Ketukan keras menggema di pintu depan.
"Alya, aku tahu kau di dalam! Buka pintunya!" suara berat Raditya terdengar jelas, menggema di dalam rumah.
Alya yang tengah duduk di sofa terkejut. Ia tak menyangka Raditya akan datang langsung ke rumahnya. Dengan napas yang sedikit tercekat, ia bangkit dan menghampiri pintu. Saat pintu dibuka, sosok tinggi dengan sorot mata tajam itu berdiri di sana, menatapnya lekat.
"Maaf, aku pikir hanya itu satu-satunya cara untuk mendapatkan barang-barangku kembali," kata Alya pelan.
"Mana barang-barangku?" tanya Raditya tanpa basa-basi. Sejurus kemudian, ia menambahkan dengan nada lebih santai, "Kamu tidak menyuruhku duduk?"
Alya mengerutkan kening. Saat berbicara di telepon tadi, suara Raditya begitu kasar, bahkan terdengar membentak. Namun, kini, saat mereka bertatap muka, suaranya melunak, seolah-olah ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
"Silakan duduk!" ujar Alya akhirnya, menggeser tubuhnya ke samping untuk memberinya jalan masuk.
Raditya melangkah masuk ke ruang tamu, tatapannya masih lekat pada Alya, seolah membaca setiap gerakan yang dibuat perempuan itu. Alya yang sangat cantik walau langkahnya tertatih, Raditya menebak bahwa sebelumnya mungkin Alya pernah mengalami kecelakaan atau apa. Mungkin ia akan segera mengetahui siapa Alya dengan kemampuan hacking-nya.
Sementara itu, Alya segera menuju kamarnya untuk merapikan kembali koper Raditya. Ia menghela napas pelan sebelum mulai memasukkan kembali pakaian dan barang-barang pria itu ke dalam koper dengan rapi. Namun, belum selesai, suara berat Raditya terdengar di telinganya.
"Jadi barang-barangku sudah kamu bongkar semua? Berani sekali kamu," bisiknya di dekat telinga Alya.
Alya tersentak. "Astaga, kamu mengagetkanku!" serunya sambil terguling ke samping.
Refleks, Raditya menangkap tubuh Alya sebelum ia benar-benar jatuh ke lantai. Dalam sekejap, mereka berdua saling menatap dalam jarak yang begitu dekat. Jantung Alya berdebar begitu kencang, dan ia yakin Raditya juga merasakan hal yang sama.
"Cantik," gumam Raditya tanpa sadar, matanya menatap lembut wajah Alya yang masih membeku.
Mata Alya membelalak, ia menelan ludah dan buru-buru berusaha bangkit. Namun, tubuhnya kehilangan keseimbangan hingga ia justru jatuh di atas tubuh Raditya. Suasana berubah canggung.
Raditya menyeringai. "Kamu menarik."
Wajah Alya memanas, dengan cepat ia bangkit dan menjauh dari Raditya. "Sudah, sana keluar! Jangan masuk kamar orang sembarangan!" tegurnya, berusaha mengembalikan kewarasannya.
Raditya tersenyum tipis lalu mengikuti Alya keluar kamar. Mereka duduk di ruang tamu, masing-masing menyusun kembali ketenangan mereka. Raditya bersandar di sofa, menatap Alya yang masih terlihat salah tingkah.
"Ayo kita berkenalan lebih lanjut secara baik-baik," ucap Raditya tiba-tiba.
Alya menoleh, menatapnya curiga. "Maksudmu? Bukankah kita sudah saling kenal lewat koper yang tertukar tadi?" tanya Alya dengan sedikit terkikik mengingat kekonyolannya sendiri yang telah salah mengambil koper.
Raditya menggeleng. "Tidak cukup. Aku ingin mengenalmu lebih dalam, Alya."
Alya tertawa kecil, meskipun ada nada gugup di dalamnya. "Kedengarannya seperti kamu tertarik padaku."
Raditya menatapnya lurus. "Mungkin saja."
Kali ini, Alya kehilangan kata-kata. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. Namun, Raditya tak melepaskan tatapannya.
“Siapa namamu?” tanya Alya.
“Aku Raditya,” ujar Raditya santai.
“Darimana kamu tahu kalau namaku ‘Alya’?” tanya Alya.
“Itu,” ucap Raditya sembari menunjuk ke arah koper Alya.
Benar saja, dikoper Alya ada identitasnya yang tersemat disana.
"Kamu perempuan yang menarik, Alya. Pintar dan... jujur saja, aku penasaran," ungkap Raditya.
Alya berdeham, mencoba mengendalikan dirinya. "Aku hanya seorang perempuan biasa. Tidak ada yang menarik dariku."
Raditya menggeleng. "Salah. Justru itu yang membuatmu berbeda. Kamu bukan perempuan yang bisa ditebak. Dan itu... menarik."
Hening sesaat. Alya menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tak tahu harus menanggapi seperti apa.
"Aku tidak sedang mencari hubungan," ujar Alya akhirnya.
"Aku juga tidak memaksa," sahut Raditya cepat. "Aku hanya ingin mengenalmu lebih baik. Itu saja."
