Suasana pagi di depan gedung megah PT. Nathan Wijaya Teknologi dipenuhi aktivitas. Sebuah Lamborghini Urus hitam berhenti tepat di depan pintu masuk utama, menarik perhatian karyawan yang baru tiba. Pintu mobil terbuka, dan seorang pria bertubuh tegap dengan jas hitam turun dengan karisma yang sulit diabaikan. Raditya Nathan Wijaya, CEO perusahaan, melangkah dengan percaya diri, pandangannya tajam menelusuri area depan sebelum akhirnya masuk ke dalam.
Di dalam, suasana kantor berubah begitu Raditya muncul. Para karyawan bergegas kembali ke meja mereka, pura-pura sibuk meskipun rasa penasaran mereka masih menggelayuti. Tak jauh dari sana, Alya terduduk di ruang tunggu, merapikan ujung blazernya dengan gugup. Sejak tadi, dia bisa merasakan tatapan penuh tanya dari para karyawan. Bisik-bisik yang muncul tak bisa dia abaikan sepenuhnya.
"Jadi dia karyawan baru? Kenapa perusahaan sekelas NW Tech mau menerima orang cacat?" bisik seorang wanita di pojok.
"Mungkin ada koneksi orang dalam," sahut pria berkacamata di sebelahnya.
"Atau memang karena kemampuannya? Dia cantik, meskipun jalannya tertatih," ujar yang lain.
"Kalian ini jangan bergosip saja, ayo lanjut bekerja!" tegur Andin, salah satu senior di divisi pengembangan.
Tak lama kemudian, langkah berat mendekat. Alya mengangkat kepala dan mendapati Raditya berdiri di hadapannya, ekspresinya lembut.
"Alya, maaf membuatmu menunggu. Mari, aku akan mengantarmu ke ruang kerjamu," ucap Raditya, suaranya hangat.
Alya mengangguk pelan. Saat Raditya mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri, dia sempat ragu, tapi akhirnya menerima bantuan itu. Sentuhan tangan Raditya terasa hangat, seolah memberi keyakinan. Mereka berjalan beriringan menuju lantai atas, sementara hampir semua pasang mata mengawasi mereka.
"Siapa perempuan itu? CEO kita menggandeng tangannya, seperti... spesial?" bisik seorang karyawan.
"Gila! Ini pertama kalinya aku lihat Pak Raditya bersikap seperti itu pada seorang wanita!" tambah yang lain.
Setibanya di depan sebuah ruangan luas dengan jendela besar yang menghadap taman, Raditya berhenti dan membuka pintunya. "Alya, ini ruang kerja barumu. Aku ingin kamu merasa nyaman di sini."
Alya melangkah masuk perlahan, mengamati ruangan dengan takjub. Meja kerja elegan sudah tertata rapi, lengkap dengan laptop canggih dan papan tulis digital. Suasana yang diberikan benar-benar nyaman dan mendukung kreativitas.
"Terima kasih, Pak Raditya. Saya tidak menyangka akan mendapatkan ruangan khusus seperti ini."
"Raditya saja," koreksi pria itu sambil tersenyum. "Dan tentu saja kamu pantas mendapatkannya. Kamu yang menciptakan EduLearn, jadi sudah sepantasnya kamu memimpin pengembangannya. Aku ingin kamu bekerja dengan leluasa."
Alya mengangguk. "Baik, Raditya. Saya akan melakukan yang terbaik."
Raditya menyelipkan tangannya di saku celana, menatap Alya sejenak sebelum berbicara lagi, "Jika ada yang membuatmu tidak nyaman, langsung beritahu aku. Aku tidak ingin ada satu hal pun menghambat pekerjaanmu."
Sebelum Alya sempat merespons, suara ketukan pintu terdengar. Seorang pria masuk, mengenakan kemeja abu-abu dengan ID card tergantung di lehernya.
"Maaf mengganggu, Pak Raditya. Ada beberapa hal teknis terkait EduLearn yang perlu didiskusikan," ujar Aryo dari tim IT.
Raditya mengangguk, lalu menoleh pada Alya. "Alya, kau bisa mulai dengan melihat lingkungan kerja dulu. Nanti aku akan memperkenalkanmu pada tim."
Alya tersenyum. "Baik."
Raditya melangkah pergi bersama Aryo, meninggalkan Alya sendirian di ruangannya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri setelah pertemuan itu. Baru saja ia hendak duduk, sebuah suara pelan terdengar dari balik pintu.
"Jangan terlalu percaya diri. Kau mungkin punya ruangan ini, tapi itu bukan jaminan kau akan bertahan lama di sini."
Alya membeku. Suara itu... dingin dan penuh ancaman.
Siapa yang baru saja berbicara?
Tanpa sadar, tangannya mengepal. Sepertinya, perjalanannya di NW Tech tidak akan semudah yang ia kira.
