Wanita itu berdiri di depan meja, menatap Raditya dengan tatapan penuh arti. Alya bisa merasakan ketegangan di udara.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Raditya dengan nada dingin.
Wanita itu tersenyum tipis. "Kita perlu bicara. Urusan kita belum selesai."
Alya melirik Raditya, mencoba membaca ekspresinya. Namun, pria itu tetap menjaga ketenangannya.
"Aku tidak melihat ada urusan yang belum selesai di antara kita, Rena," ujar Raditya tegas.
Alya tersentak. Nama itu… Ia merasa pernah mendengarnya.
"Oh, Radit, kamu selalu berusaha mengabaikan sesuatu yang tidak nyaman bagimu. Tapi kali ini, kamu tidak bisa lari." Rena menarik kursi dan duduk tanpa diundang.
Alya menyadari bahwa ini bukan sekadar pertemuan bisnis biasa. Ada sesuatu di antara mereka yang lebih dalam.
"Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Rena?" Raditya bersedekap, matanya tajam menusuk wanita itu.
"Aku ingin kesempatan kedua," jawab Rena tanpa ragu.
Alya merasakan ketegangan makin meningkat. Ia mencoba untuk tetap tenang, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.
"Kesempatan kedua untuk apa?" tanya Raditya sinis. "Setelah semua yang terjadi? Aku rasa kita sudah selesai sejak lama."
Rena menatapnya dalam, lalu menghela napas. "Aku tahu aku melakukan kesalahan. Tapi aku berubah. Aku ingin memperbaikinya."
Alya merasa tidak nyaman berada di antara percakapan ini. Ia mengambil cangkir kopinya dan mencoba fokus pada hal lain, namun sulit mengabaikan interaksi di depannya.
"Kamu tidak bisa datang begitu saja dan berharap aku akan menerimamu kembali," ujar Raditya dingin.
"Aku tidak berharap itu terjadi dalam semalam," balas Rena. "Tapi aku ingin kamu tahu… aku masih peduli."
Raditya tertawa kecil, tetapi nadanya penuh ironi. "Peduli? Kamu meninggalkan semuanya demi ambisi pribadimu, Rena. Sekarang, saat aku sudah melangkah maju, kamu ingin kembali?" tanya Raditya.
Rena menggigit bibirnya, seakan menahan emosi. "Aku menyesal. Itu bukan keputusan yang mudah bagiku," ujar Rena.
Alya akhirnya memutuskan untuk angkat bicara. "Maaf, tapi ini sepertinya bukan waktu yang tepat untuk membahas ini. Kami sedang dalam pertemuan bisnis."
Rena menoleh ke Alya, matanya menelisik. "Ah, jadi ini teman kencanmu?"
Alya menegakkan punggungnya, tidak ingin terlihat lemah. "Bukan, kami rekan bisnis."
"Aku sudah mendengar tentangmu." Rena tersenyum samar. "Startup teknologi yang sedang berkembang pesat, bukan?" tanya Rena.
"Betul," jawab Alya singkat.
Rena menatap Raditya dengan pandangan penuh arti. "Jadi ini alasan kamu tak lagi peduli padaku? Karena sekarang kamu punya seseorang yang baru dalam hidupmu?" tanya Rena.
Raditya menghela napas panjang. "Rena, berhenti membuat drama. Alya dan aku bekerja sama untuk sesuatu yang lebih besar. Tidak ada hubungan pribadi di sini."
Alya merasakan sesuatu menusuk hatinya mendengar pernyataan itu. Entah kenapa, ia berharap Raditya tidak menyebutnya sekadar rekan bisnis.
Rena tersenyum miring. "Kalau begitu, aku tidak perlu merasa bersalah, kan?"
Raditya menatapnya tajam. "Rena, cukup. Jika kamu ingin bicara tentang masa lalu, ini bukan tempatnya."
Rena menghela napas, lalu berdiri. "Baiklah. Aku tidak akan memaksa. Tapi kita akan bicara lagi, Radit. Percayalah."
Wanita itu melangkah pergi, meninggalkan keheningan di antara Alya dan Raditya. Beberapa saat kemudian, Alya memutuskan untuk berbicara.
