Dengan kecepatan mobil sportnya, Akash tiba di rumah hanya dalam setengah waktu dari biasanya—jauh lebih cepat dibandingkan saat ia menggunakan mobil biasa miliknya yang lain.
Begitu memasuki rumah, kedua orang tuanya langsung memintanya duduk. Rupanya mereka sudah menunggunya sejak tadi.
“Papa mau tanya, kapan kamu menikah?” tanya Fauzan dengan wajah serius. Tatapannya tajam, menunggu jawaban pasti dari sang putra.
Alis Akash mengernyit dalam. Ia sempat mengira ada kabar penting hingga kedua orang tuanya memintanya segera pulang. Namun nyatanya, ia hanya mendapatkan pertanyaan klise dari ayahnya—pertanyaan yang terlalu sering ia dengar.
“Enggak ada pertanyaan yang lebih berbobot dari ini?” sahut Akash, kesal. Ia sudah ngebut dari kota sebelah demi memenuhi permintaan ayahnya, dan sekarang justru mendapat pertanyaan yang menurutnya tak masuk akal.
“Ini sangat penting untuk kami, Nak,” jawab Anya, ibu angkatnya, dengan nada lembut namun tegas.
“Ma, aku akan menikah kalau memang sudah bertemu dengan gadis yang sesuai dengan kriteria yang aku mau,” ujar Akash, kini dengan nada lebih tenang kepada ibunya.
“Tapi kriteria kamu itu aneh, Akash! Mana ada sekarang gadis salihah seperti yang kamu cari? Zaman sekarang udah beda,” tukas Fauzan dengan nada sarkastik. Bukan karena ia tak percaya, tapi pergaulan Akash terlalu bebas untuk berharap pada sosok perempuan ideal seperti itu.
“Ada, Pa. Barusan aku ketemu dia. Tapi karena Papa kirim pesan menyuruhku segera pulang, gadis itu malah hilang lagi,” ucapnya jujur.
Ucapan Akash membuat Fauzan dan Anya saling berpandangan heran. Mereka masih tidak menyangka bahwa Akash masih menyimpan harapan terhadap sosok perempuan yang sesuai keinginannya. Selama ini, wanita-wanita yang mereka kenal hanyalah perempuan cantik yang jauh dari nilai kesalehan.
“Jangan ngarang, kamu,” ujar Fauzan, masih sulit percaya. Baginya, terlalu mustahil membayangkan putranya bisa bertemu dengan perempuan salihah, apalagi melihat gaya hidup Akash yang bebas.
“Ck! Seperti biasa, enggak pernah percaya sama anak sendiri,” balas Akash kesal.
“Bukan begitu, Nak. Mama dan Papa sebagai orang tua juga ingin melihat kamu menikah, dan kami ingin segera menimang cucu dari kamu. Kalau kamu belum punya calon, Mama dan Papa ingin menjodohkan kamu dengan anak dari klien Papa,” jelas Anya lembut. Ia paham betul cara menghadapi keras kepala putranya itu.
“Sudah kayak Siti Nurbaya, dijodohin segala. Maaf ya, Ma. Bukannya aku menolak niat baik Mama dan Papa, tapi aku ingin mencari istriku sendiri. Tolong, jangan paksa aku,” tolak Akash tegas.
Fauzan dan Anya sangat memahami bagaimana kerasnya karakter putra mereka. Semakin ditekan, Akash akan semakin memberontak. Percakapan mereka pun tak berlanjut hingga Anya menggamit lengan suaminya dan mengajaknya ke ruang makan untuk menikmati makan siang yang telah disiapkan.
Akash langsung masuk ke dalam ruang kerjanya yang berada di rumah itu, menolak ajakan makan siang sang Mama dengan alasan bahwa dirinya sudah makan sebelum pulang.
Di dalam ruang kerja, ia meletakkan ponsel dan kunci mobil di atas meja, lalu menjatuhkan dirinya ke atas sofa yang berada di tengah ruangan. Sambil memijat pangkal hidungnya, Akash menggeleng pelan. Ia masih tidak habis pikir, di zaman sekarang masih ada orang tua yang berpikir untuk menjodohkan anaknya—seolah-olah anaknya itu tidak menarik dan kesulitan mencari pasangan. Padahal, memilih hidup sendiri bukan berarti jelek atau kurang pergaulan. Bisa jadi, seperti dirinya, seseorang terlalu selektif atau terlalu fokus pada karier hingga lupa waktu.
