Share

Bab 5 Tugas Lagi?

Momo yang melihat Harry sudah selesai menelepon, menatap Harry. Saat mata mereka bertemu, Momo hampir saja jatuh, karena terperanjat.

“Kau!!” teriak Momo.

“Kenapa dengan saya?” tanya Harry dengan dingin. “Apa kita berteman akrab? Sehingga kamu memanggil Bosmu dengan ‘kau’?”

Kata-kata Harry seakan-akan menampar wajah Momo. Dengan malu, dia menundukkan kepalanya.

“Kamu sudah diajar apa yang harus dilakukan sama Gina, kan?” tanya Harry. Tapi Momo yang kebingungan dan kaget, diam. Pikirannya masih belum fokus pada pekerjaannya. Terlalu banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalanya.

“Apa begitu tingkahmu pada Pimpinanmu?!” bentak Harry dengan keras. “Apa saya harus menyesal telah menerimamu bekerja di sini?!”

Bentakan Harry berhasil mendaratkan Momo kembali ke kantor itu. Dengan terperangah mendengar suara Harry, mengingatkan dia pekerjaannya sebagai sekretaris.

Tuhan, bantu aku untuk fokus. Fokus!! Fokus!! Ayolah pikiranku. Fokus!’ batin Momo dengan perasaan yang kacau balau. Setelah menarik napas tiga kali, akhirnya Momo bisa menenangkan dirinya.

“Maaf, Pak. Bapak seperti orang yang pernah saya kenal. Maaf, bisa Bapak mengulangi permintaan Bapak?” tanya Momo sambil menatap wajah Harry tanpa ekspresi.

Harry hampir saja menertawai Momo. Karena sangat terlihat kalau Momo berusaha mengatur perasaannya.

“Apa Gina sudah memberi tahu kalau hari ini ada pertemuan dengan Pak Toni?” tanya Harry.

“Sudah, Pak. Berkasnya akan saya antarkan sebentar lagi.”

“Tidak perlu. Kamu tinggal membawanya ke pertemuan nanti sore. Kamu ikut rapat juga,” kata Harry sambil meneruskan pekerjaannya tanpa memandang Momo lagi.

“Baiklah, Pak. Saya permisi dulu.”

Dengan tenang, Momo keluar dan menutup pintu. Setelah menutup pintu di belakangnya, Momo langsung melorot ke lantai.

Setelah menenangkan hatinya, Momo kembali berdiri dan menyemangati hatinya. Dia harus kuat. “Aku tak akan menyerah sebelum mencoba semua yang kubisa,” tekad Momo.

Sambil berdoa, Momo mempersiapkan berkas dan kontrak untuk pertemuan hari ini. Setengah jam sebelum pertemuan, Momo telah merapikan semua file. Dan sesuai pesan Gina, dia membuat 2 rangkap.

Tiba-tiba Harry keluar dari ruangannya. “Monita!”

“Iya, Pak.” Momo langsung berdiri dari tempatnya. Kali ini dia berhasil mengusir perasaan tentang kejadian semalam. Dia bertekad untuk kerja profesional.

“Kamu sudah menyiapkan berkas untuk pertemuan?”

“Sudah, Pak. Ini berkasnya. Saya sudah membuat 2 rangkap.”

Harry kaget melihat berkas yang telah tersusun dengan rapi. Tapi ….

“2 rangkap?!” bentak Harry sambil membanting berkas-berkas tersebut. “Kenapa kamu tidak bertanya? Buat 3 rangkap!!”

“Oh, maaf, Pak. Ibu Gina mengatakan ….”

“Yang ikut rapat aku atau Gina?!” bentak Harry.

Harry yakin bentakannya sampai ke ruangan sebelah. Dan memang benar, Utien dan Rina sedang mengintip kemarahan Harry. Bahkan mereka juga kaget saat Harry membanting berkas itu.

Saat Harry meninggalkan Momo, Utien dan Rina cepat-cepat kembali ke ruangan mereka. Harry sempat melihat bayangan mereka dan terukir senyuman di wajahnya.

Kalau memang harus rangkap 3, kan bisa tinggal bilang baik-baik. Tidak perlu sampai membanting berkas segitu kasarnya,’ gerundel Momo dalam hati. Hampir dia menangis melihat berkas-berkasnya berhamburan karena dibanting.

Momo dengan secepat kilat merapikan berkas-berkasnya. Dia merasa bersyukur karena diberikan kecekatan, sehingga di menit-menit terakhir, 3 rangkap berkasnya sudah rapi.

Saat Harry keluar, dia kaget, berkas 3 rangkap sudah rapi. Sehingga membuatnya terkagum-kagum. Bahkan ekspresi Momo pun tenang, seakan-akan dia tidak pernah mendapat bentakan dan bekerja membabi buta.

Dengan cepat Harry mengubah ekspresinya saat dia melihat Momo meliriknya. “Ikut denganku,” kata Harry sambil berlalu menuju ke ruang pertemuan.

“Halo, Pak Toni. Maaf membuat anda menunggu lama.” Harry menyalami Toni.

“Tidak lama. Baru saja tiba. Wah, ada sekretaris baru nih. Gina sudah cabut ya?” goda Toni.

