Aryan memilih menepiskan tangannya, dia tidak mau menjawab pertanyaan dari teman lamanya itu."Ayo pak Feri, sebaiknya kita keluar dan aku kenalkan Anda pada staf yang lain." Ajak Aryan, dia berdiri dan mulai berbicara formal.Feri mengangguk, dia juga tidak mau mengorek apalagi membahas yang sempat temannya itu katakan tadi, karena kini Aryan adalah bos dan bukan temannya jika di lingkungan kerja.Feri mengekor dari belakang, Aryan membawanya ke dapur, menjelaskan ini itu dan juga memperkenalkan Feri pada karyawannya yang lain."Jadi… ada tempat ibadah, kamar khusus karyawan beristirahat juga ya." Kata Feri."Terus, untuk ruangan para pelanggan ada dua lantai sama outdoor juga." Lanjutnya seakan sedang berbicara sendiri."Ya betul, Outdoor itu bagi perokok karena di indoor ada larangan merokok." Balas Aryan.Feri mengangguk-angguk, lalu langkahnya terhenti dan dia memandang seksama ke arah dua pelanggan yang berada di lantai bawah."Ada apa Fer? Jika tidak ada yang membuatmu kurang ny
"Sebaiknya kamu kirim saja foto-fotonya Ar, jangan ragu deh kasihan teman kamu jadi korban si buaya buntung itu." Desak Feri geregetan, apalagi jika dia mengingat yang sudah dibohongi pria paling dibencinya itu adalah teman Aryan.Aryan masih termangu, dia masih ragu.Sedangkan di bawah sana, Rizal dan Sinta sedang duduk sambil menunggu menu makan malam yang mereka pesan datang."Sayang… makasih ya, berkat kamu kini aku diangkat jadi manajer di perusahaan." Kata Rizal.Sinta memandang genit, "kamu ih kayak sama siapa saja bilang makasih segala. Kamu kan calon suami aku, tentu saja aku senang kalau suamiku naik pangkat." Jawabnya.Rizal tersenyum manis, tangannya dari tadi tidak bisa diam mengelus-elus rambut, pipi, hidung bahkan mulai nakal menelusuri paha mulus Sinta yang terhalangi oleh meja."Ih… geli…" ucap Sinta merajuk manja."Hehe, aku gak kuat Sayang… habis ini mau nggak check in?" Ajak Rizal genit.Sinta tidak menjawab tapi dia mengangguk sebagai isyarat mengiyakan."Ah, udah
"Antar aku dan ikuti mereka." Ajak Aryan, meskipun penasaran Feri akhirnya mengangguk tanpa banyak bertanya-tanya.Terlihat mobil yang ditumpangi Sinta dan Rizal keluar dari parkiran Kedai itu, mereka melaju ke arah jalan raya hingga beberapa menit kemudian mereka berbelok ke sebuah Hotel yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Kedai milik Aryan tadi.Feri memarkirkan mobilnya, namun baik dia dan Aryan tidak keluar dari mobil. Mereka melihat dari dalam mobil saja, saat Rizal dan wanita bernama Sinta itu memasuki pintu Hotel di depan mata mereka."Sialan. Bener-bener berani ngamar!" seru Feri sambil memukul setir di depannya.Sedangkan Aryan terlihat tampak pasrah dan frustasi, bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Hingga setelah dia menatap layar ponsel sekian lama, akhirnya Aryan mengirimkan foto-foto mesra Rizal saat di Kedai tadi.Kembali ke dalam Hotel, Rizal dan Sinta sudah masuk ke dalam kamar yang dipesannya. Tanpa menunda waktu lama keduanya begitu bernafsu saling berpagut
Aryan dan Feri akhirnya pergi dari hadapan Revina dengan penuh kekesalan. Revina benar-benar wanita yang bodoh, dia lebih percaya dengan kekasihnya ketimbang fakta dan ucapan dari sahabatnya yang sudah dia kenal belasan tahun lamanya. "Ar, kamu baik banget dari dulu. Sayang sekali sepertinya teman wanitamu itu tidak percaya dengan ucapan kita." Desah Feri memecah keheningan apalagi malam sudah larut dan kendaraan berlalu lalang mulai berkurang. Aryan terdiam, untuk sekian kalinya dia gagal melindungi Revina. Sebenarnya Aryan tidak ikhlas jika temannya itu jatuh ke dalam tipu muslihat Rizal, pria buaya darat yang sudah berkali-kali terciduk selingkuh dari temannya itu."Turunkan aku di Kedai, besok terserah kamu mau masuk jam berapa. Senyamannya saja." Pinta Aryan, pria itu tidak mau membalas perkataan Feri tadi dan memilih turun di Kedai yang sudah tutup daripada pulang ke rumahnya.Feri hanya bisa mengangguk, dia tidak mau mengganggu pikiran Aryan yang sedang terganggu. ***Di temp