Pikirannya terus berputar, berusaha mencari cara untuk menemukan kembali gadis yang tadi sempat ia lihat di masjid. Ia lantas meraih ponsel yang tergeletak di meja, berdampingan dengan kunci mobil, dan segera menghubungi seseorang.
Ajudan yang menerima telepon dari Akash terdengar kebingungan. Bagaimana mungkin ia bisa mencari gadis yang bahkan belum pernah ia lihat? Saat itu, ia tidak mendampingi sang atasan, jadi ia benar-benar tidak tahu seperti apa gadis yang dimaksud. Namun, perintah adalah perintah. Mau tak mau, ia harus patuh dan berusaha sebisa mungkin mencari jejak sang gadis misterius.
Karena suasana hatinya sudah tidak mendukung untuk kembali ke kantor, Akash masuk ke kamarnya dan berganti pakaian. Ia melepas setelan kerja formalnya dan mengenakan pakaian santai: celana pendek dan kaus putih polos—busana yang selalu ia pilih saat bersantai di rumah.
Ketika keluar dari kamarnya, ia berpapasan dengan salah satu pelayan di rumah. Akash menanyakan keberadaan kedua orang tuanya, dan pelayan itu menjawab bahwa Tuan dan Nyonya Besar telah pergi setelah makan siang. Akash hanya mengangguk pelan. Ia paham betul betapa sibuknya kedua orang tuanya itu.
***
"Bagaimana?" tanya Akash melalui telepon dengan nada penuh harap. Ia baru saja tiba di taman belakang rumahnya dan langsung menghubungi kembali ajudannya, berharap ada kabar baik.
"Be-belum, Pak Bos ...," jawab suara di seberang dengan nada gugup. Ia jelas merasa cemas akan reaksi Akash, mengingat waktu yang diberikan baru dua jam—waktu yang mustahil untuk mendapatkan informasi lengkap soal gadis misterius itu.
"Ck! Dasar nggak berguna! Cepat cari dan kabari saya. Info sekecil apa pun, saya mau tahu!" bentak Akash tajam. Suara baritonnya yang dingin dan tegas langsung membuat ajudannya gemetaran. Ia takut bukan main—bukan hanya soal dimarahi, tapi juga kemungkinan dipecat jika tidak menunjukkan hasil.
"Siap, Pak Bos!" jawabnya cepat, berusaha terdengar tegas walau napasnya terasa sesak.
Tanpa ucapan penutup, Akash langsung mematikan telepon. Ia mendesah panjang sambil menatap layar ponselnya.
"Apa besok aku harus kembali ke sana, di jam yang sama? Siapa tahu bisa bertemu lagi dengannya ...," gumamnya pelan, seolah bertanya pada diri sendiri. Tangannya sibuk memutar-mutar ponsel di sela-sela jemarinya, menggambarkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.
Waktu terus berlalu tanpa terasa. Langit mulai gelap, dan tak lama kemudian suara azan Maghrib berkumandang dari masjid terdekat, memanggil umat muslim untuk menunaikan ibadah.
Hati Akash mencelos mendengar lantunan panggilan itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa tersentuh. Hati kecilnya berbisik, "Salatlah." Tapi pikirannya membantah, "Nanti saja, aku malas." Sebuah pergulatan yang tidak asing bagi banyak orang—antara keinginan hati dan kenyamanan ego.
Drrrttt ... Drrrttt ...
Tiba-tiba ponsel Akash bergetar keras. Ia buru-buru merogoh saku celananya dan melihat layar—sebuah nomor asing muncul di sana. Tanpa pikir panjang, ia menjawab panggilan itu.
"Pak Bos, ini saya." Suara ajudan Akash terdengar dari seberang sana.
"Iya, ada apa?" balas Akash singkat, nada suaranya masih terdengar menahan emosi.
"Saya dapat info tentang gadis yang Anda maksud, Pak. Ternyata dia hanya pengunjung masjid saja. Dia sempat salat di sana, lalu pergi begitu saja," lapor sang ajudan, berusaha memberikan penjelasan sedetail mungkin meski masih jauh dari akurat. Kenyataannya, gadis yang dimaksud bukan sekadar pengunjung, melainkan anak dari pemilik masjid megah itu.
"Sudah tahu namanya? Atau di mana dia tinggal?" tanya Akash, mencoba menahan ketidaksabarannya.
"Maaf, Pak Bos. Saya belum dapat info lebih lanjut. Tak ada satu pun orang di sana yang mengenalnya. Sepertinya dia hanya kebetulan lewat dan mampir untuk salat saja," jawab ajudannya, terdengar canggung dan tidak yakin.
