"Tolong, berikan waktu satu bulan lagi untuk kami! Kami berjanji akan membayarnya sampai lunas!"
Grace berteriak begitu para rentenir mengambil semua barang yang ada di rumahnya karena tak bisa membayar hutang sang ayah yang sudah tunggak lima bulan.
"Halah, terus saja kau berkata seperti itu setiap bulannya! Lebih baik kau jual keperawananmu itu agar bisa melunasi semua hutang ayahmu!"
"Jaga bicaramu! Anakku bukan wanita seperti itu!" seru Hanna tidak terima.
"Ibu, sudah, biarkan mereka." tahan Grace sambil memeluk ibunya.
"Setidaknya tunggu suamiku pulang, ia sedang mencari uang untuk membayar hutang!" teriak Hanna membuat para rentenir itu tertawa keras.
"Kamu percaya pada lelaki itu? Tadi kami bertemu dengannya yang sedang bergelayut bersama wanita seumuran anakmu!"
Hanna membelakkan matanya terkejut dan terjatuh ke lantai, Grace menahan tubuhnya dan memeluk Hanna sekuat tenaga.
Para rentenir itu terkekeh lalu pergi dari sana sambil membawa barang-barang berharga yang ada di rumah itu.
Hanna menangis sejadi-jadinya. Ia terduduk karena tak mampu menahan tubuhnya yang mulai melemas itu.
"Ibu, tolong jangan terlalu dipikirkan, aku janji akan memberikan kehidupan yang layak untuk ibu!" seru Grace ikut menangis sambil memeluk ibunya.
"Grace, maafkan ibu telah menikahi lelaki penjudi yang membebanimu." Rintih Hanna, Grace bergeleng.
"Ini bukan salah ibu, tolong jangan meminta maaf." Balas Grace.
Grace dan Hanna selalu mendapat perlakuan ini setiap bulannya. Mereka yang seharusnya menerima uang nafkah dari seorang punggung keluarga malah harus membayar utangnya yang dipakai untuk berjudi.
Mereka saling menangis untuk sesaat. Sampai akhirnya Grace mengajak Hanna untuk pergi dari daerah sana dan meninggalkan ayahnya sendiri disini.
"Grace, kita akan pergi kemana?" tanya Hanna.
Grace melirik. "Aku juga tidak tahu."
Hanna menghela nafas.
"Yang terpenting adalah pergi dari ayah sejauh mungkin. Setelah itu kita bisa hidup damai tanpa terus diteror oleh para rentenir itu." Jelas Grace yang hanya dibalas anggukan oleh Hanna.
"Ya tuhan, bantu aku dan ibuku agar kami bisa hidup dengan damai." Batin Grace sedih.
"Apa kamu yakin Grace?" tanya Hanna menatap rumah yang sudah tidak ada nilai gunanya itu. Grace membalikkan badan seusai mengunci rumahnya.
"Iya, Ibu. Sekarang lupakan ayah dan mari kita mulai kehidupan baru." Ujar Grace, Hanna tersenyum mendengarnya.
"Ayo kita berangkat."
Grace menggandeng Hanna yang kesulitan berjalan. Hanna hanya berjalan pasrah sambil memikirkan bagaimana kehidupan suaminya bila tak ada dia.
"Hanna!" teriak seorang lelaki membuat Hanna dan Grace terdiam ketakutan.
"Hanna, Grace! Mau kemana kalian!" teriak Suryo.
"Ibu, lari sekarang!" Grace langsung menarik ibunya untuk berlari menjauhi Suryo. "Hei! Mau kemana kalian!"
Hanna berlari sekuat tenaganya. Grace yang tahu bahwa ibunya tak bisa berlari itu hanya berdoa agar dirinya dan sang ibu bisa selamat dari kejaran sang ayah yang tidak bertanggung jawab.
"Grace, ibu tak kuat!" seru Hanna menyerah.
"Ibu, ibu bisa!" ujar Grace memberi semangat namun Hanna sudah tak bisa menahan kesakitan di tubuhnya lagi.