“Tidaklah. Dia asistennya Gina. Bagaimana kalau kita memulai saja?” Harry memberi kode pada Momo untuk membagikan berkasnya. “Ini kontraknya. Silakan Pak Toni membacanya.”

“Apa-apaan ini, Pak Harry?” tanya Toni gusar.

“Ada apa, Pak Toni?” tanya Harry bingung.

“Bukankah kita sudah sepakat, kalau kontrak ini sudah termasuk PPN dan Pph? Kenapa di sini tertulis belum termasuk? Selain itu Pak Harry menjanjikan kotrak ini sudah termasuk air bersih dan pemasangan listrik, kenapa di sini tidak tercantum? Sekarang apa bedanya Pak Harry dengan kontraktor lain?” hardik Toni sambil membanting kontrak itu.

Tanpa bicara, Harry membaca kontrak tersebut dan memandang tajam pada Momo yang sudah pucat pasi.

“Kamu dengar? Kenapa masih berdiri di sini? Cepat pergi ubah kontraknya!” kata Harry dengan nada rendah tapi tajam dan dingin.

Momo langsung berlari kembali ke ruangannya. Momo tidak tahu di belakangnya, Harry dan Toni membuat high five.

“Har, kenapa dengan sekretaris barumu? Aku tidak pernah melihatmu ngerjain pegawaimu apalagi dia masih baru,” tanya Toni.

“Gak apa-apalah. Hanya ingin mengetest apa dia tahan banting atau tidak. Ini kebetulan denganmu, pelanggan yang paling baik. Bagaimana kalau dia bertemu dengan jahat? Bisa jadi di depan pelanggan, dia menangis bombai,” kilah Harry cuek.

Padahal kenyataan tidak seperti dalam kata-katanya. Sebenarnya hatinya juga risau melihat Momo yang pontang-panting.

Momo sambil berlari kembali ke ruangannya, dia terus berdoa, semoga bisa minta tolong pada Rio daripada minta tolong pada Utien atau Rina.

Saat melihat Rio di ruangan sendirian, Momo langsung mengucap syukur. Cepat-cepat Momo menghampiri Rio.

“Pak Rio, bisa minta tolong tidak untuk merevisi kontrak? Aku tidak tahu … bagaimana mengubahnya, karena ... file aslinya ada di komputernya Ibu Gina,” tanya Momo dengan napas tersengal-sengal.

“Tenang … tenang. Kenapa diubah?”

“Kata … Pak Toni, dia sudah dijanji kontraknya termasuk PPN, PPh, air dan listrik.”

“Oh hanya itu. Gampang kok. Ayo, kita pakai komputerku saja ya. Di sana juga ada kontraknya Pak Toni.”

“Sungguh?” kata Momo tidak percaya karena sangat senang. Melihat Rio mengangguk, Momo langsung bernapas lega. “Syukurlah.”

Dengan bantuan Rio, 3 rangkap kontrak selesai dengan cepat. Momo langsung berlari kembali ke ruang pertemuan. Dan hampir menabrak Utien dan Rina yang baru mau masuk.

Momo hanya menghormat imereka dan kembali berlari dengan cepat.

“Rio, kenapa dengan Monita? Larinya seperti sudah mencuri sesuatu di sini,” tanya Utien.

“Dia habis dimarahi Bos, karena kontraknya ada yang salah,” jawab Rio sambil meneruskan pekerjaannya. “Padahal itu baru terjadi hari ini. Yah, mana dia tahu?”

“Apanya yang salah?” tanya Rina.

“Tidak termasuk PPN, PPh, air dan listrik.”

“Apa?! Itu kan baru?” Rina kaget.

“Wah, sepertinya Bos mau ngerjain dia deh. Dari tadi dimarahi terus,” tukas Utien.

“Sudahlah, Kak. Nanti Bos dengar lho,” sahut Rio mencoba mengingatkan mereka berdua.

Untung saja Momo tidak mendengar percakapan rekan kerjanya. Kalau tidak, dia pasti tidak akan berlari seperti orang gila.

Sesampai di ruang pertemuan, Momo menyerahkan kontrak itu. Toni hanya melihat sepintas dan langsung menandatangani kontrak itu.

Toni menjabat tangan Harry sambil berbisik, "Hebat juga dia."

Harry hanya tersenyum. “Terima kasih, Pak Toni.

Setelah mengantar Toni, Harry menyuruh Momo ke ruangannya.

“Aku lapar. Bantu pesankan makanan,” perintah Harry.

“Bapak mau pesan apa dan di mana?” tanya Momo. ‘Wah, aku harus menambah di catatan nih. Tidak ada dalam daftar,’ batin Momo.

“Makanan yang cepat.”

“Fastfood?”

“Yah, itu saja. Pesan 2 porsi.”

“Iya, Pak.”

Setelah Momo pesan lewat pemesanan dan datang. Dia segera membawa ke ruangannya Harry.

“Pak, makanannya sudah datang. Saya taruh di sini.”

“Kamu duduklah.”

“Heh?!” Momo bingung. 'Kenapa aku disuruh duduk?' batin Momo.

“Duduk dan makan bagianmu. Karena sesudah itu, kita pergi berbelanja. Kamu bantu pilih barang.”

“Heh?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status