“Ganti baju dulu ya, Mas. Aku mandi sebentar,” bisik Innara dengan senyum malu-malu.Akash mengangguk. “Aku tunggu di sini. Tapi jangan terlalu lama. Aku sudah sangat menanti kamu …”***Innara keluar dari kamar mandi sekitar lima belas menit kemudian. Rambutnya kini terurai lembut, hanya disisir jari. Ia mengenakan lingerie tipis satin warna putih tulang, panjang hingga paha, dengan renda halus di bagian dada. Gaun tidur itu membentuk lekuk tubuhnya dengan indah, memperlihatkan kulit seputih susu dan bahu jenjangnya yang kini tanpa penutup.Akash menatap tanpa suara. Dada pria itu naik turun perlahan, mencoba mengatur napas yang mulai tak beraturan.“Ya Allah … kamu benar-benar bidadari,” gumamnya.“Aku nervous, Mas .…”Akash bangkit, berjalan mendekat, lalu mengusap lengan Innara dengan lembut.“Gak perlu nervous. Aku gak akan menyentuh kamu dengan kasar. Aku akan menyentuh kamu dengan cinta .…”Innara memejamkan mata sejenak saat jari Akash menyusuri garis rahangnya, turun ke leher,
Innara tersentak pelan saat tiba-tiba Akash menarik pinggangnya dan menepis jarak di antara mereka. Tubuh mereka kini nyaris tanpa sela.“Mas ... masih banyak orang di luar sana,” ucap Innara dengan nada lirih, wajahnya langsung merona. Ia mencoba mendorong dada Akash, tapi pelukan pria itu justru mengencang.“Ssst ... biarkan aku menatap istriku dulu. Sebentar saja,” balas Akash, matanya menatap lembut, namun dalam.Mata mereka saling bertaut. Tatapan yang mengunci napas dan menyulut debar jantung.“Selama seminggu ini ... apa saja yang kamu lakukan?” tanya Akash tiba-tiba, nadanya ambigu dan menggoda.Kening Innara mengernyit pelan. “Maksudnya?”Akash tersenyum miring. “Aku rasa, kamu nggak butuh waktu selama itu hanya untuk tampil secantik ini.”Innara terkekeh, lalu membalas dengan nada tak mau kalah, “Aku harus tampil cantik maksimal, Mas. Karena hari ini hari istimewa untukku.”“Benarkah?” Akash menggoda. “Seberapa istimewa?”“Sangat ... sangat istimewa. Karena hari ini aku menj
Tatapan Innara langsung tertuju pada ayahnya. Napasnya tercekat ketika menyadari betapa pucat wajah sang ayah. Panik kecil mulai merayap di hatinya."Ya Allah ... Pa, kita ke kamar, yuk," ucap Innara segera, dengan sigap memapah Ahmed dari sisi kanan sementara Akash menopang dari kiri.Langkah mereka perlahan namun pasti menuju kamar utama di lantai bawah. Para tamu yang masih tersisa di ruang tamu otomatis memperhatikan mereka dengan tatapan khawatir.“Ada apa ya?”“Pak Ahmed kenapa?”Beberapa bisik-bisik mulai terdengar. Namun Ayden, yang menyadari kepanikan mulai menyebar, langsung melangkah ke tengah ruangan dan menenangkan semua yang hadir."Tenang saja, semua. Pak Ahmed hanya kelelahan. Dari pagi belum sempat istirahat. Kita doakan saja beliau sehat selalu," ucap Ayden meyakinkan.Ucapan Ayden seolah menurunkan ketegangan. Para tamu pun mengangguk, dan beberapa dari mereka mulai berpamitan pulang dengan sopan.Di dalam kamar, Innara segera membantu ayahnya berbaring di tempat ti
"Siapa sih yang pertama kali bikin aturan itu?" tanya Akash dengan wajah masam saat mereka berdua sedang duduk santai di balkon lantai dua rumah Ahmed. Sinar matahari sore menyinari wajahnya, membuat raut kesalnya semakin terlihat jelas."Aturan apa?" tanya Innara sambil menyuapkan sesendok puding cokelat ke mulutnya. Matanya menyipit menahan silau, tapi wajahnya tetap kalem. Ia tidak langsung paham arah pertanyaan sang calon suami."Ya itu, peraturan pingitan!" sahut Akash sambil melipat tangan di dada. Ekspresi wajahnya seperti anak kecil yang tidak mendapatkan jatah mainan.Mendengar jawaban itu, Innara langsung terkikik geli. Ia sudah menduga cepat atau lambat Akash akan meluapkan unek-uneknya soal tradisi satu ini."Kan kamu sudah setuju kalau kita pakai adat dari Mama. Ya, pingitan ini bagian dari rangkaian adat pernikahan Jawa," jelas Innara, masih dengan senyum geli yang belum hilang dari wajahnya.Tradisi pingitan—sebuah kebiasaan dalam adat Jawa di mana calon pengantin wanit
Suara bedug dan takbir menggema sejak malam terakhir Ramadan hingga pagi menjelang. Anak-anak berlarian di gang kecil sambil membawa bedug kecil dan petasan mainan, sementara orang dewasa bersiap menuju masjid untuk melaksanakan salat Ied. Suasana penuh suka cita memenuhi udara, menggetarkan hati siapa pun yang menyaksikan kebersamaan dan semangat kemenangan ini.Hari Raya Idul Fitri adalah momen kemenangan besar bagi seluruh umat Muslim. Setelah sebulan penuh menahan lapar, haus, amarah, dan berbagai bentuk hawa nafsu, tibalah saatnya untuk menyambut hari yang fitri. Hari yang bukan hanya tentang baju baru dan hidangan khas lebaran, tetapi juga tentang hati yang kembali bersih dan jernih, serta saling memaafkan dalam kehangatan keluarga.Pagi-pagi sekali, keluarga Akash sudah mendatangi rumah Ahmed untuk kembali bersama-sama melaksanakan salat Ied di masjid yang sama seperti malam sebelumnya. Semua tampil rapi dan menawan. Innara terpana melihat penampilan Akash yang mengenakan baju
Setelah dari makam, Akash mengantar Innara kembali ke rumah. Beruntung, jalanan ibu kota sedang sangat lengang. Aura Lebaran memang sudah terasa. Kebanyakan warga sudah mudik ke kampung halaman, membuat jalanan yang biasanya padat kini terasa lapang dan sunyi.Mobil Akash melaju mulus, dan mereka tiba di rumah tepat sebelum waktu berbuka.Sore itu, suasana rumah Ahmed terlihat lebih hidup. Beliau memang sengaja mengundang Anya dan Ayden—orang tua Akash—untuk berbuka puasa dan melaksanakan salat tarawih bersama. Sebagai hari terakhir di bulan suci, Ahmed ingin menciptakan kenangan yang hangat dan penuh kebersamaan.Akash sedikit terkejut saat melihat kedua orang tuanya sudah duduk santai di ruang tamu, tampak akrab berbincang dengan Ahmed sambil menunggu azan berkumandang.“Assalamualaikum,” sapa Akash sopan sambil membungkuk hormat.“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak, senyuman menghiasi wajah masing-masing.Innara turut memberi salam, lalu berpamitan sebentar untuk berganti pakai