"Berhenti!" teriak Suryo. Hanna yang tak fokus itu menyandul batu membuat dirinya terjatuh. "Ibu!"
"Grace, pergilah! Jangan pedulikan ibu! Selamatkan dirimu sendiri dan berbahagialah!" ucap Hanna lirih membuat Grace menjatuhkan air matanya.
"Enggak! Aku harus pergi dari sama ibu!" seru Grace membantu ibunya bangun.
"Ibu sudah tidak kuat, Grace. Pergilah sebelum ayahmu tiba!" titah Hanna, Grace masih bergeleng menolak.
"Grace, anak sialan! Mau bawa kemana ibu kamu yang sekarat itu? Kalian tidak akan bisa hidup tanpa ku!"
Suryo hampir dekat dengan mereka. Grace menuntun ibunya dengan susah payah sampai akhirnya bus melewat didepan mereka.
Dengan gerakan cepat setelah pintu terbuka, Grace menarik ibunya masuk begitu dirinya sudah didalam bus, lalu menutup pintunya sendiri.
"Pak, cepat jalan! Saya sedang dikejar orang jahat!"
Supir yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi itu hanya melaksanakan perintah dan mulai menjalankan busnya dengan cepat.
Grace menatap ayahnya yang mulai berlari lemas ke arah mereka dengan mulut yang tidak bisa diam. Gadis itu menghela nafas lega lalu memeluk ibunya.
**
Sesampainya mereka di kota Jakarta, Grace mengajak sang ibu untuk mencari kontrakan yang sekiranya bisa mereka pakai untuk sementara.
Cukup jauh dari pemberhentian bus, mereka menemukan satu kontrakan tua di daerah kumuh yang terlihat cukup angker.
Kontrakan itu terlihat usang dengan tembok dan lantai yang kotor, seperti tidak pernah diurus untuk waktu yang sangat lama.
Dan tempat itu menjadi tempat tinggal Grace dan Hanna selama sebulan selanjutnya. Mereka hidup terluntang-luntang tanpa sepeser pun uang.
Grace tak kunjung juga mendapatkan pekerjaan. Selama satu bulan ini, ia terus meminjam kepada tetangga yang ada di sekitar rumahnya.
Bahkan mereka hanya makan sehari sekali, namun Grace harus tetap meminjam uang karena obat untuk ibunya sudah tak tersisa lagi.
Hari ini, Grace mencobe peruntungannya lagi. Matahari baru saja muncul, tapi Grace sudah rapi dengan pakaian formal.
"Kamu mau melamar lagi?" tanya Hanna khawatir.
"Iya, Ibu. Apapun akan kulakukan untuk mendapatkan uang. Jika kita tidak punya uang, bagaimana kan kita bisa membayar kontrakan ini?"
Hanna mengangguk menyetujui perkataan Grace.
"Kalau begitu hati-hati ya, Grace. Ibu akan menunggu dengan tenang di sini."
Grace tersenyum senang. Ia pun memeluk ibunya sebentar sebelum akhirnya pergi.
Grace berjalan asal menuju beberapa toko yang ada di pinggir jalan. Ia mendatangi toko-toko itu sambil menawarkan diri untuk bekerja di sana.
Namun semua toko itu menolak karena mereka juga sudah mempunyai karyawan yang cukup membuat Grace mau tak mau berjalan lebih jauh lagi.
Tak terasa, hari mulai gelap. Walau Grace belum mendapatkan kerjaan, ia tidak bisa meninggalkan ibunya terlalu lama.
Ia sempat membeli makanan yang ada dipinggir jalan saat penjalanan pulang untuk makan malam dirinya dan sang ibu.
Ia jadi merenung sedih memikirkan semua hutang yang sudah ia menumpuk selama ini.
"Padahal tagihan rumah kontrakan tinggal beberapa hari lagi, tapi aku belum bisa dapet uang, gimana ini?"
Grace terduduk di pinggir jalan yang jaraknya dekat dengan rumah. Ia belum mau pulang karena masih malu untuk menjawab bahwa dirinya belum juga dapat pekerjaan.
