Wanita itu berdiri di depan meja, menatap Raditya dengan tatapan penuh arti. Alya bisa merasakan ketegangan di udara.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Raditya dengan nada dingin.
Wanita itu tersenyum tipis. "Kita perlu bicara. Urusan kita belum selesai."
Alya melirik Raditya, mencoba membaca ekspresinya. Namun, pria itu tetap menjaga ketenangannya.
"Aku tidak melihat ada urusan yang belum selesai di antara kita, Rena," ujar Raditya tegas.
Alya tersentak. Nama itu… Ia merasa pernah mendengarnya.
"Oh, Radit, kamu selalu berusaha mengabaikan sesuatu yang tidak nyaman bagimu. Tapi kali ini, kamu tidak bisa lari." Rena menarik kursi dan duduk tanpa diundang.
Alya menyadari bahwa ini bukan sekadar pertemuan bisnis biasa. Ada sesuatu di antara mereka yang lebih dalam.
"Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Rena?" Raditya bersedekap, matanya tajam menusuk wanita itu.
"Aku ingin kesempatan kedua," jawab Rena tanpa ragu.
Alya merasakan ketegangan makin meningkat. Ia mencoba untuk tetap tenang, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.
"Kesempatan kedua untuk apa?" tanya Raditya sinis. "Setelah semua yang terjadi? Aku rasa kita sudah selesai sejak lama."
Rena menatapnya dalam, lalu menghela napas. "Aku tahu aku melakukan kesalahan. Tapi aku berubah. Aku ingin memperbaikinya."
Alya merasa tidak nyaman berada di antara percakapan ini. Ia mengambil cangkir kopinya dan mencoba fokus pada hal lain, namun sulit mengabaikan interaksi di depannya.
"Kamu tidak bisa datang begitu saja dan berharap aku akan menerimamu kembali," ujar Raditya dingin.
"Aku tidak berharap itu terjadi dalam semalam," balas Rena. "Tapi aku ingin kamu tahu… aku masih peduli."
Raditya tertawa kecil, tetapi nadanya penuh ironi. "Peduli? Kamu meninggalkan semuanya demi ambisi pribadimu, Rena. Sekarang, saat aku sudah melangkah maju, kamu ingin kembali?" tanya Raditya.
Rena menggigit bibirnya, seakan menahan emosi. "Aku menyesal. Itu bukan keputusan yang mudah bagiku," ujar Rena.
Alya akhirnya memutuskan untuk angkat bicara. "Maaf, tapi ini sepertinya bukan waktu yang tepat untuk membahas ini. Kami sedang dalam pertemuan bisnis."
Rena menoleh ke Alya, matanya menelisik. "Ah, jadi ini teman kencanmu?"
Alya menegakkan punggungnya, tidak ingin terlihat lemah. "Bukan, kami rekan bisnis."
"Aku sudah mendengar tentangmu." Rena tersenyum samar. "Startup teknologi yang sedang berkembang pesat, bukan?" tanya Rena.
"Betul," jawab Alya singkat.
Rena menatap Raditya dengan pandangan penuh arti. "Jadi ini alasan kamu tak lagi peduli padaku? Karena sekarang kamu punya seseorang yang baru dalam hidupmu?" tanya Rena.
Raditya menghela napas panjang. "Rena, berhenti membuat drama. Alya dan aku bekerja sama untuk sesuatu yang lebih besar. Tidak ada hubungan pribadi di sini."
Alya merasakan sesuatu menusuk hatinya mendengar pernyataan itu. Entah kenapa, ia berharap Raditya tidak menyebutnya sekadar rekan bisnis.
Rena tersenyum miring. "Kalau begitu, aku tidak perlu merasa bersalah, kan?"
Raditya menatapnya tajam. "Rena, cukup. Jika kamu ingin bicara tentang masa lalu, ini bukan tempatnya."
Rena menghela napas, lalu berdiri. "Baiklah. Aku tidak akan memaksa. Tapi kita akan bicara lagi, Radit. Percayalah."
Wanita itu melangkah pergi, meninggalkan keheningan di antara Alya dan Raditya. Beberapa saat kemudian, Alya memutuskan untuk berbicara.
"Siapa dia, Radit?"
Raditya memijat pelipisnya sebelum menjawab. "Mantan tunanganku."
Alya membelalakkan mata. "Tunangamu?"
"Dulu. Tapi itu sudah lama sekali."
Alya menatapnya penuh arti. "Tapi sepertinya dia belum benar-benar pergi dari hidupmu."
Raditya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilewati Rena. "Dan itu yang membuatku khawatir."
Alya mengamati ekspresi Raditya, mencoba memahami pikirannya. "Apa yang terjadi di antara kalian?"
Raditya menghela napas, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Dulu, kami hampir menikah. Dia meninggalkanku seminggu sebelum pernikahan. Tanpa penjelasan, tanpa pamit. Dan ternyata dia pergi bersama atasannya untuk mengejar karir."
Alya terkejut. "Dan sekarang dia tiba-tiba muncul lagi?"
Raditya mengangguk, matanya dipenuhi berbagai emosi. "Aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Tapi aku tahu satu hal… Aku tidak bisa mempercayainya lagi."
Alya menggigit bibirnya, pikirannya bercampur aduk. "Kalau dia memang berniat kembali, apa yang akan kamu lakukan?"
