Suasana pagi di depan gedung megah PT. Nathan Wijaya Teknologi dipenuhi aktivitas. Sebuah Lamborghini Urus hitam berhenti tepat di depan pintu masuk utama, menarik perhatian karyawan yang baru tiba. Pintu mobil terbuka, dan seorang pria bertubuh tegap dengan jas hitam turun dengan karisma yang sulit diabaikan. Raditya Nathan Wijaya, CEO perusahaan, melangkah dengan percaya diri, pandangannya tajam menelusuri area depan sebelum akhirnya masuk ke dalam.
Di dalam, suasana kantor berubah begitu Raditya muncul. Para karyawan bergegas kembali ke meja mereka, pura-pura sibuk meskipun rasa penasaran mereka masih menggelayuti. Tak jauh dari sana, Alya terduduk di ruang tunggu, merapikan ujung blazernya dengan gugup. Sejak tadi, dia bisa merasakan tatapan penuh tanya dari para karyawan. Bisik-bisik yang muncul tak bisa dia abaikan sepenuhnya.
"Jadi dia karyawan baru? Kenapa perusahaan sekelas NW Tech mau menerima orang cacat?" bisik seorang wanita di pojok.
"Mungkin ada koneksi orang dalam," sahut pria berkacamata di sebelahnya.
"Atau memang karena kemampuannya? Dia cantik, meskipun jalannya tertatih," ujar yang lain.
"Kalian ini jangan bergosip saja, ayo lanjut bekerja!" tegur Andin, salah satu senior di divisi pengembangan.
Tak lama kemudian, langkah berat mendekat. Alya mengangkat kepala dan mendapati Raditya berdiri di hadapannya, ekspresinya lembut.
"Alya, maaf membuatmu menunggu. Mari, aku akan mengantarmu ke ruang kerjamu," ucap Raditya, suaranya hangat.
Alya mengangguk pelan. Saat Raditya mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri, dia sempat ragu, tapi akhirnya menerima bantuan itu. Sentuhan tangan Raditya terasa hangat, seolah memberi keyakinan. Mereka berjalan beriringan menuju lantai atas, sementara hampir semua pasang mata mengawasi mereka.
"Siapa perempuan itu? CEO kita menggandeng tangannya, seperti... spesial?" bisik seorang karyawan.
"Gila! Ini pertama kalinya aku lihat Pak Raditya bersikap seperti itu pada seorang wanita!" tambah yang lain.
Setibanya di depan sebuah ruangan luas dengan jendela besar yang menghadap taman, Raditya berhenti dan membuka pintunya. "Alya, ini ruang kerja barumu. Aku ingin kamu merasa nyaman di sini."
Alya melangkah masuk perlahan, mengamati ruangan dengan takjub. Meja kerja elegan sudah tertata rapi, lengkap dengan laptop canggih dan papan tulis digital. Suasana yang diberikan benar-benar nyaman dan mendukung kreativitas.
"Terima kasih, Pak Raditya. Saya tidak menyangka akan mendapatkan ruangan khusus seperti ini."
"Raditya saja," koreksi pria itu sambil tersenyum. "Dan tentu saja kamu pantas mendapatkannya. Kamu yang menciptakan EduLearn, jadi sudah sepantasnya kamu memimpin pengembangannya. Aku ingin kamu bekerja dengan leluasa."
Alya mengangguk. "Baik, Raditya. Saya akan melakukan yang terbaik."
Raditya menyelipkan tangannya di saku celana, menatap Alya sejenak sebelum berbicara lagi, "Jika ada yang membuatmu tidak nyaman, langsung beritahu aku. Aku tidak ingin ada satu hal pun menghambat pekerjaanmu."
Sebelum Alya sempat merespons, suara ketukan pintu terdengar. Seorang pria masuk, mengenakan kemeja abu-abu dengan ID card tergantung di lehernya.
"Maaf mengganggu, Pak Raditya. Ada beberapa hal teknis terkait EduLearn yang perlu didiskusikan," ujar Aryo dari tim IT.
Raditya mengangguk, lalu menoleh pada Alya. "Alya, kau bisa mulai dengan melihat lingkungan kerja dulu. Nanti aku akan memperkenalkanmu pada tim."
Alya tersenyum. "Baik."
Raditya melangkah pergi bersama Aryo, meninggalkan Alya sendirian di ruangannya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri setelah pertemuan itu. Baru saja ia hendak duduk, sebuah suara pelan terdengar dari balik pintu.
"Jangan terlalu percaya diri. Kau mungkin punya ruangan ini, tapi itu bukan jaminan kau akan bertahan lama di sini."
Alya membeku. Suara itu... dingin dan penuh ancaman.
Siapa yang baru saja berbicara?
Tanpa sadar, tangannya mengepal. Sepertinya, perjalanannya di NW Tech tidak akan semudah yang ia kira.