“Woy!” seseorang datang menghampirinya dan duduk bersamanya.
"Kintan?" panggil Grace sedikit terkejut karena anak dari tetangganya memakai baju super mini sehingga terlihat sangat seksi.
"Kamu dari mana pakai baju gitu?" tanya Grace lagi.
Kintan hanya terkekeh, lalu membuang nafasnya pelan.
"Kerja lah!"
Grace mengerutkan dahinya bingung, kerja apa yang membuat Kintan harus memakai pakaian seksi seperti itu?
"Kerja apa?"
Kintan melirik lalu tertawa keras.
"Ya ampun, sepolos apa sih kamu? Pekerjaan umum aja enggak tau."
Grace makin terbingung dan terus berpikir, sepertinya selama ini dia mencari pekerjaan ia tidak pernah menemukan ada pegawai seperti Kintan.
"Aku jadi kupu-kupu malam." Jelas Kintan mengejutkan Grace.
Siapa sangka, gadis polos yang biasanya ia temukan sedang membersihkan halaman setiap pagi dekat rumahnya adalah seorang kupu-kupu malam?
Kintan hanya menolehnya aneh.
"Emangnya kamu enggak mau coba? Kamu cantik, tubuhnya juga bagus. Pasti laku keras kalau jadi kupu-kupu malam!" seru Kintan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Grace.
“Nggak mau!”
"Daripada capek keliling kota setiap hari ujung-ujungnya enggak dapet kerjaan kan? Di sini udah enggak ada lowongan pekerjaan untuk gadis kayak kita kecuali jadi kupu-kupu malam!" sambungnya menyakini Grace.
“Aku enggak mau, Kintan. Aku udah jaga diri aku selama dua puluh tahun, sia-sia aku pertahananku selama ini kalau pada akhirnya aku menjadi kupu-kupu malam.” Jelas Grace.
“Tapi kan ujung-ujungnya juga kamu bakal kehilangan keperawananmu toh? Dari pada dinanti-nanti, mending sekarang aja! Kebetulan kamu lagi kesusahan juga. Sekarang pilih, mending keselamatan ibumu atau harga diri?” seru Kintan masih berusaha meyakinkan Grace, Grace hanya terdiam mematung.
Kintan mencebikan bibir. "Yaudah kalau kamu enggak mau. Aku cuman mau bantu."
Kintan beranjak dari duduknya dan hendak pergi, namun Grace langsung menahannya membuat Kintan tersenyum senang.
"Ajarin aku." Pinta Grace yang langsung dikabulkan oleh Kintan.
"Nah, sekarang buka hp, dan unduh aplikasi 'Butterfly' ini," Titah Kintan yang langsung diikuti oleh Grace.Setelah berhasil terunduh, Grace mengisi beberapa data diri yang tidak terlalu privasi dan menentukan harga sewaan serta beberapa hal yang dibutuhkan."Terus gimana?""Nah, kamu tinggal foto pake baju-baju seksi dan liatin aset-aset kamu, sehingga orang bakal tertarik. Jangan lupa juga kalau kamu masih perawan, kamu harus kasih kisaran besar biar enggak rugi!" jelas Kintan.Grace hanya mengangguk singkat."Kamu pasti belum punya baju seksi kan? Ayo ikut aku, biar aku bantu dandanin kamu!" "Ah, aku enggak bisa. Ibuku pasti lagi nunggu aku!" Kintan menghela nafas."Kamu bilang aja sama ibu, kalau kamu mau nginep di rumah aku semalem. Lagian, rumah kita kan deketan!" seru Kintan. Grace terlihat berpikir kembali."Udah pokoknya nurut aja sama aku! Kamu mau punya banyak duit kan?" "Nah, kamu pilih mau pake baju apa?"Kintan menunjukkan beberapa koleksi baju seksi yang ia punya na