"Siapa dia, Radit?"
Raditya memijat pelipisnya sebelum menjawab. "Mantan tunanganku."
Alya membelalakkan mata. "Tunangamu?"
"Dulu. Tapi itu sudah lama sekali."
Alya menatapnya penuh arti. "Tapi sepertinya dia belum benar-benar pergi dari hidupmu."
Raditya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilewati Rena. "Dan itu yang membuatku khawatir."
Alya mengamati ekspresi Raditya, mencoba memahami pikirannya. "Apa yang terjadi di antara kalian?"
Raditya menghela napas, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Dulu, kami hampir menikah. Dia meninggalkanku seminggu sebelum pernikahan. Tanpa penjelasan, tanpa pamit. Dan ternyata dia pergi bersama atasannya untuk mengejar karir."
Alya terkejut. "Dan sekarang dia tiba-tiba muncul lagi?"
Raditya mengangguk, matanya dipenuhi berbagai emosi. "Aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Tapi aku tahu satu hal… Aku tidak bisa mempercayainya lagi."
Alya menggigit bibirnya, pikirannya bercampur aduk. "Kalau dia memang berniat kembali, apa yang akan kamu lakukan?"
Raditya menatap Alya, seolah mencoba mencari jawaban dalam dirinya sendiri. "Aku tidak tahu. Tapi aku tidak ingin dia mengganggu hidupku lagi," ujar Raditya.
“Dan, maafkan aku jika aku tadi hanya menyebutmu sebagai rekan bisnis saja, padahal ada chemistry diantara kita. Hal itu aku lakukan karena Rena ini wanita yang nekat, jika dia tahu aku juga mendekatimu, entah apa yang akan ia lakukan. Namun apapun itu, aku akan berusaha menjagamu dengan segenap jiwaku,” ungkap Raditya.
Alya yang mendengarnya menunduk dengan senyuman terukir dibibirnya, ia merasa hatinya menghangat mendengar penuturan Raditya.
Tiba-tiba, ponsel Raditya bergetar. Ia mengernyit, melihat pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Pesan: 'Kita belum selesai. Aku akan memastikan kau mendengar apa yang harus kukatakan. Cepat atau lambat.'
Raditya menggenggam ponselnya erat. Alya melihat perubahan di wajahnya.
"Ada apa, Radit?"
Raditya menyerahkan ponselnya kepada Alya. "Rena. Sepertinya dia tidak akan menyerah begitu saja."
Alya membaca pesan itu, lalu menatap Raditya. "Apa yang sebenarnya dia inginkan darimu?" tanya Alya.
Raditya menggeleng pelan. "Aku belum tahu. Tapi satu hal yang pasti… ini belum berakhir."
Di luar café, Rena berdiri di balik jendela, menatap ke dalam dengan ekspresi penuh misteri. Dengan satu senyum kecil, ia berbalik, berjalan menjauh, meninggalkan bayangan ancaman yang masih menggantung di udara.