Tanpa berkata apa pun lagi, Akash langsung memutus panggilan telepon dengan wajah kesal. Napasnya memburu pelan saat ia meletakkan ponsel ke meja kecil di samping kursinya.
Ia memijit pelipisnya sambil berpikir ulang soal rencananya besok. Jika benar gadis itu hanya mampir salat dan bukan orang yang sering ke sana, untuk apa ia kembali dan menunggu? Peluang bertemu kembali sangat kecil, dan Akash bukan tipe pria yang suka membuang waktu pada sesuatu yang tidak pasti.
Perasaannya yang awalnya hangat berubah dingin seketika. Nada kesal dan kecewa mencuat dari sorot matanya yang tajam. Untuk meredakan emosinya, ia pun menghubungi salah satu temannya, seseorang yang biasa menemaninya saat ingin melupakan sesuatu.
"Bro, lu di mana?" tanya Akash cepat saat sambungan telepon terhubung.
"Masih di rumah. Kenapa?" jawab temannya di seberang.
"Temani gue ke klub malam. Malam ini," ucapnya dingin. Tak perlu alasan, tak perlu penjelasan panjang. Ia hanya ingin melepaskan semua kekesalan yang kini menyesakkan dadanya.
"Oke, jemput gue setengah jam lagi."
Tanpa banyak kata, Akash bangkit dari sofa dan berjalan ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Malam ini, ia memilih melarikan diri—bukan dari dunia, tapi dari pikirannya sendiri.
Selamat membaca ya, support aku dengan memasukan cerita ini ke pustaka kalian ya dan follow aku — Ucing Ucay. Terima kasih.
Niatnya hanya memejamkan mata sebentar untuk mengistirahatkan pandangan—namun lima menit menjadi sepuluh, lalu berlanjut hingga Akash benar-benar tertidur dalam posisi setengah duduk. Napasnya pelan dan teratur. Di layar laptop, email masih terbuka, dan kacamata nyaris tergelincir dari hidungnya.Tak lama kemudian, Innara keluar dari kamarnya. Penampilannya rapi, formal, dan seperti biasa: elegan tanpa perlu berlebihan. Ia tampak sibuk mengecek isi tasnya satu per satu, memastikan tak ada dokumen atau barang yang tertinggal. Di tengah kegiatannya, ia berpapasan dengan salah satu asisten rumah tangga yang sedang membersihkan ruang makan.“Mbok, nanti kalau Papa nanyain, bilang saya ke kantor, ya,” pesan Innara pelan.“Iya, Non,” jawab si Mbok sambil mengangguk sopan dan melanjutkan pekerjaannya.Sambil mengenakan tas di bahunya, Innara berjalan ke ruang tengah. Ia bermaksud pamit pada Akash.“Mas, kamu sudah selesai belum?” panggilnya sembari melongok ke arah sofa.Tak ada jawaban.“Ma
Alih-alih menjawab, Akash justru mengusap wajahnya dengan kasar. “Heh? Kenapa?” tanyanya balik, seolah baru tersadar.Innara mengerutkan kening. “Mas dengerin aku enggak sih?”“Maaf, tadi aku lagi fokus nyetir,” kelit Akash cepat, sambil menunjuk jalan di depannya. Suaranya agak tergesa.Innara hanya mendecak pelan. Ia kehilangan mood untuk melanjutkan percakapan. Rasa cemas dan kecewa yang menumpuk sejak di kantor polisi tadi, sekarang bercampur dengan kelelahan fisik dan emosional. Ia pun menyandarkan kepala ke jendela, membiarkan suasana hening mengisi ruang di antara mereka.Tak lama kemudian, napasnya mulai teratur. Akash melirik sekilas dan tersenyum kecil.“Ya Allah... tidur aja cantik,” gumamnya.Melihat wajah Innara yang damai dalam tidur membuat perasaan Akash bergejolak. Ia tahu, gadis itu sedang terluka. Semua yang terjadi malam ini bukan hanya mengoyak hati Akash, tapi juga menghancurkan harapan dan kepercayaan Innara pada orang yang dia anggap akan jadi imamnya.Akash ke
