal yang hilang dari binar matanya. Sesuatu yang kosong. Sesuatu yang mengganggu. Bukan seperti Akash biasanya, tanpa Wildan tawari pria itu pasti akan memintanya mencari lawan mainnya di ranjang, wanita yang bisa memuaskannya berulang kali sampai dia puas. Kali ini, CEO muda itu menolak mentah-mentah tawaran sang sahabat.
"Lo kenapa, bro? Gue gak biasa liat lo kayak gini," ujar Wildan mencoba mendekat agar bisa berbicara lebih jelas.
Akash hanya tertawa kecil, pahit. "Gak ada apa-apa. Gue cuma lagi gak mood aja," ucapnya singkat.
Wildan tak menekan lebih jauh. Dia tahu, jika Akash sedang tidak ingin bicara, maka tak ada satu pun yang bisa memaksanya.
Malam terus berlanjut, tapi Akash tak seantusias biasanya. Gelas demi gelas minuman keras ia habiskan, tidak satu dua wanita datang menggoda agar CEO muda itu mau mengajaknya check in, namun tak satu pun wanita berhasil menarik perhatiannya. Di tengah keramaian itu, pikirannya justru melayang ke sosok gadis bersorban putih yang ia lihat siang tadi di masjid. Wajah tenang dan anggun gadis itu seperti terus menari-nari di balik matanya.
Dan untuk pertama kalinya, Akash merasa ... kosong di tengah gemerlap dunia yang selama ini ia nikmati.
Pikiran Wildan masih terus berputar mencari jawaban kenapa Akash berubah, hingga tiba-tiba tercetus pikirannya ke wanita Akash yang dulu.
“Lo kapok sama Rissa?” ledek Wildan, menyikut lengan Akash pelan, mengingatkan pria itu pada mantan wanita terakhir yang pernah bersamanya—yang bikin heboh karena hampir mengacak-acak reputasi Akash di publik.
Akash hanya mendengus. Kepalanya sedikit terangguk, pandangan kabur menatap lantai klub yang remang.
“Ngapain gue kapok? Gue cuma ... lagi tobat aja dari yang namanya cewek,” sahut Akash sambil memutar gelasnya pelan. “Karena gue udah nemu cewek yang bakal jadi istri gue.”
Wildan yang tengah meneguk bir langsung tersedak kecil. “Apa? Siapa?”
Akash menyender malas di sofa empuk berwarna hitam, matanya setengah tertutup, ucapannya mulai ngelantur tapi terdengar serius.
“Gak tau namanya. Gue belum kenal ... cuma lihat dia aja ... di jalan.”
Tawa Wildan pecah seketika. Terdengar keras dan tak tertahankan, hingga beberapa pengunjung lain melirik ke arah mereka.
“Buset, lo mabuk parah, Bro!” Wildan menepuk paha Akash sambil terus tertawa. “Lo gila ya? Lo bilang mau nikahin cewek yang bahkan lo gak tahu namanya? Baru liat sekilas? Hahaha!”
Akash hanya tersenyum simpul. Entah karena mabuk atau karena hatinya yang benar-benar terguncang sejak siang tadi. Sosok gadis itu—anggun dengan balutan sorban putih, seolah membekas di benaknya dan menampar kesadaran yang selama ini tertutup gelap dunia malam.
“Gue gak tau kenapa,” ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman. “Tapi dia beda, Dan ... Dia bukan cewek kayak yang biasa kita temuin di tempat ginian.”
Wildan mulai sadar, meskipun mabuk, ucapan Akash kali ini berasal dari bagian hati yang tak biasa. Ia berhenti tertawa, lalu hanya mengangguk pelan, membiarkan sahabatnya larut dalam pikirannya sendiri.
Malam kian larut. Musik masih menggelegar, lampu warna-warni masih menyapu wajah-wajah haus hiburan. Tapi bagi Akash, malam itu seperti sepi—karena pikirannya tertinggal di pelataran masjid, bersama siluet perempuan yang bahkan belum sempat menoleh ke arahnya.
Jam menunjukkan pukul dua dini hari ketika mereka akhirnya keluar dari klub. Udara malam menyambut mereka dengan embusan dingin yang menampar wajah. Akash berjalan sedikit sempoyongan, sementara Wildan setia menggandeng lengannya.