Grace menghampiri ibunya dan mencoba mengangkat kepala Hanna. Terlihat wajah yang sangat pucat dan tangan dingin membuat Grace amat sangat panik. Grace langsung menggendong Hanna dipunggungnya dan bergegas keluar untuk mencari pertolongan. Yang tadinya para ibu-ibu itu berkumpul di depan rumah kini sudah tak terlihat membuat dirinya semakin bingung sekaligus khawatir. Grace mengunci pintu rumahnya dan berjalan menuju jalan besar agar bisa menemui kendaraan umum. Ia berjalan dengan kaki gemetaran karena bobot ibunya yang lebih besar dari dirinya, Tiin Grace terhenti dari jalannya dan melirik ke arah belakang. Seorang pria turun dari mobilnya dan berjalan menghampirinya. "Mba, apa mau saya bantu?" tawar lelaki itu, namun Grace langsung menolak. "Saya bisa naik taksi di depan." Grace hendak melanjutkan perjalanannya namun lelaki itu langsung menghentikan langkahnya. "Susah loh cari kendaraan umum pagi-pagi begini, mbak. Bahaya juga karena mbak bawa orang yang pingsan. Kalau dibi
Grace melihat ibunya sudah terbaring tenang di kasur. Hanna sudah terlelap beberapa saat karena lelah dengan semua aktivitas yang mereka lakukan padahal Hanna baru saja keluar dari rumah sakit. Grace langsung membuka ponselnya dan mulai mengaktifkan akunnya kembali diaplikasi 'ButterFly' agar orang bisa menyewanya melalui aplikasi itu. Ia bersiap-siap dengan baju yang sebelumnya sudah ia siapkan, ia juga sedikit berdandan agar dirinya tampak lebih cantik dan menggoda. Ting Sebuah notifikasi masuk membuat Grace mengambil ponselnya. Ia membaca sedikit pesan dari pemesannya itu dan bergegas pergi menuju hotel yang sudah dipesan. Grace pergi dari hotel itu setelah melakukan pekerjaannya dan mendapat bayaran yang cukup. Ternyata benar, di kota ini banyak sekali orang-orang kaya yang bisa membayarnya berkali-kali lipat. Ia merasa badannya sudah remuk itu bergegas kembali ke apart sebelum ibunya terbangun. Bisa bahaya jika sang ibu melihat dirinya dengan penampilan seperti ini datang s
Diperjalanan, Grace selalu terpikirkan akan ibunya. Ia takut meninggalkan ibunya malam-malam kerena mengingat malam itu. Tapi ia menjernihkan pikirannya lagi untuk menjadi lebih positif. Grace pun menghela nafas gusar. "Nona, anda telah sampai." Grace tersadar lalu memberikan bayaran kepada supir taksi. Ia pun bergegas pergi memasuki hotel dan berjalan menuju kamar yang sudah dipesan. Sesampainya didepan kamar, Grace mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali. Tak lama kemudian, pintu terbuka menampilkan sosok yang tak asing dimata Grace. "Selamat datang." Grace sedikit merinding dengan sambutan itu, namun iya hanya tersenyum kikuk lalu memasuki kamar dengan sedikit gemetara. Max melihat itu sempat khawatir, namun ia berpikir lagi untuk berusaha baik karena ia tidak bermaksud untuk menjamah wanita itu. "Em, apa akan dimula--" "Aku tak akan menjamahmu." Sela Max yang langsung mendapat tatapan heran dari Grace. Max duduk dikursi hotel dan mengambil gelasnya yang berisi alkohol. Grac
Grace menatap lurus kearah batu nisan yang bertuliskan nama ibunya.Orang-orang sekitar mengucapkan turut berduka cita untuk formalitas karena mereka tidak saling mengenal.Satu persatu orang-orang berhamburan pergi, hanya menyisakan Grace dengan pikiran kosongnya.Langit makin menggelap, air diatas awan mulai berjatuhan. Seperti keadaan hati Grace, alam ikut bersedih.Gadis itu mulai menyadari kesepiannya, ia menangis terisak-isak sambil memeluk kuburan yang masih basah."Ibu.."Grace terus menangis dibawah derasnya hujan. Ia sudah menyerah untuk hidupnya jika tanpa Hanna.Dalam seketika, air hujan itu tidak berjatuh dibawah Grace. Grace melihat kedepan dan menyadari bahwa hujan masih turun begitu derasnya. Lantas ia menenggak keatas dan melihat payung yang melindungi tubuhnya."Aku turut berduka cita, Grace." Ucap Alvin turut bersedih.Grace semakin menangis begitu menyadari bahwa dirinya masih diingat oleh orang lain."Alvin.. aku sudah tidak semangat hidup lagi." Keluh Grace, Alvi