Ada perasaan aneh yang tumbuh dalam dadanya. Haru. Bangga. Sekaligus getir.Usai salat berjamaah, barulah mereka semua berkumpul kembali di meja makan untuk menikmati hidangan berat. Perut yang sejak pagi menahan lapar akhirnya bisa diisi kembali. Berbagai masakan hangat terhidang dengan rapi: sup bening ayam, sambal goreng ati, tumis buncis, dan sepiring besar nasi putih yang mengepul lembut.Innara telah menata semuanya dengan apik. Meski ia tak berpuasa, ia tetap duduk menemani sang ayah dan Akash dalam momen buka puasa ini. Senyumnya hangat, walau sedikit tertahan.Ahmed duduk di ujung meja, Akash di sisi kanannya, dan Innara di seberang.Mereka makan dalam diam yang damai. Suara sendok beradu dengan piring dan desiran angin malam menjadi latar musik alami. Sampai akhirnya, Ahmed angkat bicara, memecah kesunyian.“Setelah ini ... lebih baik kalian langsung ke kantor polisi,” ucapnya mantap, di sela menghabiskan suapan terakhirnya.Akash menghentikan gerak sendoknya. Matanya menata
“Tidak baik memendam marah terlalu lama, bukan?” ucap Ahmed membuka percakapan, seolah membaca isi pikiran Akash. “Apalagi di bulan Ramadhan begini.”Akash mengangguk pelan, sedikit tersenyum. “Saya sepakat, Pak.”Lalu setelah keheningan singkat, Akash mulai bertanya hati-hati, “Saya dengar dari Innara ... Anda berencana bekerja sama dengan kontraktor Wildan?”Ahmed terkekeh pelan, lalu menyandarkan punggungnya santai ke sofa. “Tadinya memang begitu niat saya. Tapi Innara menolak mentah-mentah. Gadis itu ... kalau sudah punya prinsip, sulit digoyahkan. Ada saja caranya membujuk saya agar berubah pikiran.”Matanya melirik ke arah dapur, di mana sang putri terlihat sibuk bersama dua asisten rumah tangga mempersiapkan hidangan buka. Rona kebanggaan terlihat jelas di wajahnya.Akash tersenyum melihat ekspresi itu.Ahmed kembali menoleh pada Akash. “Dan saya pikir, rasanya memang tak adil untuk Anda, Pak Akash,” lanjutnya.Akash mengangkat alis sedikit. Ahmed melanjutkan.“Karena emosi, sa
Di sisi lain, Innara berlari menghampiri korban yang tergeletak diam. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil.Dengan hati-hati, dia membalikkan tubuh pria itu."Mas Atthallah!" pekiknya, nyaris histeris.Akash yang tengah bergulat dengan salah satu pelaku langsung menoleh. Tatapannya membelalak melihat wajah Atthallah yang nyaris tak dikenali—penuh luka dan darah, pelipis robek, bibir pecah, dan matanya nyaris membengkak.Tanpa buang waktu, Akash menghampiri mereka."Masuk ke mobil. Sekarang!" ucapnya tegas.Innara dengan cekatan menopang kepala Atthallah ke pangkuannya. Tubuh tunangannya sudah lemas tak bergerak."Mas, cepat!" ucap Innara panik, napasnya memburu. "Mas Atthallah pingsan ... aku takut dia—"Suaranya tercekat. Ia tidak sanggup melanjutkan kalimat itu. Takut apa yang ia ucapkan justru menjadi nyata. Bagaimanapun juga, Atthallah adalah tunangannya. Bagaimana ia akan menjelaskan ini pada keluarganya jika sesuatu yang buruk terjadi?"Aku sedang usahakan," jawab Akash sambil mel
Begitu mobil Akash berhenti di depan gedung, Innara langsung membuka pintu dan masuk. Mobil melaju perlahan meninggalkan kawasan kantor, sementara keheningan mendominasi beberapa menit pertama perjalanan mereka.“Puasa, Mas?” tanya Innara akhirnya, memecah kesunyian dengan suara lembut.Akash meliriknya sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. “Yup. Hari pertama,” jawabnya. “Maksudku … benar-benar pertama kali aku jalani ibadah ini.”Innara mengerjap pelan, terkejut. “Serius?”Akash mengangguk pelan. “Dulu waktu kecil pernah ... tapi waktu itu cuma ikut-ikutan. Sekarang ... aku benar-benar niat.”Mendengar itu, Innara tersenyum kecil. Ada sesuatu yang berbeda dari pria ini. Mungkin, pelan-pelan ... Akash sedang berubah.“Kamu?” tanya Akash balik, kini dengan suara lebih pelan, lebih hati-hati.Innara menghela napas pendek. “Belum bersih.”“Oh ....” Akash mengangguk mengerti, lalu spontan bertanya, “Biasanya berapa lama?”“Sekitar seminggu. Mungkin lusa aku mulai puasa.”Mendadak Akash me