Mereka naik ke dalam mobil pribadi Akash yang dikemudikan sopirnya. Sepanjang perjalanan ke apartemen, Akash hanya diam memandangi jendela, sementara Wildan sibuk membuka ponselnya.
Apartemen mewah milik Akash menjadi tujuan terakhir mereka malam itu. Tempat itu kini ditinggali berdua karena Wildan belum lama ini mengalami musibah—bisnisnya bangkrut, pacarnya kabur, dan tempat tinggalnya disita. Akash, yang memang sudah menganggap Wildan seperti saudara, tak pikir panjang saat mengajaknya tinggal bersama untuk sementara.
Sesampainya di sana, Akash langsung rebah di sofa panjang. Wildan melepaskan jaketnya dan duduk di kursi seberang.
“Lo yakin besok gak mau balik nyari dia lagi?” tanya Wildan sambil memainkan korek zippo-nya.
Akash membuka mata setengah, menatap langit-langit.
“Gue gak yakin. Tapi kalau dia jodoh gue, Tuhan pasti tunjukin jalannya ....”
Wildan tertawa lirih, “Mampus, Bro. Lo lagi jatuh cinta kayaknya. Yang bener aja ....”
Tapi kali ini, Akash tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, dan membiarkan wajah gadis itu kembali menghuni kepalanya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Akash tidak bisa menikmati dunia malam. Karena hatinya mulai terpaut pada cahaya lain—yang lebih terang daripada gemerlap klub malam: cahaya dari matanya.
Selamat membaca, tinggalkan jejak komen ya. Terima kasih.
“Ganti baju dulu ya, Mas. Aku mandi sebentar,” bisik Innara dengan senyum malu-malu.Akash mengangguk. “Aku tunggu di sini. Tapi jangan terlalu lama. Aku sudah sangat menanti kamu …”***Innara keluar dari kamar mandi sekitar lima belas menit kemudian. Rambutnya kini terurai lembut, hanya disisir jari. Ia mengenakan lingerie tipis satin warna putih tulang, panjang hingga paha, dengan renda halus di bagian dada. Gaun tidur itu membentuk lekuk tubuhnya dengan indah, memperlihatkan kulit seputih susu dan bahu jenjangnya yang kini tanpa penutup.Akash menatap tanpa suara. Dada pria itu naik turun perlahan, mencoba mengatur napas yang mulai tak beraturan.“Ya Allah … kamu benar-benar bidadari,” gumamnya.“Aku nervous, Mas .…”Akash bangkit, berjalan mendekat, lalu mengusap lengan Innara dengan lembut.“Gak perlu nervous. Aku gak akan menyentuh kamu dengan kasar. Aku akan menyentuh kamu dengan cinta .…”Innara memejamkan mata sejenak saat jari Akash menyusuri garis rahangnya, turun ke leher,
Innara tersentak pelan saat tiba-tiba Akash menarik pinggangnya dan menepis jarak di antara mereka. Tubuh mereka kini nyaris tanpa sela.“Mas ... masih banyak orang di luar sana,” ucap Innara dengan nada lirih, wajahnya langsung merona. Ia mencoba mendorong dada Akash, tapi pelukan pria itu justru mengencang.“Ssst ... biarkan aku menatap istriku dulu. Sebentar saja,” balas Akash, matanya menatap lembut, namun dalam.Mata mereka saling bertaut. Tatapan yang mengunci napas dan menyulut debar jantung.“Selama seminggu ini ... apa saja yang kamu lakukan?” tanya Akash tiba-tiba, nadanya ambigu dan menggoda.Kening Innara mengernyit pelan. “Maksudnya?”Akash tersenyum miring. “Aku rasa, kamu nggak butuh waktu selama itu hanya untuk tampil secantik ini.”Innara terkekeh, lalu membalas dengan nada tak mau kalah, “Aku harus tampil cantik maksimal, Mas. Karena hari ini hari istimewa untukku.”“Benarkah?” Akash menggoda. “Seberapa istimewa?”“Sangat ... sangat istimewa. Karena hari ini aku menj