Alya menarik napas dalam. Entah kenapa, ia merasa Raditya memang berbeda dari yang ia pikirkan sebelumnya. Ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuatnya merasa... nyaman, meskipun ia sendiri tak ingin mengakuinya.
"Baiklah," akhirnya Alya berkata pelan. "Kalau begitu, kita bisa mulai dari obrolan biasa."
Raditya tersenyum puas. "Itu awal yang bagus."
Mereka melanjutkan percakapan, mengabaikan detak jantung yang masih berpacu cepat. Dan di dalam hati masing-masing, mereka tahu, pertemuan ini bukan sekadar kebetulan belaka.
Alya merasa dirinya semakin terjebak dalam pesona pria di hadapannya. Ketika ia hendak mengalihkan pandangan, Raditya tiba-tiba menyentuh jemarinya. Sentuhan itu ringan, namun cukup membuat Alya membeku di tempat.
"Alya," panggil Raditya lirih.
Alya menelan ludah. "Apa?"
Raditya menatapnya, seakan mencari sesuatu dalam bola matanya. "Aku rasa kita memiliki sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja."
Alya menarik tangannya perlahan, mencoba mengatur napasnya. "Jangan terlalu percaya diri, Radit. Aku tidak mudah jatuh hati."
Raditya tersenyum samar. "Kita lihat saja nanti."
Alya membuka mulut untuk membalas, tetapi kata-katanya terhenti ketika Raditya tiba-tiba mendekat, menatapnya lebih dalam. Seolah menunggu sesuatu.
Dan saat itu juga, Alya merasa... jantungnya kembali berdetak lebih cepat dari yang seharusnya.
***
~ Bersambung ~
Pintu penthouse terbuka otomatis begitu wajah-wajah yang dikenal sistem keamanan digital Raditya terdeteksi. Bunda Liliana masuk lebih dulu dengan senyum lebar, membawa dua tas besar berisi makanan. Di belakangnya, Ayah Darian tampak lebih tenang, tapi sorot matanya hangat dan teduh, seperti mata seorang ayah yang lama tak melihat anak-anaknya kembali pulang.“Alya sayang!” seru Bunda Liliana langsung memeluk menantunya yang sedang duduk di sofa. “Astaga, perutnya udah mulai kelihatan ya! Kamu glowing banget!”Alya tersenyum lebar, memeluk balik dengan haru. “Bunda ini selalu suka gitu, suka muji aku, dan... selalu penuh energi.”“Ya iyalah. Ini cucu pertama, kamu pikir aku bisa santai?” sahutnya sambil tertawa. “Aku bawa rujak serut- pakai mangga muda favorit kamu, terus ada pepes tahu, sup ayam kampung, dan sedikit cemilan asin biar nggak enek. Semua masakan Bunda sendiri. Masak dari subuh!”Ra
Penthouse itu masih seperti dulu. Hening, modern, dan selalu menyambut siapa pun dengan pemandangan kota yang menenangkan dari balik kaca-kaca besar. Tapi kali ini terasa berbeda. Ada yang tumbuh di antara mereka, bukan hanya kehidupan baru dalam rahim Alya, tapi juga rasa nyaman yang mulai kembali setelah badai panjang bernama Dewi Hapsari.Raditya membuka pintu dan melangkah lebih dulu, menoleh ke belakang, “Pelan-pelan, Love. Langkah kecil aja, aku bawain tasnya.”Alya tersenyum tipis, sebelah tangannya menyentuh perutnya yang mulai terlihat. “Aku hamil, bukan patah tulang,” celetuknya.“Tetap saja, kamu istriku. Hamil atau enggak, kamu tetap prioritas.” Raditya mencium kening Alya singkat sebelum menarik koper mereka ke dalam.Alya menatap sekeliling. Meja makan yang dulu mereka hias bersama, bantal-bantal di sofa yang sempat ia pilih sendiri, dan aroma khas lilin lavender yang masih sama.“Aku kangen tempat ini,” gumam Alya lirih, duduk perlahan di sofa.Raditya duduk di sampingn
Keesokan paginya, suasana di penthouse Raditya terasa jauh lebih ringan. Setelah malam penuh ketegangan dan kelegaan, hari ini diwarnai oleh harapan baru. Elros duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian bersih dan nyaman, rambutnya sedikit basah sehabis mandi. Wajah kecilnya tampak tenang, meski sorot matanya masih menyimpan kecemasan.Alya menyiapkan sarapan sederhana. Wangi roti bakar dan susu hangat memenuhi udara, memberikan kehangatan yang dibutuhkan setelah malam panjang.“Jangan gugup, Elros,” ujar Alya lembut sambil meletakkan secangkir cokelat panas di hadapannya. “Hari ini hari yang baik.”Elros mengangguk pelan. Ia memeluk boneka biru pemberian Alya, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang. “Tapi... kalau dia tidak mau aku?” bisiknya lirih.Raditya mendekat, duduk di sebelah Elros. “Dia adalah ibumu, Elros. Tak ada yang bisa mengubah cinta seorang ibu.”Sebelum Elros sempat bertanya lebih jauh, bel pintu berbunyi.Detak jantung Elros terasa melonjak ke te
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lain—kebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.“Kamu tidak sendirian,” ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. “Apa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?” katanya pahit. “Kalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.”Raditya maju satu langkah. “Kami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-