Alya menarik tangannya perlahan, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Ia menatap Raditya dengan sorot waspada, berusaha menutupi kegugupan yang muncul akibat sentuhan singkat itu.
"Kita baru bertemu, Radit. Jangan bertindak seolah-olah kau mengenalku," ucapnya dengan nada lebih tegas dari yang ia maksudkan.
Raditya mengangkat alisnya, jelas tertarik dengan respons Alya. "Aku memang belum mengenalmu sepenuhnya. Tapi anehnya, aku merasa seperti sudah lama mengenalmu."
Alya tersenyum kecil, tapi matanya tetap menyimpan kehati-hatian. "Itu hanya perasaanmu saja."
Raditya menyandarkan tubuhnya ke kursi, memperhatikan Alya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Mungkin. Tapi aku tetap ingin tahu lebih banyak tentangmu."
Alya menelan ludah. Ia tidak ingin membicarakan masa lalunya. Tidak dengan orang yang baru dikenalnya. Tidak dengan pria yang, entah kenapa, mampu membuatnya kehilangan kendali hanya dengan sebuah tatapan.
"Aku hanya seorang wanita biasa," katanya akhirnya, memilih kata-katanya dengan hati-hati.
Raditya menyipitkan mata, seolah menangkap sesuatu yang disembunyikan Alya. "Benarkah? Karena firasatku mengatakan sebaliknya."
Alya terkekeh pelan, mencoba mengalihkan suasana. "Kau terlalu banyak membaca novel detektif, Radit."
Raditya tersenyum miring, tapi sorot matanya tetap tajam. "Mungkin. Tapi aku juga tahu ketika seseorang sedang menyembunyikan sesuatu."
Alya merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Ia harus segera mengakhiri percakapan ini sebelum Raditya menggali lebih dalam.
"Sudahlah, kamu harus pergi," katanya sambil membukakan pintu Raditya. "Terima kasih untuk kopernya, Radit."
Raditya pun berdiri dari duduknya, namun tatapannya tetap mengikuti langkah tertatih Alya.
“Iya, sama-sama. Sekarang kita berteman, simpan nomorku tadi yang telah menghubungimu ya,” pinta Raditya.
Raditya pun melangkahkan kakinya keluar rumah dengan membawa kopernya.
"Ini belum selesai, Alya," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku akan mencari tahu siapa dirimu sebenarnya."
Dan di dalam rumah, Alya menarik napas panjang, menyadari bahwa ini baru permulaan.
***
Alya menatap layar laptopnya dengan penuh konsentrasi. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengetik barisan kode dengan cepat.
"Hampir selesai... tinggal debugging bagian ini. Semoga nggak ada error lagi," ujar Alya penuh semangat.
Ia menggulir layar, memperbaiki beberapa kesalahan kecil, lalu menjalankan programnya.
"Yes! Akhirnya!" seru Alya, dia tersenyum puas "Sekarang tinggal uji coba terakhir."
***
Konferensi teknologi di Jakarta
Pada hari yang dinantikan, Alya mengenakan pakaian formal berwarna biru navy yang simple namun elegan. Rambutnya yang panjang tergerai indah, menambah pesona kecantikannya. Ia tampak percaya diri meski sempat merasa gugup. Di ruang konferensi yang dipenuhi banyak orang dengan berbagai macam latar belakang, Alya merasa sedikit canggung, namun ia tetap berusaha fokus pada tujuannya.
Saat acara dimulai, Alya duduk di salah satu kursi di barisan depan, sambil mengamati para pembicara yang mempresentasikan inovasi mereka. Beberapa jam berlalu, dan di sela-sela sesi, Alya memutuskan untuk mengunjungi stan pameran teknologi yang ada di samping ruang konferensi.
Ketika ia berjalan menuju stan yang menarik perhatiannya, seseorang mendekatinya. Seorang pria muda dengan pakaian formal yang rapi dan aura percaya diri yang kuat.