Raditya menatap Alya, seolah mencoba mencari jawaban dalam dirinya sendiri. "Aku tidak tahu. Tapi aku tidak ingin dia mengganggu hidupku lagi," ujar Raditya.
“Dan, maafkan aku jika aku tadi hanya menyebutmu sebagai rekan bisnis saja, padahal ada chemistry diantara kita. Hal itu aku lakukan karena Rena ini wanita yang nekat, jika dia tahu aku juga mendekatimu, entah apa yang akan ia lakukan. Namun apapun itu, aku akan berusaha menjagamu dengan segenap jiwaku,” ungkap Raditya.
Alya yang mendengarnya menunduk dengan senyuman terukir dibibirnya, ia merasa hatinya menghangat mendengar penuturan Raditya.
Tiba-tiba, ponsel Raditya bergetar. Ia mengernyit, melihat pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Pesan: 'Kita belum selesai. Aku akan memastikan kau mendengar apa yang harus kukatakan. Cepat atau lambat.'
Raditya menggenggam ponselnya erat. Alya melihat perubahan di wajahnya.
"Ada apa, Radit?"
Raditya menyerahkan ponselnya kepada Alya. "Rena. Sepertinya dia tidak akan menyerah begitu saja."
Alya membaca pesan itu, lalu menatap Raditya. "Apa yang sebenarnya dia inginkan darimu?" tanya Alya.
Raditya menggeleng pelan. "Aku belum tahu. Tapi satu hal yang pasti… ini belum berakhir."
Di luar café, Rena berdiri di balik jendela, menatap ke dalam dengan ekspresi penuh misteri. Dengan satu senyum kecil, ia berbalik, berjalan menjauh, meninggalkan bayangan ancaman yang masih menggantung di udara.
***
~ Bersambung ~
Pintu penthouse terbuka otomatis begitu wajah-wajah yang dikenal sistem keamanan digital Raditya terdeteksi. Bunda Liliana masuk lebih dulu dengan senyum lebar, membawa dua tas besar berisi makanan. Di belakangnya, Ayah Darian tampak lebih tenang, tapi sorot matanya hangat dan teduh, seperti mata seorang ayah yang lama tak melihat anak-anaknya kembali pulang.“Alya sayang!” seru Bunda Liliana langsung memeluk menantunya yang sedang duduk di sofa. “Astaga, perutnya udah mulai kelihatan ya! Kamu glowing banget!”Alya tersenyum lebar, memeluk balik dengan haru. “Bunda ini selalu suka gitu, suka muji aku, dan... selalu penuh energi.”“Ya iyalah. Ini cucu pertama, kamu pikir aku bisa santai?” sahutnya sambil tertawa. “Aku bawa rujak serut- pakai mangga muda favorit kamu, terus ada pepes tahu, sup ayam kampung, dan sedikit cemilan asin biar nggak enek. Semua masakan Bunda sendiri. Masak dari subuh!”Ra
Penthouse itu masih seperti dulu. Hening, modern, dan selalu menyambut siapa pun dengan pemandangan kota yang menenangkan dari balik kaca-kaca besar. Tapi kali ini terasa berbeda. Ada yang tumbuh di antara mereka, bukan hanya kehidupan baru dalam rahim Alya, tapi juga rasa nyaman yang mulai kembali setelah badai panjang bernama Dewi Hapsari.Raditya membuka pintu dan melangkah lebih dulu, menoleh ke belakang, “Pelan-pelan, Love. Langkah kecil aja, aku bawain tasnya.”Alya tersenyum tipis, sebelah tangannya menyentuh perutnya yang mulai terlihat. “Aku hamil, bukan patah tulang,” celetuknya.“Tetap saja, kamu istriku. Hamil atau enggak, kamu tetap prioritas.” Raditya mencium kening Alya singkat sebelum menarik koper mereka ke dalam.Alya menatap sekeliling. Meja makan yang dulu mereka hias bersama, bantal-bantal di sofa yang sempat ia pilih sendiri, dan aroma khas lilin lavender yang masih sama.“Aku kangen tempat ini,” gumam Alya lirih, duduk perlahan di sofa.Raditya duduk di sampingn
Keesokan paginya, suasana di penthouse Raditya terasa jauh lebih ringan. Setelah malam penuh ketegangan dan kelegaan, hari ini diwarnai oleh harapan baru. Elros duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian bersih dan nyaman, rambutnya sedikit basah sehabis mandi. Wajah kecilnya tampak tenang, meski sorot matanya masih menyimpan kecemasan.Alya menyiapkan sarapan sederhana. Wangi roti bakar dan susu hangat memenuhi udara, memberikan kehangatan yang dibutuhkan setelah malam panjang.“Jangan gugup, Elros,” ujar Alya lembut sambil meletakkan secangkir cokelat panas di hadapannya. “Hari ini hari yang baik.”Elros mengangguk pelan. Ia memeluk boneka biru pemberian Alya, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang. “Tapi... kalau dia tidak mau aku?” bisiknya lirih.Raditya mendekat, duduk di sebelah Elros. “Dia adalah ibumu, Elros. Tak ada yang bisa mengubah cinta seorang ibu.”Sebelum Elros sempat bertanya lebih jauh, bel pintu berbunyi.Detak jantung Elros terasa melonjak ke te
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lain—kebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.“Kamu tidak sendirian,” ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. “Apa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?” katanya pahit. “Kalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.”Raditya maju satu langkah. “Kami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-