***
~ Bersambung ~
Suasana pagi di depan gedung megah PT. Nathan Wijaya Teknologi dipenuhi aktivitas. Sebuah Lamborghini Urus hitam berhenti tepat di depan pintu masuk utama, menarik perhatian karyawan yang baru tiba. Pintu mobil terbuka, dan seorang pria bertubuh tegap dengan jas hitam turun dengan karisma yang sulit diabaikan. Raditya Nathan Wijaya, CEO perusahaan, melangkah dengan percaya diri, pandangannya tajam menelusuri area depan sebelum akhirnya masuk ke dalam.Di dalam, suasana kantor berubah begitu Raditya muncul. Para karyawan bergegas kembali ke meja mereka, pura-pura sibuk meskipun rasa penasaran mereka masih menggelayuti. Tak jauh dari sana, Alya terduduk di ruang tunggu, merapikan ujung blazernya dengan gugup. Sejak tadi, dia bisa merasakan tatapan penuh tanya dari para karyawan. Bisik-bisik yang muncul tak bisa dia abaikan sepenuhnya."Jadi dia karyawan baru? Kenapa perusahaan sekelas NW Tech mau menerima orang cacat?" bisik seorang wanita di pojok."Mungkin ada k
Hari-hari berlalu dengan kesibukan Alya mengembangkan EduLearn. Setiap hari, ia menghabiskan waktunya di depan layar, menyusun kode, memperbaiki bug, dan memastikan sistem berjalan dengan lancar. Tak jarang Raditya datang ke ruangannya untuk berdiskusi."Bagaimana progress-nya?" tanya Raditya suatu sore, bersandar di pintu dengan tangan di saku celana.Alya menatap layar laptopnya, lalu berbalik ke arah Raditya. "Fitur interaktifnya hampir selesai. Saya hanya perlu melakukan beberapa uji coba lagi sebelum kita rilis versi beta."Raditya mengangguk, lalu melangkah masuk dan duduk di kursi di seberang Alya. "Bagus. Kamu memang luar biasa."Alya terkekeh, mencoba meredam rasa gugupnya. "Saya hanya melakukan pekerjaan saya."Raditya menatapnya dengan mata berbinar. "Dan kamu melakukannya dengan sangat baik. Aku kagum dengan semangatmu."Alya merasa pipinya sedikit memanas. "Terima kasih. Kalau tidak ada yang lain, saya akan lanjut bekerja."
Alya menegang di balik pintu. Ketukan pelan itu membuatnya semakin gelisah."Alya, buka pintunya. Ini aku." Suara Raditya terdengar tegas namun menenangkan.Tanpa pikir panjang, Alya langsung membuka pintu. Begitu melihat Raditya berdiri di sana dengan tatapan khawatir, ia langsung melangkah maju dan memeluknya erat. Jantungnya masih berdebar kencang akibat ketakutan yang dirasakannya.Raditya terkejut sejenak, tapi kemudian ia membalas pelukan Alya, menepuk punggungnya lembut. "Tenang, aku di sini. Tidak ada yang akan menyakitimu."Alya merasakan ketenangan dalam dekapan Raditya. Tangannya yang semula gemetar perlahan mulai stabil. Setelah beberapa saat, Raditya menuntunnya ke sofa yang ada di ruangan itu. Ia duduk di samping Alya, menatapnya dengan serius."Coba jelaskan, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya pelan, tapi ada nada tegas dalam suaranya.Alya menarik napas dalam, lalu mulai bercerita. Ia menceritakan semua yang terjadi sejak
Keesokan harinya, Alya berangkat bekerja seperti biasa dengan menaiki taksi. Setibanya di NW Tech, beberapa karyawan menyapanya dengan lebih ramah dibanding sebelumnya. Kini, keberadaannya sudah diterima, terlebih karena mereka tahu bahwa Alya cukup dekat dengan CEO mereka, Raditya. Meski begitu, ada juga yang lebih menunjukkan rasa segan daripada akrab.Sementara itu, di ruangannya, Raditya terbangun dari tidurnya. Semalam, ia memilih menginap di kantor, beristirahat di ranjang yang terdapat di ruangan khusus di kantornya. Setelah melihat jam, ia menebak Alya sudah tiba di kantor.Tanpa membuang waktu, ia menghubungi Tasya, sekretaris Alya. "Tasya, tolong sampaikan ke Alya untuk datang ke ruanganku sekarang.""Baik, Pak Raditya, saya segera menyampaikan pesan Anda," jawab Tasya sigap.Beberapa menit kemudian, Alya berdiri di depan ruangan CEO. Namun, langkahnya terhenti, merasa ragu. Aldo, asisten pribadi Raditya, yang kebetulan melihatnya, langsung ters