"Alya? Lama tak bertemu. Aku nggak menyangka kita akan bertemu di sini, ini seperti ‘Takdir dalam Algoritma’, mengisyaratkan bagaimana teknologi dan takdir membawa kita kembali bertemu." ujar Raditya.
Alya terkejut, lalu tersenyum tipis, "Raditya? Aku juga nggak menyangka. Apa kabar?"
"Baik. Aku lihat kamu semakin sukses dan cantik," tanya Raditya.
"Apa kamu juga mengikuti acara konferensi teknologi ini?" tanya Alya dengan rona merah dipipinya, ia berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Tentu, aku di sini sebagai pembicara untuk salah satu sesi panel, nanti disesi kedua, perhatikan aku ya," ujar Raditya dengan mengerlingkan satu matanya.
"Wow, itu luar biasa. Aku nggak tahu kalau kamu juga bekerja dibidang ini. Selamat!" ucap Alya terkejut.
Raditya tersenyum, "Terima kasih. Tapi aku belum tahu kamu bekerja di bidang apa sebelumnya. Apa ini proyek pertamamu di industri teknologi?" tanya Raditya.
Alya tersenyum percaya diri, “Tidak, sebenarnya aku sudah lama di industri ini. Aplikasiku bernama EduLearn. Ini adalah platform edukasi online yang ku buat untuk mempermudah anak-anak belajar dengan cara yang lebih interaktif. Ini salah satu visiku untuk membantu generasi muda di Nusantara,” ungkap Alya.
Raditya tersenyum lebar. "EduLearn? Nama yang menarik. Aku dengar banyak orang membicarakan aplikasi ini di kalangan pengusaha teknologi. Jadi, bisa kamu jelaskan lebih lanjut tentang fitur-fitur utama EduLearn?" tanya Raditya.
"Tentu! Tampilan antarmuka EduLearn ini dirancang ramah anak. Warna-warnanya cerah, ikon-ikon intuitif, dan setiap menu mudah diakses," ujar Alya, matanya berbinar semangat.
Raditya mengangguk, memperhatikan dengan serius, "Hmm, menarik. Lalu, bagaimana metode pembelajarannya?"
"Kami menggunakan gamifikasi dalam proses belajar. Jadi, anak-anak bisa mendapatkan poin dan badge saat menyelesaikan tugas. Ini membantu mereka tetap termotivasi," lanjut Alya.
Raditya tersenyum tipis, jelas terkesan, "Wah, kamu benar-benar paham cara kerja teknologi pendidikan. Lanjutkan."
Alya semakin bersemangat menjelaskan, "Selain itu, orang tua bisa memantau perkembangan belajar anak mereka secara real-time. Ada laporan mingguan yang memberikan gambaran tentang mata pelajaran mana yang perlu ditingkatkan."
Raditya mengangguk perlahan, matanya berbinar menandakan ketertarikan yang nyata, "Pendekatan yang luar biasa. Aku benar-benar terkesan, Alya."
Alya tersenyum malu-malu, tetapi tetap professional, "Terima kasih, Radit. Aku ingin EduLearn benar-benar membantu anak-anak belajar dengan cara yang menyenangkan dan efektif."
Raditya terdiam sejenak, menatap Alya, seolah mempertimbangkan sesuatu, "Aku rasa aplikasi ini punya potensi besar. Dengan dukungan yang tepat, ini bisa berkembang pesat."
Raditya melangkah mendekat, sorot matanya berubah. Sesuatu dalam ekspresinya membuat Alya menahan napas.
"Sebenarnya… aku punya tawaran untukmu," ujar Raditya dengan suara lebih pelan, nyaris berbisik, ia mencondongkan tubuhnya semakin mendekati Alya.
Alya menatapnya, jantungnya berdebar.
"Tapi sebelum aku bicara… aku harus tahu satu hal dulu," lanjut Raditya.