Grace terdiam membeku diambang pintu."Kemarilah nona, aku ingin mendengar lamaranmu pada perusahaanku." Titah Max dengan nada lembutnya.Grace yang menegang itu perlahan mendekati Max dan duduk dihadapannya."Jadi, apa bakatmu?"Grace terdiam sejenak. Apakah dirinya harus mengurungkan niat untuk melamar di perusahaan Max?Ia sangat tidak tahu bahwa Max adalah seorang CEO perusahaan, apalagi perusahaan tersebut adalah perusahaan terjaya di kotanya."Sa-saya..""Bakatmu bukan diranjang lagi kan?" tanya Max membuat hati Grace tergetuk."Saya tidak menyangka seorang CEO dari perusahaan terbesar menanyakan itu pada calon karyawannya." Tegas Grace tersinggung membuat Max terkekeh pelan."Apa aku harus mengungkit janji yang telah kau ingkari?" Grace terdiam begitu Max melontarkan pertanyaan itu, Max menghela nafas."Padahal kau sudah teriak kenikmatan saat itu. Akan ku maafkan karena aku juga merasakan kenikmatan. Sekarang, apa yang akan kamu lakukan di perusahaanku?"Grace berusaha menata
Grace membereskan barang-barangnya untuk segera pulang. Ia keluar dari ruangannya dan berpas-pasan dengan Max yang keluar juga dari ruangan."Pulanglah bersamaku." Ajak Max, tentu saja Grace langsung menolak."Saya bisa sendiri."Max memperhatikan Grace dari ujung rambut hingga ujung kaki."Helly akan mengincarmu malam ini." Grace sempat tersentak, namun ia tersadar kembali kalau dirinya bersama Max akan lebih berbahaya lagi."Saya baik-baik saja." Tegas Grace membuat Max tertawa. Pria itu langsung pergi begitu saja membuat Grace menggerutu."Huh, sabar. Jika tidak bersamanya aku tidak biaa hidup.".Grace masih setia menunggu bus angkutan umum untuk mengantarnya ke apartemen yang biasanya ia tempati.Sudah jam sembilan lewat tapi bus itu tak juga melintas, biasanya jam sembilan bus itu sudah tiba di tempat yang Grace tunggu itu."Seharusnya aku menerima ajakan Olivia."Sebuah mobil sedan berhenti tepat dihadapannya. Grace awalnya merasa biasa saja akan hal itu. Namun ketika seorang
Grace merapihkan berkas yang akan ditanda tangani oleh Max. Ia bergegas menuju ruangan Max namun berpas-pasan dengan Helly yang baru saja keluar dari ruangan Max."Oho, apa ini? Kau masih hidup?" Cerocos wanita itu membuat Grace geram namun terus menahan karena tahu bahwa lawannya ini bukan orang biasa."Sayangnya begitu, nona." Jawab Grace yang berhasil membuat Helly kesal."Dasar wanita rendahan!" sentak Helly, Grace menghela nafasnya."Entah apa yang membuat anda berpikir seperti itu, tetapi bukankah wanita yang berkelas tidak pantas menilai orang hanya dalam satu kali lihat?" Plak!Helly berhasil menampar keras pipi kanan Grace sampai Grace terhuyung kebelakang. Suara berjatuhan berkas itu berhasil membuat para karyawan disekitarnya melirik."Berani-beraninya orang rendahan sepertimu mengajariku! Dasar jalang sialan!" teriak Helly yang hendak menampar kembali Grace namun Jovel berhasil menahan tangan itu."Ada berisik apa ini?" tanya Jovel muncul dari ruangan Max.Helly menarik