"Rev… Sayang… apa kamu ada di dalam?" Terdengar juga teriakan seorang pria memanggil namanya, Revi yang masih setengah mengantuk itu masih belum sadar karena nyawanya belum terkumpul. Hingga beberapa saat kemudian dia akhirnya meraih ponsel, melihat waktu pukul berapa. Sontak dia terkejut dan langsung beranjak dari tempat tidur. "Ah, rupanya dari tadi pintuku ada yang mengetuk bukanlah mimpi." Gumam Revi, dia melihat keluar dan ada Rizal diluar sana. "Ah syukurlah… kamu gak angkat telponku, gak balas chat dariku. Aku khawatir kamu kenapa-napa." Kata Rizal saat melihat Revi keluar dan membuka pintu. Setelah berhadap-hadapan Rizal langsung saja memeluk Revi. Dia juga sebisa mungkin mengeluarkan air mata agar gadis yang dicintainya itu luluh. "Sayang… maafkan aku, aku bisa jelasin kok foto-foto yang kamu kirim semalam. Semalam itu_" "Tolong lepaskan dulu," potong Revi sambil mendorong tubuh Rizal yang kini sedang memeluknya erat. "Aku mengizinkanmu masuk karena malu dilihat tetangg
Revina masih terdiam, dia bingung harus bersikap bagaimana lagi. Namun tampaknya Rizal tidak berbohong padanya. Bagaimana mungkin pria itu berbohong setelah 5 tahun mereka menjalin hubungan. "Dari mana sih kamu tahu aku sama Sinta? Katakan padaku Rev, lagian kenapa dia kirim-kirim foto ke kamu kalau dia tidak bermaksud menghancurkan hubungan kita?" desak Rizal karena Revi hanya diam saja dari tadi. Revi bingung, masa iya harus bilang kalau Aryan lah yang mengatakan dan juga mengirimkan fotonya? "Katakan padaku, aku ingin tahu kenapa orang itu berbuat demikian pada kita? Kalau benar dia tidak menyukaiku, harusnya dia mendatangiku tadi bukan memfotoku lalu mengirimkannya ke kamu." Desak Rizal lagi. Revi masih berpikir, apa dia harus mengatakan jika orang itu adalah Aryan? Bagaimanapun juga Aryan adalah sahabatnya, tidak mungkin Aryan hanya ingin mengadu domba dia dan Rizal. Revi menggeleng, "tadi aku pulang kerja dan lihat kamu." Akhirnya Revi berbohong demi kebaikan semuanya, meski
Revina terdiam, memang benar apa yang dikatakan Rizal. Namun, dia merasa sangat berdosa karena bibirnya sudah merasa tidak suci lagi. "Maafkan aku Sayang, karena sudah lancang. Baiklah, apapun keputusanmu akan aku terima. Intinya aku tidak mau kamu merasa tertekan, karena aku sangat menyayangi kamu." Kata Rizal, dia tahu betul sifat lembut Revina makanya harus dibujuk secara perlahan. Revina menangguk, daripada memikirkan hal tadi. Dia lebih baik memaafkan kesalahan kekasihnya itu. "Hari ini kamu libur? Bagaimana kalau kita nemuin ibu sama bapakku?" tanya Rizal lagi, sekalian dia lebih meyakinkan kekasihnya itu. Revina mengangguk, lagian dia sudah lama tidak bertemu dengan orang tua Rizal. "Ya udah, sana siap-siap. Biar nanti kita makan malam masakan ibu." Kata Rizal. "Baiklah, tapi aku agak lama. Mau mandi dulu, Mas Rizal mau kopi atau teh dulu?" tanya Revi mrnawarkan. "Hem …, kopi aja ya. Makasih ya Sayang …." Jawab Rizal seraya tersenyum penuh kasih sayang. Rizal tahu betul
Sore itu Revi pergi bersama Rizal untuk menemui orang tua Rizal, selama ini mereka memperlakukan Revi dengan baik karena Revi adalah tipikal wanita baik-baik dan sopan. Orang tua Rizal terpantau sangat menyukai Revina. "Mas, tolong berhenti sebentar ya. Aku mau membelikan sesuatu untuk orang tua kamu." Pinta Revi. "Ah kamu sungguh perhatian Sayang, pantas ibu terus menanyakanmu. Baiklah kita berhenti di depan," jawab Rizal lalu pria itu menghentikan mobil Revi yang kini dia kemudikan di pinggir jalan. Tepat di depan sebuah toko buah-buahan. "Aku turun dulu ya Mas," ucap Revi lalu wanita itu keluar dari mobil. Rizal dengan buru-buru segera mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu. (Maafkan aku sayang, tadi bapakku memanggilku terus aku tidak bisa pegang hp lagi deh. Maaf ya tadi aku tutup teleponnya tiba-tiba, soalnya licin. Jatuh dari tanganku gitu.) Pesan dikirim ke kontak atas nama Sinta, tentu saja dia adalah wanita yang tadi berhubungan lewat telepon sebelum Revina hampir saj