Setelah rapi dengan setelan kantornya, Raditya duduk di samping Alya. Ia bertanya, "Apakah kamu siap mengetahui siapa yang mengancammu?"Alya menatapnya dengan waspada. "Siapa yang mengancamku dan aku salah apa sehingga ada yang mengancamku?" tanyanya kembali.Raditya menghela napas panjang. "Pelakunya adalah Reza Mahendra. Dia mengancammu dan mengirimimu email ancaman karena satu hal.""Satu hal apa?" tanya Alya penasaran."Sebelumnya dia adalah salah satu dari tim IT yang kemampuannya cukup baik kurasa, namun sepertinya kehadiranmu membuatnya iri hati, hingga ia merasa tersaingi," ujar Raditya.Alya mengerutkan kening. "Astaga, kenapa demikian?""Karena selama ini dia selalu mengincar posisi kepala tim di setiap proyek. Aku juga baru tahu setelah kemarin observasi. Selama ini aku gak tahu ada anak buahku yang seperti itu," ujar Raditya."Lalu apa langkah kamu selanjutnya, Radit?" tanya Alya.Raditya menarik napas panjang sebe
Kekacauan mulai terjadi di ruangan itu. Beberapa anggota tim IT panik saat layar komputer mereka tiba-tiba mati dan alarm berbunyi nyaring di seluruh perusahaan. Namun, Raditya tetap tenang. Dengan tatapan tajam, ia segera memberi perintah."Tangkap Reza! Jangan biarkan dia kabur!" suaranya tegas dan menggema di seluruh ruangan.Dua bodyguard yang selalu siaga langsung bergerak cepat. Reza berusaha melawan, tetapi mereka lebih sigap. Dalam hitungan detik, tangannya telah terkunci di belakang kursi, dan tubuhnya diikat erat."Lepaskan aku! Kalian pikir aku takut?!" teriak Reza dengan wajah penuh amarah. Ia meronta-ronta, tetapi sia-sia.Raditya menatapnya dingin sebelum beralih ke seluruh tim IT yang masih berdiri di tempat masing-masing. "Kembali ke meja kalian sekarang! Segera amankan semua data di laptop dan PC kalian sebelum sistem penghancur menyebar lebih jauh ke jaringan utama!"Mereka langsung bergegas tanpa bertanya. Suara ketikan cepat ter
Raditya duduk dengan ekspresi serius di depan layarnya. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, menyusun serangkaian kode untuk melacak dan menetralisir virus yang baru saja diaktifkan Reza. Setiap detik begitu berharga, dan ia tahu tidak ada ruang untuk kesalahan.Alya tadi mengikuti Raditya dibelakangnya, ia penasaran akan apa yang dilakukan Raditya. Mengetahui Alya mengikutinya, Raditya menginstruksikan Alya untuk menutup pintu ruangannya.Kini Alya berdiri di belakangnya dengan napas tertahan. "Radit, kita bisa menghentikannya, kan?"Raditya tak menjawab langsung, matanya tetap fokus pada layar. "Aku harus menelusuri sumber virus ini dan menghentikannya dari akarnya. Jika aku hanya memblokirnya, Reza mungkin punya backdoor lain yang bisa mengaktifkan ulang programnya."Sementara itu, di ruangan utama, para anggota tim IT masih sibuk memastikan sistem mereka tetap stabil. Mereka tidak menyadari bahwa sosok yang telah menyelamatkan mereka adalah CEO
Alya masih terpaku, matanya tak lepas dari Raditya yang berdiri tenang di depannya. Napasnya sedikit memburu, mencoba memahami apa yang baru saja ia sadari."Astaga… siapa sebenarnya kamu, Radit?" tanyanya dengan suara pelan namun penuh keterkejutan.Raditya menatapnya sejenak, lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Aku rasa sudah saatnya kamu tahu, Alya. Aku bukan hanya seorang CEO perusahaan ini. Aku lebih dari itu."Alya mengernyit. "Maksudmu?"Raditya berjalan mendekat, menatap layar komputer yang masih menampilkan jejak kode-kode rumit yang baru saja digunakannya untuk menonaktifkan virus Reza. Ia menekan beberapa tombol, lalu sebuah jendela hitam dengan huruf-huruf berwarna hijau muncul di layar."Selama ini, aku punya identitas lain di dunia cyber. Nama yang dikenal di banyak komunitas IT, di forum-forum rahasia, dan bahkan di lingkaran bawah dunia teknologi," katanya sambil mengetik sesuatu di layar.Alya meli