Alya menoleh cepat ke arah pintu, tetapi hanya kesunyian yang menyambutnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia bangkit perlahan, membuka pintu dan melihat ke koridor. Kosong. Tidak ada siapa pun di sana.
Perasaannya tidak enak. Apakah hanya perasaannya saja, atau benar-benar ada seseorang yang mengintimidasinya?
Dengan napas berat, ia menutup kembali pintu dan berusaha mengalihkan pikirannya. Namun, pesan ancaman itu terus terngiang di telinganya. Siapa yang tidak menginginkannya di sini?
Saat ia berusaha mengalihkan fokus ke laptopnya, sebuah notifikasi email masuk. Subjeknya membuat darahnya berdesir.
"Kau tidak seharusnya ada di sini."
Alya terpaku. Jemarinya gemetar saat mengklik email itu, tetapi isinya kosong. Tidak ada pengirim yang tertera.
Ketegangan menyelimutinya. Apakah ini hanya kebetulan? Atau ada seseorang yang benar-benar mengawasinya?
To be continued…
Hari-hari berlalu dengan kesibukan Alya mengembangkan EduLearn. Setiap hari, ia menghabiskan waktunya di depan layar, menyusun kode, memperbaiki bug, dan memastikan sistem berjalan dengan lancar. Tak jarang Raditya datang ke ruangannya untuk berdiskusi."Bagaimana progress-nya?" tanya Raditya suatu sore, bersandar di pintu dengan tangan di saku celana.Alya menatap layar laptopnya, lalu berbalik ke arah Raditya. "Fitur interaktifnya hampir selesai. Saya hanya perlu melakukan beberapa uji coba lagi sebelum kita rilis versi beta."Raditya mengangguk, lalu melangkah masuk dan duduk di kursi di seberang Alya. "Bagus. Kamu memang luar biasa."Alya terkekeh, mencoba meredam rasa gugupnya. "Saya hanya melakukan pekerjaan saya."Raditya menatapnya dengan mata berbinar. "Dan kamu melakukannya dengan sangat baik. Aku kagum dengan semangatmu."Alya merasa pipinya sedikit memanas. "Terima kasih. Kalau tidak ada yang lain, saya akan lanjut bekerja."
Alya menegang di balik pintu. Ketukan pelan itu membuatnya semakin gelisah."Alya, buka pintunya. Ini aku." Suara Raditya terdengar tegas namun menenangkan.Tanpa pikir panjang, Alya langsung membuka pintu. Begitu melihat Raditya berdiri di sana dengan tatapan khawatir, ia langsung melangkah maju dan memeluknya erat. Jantungnya masih berdebar kencang akibat ketakutan yang dirasakannya.Raditya terkejut sejenak, tapi kemudian ia membalas pelukan Alya, menepuk punggungnya lembut. "Tenang, aku di sini. Tidak ada yang akan menyakitimu."Alya merasakan ketenangan dalam dekapan Raditya. Tangannya yang semula gemetar perlahan mulai stabil. Setelah beberapa saat, Raditya menuntunnya ke sofa yang ada di ruangan itu. Ia duduk di samping Alya, menatapnya dengan serius."Coba jelaskan, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya pelan, tapi ada nada tegas dalam suaranya.Alya menarik napas dalam, lalu mulai bercerita. Ia menceritakan semua yang terjadi sejak
Keesokan harinya, Alya berangkat bekerja seperti biasa dengan menaiki taksi. Setibanya di NW Tech, beberapa karyawan menyapanya dengan lebih ramah dibanding sebelumnya. Kini, keberadaannya sudah diterima, terlebih karena mereka tahu bahwa Alya cukup dekat dengan CEO mereka, Raditya. Meski begitu, ada juga yang lebih menunjukkan rasa segan daripada akrab.Sementara itu, di ruangannya, Raditya terbangun dari tidurnya. Semalam, ia memilih menginap di kantor, beristirahat di ranjang yang terdapat di ruangan khusus di kantornya. Setelah melihat jam, ia menebak Alya sudah tiba di kantor.Tanpa membuang waktu, ia menghubungi Tasya, sekretaris Alya. "Tasya, tolong sampaikan ke Alya untuk datang ke ruanganku sekarang.""Baik, Pak Raditya, saya segera menyampaikan pesan Anda," jawab Tasya sigap.Beberapa menit kemudian, Alya berdiri di depan ruangan CEO. Namun, langkahnya terhenti, merasa ragu. Aldo, asisten pribadi Raditya, yang kebetulan melihatnya, langsung ters
Setelah rapi dengan setelan kantornya, Raditya duduk di samping Alya. Ia bertanya, "Apakah kamu siap mengetahui siapa yang mengancammu?"Alya menatapnya dengan waspada. "Siapa yang mengancamku dan aku salah apa sehingga ada yang mengancamku?" tanyanya kembali.Raditya menghela napas panjang. "Pelakunya adalah Reza Mahendra. Dia mengancammu dan mengirimimu email ancaman karena satu hal.""Satu hal apa?" tanya Alya penasaran."Sebelumnya dia adalah salah satu dari tim IT yang kemampuannya cukup baik kurasa, namun sepertinya kehadiranmu membuatnya iri hati, hingga ia merasa tersaingi," ujar Raditya.Alya mengerutkan kening. "Astaga, kenapa demikian?""Karena selama ini dia selalu mengincar posisi kepala tim di setiap proyek. Aku juga baru tahu setelah kemarin observasi. Selama ini aku gak tahu ada anak buahku yang seperti itu," ujar Raditya."Lalu apa langkah kamu selanjutnya, Radit?" tanya Alya.Raditya menarik napas panjang sebe