Tatapan Innara langsung tertuju pada ayahnya. Napasnya tercekat ketika menyadari betapa pucat wajah sang ayah. Panik kecil mulai merayap di hatinya."Ya Allah ... Pa, kita ke kamar, yuk," ucap Innara segera, dengan sigap memapah Ahmed dari sisi kanan sementara Akash menopang dari kiri.Langkah mereka perlahan namun pasti menuju kamar utama di lantai bawah. Para tamu yang masih tersisa di ruang tamu otomatis memperhatikan mereka dengan tatapan khawatir.“Ada apa ya?”“Pak Ahmed kenapa?”Beberapa bisik-bisik mulai terdengar. Namun Ayden, yang menyadari kepanikan mulai menyebar, langsung melangkah ke tengah ruangan dan menenangkan semua yang hadir."Tenang saja, semua. Pak Ahmed hanya kelelahan. Dari pagi belum sempat istirahat. Kita doakan saja beliau sehat selalu," ucap Ayden meyakinkan.Ucapan Ayden seolah menurunkan ketegangan. Para tamu pun mengangguk, dan beberapa dari mereka mulai berpamitan pulang dengan sopan.Di dalam kamar, Innara segera membantu ayahnya berbaring di tempat ti
"Siapa sih yang pertama kali bikin aturan itu?" tanya Akash dengan wajah masam saat mereka berdua sedang duduk santai di balkon lantai dua rumah Ahmed. Sinar matahari sore menyinari wajahnya, membuat raut kesalnya semakin terlihat jelas."Aturan apa?" tanya Innara sambil menyuapkan sesendok puding cokelat ke mulutnya. Matanya menyipit menahan silau, tapi wajahnya tetap kalem. Ia tidak langsung paham arah pertanyaan sang calon suami."Ya itu, peraturan pingitan!" sahut Akash sambil melipat tangan di dada. Ekspresi wajahnya seperti anak kecil yang tidak mendapatkan jatah mainan.Mendengar jawaban itu, Innara langsung terkikik geli. Ia sudah menduga cepat atau lambat Akash akan meluapkan unek-uneknya soal tradisi satu ini."Kan kamu sudah setuju kalau kita pakai adat dari Mama. Ya, pingitan ini bagian dari rangkaian adat pernikahan Jawa," jelas Innara, masih dengan senyum geli yang belum hilang dari wajahnya.Tradisi pingitan—sebuah kebiasaan dalam adat Jawa di mana calon pengantin wanit
Suara bedug dan takbir menggema sejak malam terakhir Ramadan hingga pagi menjelang. Anak-anak berlarian di gang kecil sambil membawa bedug kecil dan petasan mainan, sementara orang dewasa bersiap menuju masjid untuk melaksanakan salat Ied. Suasana penuh suka cita memenuhi udara, menggetarkan hati siapa pun yang menyaksikan kebersamaan dan semangat kemenangan ini.Hari Raya Idul Fitri adalah momen kemenangan besar bagi seluruh umat Muslim. Setelah sebulan penuh menahan lapar, haus, amarah, dan berbagai bentuk hawa nafsu, tibalah saatnya untuk menyambut hari yang fitri. Hari yang bukan hanya tentang baju baru dan hidangan khas lebaran, tetapi juga tentang hati yang kembali bersih dan jernih, serta saling memaafkan dalam kehangatan keluarga.Pagi-pagi sekali, keluarga Akash sudah mendatangi rumah Ahmed untuk kembali bersama-sama melaksanakan salat Ied di masjid yang sama seperti malam sebelumnya. Semua tampil rapi dan menawan. Innara terpana melihat penampilan Akash yang mengenakan baju
Setelah dari makam, Akash mengantar Innara kembali ke rumah. Beruntung, jalanan ibu kota sedang sangat lengang. Aura Lebaran memang sudah terasa. Kebanyakan warga sudah mudik ke kampung halaman, membuat jalanan yang biasanya padat kini terasa lapang dan sunyi.Mobil Akash melaju mulus, dan mereka tiba di rumah tepat sebelum waktu berbuka.Sore itu, suasana rumah Ahmed terlihat lebih hidup. Beliau memang sengaja mengundang Anya dan Ayden—orang tua Akash—untuk berbuka puasa dan melaksanakan salat tarawih bersama. Sebagai hari terakhir di bulan suci, Ahmed ingin menciptakan kenangan yang hangat dan penuh kebersamaan.Akash sedikit terkejut saat melihat kedua orang tuanya sudah duduk santai di ruang tamu, tampak akrab berbincang dengan Ahmed sambil menunggu azan berkumandang.“Assalamualaikum,” sapa Akash sopan sambil membungkuk hormat.“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak, senyuman menghiasi wajah masing-masing.Innara turut memberi salam, lalu berpamitan sebentar untuk berganti pakai