Alya menelan ludah. "Apa itu?"
Raditya menatap dalam, seolah mencari sesuatu di mata Alya.
"Kamu siap menghadapi konsekuensinya?"
***
~ Bersambung ~
Pintu penthouse terbuka otomatis begitu wajah-wajah yang dikenal sistem keamanan digital Raditya terdeteksi. Bunda Liliana masuk lebih dulu dengan senyum lebar, membawa dua tas besar berisi makanan. Di belakangnya, Ayah Darian tampak lebih tenang, tapi sorot matanya hangat dan teduh, seperti mata seorang ayah yang lama tak melihat anak-anaknya kembali pulang.“Alya sayang!” seru Bunda Liliana langsung memeluk menantunya yang sedang duduk di sofa. “Astaga, perutnya udah mulai kelihatan ya! Kamu glowing banget!”Alya tersenyum lebar, memeluk balik dengan haru. “Bunda ini selalu suka gitu, suka muji aku, dan... selalu penuh energi.”“Ya iyalah. Ini cucu pertama, kamu pikir aku bisa santai?” sahutnya sambil tertawa. “Aku bawa rujak serut- pakai mangga muda favorit kamu, terus ada pepes tahu, sup ayam kampung, dan sedikit cemilan asin biar nggak enek. Semua masakan Bunda sendiri. Masak dari subuh!”Ra
Penthouse itu masih seperti dulu. Hening, modern, dan selalu menyambut siapa pun dengan pemandangan kota yang menenangkan dari balik kaca-kaca besar. Tapi kali ini terasa berbeda. Ada yang tumbuh di antara mereka, bukan hanya kehidupan baru dalam rahim Alya, tapi juga rasa nyaman yang mulai kembali setelah badai panjang bernama Dewi Hapsari.Raditya membuka pintu dan melangkah lebih dulu, menoleh ke belakang, “Pelan-pelan, Love. Langkah kecil aja, aku bawain tasnya.”Alya tersenyum tipis, sebelah tangannya menyentuh perutnya yang mulai terlihat. “Aku hamil, bukan patah tulang,” celetuknya.“Tetap saja, kamu istriku. Hamil atau enggak, kamu tetap prioritas.” Raditya mencium kening Alya singkat sebelum menarik koper mereka ke dalam.Alya menatap sekeliling. Meja makan yang dulu mereka hias bersama, bantal-bantal di sofa yang sempat ia pilih sendiri, dan aroma khas lilin lavender yang masih sama.“Aku kangen tempat ini,” gumam Alya lirih, duduk perlahan di sofa.Raditya duduk di sampingn
Keesokan paginya, suasana di penthouse Raditya terasa jauh lebih ringan. Setelah malam penuh ketegangan dan kelegaan, hari ini diwarnai oleh harapan baru. Elros duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian bersih dan nyaman, rambutnya sedikit basah sehabis mandi. Wajah kecilnya tampak tenang, meski sorot matanya masih menyimpan kecemasan.Alya menyiapkan sarapan sederhana. Wangi roti bakar dan susu hangat memenuhi udara, memberikan kehangatan yang dibutuhkan setelah malam panjang.“Jangan gugup, Elros,” ujar Alya lembut sambil meletakkan secangkir cokelat panas di hadapannya. “Hari ini hari yang baik.”Elros mengangguk pelan. Ia memeluk boneka biru pemberian Alya, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang. “Tapi... kalau dia tidak mau aku?” bisiknya lirih.Raditya mendekat, duduk di sebelah Elros. “Dia adalah ibumu, Elros. Tak ada yang bisa mengubah cinta seorang ibu.”Sebelum Elros sempat bertanya lebih jauh, bel pintu berbunyi.Detak jantung Elros terasa melonjak ke te
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lain—kebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.“Kamu tidak sendirian,” ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. “Apa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?” katanya pahit. “Kalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.”Raditya maju satu langkah. “Kami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-