Pintu penthouse terbuka otomatis begitu wajah-wajah yang dikenal sistem keamanan digital Raditya terdeteksi. Bunda Liliana masuk lebih dulu dengan senyum lebar, membawa dua tas besar berisi makanan. Di belakangnya, Ayah Darian tampak lebih tenang, tapi sorot matanya hangat dan teduh, seperti mata seorang ayah yang lama tak melihat anak-anaknya kembali pulang.“Alya sayang!” seru Bunda Liliana langsung memeluk menantunya yang sedang duduk di sofa. “Astaga, perutnya udah mulai kelihatan ya! Kamu glowing banget!”Alya tersenyum lebar, memeluk balik dengan haru. “Bunda ini selalu suka gitu, suka muji aku, dan... selalu penuh energi.”“Ya iyalah. Ini cucu pertama, kamu pikir aku bisa santai?” sahutnya sambil tertawa. “Aku bawa rujak serut- pakai mangga muda favorit kamu, terus ada pepes tahu, sup ayam kampung, dan sedikit cemilan asin biar nggak enek. Semua masakan Bunda sendiri. Masak dari subuh!”Ra
Penthouse itu masih seperti dulu. Hening, modern, dan selalu menyambut siapa pun dengan pemandangan kota yang menenangkan dari balik kaca-kaca besar. Tapi kali ini terasa berbeda. Ada yang tumbuh di antara mereka, bukan hanya kehidupan baru dalam rahim Alya, tapi juga rasa nyaman yang mulai kembali setelah badai panjang bernama Dewi Hapsari.Raditya membuka pintu dan melangkah lebih dulu, menoleh ke belakang, “Pelan-pelan, Love. Langkah kecil aja, aku bawain tasnya.”Alya tersenyum tipis, sebelah tangannya menyentuh perutnya yang mulai terlihat. “Aku hamil, bukan patah tulang,” celetuknya.“Tetap saja, kamu istriku. Hamil atau enggak, kamu tetap prioritas.” Raditya mencium kening Alya singkat sebelum menarik koper mereka ke dalam.Alya menatap sekeliling. Meja makan yang dulu mereka hias bersama, bantal-bantal di sofa yang sempat ia pilih sendiri, dan aroma khas lilin lavender yang masih sama.“Aku kangen tempat ini,” gumam Alya lirih, duduk perlahan di sofa.Raditya duduk di sampingn
Keesokan paginya, suasana di penthouse Raditya terasa jauh lebih ringan. Setelah malam penuh ketegangan dan kelegaan, hari ini diwarnai oleh harapan baru. Elros duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian bersih dan nyaman, rambutnya sedikit basah sehabis mandi. Wajah kecilnya tampak tenang, meski sorot matanya masih menyimpan kecemasan.Alya menyiapkan sarapan sederhana. Wangi roti bakar dan susu hangat memenuhi udara, memberikan kehangatan yang dibutuhkan setelah malam panjang.“Jangan gugup, Elros,” ujar Alya lembut sambil meletakkan secangkir cokelat panas di hadapannya. “Hari ini hari yang baik.”Elros mengangguk pelan. Ia memeluk boneka biru pemberian Alya, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang. “Tapi... kalau dia tidak mau aku?” bisiknya lirih.Raditya mendekat, duduk di sebelah Elros. “Dia adalah ibumu, Elros. Tak ada yang bisa mengubah cinta seorang ibu.”Sebelum Elros sempat bertanya lebih jauh, bel pintu berbunyi.Detak jantung Elros terasa melonjak ke te
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lain—kebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.“Kamu tidak sendirian,” ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. “Apa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?” katanya pahit. “Kalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.”Raditya maju satu langkah. “Kami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.“Radit,” suara Alya pelan, “kalau ini jebakan...”“Aku tahu risikonya,” potong Raditya, tak menoleh. “Tapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.”Mobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. “Tempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.“Radit,” suara Alya nyaris tak terdengar, “kita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.”Raditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembap—ukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. “Masih baru,” gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.“Siap?” tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.“Radit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?” tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.“Ada kabar penting, Bunda, Yah,” jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. “Alya... dia hamil.”Beberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.“APA?! HAMIL?!”Ayah Darian tergagap. “Tunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?”Raditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. “Kami dapat hasilnya kem