Alya menoleh cepat ke arah pintu, tetapi hanya kesunyian yang menyambutnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia bangkit perlahan, membuka pintu dan melihat ke koridor. Kosong. Tidak ada siapa pun di sana.
Perasaannya tidak enak. Apakah hanya perasaannya saja, atau benar-benar ada seseorang yang mengintimidasinya?
Dengan napas berat, ia menutup kembali pintu dan berusaha mengalihkan pikirannya. Namun, pesan ancaman itu terus terngiang di telinganya. Siapa yang tidak menginginkannya di sini?
Saat ia berusaha mengalihkan fokus ke laptopnya, sebuah notifikasi email masuk. Subjeknya membuat darahnya berdesir.
"Kau tidak seharusnya ada di sini."
Alya terpaku. Jemarinya gemetar saat mengklik email itu, tetapi isinya kosong. Tidak ada pengirim yang tertera.
Ketegangan menyelimutinya. Apakah ini hanya kebetulan? Atau ada seseorang yang benar-benar mengawasinya?
To be continued…
Pintu penthouse terbuka otomatis begitu wajah-wajah yang dikenal sistem keamanan digital Raditya terdeteksi. Bunda Liliana masuk lebih dulu dengan senyum lebar, membawa dua tas besar berisi makanan. Di belakangnya, Ayah Darian tampak lebih tenang, tapi sorot matanya hangat dan teduh, seperti mata seorang ayah yang lama tak melihat anak-anaknya kembali pulang.“Alya sayang!” seru Bunda Liliana langsung memeluk menantunya yang sedang duduk di sofa. “Astaga, perutnya udah mulai kelihatan ya! Kamu glowing banget!”Alya tersenyum lebar, memeluk balik dengan haru. “Bunda ini selalu suka gitu, suka muji aku, dan... selalu penuh energi.”“Ya iyalah. Ini cucu pertama, kamu pikir aku bisa santai?” sahutnya sambil tertawa. “Aku bawa rujak serut- pakai mangga muda favorit kamu, terus ada pepes tahu, sup ayam kampung, dan sedikit cemilan asin biar nggak enek. Semua masakan Bunda sendiri. Masak dari subuh!”Ra
Penthouse itu masih seperti dulu. Hening, modern, dan selalu menyambut siapa pun dengan pemandangan kota yang menenangkan dari balik kaca-kaca besar. Tapi kali ini terasa berbeda. Ada yang tumbuh di antara mereka, bukan hanya kehidupan baru dalam rahim Alya, tapi juga rasa nyaman yang mulai kembali setelah badai panjang bernama Dewi Hapsari.Raditya membuka pintu dan melangkah lebih dulu, menoleh ke belakang, “Pelan-pelan, Love. Langkah kecil aja, aku bawain tasnya.”Alya tersenyum tipis, sebelah tangannya menyentuh perutnya yang mulai terlihat. “Aku hamil, bukan patah tulang,” celetuknya.“Tetap saja, kamu istriku. Hamil atau enggak, kamu tetap prioritas.” Raditya mencium kening Alya singkat sebelum menarik koper mereka ke dalam.Alya menatap sekeliling. Meja makan yang dulu mereka hias bersama, bantal-bantal di sofa yang sempat ia pilih sendiri, dan aroma khas lilin lavender yang masih sama.“Aku kangen tempat ini,” gumam Alya lirih, duduk perlahan di sofa.Raditya duduk di sampingn
Keesokan paginya, suasana di penthouse Raditya terasa jauh lebih ringan. Setelah malam penuh ketegangan dan kelegaan, hari ini diwarnai oleh harapan baru. Elros duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian bersih dan nyaman, rambutnya sedikit basah sehabis mandi. Wajah kecilnya tampak tenang, meski sorot matanya masih menyimpan kecemasan.Alya menyiapkan sarapan sederhana. Wangi roti bakar dan susu hangat memenuhi udara, memberikan kehangatan yang dibutuhkan setelah malam panjang.“Jangan gugup, Elros,” ujar Alya lembut sambil meletakkan secangkir cokelat panas di hadapannya. “Hari ini hari yang baik.”Elros mengangguk pelan. Ia memeluk boneka biru pemberian Alya, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang. “Tapi... kalau dia tidak mau aku?” bisiknya lirih.Raditya mendekat, duduk di sebelah Elros. “Dia adalah ibumu, Elros. Tak ada yang bisa mengubah cinta seorang ibu.”Sebelum Elros sempat bertanya lebih jauh, bel pintu berbunyi.Detak jantung Elros terasa melonjak ke te
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lain—kebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.“Kamu tidak sendirian,” ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. “Apa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?” katanya pahit. “Kalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.”Raditya maju satu langkah. “Kami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-