Kekacauan mulai terjadi di ruangan itu. Beberapa anggota tim IT panik saat layar komputer mereka tiba-tiba mati dan alarm berbunyi nyaring di seluruh perusahaan. Namun, Raditya tetap tenang. Dengan tatapan tajam, ia segera memberi perintah."Tangkap Reza! Jangan biarkan dia kabur!" suaranya tegas dan menggema di seluruh ruangan.Dua bodyguard yang selalu siaga langsung bergerak cepat. Reza berusaha melawan, tetapi mereka lebih sigap. Dalam hitungan detik, tangannya telah terkunci di belakang kursi, dan tubuhnya diikat erat."Lepaskan aku! Kalian pikir aku takut?!" teriak Reza dengan wajah penuh amarah. Ia meronta-ronta, tetapi sia-sia.Raditya menatapnya dingin sebelum beralih ke seluruh tim IT yang masih berdiri di tempat masing-masing. "Kembali ke meja kalian sekarang! Segera amankan semua data di laptop dan PC kalian sebelum sistem penghancur menyebar lebih jauh ke jaringan utama!"Mereka langsung bergegas tanpa bertanya. Suara ketikan cepat ter
Raditya duduk dengan ekspresi serius di depan layarnya. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, menyusun serangkaian kode untuk melacak dan menetralisir virus yang baru saja diaktifkan Reza. Setiap detik begitu berharga, dan ia tahu tidak ada ruang untuk kesalahan.Alya tadi mengikuti Raditya dibelakangnya, ia penasaran akan apa yang dilakukan Raditya. Mengetahui Alya mengikutinya, Raditya menginstruksikan Alya untuk menutup pintu ruangannya.Kini Alya berdiri di belakangnya dengan napas tertahan. "Radit, kita bisa menghentikannya, kan?"Raditya tak menjawab langsung, matanya tetap fokus pada layar. "Aku harus menelusuri sumber virus ini dan menghentikannya dari akarnya. Jika aku hanya memblokirnya, Reza mungkin punya backdoor lain yang bisa mengaktifkan ulang programnya."Sementara itu, di ruangan utama, para anggota tim IT masih sibuk memastikan sistem mereka tetap stabil. Mereka tidak menyadari bahwa sosok yang telah menyelamatkan mereka adalah CEO
Alya masih terpaku, matanya tak lepas dari Raditya yang berdiri tenang di depannya. Napasnya sedikit memburu, mencoba memahami apa yang baru saja ia sadari."Astaga… siapa sebenarnya kamu, Radit?" tanyanya dengan suara pelan namun penuh keterkejutan.Raditya menatapnya sejenak, lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Aku rasa sudah saatnya kamu tahu, Alya. Aku bukan hanya seorang CEO perusahaan ini. Aku lebih dari itu."Alya mengernyit. "Maksudmu?"Raditya berjalan mendekat, menatap layar komputer yang masih menampilkan jejak kode-kode rumit yang baru saja digunakannya untuk menonaktifkan virus Reza. Ia menekan beberapa tombol, lalu sebuah jendela hitam dengan huruf-huruf berwarna hijau muncul di layar."Selama ini, aku punya identitas lain di dunia cyber. Nama yang dikenal di banyak komunitas IT, di forum-forum rahasia, dan bahkan di lingkaran bawah dunia teknologi," katanya sambil mengetik sesuatu di layar.Alya meli
Raditya menatap pria itu dengan kening berkerut. "Masa lalu keluargaku? Apa maksudnya, Pak Arya?"Pak Arya masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu di belakangnya. Wajahnya tampak serius. “Apa perempuan ini bisa tetap disini?” tanyanya kemudian.“Iya, biarkan dia disini,” ujar Raditya."Ada banyak hal yang tidak pernah kamu ketahui tentang ayahmu, Radit. Dan sudah saatnya kamu tahu."Raditya menatap pria itu dengan sorot mata penuh tanya. "Ayahku meninggal ketika aku masih kecil. Apa lagi yang perlu aku tahu?"Pak Arya menghela napas panjang. "Kamu tahu bahwa ayahmu adalah seorang pengusaha. Tapi yang tidak kamu tahu, dia juga seorang... ahli teknologi yang luar biasa. Sama seperti dirimu."Raditya terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Maksud Anda…?"Pak Arya menatapnya dalam-dalam. "Ayahmu bukan hanya seorang pengusaha biasa. Dia adalah orang yang menciptakan fondasi dari sistem keamanan yang sekar
Keesokan paginya, suasana di penthouse Raditya terasa jauh lebih ringan. Setelah malam penuh ketegangan dan kelegaan, hari ini diwarnai oleh harapan baru. Elros duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian bersih dan nyaman, rambutnya sedikit basah sehabis mandi. Wajah kecilnya tampak tenang, meski sorot matanya masih menyimpan kecemasan.Alya menyiapkan sarapan sederhana. Wangi roti bakar dan susu hangat memenuhi udara, memberikan kehangatan yang dibutuhkan setelah malam panjang.“Jangan gugup, Elros,” ujar Alya lembut sambil meletakkan secangkir cokelat panas di hadapannya. “Hari ini hari yang baik.”Elros mengangguk pelan. Ia memeluk boneka biru pemberian Alya, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang. “Tapi... kalau dia tidak mau aku?” bisiknya lirih.Raditya mendekat, duduk di sebelah Elros. “Dia adalah ibumu, Elros. Tak ada yang bisa mengubah cinta seorang ibu.”Sebelum Elros sempat bertanya lebih jauh, bel pintu berbunyi.Detak jantung Elros terasa melonjak ke te
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lain—kebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.“Kamu tidak sendirian,” ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. “Apa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?” katanya pahit. “Kalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.”Raditya maju satu langkah. “Kami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.“Radit,” suara Alya pelan, “kalau ini jebakan...”“Aku tahu risikonya,” potong Raditya, tak menoleh. “Tapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.”Mobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. “Tempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.“Radit,” suara Alya nyaris tak terdengar, “kita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.”Raditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembap—ukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. “Masih baru,” gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.“Siap?” tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.“Radit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?” tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.“Ada kabar penting, Bunda, Yah,” jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. “Alya... dia hamil.”Beberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.“APA?! HAMIL?!”Ayah Darian tergagap. “Tunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?”Raditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. “Kami dapat hasilnya kem
Tiga minggu telah berlalu sejak malam berbintang itu.Hidup perlahan menemukan ritmenya kembali. Raditya kembali membangun NW Tech dari dalam, kali ini bersama Aldo Rusdiawan, asisten pribadinya yang selalu tanggap dan tak pernah kehilangan fokus meski dalam situasi genting. Bersama, mereka mulai mengembangkan teknologi generasi berikutnya- lebih aman, lebih etis, dan lebih manusiawi, dengan LILITH sebagai penjaga utama di balik sistem.Tak hanya itu, Raditya juga mulai menjalin kolaborasi dengan keluarga Wiranagara- keluarga Alya di Jepang yang memiliki pengaruh besar dalam bidang teknologi neurokomputasi dan pengembangan chip bio-sinkronisasi. Bagi Raditya, kerja sama ini bukan hanya strategi bisnis. Ini adalah bentuk rekonsiliasi antara masa lalu dan masa depan, antara luka yang pernah ada dan mimpi yang kini bisa dibangun bersama.Sementara itu, Alya mulai aktif dalam proyek sosial bersama kode Elvaretta, tentunya dengan bantuan sang suami tercinta, Raditya. Mereka menciptakan pla
Langit Jakarta pagi itu berwarna biru muda, seolah baru dicuci oleh hujan semalam. Sinar matahari menembus jendela penthouse, menyinari ruangan yang kini jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Di balkon, Alya berdiri dengan secangkir teh melati hangat di tangan, rambutnya yang tergerai ditiup angin lembut.Sudah tiga hari sejak mereka mematikan ISAAC dan menyatukan LILITH ke dalam sistem sebagai penjaga emosional. Dunia luar tidak tahu banyak, kecuali bahwa ‘insiden sistem global’ telah berakhir secara misterius. Tapi bagi Alya dan Raditya, itu lebih dari cukup. Mereka tidak butuh pengakuan. Mereka hanya butuh... ketenangan.Pintu balkon terbuka perlahan.Raditya berjalan keluar dengan hoodie abu-abu dan rambut sedikit berantakan. Tapi senyumnya, seperti biasa, mampu membuat dunia Alya berhenti sesaat.“Pagi,” katanya, menyandarkan tubuhnya di sisi pintu sambil menguap pelan.Alya menoleh, matanya melembut. “Kamu tidur jam berapa?”“Jam dua. Haruto kirim update terakhir soal